TAKE HOME UAS STRATEGI KELATAN & GEOPOLITIK KEMARITIMAN
NAMA : WIWIT TRI RAHAYU
NIM : 071311233082
Tantangan dalam Membangun Kekuatan Laut Indonesia
Di zaman Majapahit, arus balik peradaban berlangsung dari wilayah bawah angin di Selatan ke atas angin di Utara
– Pramoedya Ananta Toer
Globalisasi yang ada sekarang ini tidak dapat dipungkiri telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah aspek yang berkaitan dengan kelautan. Globalisasi juga turut mengubah relevansi teori-teori yang telah ada sebelumnya. Banyak para ahli yang kemudian menilai sutau teori yang muncul pada beberapa dekade lalu menjadi tidak lagi relevan untuk dijadikan acuan di zaman sekarang karena adanya banyak perubahan yang dibawa oleh globalisasi. Globalisasi yang mengubah keadaan dianggap menuntut adanya konsep baru yang lebih relevan dengan melihat keadaan yang ada saat ini. Kemunculan teknologi, peralihan fokus kepentingan, serta bergesernya pemahaman akan suatu hal juga turut mengubah efektifitas suatu teori. Dalam aspek kelautan sendiri, globalisasi telah menggeser berbagai pemahaman tentang laut yang telah ada sebelumnya. Bahkan, argumen-argumen yang disampaikan oleh Alfred Thayer Mahan sebagai Bapak Teori Kekuatan Laut Modern dianggap oleh beberapa ahli sudah tidak lagi relevan untuk membahas kondisi laut yang ada saat ini. Hal ini juga tidak terlepas dari hubungan antara kekuatan laut dengan aspek ekonomi suatu negara. Sebelum era globalisasi, kekuatan laut lebih sering dihubungkan dengan kekuatan militer dan kebutuhan akan perang. Globalisasi juga telah mengubah beberapa aspek dalam perekonomian sehingga fungsi laut di bidang ekonomi pun mengalami beberapa perubahan. Namun demikian, laut bukan hanya berfungsi bagi aspek ekonomi saja.
Pembahasan Mengenai Sea Power
Mahan memiliki pandangan bahwa ada korelasi antara kekuatan laut dengan aspek ekonomi suatu negara yang terhubung melalui adanya kemakmuran ekonomi, perdagangan, dan juga kekuasaan. Mahan juga menganggap laut sebagai jalan raya yang bebas hambatan untuk dilalui berbagai aktivitas. Mahan menganggap bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, negara harus terlebih dahulu berusaha untuk meningkatkan penguasaannya terhadap laut command of the sea) dan juga kepemilikan terhadap armada laut yang kuat. Mahan juga mengungkap tentang pentingnya akses ekonomi yang disebut dengan great common. Maksudnya adalah bahwa negara yang memiliki kekuatan besar di bidang maritim akan cenderung menggunakan laut sebagai sarana di berbagai aktivitas. Dengan kata lain, negara yang memiliki kekuatan besar di laut akan memiliki ketergantungan yang besar pula terhadap laut. Laut akan dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhan dan kepentngan negaranya. Kekuatan laut yang dimiliki oleh negara kemudian dijadikan sebagai upaya defensif untuk menjaga fungsi laut bagi ekonomi agar tetap terjaga (Lambert, t.t).
Selain Mahan, konsep mengenai laut juga banyak dibahas oleh Corbett. Corbett menyatakan bahwa fokus ekonomi negara juga akan mempengaruhi fungsi laut bagi aspek ekonomi. Corbett menilai bahwa pada abad ke-18 banyak negara yang memiliki fokus perekonomian di bidang agrikultur yang kemudian turut memengaruhi fungsi laut bagi negara. Fokus terhadap agrikultur ini mendorong negara untuk lebih menggunakan jalur darat dalam perdagangan dan jalur laut hanya difungsikan untuk sektor ekonomi tertentu dengan prosentase yang lebih kecil. Namun konsep ini dinilai sudah tidak sesuai dengan keadaan yang ada saat ini. Konsep Corbett tentang hubungan kekuatan laut dan aspek ekonomi dinilai cukup statis untuk menanggapi perekonomian yang selalu bergerak dinamis. Konsep yang disampaikan Mahan cenderung lebih diterima untuk menanggapi perekonomian di ranah globalisasi (Lambert, t.t). Mahan menilai laut sebagai aspek penting bagi negara dengan pernyataannya bahwa suautu bangsa tidak akan bisa memberikan pengaruh bagi dunia tanpa meningkatkan kekuatan pada sektor angkatan laut. Hal ini dapat diciptkan dengan memanfaatkan kekuatan laut yang dimiliki oleh negara (Pruitt, 2000: 8). Menjatuhkan mental negara lain dapat juga dilakukan dengan menyerang kekuatan maritim yang menjadi jalur perdagangan yang dikuasai oleh negara lain. Dengan demikian, posisi negara akan lebih aman dalam mencapai kepentingannya (Quirk, 2015: 87).
Sea power memiliki beberapa pengaruh terhadap negara seperti kemampuannya untuk melakukan blokade demi kepentingan nasional negaranya. Blokade dinilai efektif untuk membuat lawan menyerah. Penentuan blokade juga harus dilakukan di basis atau pangkalan tertentu yang mempunyai nilai lebih untuk efektivitas blokade. Hal ini dianggap lebih efektif dibandingkan harus mengurus daratan. Pada era kolonial, perdagangan menggunakan jalur laut juga lebih diutamakan. Perdagangan melalui jalur darat dianggap lebih mahal dan sulit untuk dilakukan karena banyak tantangannya. Menggunakan jalur laut sebagai lalu lintas perdagangan pada masa kolonial dianggap lebih mudah dan tidak menemui berbagai ancaman (Pruitt, 2000: 8). Sea power juga dianggap Mahan akan menguntungkan bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia, hal ini dikarenakan negara kepulauan memiliki kemampuan lebih untuk melakukan isolasionisme ketika mengalami suatu masalah dengan negara lain.
The Internet might be seen as an extension of Mahan's concern about newly exposed coasts. For Mahan, a Panama Canal meant a wide range of changes for the United States and European powers, as well as for the people of the Caribbean. Opening an isthmus canal promised vast increases in wealth from trade among Europe, the US east and west, and Asia. But it also made the American west coast vulnerable in new ways and to new parties. Similarly, the Internet created countless new industries and new avenues for wealth creation. But it also opened up Internet users — state, commercial, and individual — to new kinds of attacks
(Quirk, 2015: 93)
Jika berbicara tentang batasan sea power, terlebih dengan konsep-konsep yang diajukan oleh Mahan, validitas terhadap hubungan keduanya memang dapat dikatakan mulai memudar. Hal ini mulai nampak setelah Perang Dingin berlangsung, yaitu ketika terbukti bahwa faktor geografi ekonomi turut mempengaruhi dalam kekuatan laut. Fungsi kekuatan laut dalam masa itu adalah untuk melindungi jalur perdagangan agar aman sampai tujuan (Rubel, 2012: 6). Pada era globalisasi, silogisme Mahan tentang command of the sea dinilai perlu mengalami perubahan. Silogisme tersebut harus bisa menjadi sebuah konsep yang menjauhkan negara dari adanya konflik dengan negara lain. Rubel (2012: 13) melihat bahwa era sekarang ini kerjasama menjadi hal paling penting dalam negara karena konsep mengenai perang dianggap telah usang dan lebih merugikan. Kerjasama tersebut harus dilakukan baik secara internal dengan armada laut negara dan sebagainya, ataupun secara eksternal dengan melakukan kesepakatan kerjasama peningkatan efektivitas laut dengan negara lain. Kerjasama ini diharapkan akan mampu untuk melahirkan konsitusi dari penyerap goncangan geopolitik secara masif, pencegah konflik di suatu area agar tidak menyebar, mencegah kekerasan bersenjata dalam pergerakan di laut dan lain-lain. Selain itu, kerjasama antarnegara juga diperlukan untuk menciptakan kondisi aman baik dalam skala nasional, regional, ataupun internasional. Hal ini melihat pada banyaknya kebutuhan masa kini yang tidak terlepas dari peran negara lain. Sehingga silogisme Mahan mengenai command of the sea membutuhkan perubahan agar sesuai dengan keadaan sekarang ini. Rubel (2012: 18) menyatakan bahwa silogisme yang tepat adalah dengan menggunakan armada laut sebagai pelindung atas aktivitas ekonomi suatu bangsa yang ditunjang dengan kerjasama antarnegara di bidangperdagangan dan keamanan.
Hal ini kemudian dibuktikan dengan keadaan dunia pada sekitar tahun 1980-an. Setelah adanya perang yang dinilai amat merugikan bagi semua negara, negara-negara mulai memikirkan hubungan baru dengan negara lain. Ketergantungan antarnegara di bidang ekonomi semakin meningkat. Keadaan tersebut secara tidak langsung turut membenarkan konsep Angell (dalam Quirk, 2015: 84) yang menyatakan bahwa negara tidak harus melakukan perang untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Ketergantungan dalam bidang ekonomi ini menjadikan aliran perdagangan dan investasi semakin terhubung secara masif, sehingga ketika suatu negara berhasil menguasai laut justru akan memperburuk keadaan. Artinya adalah jika suatu negara tertentu menguasai wilayah laut, maka ketergantungan antarnegara tersebut akan mengalami disfungsi dikarenakan berbagai ancaman yang mungkin muncul. Pemikiran Angell tersebut dinilai relevan karena sampai saat ini pun ketergantungan antarnegara di bidang ekonomi masih dinilai mampu untuk memenuhi kepentingan negara tanpa harus melakukan perang.
Perbedaan persepsi yang disampaikan oleh Mahan dan Angell kemudian turut mendatangkan persepsi baru dalam kekuatan Laut dengan mengombinasikan antara kedua persepsi yang ada. Kombinasi tersebut melihat pada prospek kekuatan laut di masa depan dan kemungkinan negara untuk menggunakan sea power dalam menjaga kepentingan nasionalnya. Sea power kemudian juga dapat digunakan untuk menjaga hubungan antarnegara yang dilakukan dengan negara lain. Dengan adanya perkembangan di bidang teknologi, penggunaan sea power tentunya akan memiliki banyak peluang untuk mengalami kemajuan. Penerapan antara teknologi dan sea power ini diharapkan akan dapat meredam berbagai ancaman yang mungkin muncul dalam laut (Quirk, 2015: 84). Namun konsep ini masih memiliki ambiguitas dengan ketidaksetujuan Angell terhadap adanya sea power. Di lain sisi, kemunculan multinational corporation (MNC) juga membawa pengaruh tersendiri bagi negara. MNC semakin mengurangi peran negara di berbagai aspek, negara juga semakin membahas kepentingan yang berkaitan dengan MNC sehingga tidak melulu persoalan politik. Dalam hal ini, fokus negara terhadap ekonomi akan meningkat karena dituntut oleh kemunculan MNC tersebut (Pruitt, 2000: 15).
Maritim di Indonesia
Indonesia sendiri dapat dikatakan sebagai negara kepulauan yang seharusnya mampu memiliki kekauatan lebih di bidang maritim. Sejarah maritim Indonesia mencatat bahwa kekuatan Kerajaan Majapahit di masa lalu menunjukkan kehebatan penguasa arus Selatan dalam mengalahkan penguasa arus Utara di bidang kelautan. Banyak bukti yang menunjukkan kejayaan Nusantara di bidang kelautan, seperti adanya palabuhan-pelabuhan besar di berbagai penjuru Nusantara dan juga peninggalan budaya yang melukiskan kehebatan nenek moyang bangsa di bidang kelautan. Bahkan sejarah mencatat bahwa bersatunya Nusantara disebabkan oleh hebatnya armada laut di masa lampau. Bahkan pelayaran bangsa Indonesia tercatat telah dilakukan sejak abad ke-9 Masehi. Banyak candi-candi yang mengukir sejarah tersebut dalam reliefnya, seperti candi Borobudur, Prambanan, dan sebagainya. Sejarah juga mencatat bahwa pada sekitar abad ke-14 hingga awal abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan hebat di Indonesia. Jaringan tersebut adalah jaringan Teluk Bengal, Selat Malaka, pesisir timur Semenanjung Malaka, Laut Sulu, dan jaringan Laut Jawa (Buwono X, 2014: 3-4).
Namun masa berbalik dan Indonesia menjadi negara yang mundur di bidang kemaritiman. Indonesia seharusnya dapat menjadikan kejayaan di masa lalu sebagai landasan pijak. Menurut Till (2013, dalam Buwono X, 2014: 4) ada setidaknya empat dasar yang harus dimiliki oleh negara untuk menciptakan sea power sebagai basis negara maritim. Pertama adalah adanya masyarakat yang memiliki preferensi terhadap laut. Kedua, sumberdaya maritim yang memadai seperti laut dan berbagai infrastruktur pendukung. Ketiga adalah posisi geografis. Dan yang terakhir adalah pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Dari keempat komponen tersebut, Indonesia masi memiliki komponen ketiga berupa posisi geografis dan komponen kedua yaitu sumberdaya maritim. Namun sumberdaya maritim di Indonesia belum mencakup adanya infrastruktur yang memadai. Indonesia belum memiliki masyarakat dan pemerintahan yang memiliki orientasi ke kemaritiman. Di lain sisi, kejayaan akan sea power memiliki kaitan yang erat dengan kejayaan bangsa sendiri, sehingga dalam mewujudkan sea power dibutuhkan adanya kesadaran maritim, preferensi publik, dan kepentingan nasional yang diarahkan ke sektor maritim (Buwono X, 2014: 5).
Untuk membawa bangsa Indonesia kembali ke kejayaan maritim di masa lampau, tentu diperlukan adanya reformasi kultural atau revolusi mental sebagaimana sering disebut oleh Presiden Joko Widodo. Revolusi tersebut harus diawali dari hal terkecil seperti meja makan dengan menu hasil laut sebagai menu utama. Secara berkelanjutan, hal ini akan menjadi hal yang berdampak besar bagi pandangan bangsa terhadap ikan. Ketika tingkat konsumsi hasil laut bangsa Indonesia masih kecil, maka kepentingan terhadap laut pun dianggap kecil. Kasus seperti illegal fishing akan dianggap sebagai kasus yang tidak begitu penting selama karena ikan bukan menjadi hal paling utama dalam kehidupan bangsa sehari-hari. Ketika konsumsi akan ikan meningkat pesat, maka hasil laut akan dipandang sebagai suatu kebutuhan penting bagi bangsa dan penjagaannya akan diperketat karena berhubungan langsung dengan kepentingan nasional negara (Buwono X, 2014: 10).
Selain itu, diperlukan juga implementasi yang jelas dalam visi dari seluruh komponen bangsa. Perubahan dapat dimulai dengan merumuskan doktrin maritim. Bangsa Indonesia juga sudah mulai harus dibentuk agar memiliki jiwa maritim yang kuat. Indonesia harus mulai menciptakan military power yang kuat agar mampu mendorong masyarakat agar aktif terlibat. Instansi kemaritiman juga harus aktif menggali potensi laut yang ada. Doktrim maritim yang diberikan kepada bangsa haruslah berupa prinsip-prinsip yang diambil dari pengalaman berharga negara di sektor maritim baik dalam lingkup nasional ataupun internasional. Sudah seharusnya Indonesia sebagai archipelagic state menanamkan konsep kemaritiman pada pertahanan yang dibuat. Indonesia memiliki grand strategy dalam maritim berupa National
Interest, National Strategy, National Security sistem, National Security Policy,
Defence Policy, Military Strategy, Doctrine (Indonesia Maritime strategy) yang dituangkan dalam Eka Sasana Jaya TNI AL. Dari strategi tersebut terlihat bahwa ada jarak pada konsep dan kebijakan dalam pola pertahanan maritim Indonesia. Pada kenyataannya, Indonesia tidak memiliki maritime strategy yang menurunkan military marutume strategy namun angsung dituangkan ke dalam Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya (Salim, t.t: 12-5).
Jika melihat dari konsepsi sea power yang diajukan dari Mahan dan Angell di atas, Indonesia maih belum meiliki perekonomian yang kuat untuk menunjang peningkatan sea power. Di sisi lain, Indonesia juga belum menekankan fokus pada pemberdayaan laut sebagai sebuah kepentingan nasional yang utama. Indonesia belum menjadikan laut sebagi sebuah kekuatan negaranya. Padahal Maha telah mengatakan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia telah diuntungkan secara geografis yang negara lain tidak bisa mendapatkannya. Indonesia hanya perlu menciptakan political will yang berbasis pada laut. Laut sudah seharusnya diproyeksikan sebagai sarana penunjang perekonomian yang ada sehingga kapabilitas laut secara otomatis akan turut ditingkatkan. Ketika laut dianggap tidak memiliki fungsi yang penting dalam berbagai aspek, kapabilitas laut tidak akan dijadikan sebagai hal yang utama dalam orientasi negara. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada laut sudah seharusnya diterapkan di Indonesia sehingga baik sektor laut ataupun ekonomi akan berkembang secara beriringan. Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan daratan dan menganggap laut hanya sebagai anugerah yang belum bisa dimanfaatkan. Padahal laut Indonesia memiliki banyak potensi yang bisa digali. Indonesia belum bisa memanfaatkan lalu lintas laut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Singapura untuk menciptakan hub port yang memiliki keuntungan besar.
Kesimpulan dan Opini
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimmpulan bahwa laut merupakan salah satu kekuaan yang dapat digunakan untuk menguasai dunia. Selain itu, laut juga memiliki peran yang besar dalam perdagangan. Kekuatan laut yang dimiliki akan membuat suatu negara lebih mudah dalam memenuhi kepentingan nasional ataupun internasional. Namun kemudian Angell mengatakan bahwa kondisi laut saat ini sudah tidak bisa jika harus dimiliki oleh suatu negara karena adanya hubungan ketergantungan antarnegara yang cukup kuat. Selain itu, penguasaan akan laut ditakutkan justru akan merusak hubungan yang ada. Angell juga mengatakan bahwa penguasaan terhadap laut sudah tidak terlalu diperlukan karena kebutuhan akan perang sudah mulai usang. Namun penguasaan akan laut tetap penting karena menyangkut keamanan suatu negara terhadap wilayah lautnya. Penguasaan terhadap laut juga diperlukan untuk menjaga kepentingan suatu negara karena laut juga menjadi wilayah yang rentan untuk diserang.
Penulis berpendapat bahwa Indonesia sendiri sebenarnya memiliki banyak potensi laut yang bisa dikembangkan. Namun Indonesia belum memiliki doktrin untuk menjadi bangsa dari sebuah negara maritim. Mungkin Indonesia salah dalam mengartikan konsepsi Angell bahwa laut tidak perlu untuk dikuasai. Selain itu, perekonomian Indonesia untuk alokasi di bidang maritim masih cenderung terbatas untuk mengembangkan segala infrastruktur yang ada. Dalam hal ini, diperlukan peran pemerintah untuk mulai mengubah orientasi bangsa dan memberikan alokasi khusus untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan maritim yang besar. Tanpa adanya peran dari pemerintah, keinginan untuk meningktakan kekuatan laut Indonesia tidak akan tercapai. Selain itu, pandangan bangsa terhadap siapa dirinya juga harus mulai dibentuk bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut yang harusnya handal dalam membentuk kekuatan laut. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, membentuk budaya bangsa dapat dimulai dari hal terkecil seperti meja makan.
Referensi
Buwono X, Hamengku, 2015. Budaya Maritim Indonesia, Peluang, Tantangan, dan Strategi [pdf].
Pruitt, John, 2000. "The Influence of Sea Power in the 21st Century", dalam Working Paper 00-4 [pdf[.
Quirk,James M., 2015. "Angell and Mahan : Technology, Globalization, and International Security Today", dalam Mediterranean Quarterly, 26 (2) : 80-98 [pdf].
Salim, t.t. Konsep Doktrin Maritim dan Strategi Militer Maritim Indonesia [pdf].