Zona Subtidal
MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah ekologi akuatik
Disusun oleh Kelompok 7 :
Femin Damayanti
(141810401012)
Indriana Arianti
(141810401016)
Nur Aisyah Septiana
(141810401020)
Dela Dwi Alawiyah
(141810401032)
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2016
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.Alhamdulillah makalah ekologi akuatikdengan judul “Zona Subtidal” ini dapat Penyusun selesaikan dengan tepat waktu. Makalah Biologi Laut ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah ekologi akuatik semester lima
di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Makalah ini berisikan informasi mengenai karakteristik, vegetasi, komponen biotik dan abiotik dalam zona subtidal Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya, penyusun mengharapkan adanya masukan baik kritik maupun saran yang konstruktif sehingga berguna untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah zona subtidal ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membaca umumnya, serta bagi penyusun sendiri khususnya.
Jember , 18 Sepember 2016 penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i DAFTAR ISI............................................................................................................ii BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1 1.1 Latar Belakang...............................................................................................1 1.2 Tujuan.............................................................................................................1 1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................2 BAB 2. ISI................................................................................................................2 2.1 Definisi...........................................................................................................2 2.2 Karakteristik Zona Subtidal............................................................................3 2.4 Kondisi Lingkungan.......................................................................................4 2.5 Faktor Pembatas.............................................................................................4 2.6 Komunitas Ekosistem Subtidal......................................................................7 2.7 Organisme yang Hidup di Zona Subtidal ( Karakeristik dan Adaptasi )........7 2.8 Siklus Materi................................................................................................22 2.9 Aliran Energi dan Rantai Makanan..............................................................26 2.10
Manfaat Zona Subtidal............................................................................29
BAB 3. KESIMPULAN.........................................................................................30 3.1 Kesimpulan...................................................................................................30 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................31
2
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem laut merupakan salah satu ekosistem alamiah akuatik yang paling besar di planet bumi ini. Luas area laut memang mencakup hampir 80% wilayah bumi. Khusus untuk Indonesia yang merupakan salah satu Negara kepulauaan, luas teritorial didominasi oleh lautan. Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa ekosistem laut memiliki peranan yang penting bagi rakyat Inodnesia dan juga bagi masyarakat dunia dalam skala yang lebih besar untuk lebih memahami ekosistem. Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi. Komponen-komponen ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari komponen-komponen tersebut
maka
akan
menyebabkan perubahan
pada
komponen lainnya.
Kelangsungan suatu fungsi ekosistem dapat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibat dalam sistemtersebut. Oleh sebab itu, untuk menjamin sumberdaya hayatinya, maka hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya hayati yang menyusun suatu sistem, perlu diperhatikan. Laut sendiri menurut zonasinya dibagi menjadi beberapa zona yaitu intertidal, subtidal, laut dalam, mangrove dan terumbu karang. zona subtidal adalah daerah yang terletek antarabatas air surut terendah di pantai dengan ujung paparan dunia. zona ini jelas memiliki komponen biotik dan abiotik yang berbeda dengan zona laut lain. Makalah ini disusun untuk mengetahui karakteristik zona subtidal yang membedakannya dengan zona laut lain. 1.2 Tujuan Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memahami pengertian tentang zona subtidal, faktor pembatas dalam zona subtidal. Keanekaragaman organisme, struktur ekosistem, dan rantai makanan di dalam zona subtidal.
1
1.3 Rumusan Masalah 1. 2. 3. 4.
Bagaimana karakteristik zona subtidal ? Apa sajakah faktor pembatas pada zona subtidal ? Bagaimanakah keanekaragaman organisme pada zona subtidal ? Bagaimanakah struktur abiotik zona subtidal yang meliputi aliran energi, jaring jaring makanan dan siklus materi biogeokimia ?
BAB 2. ISI 2.1 Definisi Zona Subtidal merupakan daerah yang terletak antara batas air surut terendah di pantai dengan ujung paparan benua (continental shelf), dengan kedalaman sekitar 200 meter. Pada skema klasifikasi ini dikenal sebagai sublitoral. Zona paparan atau sublitoral adalah zona lentik pada paparan benua di bawah zona pelagik neritik. Zona ini mendapat cahaya dan pada umumnya dihuni oleh bermacam jenis biota laut yang melimpah dari berbagai komunitas, termasuk padang lamun dan terumbu karang. Zona subtidal meliputi daerah dibawah ratarata level pasang surut yang rendah dan biasanya selalu digenangi air secara terus menerus.Lamun tidak mempunyai struktur yang besar, namun dapat mereduksi pengaruh kekuatan dan energi ombak yang menerpanya.Pada zona subtidal, tampaknya lamun lebih tahan terhadap badai daripada terumbu karang dan bakau (Hatcher dkk, 1989).
gambar 1 padang lamun subtidal Sumber : http://1.bp.blogspot.com/
2
2.2 Karakteristik Zona Subtidal a) Zona ini merupakan zona fotik (masih mendapatkan cahaya). Zona Fotik atau eufotik merupakan perairan pelagik yang masih mendapatkan cahaya matahari. Batas bawah zona ini tergantung pada batas kedalaman tembus cahaya, dan biasanya bervariasi berdasarkan tingkat kejernihan air. Umumnya batas bawah zona fotik terletak pada kedalaman 100-150 meter. b) Kedalaman sekitar 200 m. Zona subtidal berada pada bagian laut yang terletak antara batas air surut terendah di pantai dengan ujung paparan benua, pada kedalaman sekitar 200m. pada skema klasifikasi, daerah ini dikenal sebagai sublitoral. c) Terdiri dari sedimen lunak, pasir, lumpur, dan sedikit daerah dengan substrat keras. d) Turbulensi tinggi. Pada perairan-dangkal ini, interaksi ombak, arus dan upwelling menumbulkan turbulensi. Turbulensi ini secara umum mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal kecuali untuk waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. e) Produsen melimpah, namun kebanyakan tersusun atas selulosa yang tidak bisa dicerna oleh hewan laut. Produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perairan lepas pantai. Produktivitasnya yang tinggi ini menyangga populasi zooplankton dan organisme benthos yang tinggi. ( Rahman, 2008)
gambar 2. struktur ekosistem subtidal Sumber : https://i0.wp.com/www.jochemnet.de
3
2.4 Kondisi Lingkungan Perairan paparan benua kurang konstan dan kondisi lingkungannya menunjukkan lebih banyak variasi dibandingkan dengan daerah epipelagik laut terbuka atau laut-dalam. Kemungkinan faktor fisik terpenting yang bereaksi pada komunitas dasar adalah turbulensi atau gerakan ombak. Pada perairan-dangkal ini, interaksi ombak, arus dan upwelling menumbulkan turbulensi. Turbulensi ini secara umum mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal kecuali untuk waktu yang singkat di daerah beriklim sedang. Jadi nutrient jarang menjadi faktor pembatas. Produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perairan lepas pantai yang serupa karena melimpahnya nutrient, baik yang berasal dari runoff daratan maupun pendaurulangan. Produktivitasnya yang tinggi ini menyangga populasi zooplankton dan organisme benthos yang tinggi.
2.5 Faktor Pembatas a. Pergerakan Ombak Gelombang laut atau ombak merupakan gerakan air laut yang paling umum dan mudah diamati. Helmoles menerangkan prinsip dasar terjadinya gelombang laut sebagai berikut, “jika ada dua massa benda kerapatannya (densitasnya) bergesekan satu sama lain, maka pada bidang gerakannya akan terbentuk gelombang”. Gelombang terjadi karena beberapa sebab, antara lain angin, menabrak pantai, atau gempa.Pergerakan ombak merupakan faktor yang penting di daerah ini. Periode pergerakan laut dan gelombang badai yang lama, berpengaruh terhadap dasar perairan yang dangkal ini. Pada dasar yang lunak, jalur ombak ini dapat menimbulkan gerakan bergelombang besar di dasar, yang sangat mempengaruhi stabilitas substrat. Partikel substrat dapat teraduk dan tersuspensi kembali. Hal ini sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam substrat. Pergerakan ombak juga menentukan tipe partikel yang terkandung. Pergerakan ombak yang kuat memindahkan partikel halus sebagai suspense dan menyisakan pasir. Jadi sedimen lumpur yang baik hanya dapat terbentuk pada dasar yang pergerakan ombaknya
4
rendah atau letaknya lebih dalam sehingga tidak dipengaruhi oleh ombak.Pergerakan ombak tidak sebesar dan sebanyak pergerakan ombak di zona intertidal dikarenakan kedalamannya yang lebih dari 200 m ( Ziedman, 1986) b. Salinitas Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan harga salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida diterapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam garam ion klorida pada 1 kg air laut jika semua halogen digantikan kandungan oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida (Karmana, 2007). Pada perairan samudera, salinitas biasanya berkisar antara 34-35 o/oo. Di perairan pantai terjadi pengenceran, misalnya karena pengaruh aliran sungai, salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya di daerah dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas bisa meningkat tinggi (Nontji, 2008). c. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor pembatas terhadap ikan-ikan atau biota akuatik. Suhu dapat mengendalikan fungsi fisiologis organisme dan berperan secara langsung atau tidak langsung bersama dengan komponen kualitas air lainnya mempengaruhi kualitas akuatik. Temperatur air mengendalikan spawning dan hatching, mengendalikan aktivitas, memacu atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan, menyebabkan air menjadi panas atau dingin sekali secara mendadak. Temperatur air juga mempengaruhi berbagai macam reaksi fisika dan kimiawi di dalam lingkungan akuatik (Nuitja, 1992). Menurut Nontji (1987), suhu air permukaan di perairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28 - 31 oC. Suhu air didekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi daripada yang di lepas pantai.Peningkatan suhu perairan 5
mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan valurisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan gas di dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Suhu di zona subtidal masih cukup hangat karena masih memperoleh penetrasi cahaya meskipun kecil. (Hatcler, 1987). d. Penetrasi Cahaya Penetrasi cahaya pada perairan turbulen ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa, baik dari daratan, dari potongan-potongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton
yang
tinggi
akibat
melimpahnya
nutrient,
menyebabkan
terhambatnya penetrasi cahaya sampai beberapa meter. Zona ini Masih mendapat cahaya walau penetrasi cahayanya tidak sebanyak zona intertidal sehingga masih ada flora yang masih bisa berfotosintesis. Misal : lamun (seagrass) ( Fortes, 1990) e. Persediaan Makanan Persediaan makanan di daerah ini melimpah. Sebagian disebabkan karena produktivitas plankton meningkat dan juga disebabkan oleh produksi tumbuhan yang melekat seperti kelp dan rumput laut. Ini merupakan salah satu dari sedikit daerah di laut tempat tumbuhan makroskopik mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi ( Hutagalung, 1997). f. Topografi. Dasar lunak di sublitoral tidak memiliki diversitas topografik dan menyebar luas secara monoton sampai jarak yang jauh. Karena kurangnya relief topografik, maka untuk membedakan antara satu tempat dengan tempat yang lain hanyalah berdasarkan besarnya butir-butir substrat. Di pihak lain substrat subtidal yang keras dapat memiliki relief yang cukup besar dengan banyak habitat yang potensial. Kurangnya relief di daerah infauna umumnya berarti lebih sedikit variasi habitat untuk dihni hewan dan lebih sedikit cara yang potensial untuk mempertahankan hidup. Akibatnya jumlah spesies infauna lebih sedikit daripada jumlah spesies epifauna. Relung yang terdapat 6
juga lebih sedikit. Kebanyakan hewan infauna merupakan pemakan deposit, mencerna detritus yang berlimpah yang jatuh ke bawah, atau sebagai pemakan suspense-menyaring plankton yang berlimpah atau detritus yang melayang dalam kolom air. Di pihak lain, ikan-ikan yang hidup di dasar umumnya karnivora ( Grzimek, 1972).
2.6 Komunitas Ekosistem Subtidal Berdasarkan subtratnya dibagi menjadi 2 yaitu soft bottom dan hard bottom. Soft bottom mencakup semua bidang yang tidak terkonsolidasi misalkan lumpur dan pasir. Sebagian besar organisme subtidal invertebrata moluska
soft bottom
didominasi oleh
infauna seperti cacing polychaete, krustasea, echinodermata dan
epifauna umum yang ditemukan pada permukaan sedimen
dapat
mencakup spesies udang, kepiting, siput, kerang, teripang, dan sand dollar. Produsen primer pada komunitas ini adalah fitoplankton seperti diatom, mikro alga, dan bakteri.Hard bottom memiliki subtrat yang keras dan berbatu, organisme yang dapat ditemui adalah lamun, rumput laut, kepiting, lobster, sea urchin, bintang laut Salah satu tanaman yang paling mencolok, kelp raksasa (Macrocystis pyrifera), dapat membentuk kanopi permukaan yang mengambang, menciptakan habitat vertikal, yang dapat terdiri dari beberapa lapisan ( harmer,2014) 2.7 Organisme yang Hidup di Zona Subtidal ( Karakeristik dan Adaptasi ) Secara ekologis ada 2 kelompok organisme yang hidup di daerah subtidal: 1. pelagik adalah makhluk hidup yang hidup melayang pada perairan seperti plankton dan nekton 2. bentik adalah organisme yang hidup di atas substrat lunak. Meliputi epifauna yang hidup diatas subtrat dan infauna ynag hidup didalam subtrat (Wahyuno, 2011)
7
gambar 3 makhluk hidup di zona subtidal Sumber : http://www.exploringnature.org/ 2.6.1 Contoh Organisme Subtidal 1. Organisme Pelagik a. Penyu hijau Chelonia mydas, atau yang biasanya dikenal dengan nama penyu hijau adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga Cheloniidae. Hewan ini adalah satu-satunya spesies dalam golongan Chelonia. Penyu hijau hidup di semua laut tropis dan subtropis, terutama di samudra atlantik dan pasifik. Dalam ekosistem subtidal penyu hijau biasa menggunakan lamun sebagai sumber makanannya. Penyu laut bersifat amfibi, yaitu hidup di dua alam/habitat (air dan darat). Sifat ini berhubungan dengan siklus hidup penyu laut. Penyu laut hidup di perairan dangkal, dan juga muncul ke pesisir pantai untuk berjemur atau penyu betina naik ke daratan untuk menggali sarang dan telur. Penyu laut melakukan migrasi jauh antara tempat sumber makanan dengan lokasi peneluran. Pada umumnya, penyu laut mencari makan di perairan yang ditumbui oleh tanaman atau alga laut. Laut yang dihuni oleh penyu laut
8
memiliki karakteristik yaitu perairan karang, pantai yang landai, dan luas, atau perairan yang bersuhu sedang dan dingin (Nuitja, 1992).
Gambar 4. Penyu Hijau Sumber : https://biouland.files.wordpress.com b. Dugong Dugong dugon adalah sejenis mamalia laut yang merupakan salah satu anggota Sirenia atau lembu laut yang masih bertahan hidup selain Manatee. Duyung bukanlah ikan karena menyusui anaknya dan masih merupakan kerabat evolusi dari gajah. Ia merupakan satu-satunya hewan yang mewakili famili Dugongidae. Sama seperti penyu hijau, ikan duyung menggunakan lamun sebagai sumber makanannya (Azkab, 1998) Dugong merupakan hewan mamalia yang bernafas menggunakan paruparu, sehingga dugong harus selalu mengambil nafas ke permukaan. Dugong memiliki kemampuan menahan nafas ketika menyelam selama 8 menit. Pengambilan nafas dilakukan dengan menggunakan dua lubang hidung yang terdapat pada moncong mulutnya sekitar 2 detik. Dugong dapat berenang dengan kecepatan 8-10 km/jam dengan gerakan mengombak ekor dan tubuhnya ke atas dan ke bawah untuk membuat gaya dorong ke depan. Adapun pengaturan arah berenang menggunakan kepala dan flippenya (Grzimek, 1975). Makanan utama dugong adalah lamun. Dugong memakan lamun yang berada di dasar perairan, sehingga dugong masuk dalam hewan air pemakan dasar perairan. Perilaku makan dugong adalah dengan menyapu padang lamun dengan memanfaatkan bentuk kepalanya. Dugong dewasa dapat menghabiskan 9
25-30 kg lamun basah tiap harinya. Dugong juga termasuk hewan yang makan di malam hari (Jefferson et al, 1998). Morfologi bentuk bagian mulut menunjukkan bahwa dugong adalah pemakan dasar. kepala dugong bulat dan besar, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan menjadi pemakan tumbuhan dasar perairan. Pada bagian moncong terdapat penebalan kulit. Bulu-bulu pada hidung tumbuh dengan baik dan diperkirakan sebagai sensor lokasi lamun. Gigi premaxilla dugong lebih besar, panjang, dan tinggi. lambung dugong mempunyai banyak bakteri untuk menghancurkan dinding sel lamun (Azkab 1998).
Gambar 5. Dugong Sumber : http://1.bp.blogspot.com/ c. Paus Paus biru termasuk dalam subordo Mysticeti yang berciri tidak memiliki gigi, melainkan baleen yaitu penyaring besar dalam mulut. Paus biru mempunyai warna
kulit biru keabu-abuan, dan bintik putih keabu-abuan
dengan sisi terang. Makanan utama paus biru adalah zooplankton, krill atau udang-udang kecil dan organisme kecil lainnya. Paus biru mempunyai 300 hingga 400 pasang baleen berwarna hitam yang digunakan untuk menyaring makanan dari laut. Baleen adalah struktur berbentuk sikat terbuat dari keratin yang tersusun dalam pelat di rahang atas paus (NMFS, 1998). Hewan ini memiliki dua buah blowhole atau lubang tiup yang terletak di sisi atas kepala, fluke dan flipper sebagai alat gerak dan sirip dorsal 10
berbentuk sabit. Paus biru memiliki bentuk tubuh ramping dan memanjang dengan aspek rasio fluke tinggi, yang mana merupakan perangkat hidrodinamik untuk meningkatkan efisiensi daya dorong. Semakin tinggi efisiensi memungkinkan paus menambah lebih banyak daya dorong pada area fluke untuk menambah kecepatan, tenaga, dan gerakan fluke sambil meminimalkan gesekan. Kecepatan ini berguna untuk penjelajahan saat mencari makan (Woodward et al. 2006). Kingdom
:Animalia
Filum
:Chordata
Kelas
:Mammalia
Ordo
:Cetacea
Subordo
:Mysticeti
Famili
:Balaenidae
Genus
:Balaenoptera
Spesies
:Balaenoptera muscules (Linnaeus, 1758)
Gambar 6. Paus (Balaenoptera muscules) Sumber : http://pbs.twimg.com/ d. Hiu Hiu mempunyai tubuh yang dilapisi kulit dermal denticles untuk melindungi kulit dari kerusakan, infeksi yang disebabkan oleh parasit dan juga untuk menambah dinamika air. Celah insang hiu terletak di belakang mata pada kedua sisi kepalanya dimana dalam melakukan pernapasan, air ditarik masuk melalui mulut dan di pompa ke luar melalui celah insang. Sirip pada hiu
11
mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menahan hiu tidak terguling, hal ini karena hiu mempunyai satu atau dua sirip punggung (dorsal fin) yang menjaga keseimbangan tubuh hiu dan 2) membantu mendorong dan mengarahkan gerak hiu, dimana sirip dada (pectoral fin) mampu mengangkat hiu pada saat berenang dan mencegah tenggelam serta mencegah hiu terombang-ambing dan bergerak tidak stabil, sedangkan sirip ekor (caudal fin) membantu hiu bergerak ke depan. Hiu berevolusi sehingga mempunyai bentuk badan ramping dan sisik dadanya yang besar berfungsi sebagai hidrofoil yang memberikan daya apung yang cukup besar (Nontji, 1987). Hati hiu berukuran besar, dan berminyak. Adapun organ ini menempati 25% dari total berat badan. Hati hiu mempunyai dua fungsi, pertama sebagai penyimpan energi dimana semua cadangan lemak disimpan, kedua adalah sebagai organ hidrostastik. Pelumas yang lebih ringan dari air disimpan di dalam hati. hal ini untuk mengurangi kepadatan sehingga memberikan daya apung tubuh untuk mencegah tenggelamnya hiu (Musthofa, 2011).
Gambar 7 . Ikan Hiu Sumber : http://3.bp.blogspot.com/
12
2. Organisme Bentik a. Siput Laut Siput laut memang mirip dengan siput yang biasa kita jumpai di daratan tapi tanpa cangkang dan memiliki variasi warna yang sungguh sangat indah. Siput laut sering juga disebut nudibranch. Nudibranch berasal dari bahasa Latin nudus yang berarti telanjang, dan bahasa Yunani brankhia yang berarti insang. Nudibranch memiliki kepala bertentakel, yang sangat sensitif terhadap sentuhan, rasa, dan bau. Rhinophore berbentuk seperti pentungan berperan untuk mendeteksi bau (hidung). Mereka merupakan hewan hermafrodit, tetapi jarang melakukan fertilisasi sendiri. Siput laut tertentu yang memakan karang dan anemon laut menelan sel penyengat mangsa mereka tanpa pemakaian mereka; ini kemudian lulus dari saluran pencernaan siput terhadap ceratia, di mana
mereka
digunakan
oleh
siput
untuk
pertahanan
sendiri
( Romimohtarto,2001) Siput Laut (nudibranch) tersebar di seluruh dunia, dengan jumlah terbesar dan jenis terbesar ditemukan di perairan tropis.Kebanyakan siput laut memiliki dua pasang tentakel di kepala, yang digunakan untuk penerimaan taktil dan chemosensory, dengan mata kecil di dasar sungut masing-masing. selain itu dalam rangka kamuflase hewan ini juga dapat memanipulasi warna tubuhnya sehingga menjadi lebih mirip dengan lingkungan sekitarnya.
Gambar 8. Siput laut goniobranchus albopuncatus Sumber : http://3.bp.blogspot.com/
13
b. Bintang laut Bintang laut dicirikan oleh simetri radial, dan jumlah lengan (5 atau dikalikan dengan 5) menjulur dari badan pusat. Mulut dan anus saling berdekatan, anus berada di pusat disk bersama-sama dengan madreporite. Memiliki pedicellaria yang membuat lengannya mampu bergerak bebas Sebagian besar bintang laut karnivora dan memakan spons, bryozoa, ascidia dan moluska. Bintang laut lainnya adalah pemakan dentritus.Bintang laut memiliki kemampuan regenerasi. Sebuah hewan baru dengan bagian tubuh lengkap dapat tumbuh dari sebuah fragmen kecil seperti lengan. Dalam beberapa spesies (Linckia multifora dan Echinaster luzonicus) salah satu bisa menarik diri sendiri dan lepas dari tubuh semula, meregenerasi dan membentuk hewan baru. Autotomy (amputasi sendiri) biasanya adalah fungsi perlindungan, kehilangan bagian tubuh untuk menghindari predator bukannya dimakan. Tapi di sini berfungsi sebagai bentuk reproduksi aseksual. Dalam spesies lain bintang laut (Allostichaster polyplax dan Coscinasterias calamaria) jika tubuh dipotong menjadi bagian-bagian yang tidak sama maka anggota tubuh yang hilang atau terlepas akan beregenerasi ( Kombo,2008).
Gambar 8. Bintang laut Sumber : https://tse4.mm.bing.net c . Bulu babi
14
Badan simetris radial dengan kerangka kitin eksternal dan terletak di pusat rahang (disebut lentera Aristoteles) dengan gigi horny. Mulut terdiri dari pengaturan kompleks otot dan pelat sekitarnya pembukaan melingkar. Anus terletak di permukaan atas. Beberapa bulu babi memiliki bola, bola seperti kloaka (untuk menyimpan feces) yang menonjol dari pembukaan dubur. Hal ini dapat ditarik masuk ke shell.Tergantung pada spesies, duri memiliki berbagai ukuran dan bentuk, duri melekat pada tubuh. Sering berupa duri tajam, berdiri tegak dan dalam beberapa kasus bahkan berbisa. Memiliki penjepit pedicellaria untuk meraih mangsa kecil. Beberapa pedicellaria juga beracun. Hidup diantara bebatuan dan pasir. Kelimpahan bulu babi dapat menjadi tanda untuk kondisi air yang jelek. Bergerak dengan kaki tabung tetapi juga dapat bergerak dengan duri di bagian bawah tubuh. Bulu babi bersifat nocturnal, pada siang hari bersembunyi di celah karang. Namun beberapa bulu babi seperti Diadema kadang hidup di tempat yang terbuka. Beberapa jenis bulu babi dapat menyamar. Mereka berlindung
dengan
menggunakan
duri
dan
bersembunyi
di
bawah
bebatuan. Beberapa bulu babi bahkan membawa karang lunak hidup atau anemone untuk melindungi diri.Kebanyakan bulu babi adalah pemakan alga tetapi, ada juga yang memakan spons, bryozonan dan ascidia. Ada juga yang pemakan dentritus.Bulu babi memiliki jenis kelamin terpisah dan mudah terbentuk secara tidak langsung oleh fusi sperma dan telur dilepaskan ke dalam air.
Gambar 9. Bulu Babi
15
Sumber : https://tse1.mm.bing.net/
d . Anemon Laut Merupakan class terbesar dari phylum Coelenterata adalah Anthozoa atau Actinozoa. Termasuk di dalamnya coelenterata laut dan palypoid coelenterata, hidup berkoloni, dalam fase medusa semuanya hidup sendirisendiri. Koloni Anthozoa terdiri dari banyak coral dari jenis yang berbedabeda. Koloni Anthozoa adalah anemone laut, masuk ke dalam ordo Actinaria. Jumlahnya melimpah dan dikenal sebagai hewan-hewan yang mendiami perairan hangat di seluruh dunia. Genus umumnya Adamsia, Edwarsia, Metridium, dan Urticina. Studi kebanyakan mempelajari Metridium (L., metricus), dan umumnya adalah spesies M. marginatum. Metridium merupakan anemone laut yang mendiami perairan pantai yang hangat sepanjang sepanjang pantai Atlantik dan Pasifik. Metridium juga hidup di air dangkal atau zona litoral, kebanyakan melekat pada bebatuan dan substrat keras.Hewan karnivora, memakan crustacean, cacing. (Kotpal, 2009). Makanan akan melewati rongga pencernaan, kemudian akan dicernakan oleh enzim yang dihasilkan oleh filament. Anemon laut memiliki banyak tentakel yang berukuran pendek. Tentakel ini berfungsi untuk berpegangan pada benda padat dalam laut di zona subtidal dan laut dalam.(Karmana, 2007). Adapun kualitas air yang optimum untuk pemeliharaan anemon laut adalah: suhu air 24 - 29 0C, oksigen terlarut 2,4 - 6 mg/l, atau 4 - 7 mg/I, nitrit 0,551 - 0,552 mg/I atau 0,5 mg/I , Ammonia 0,01 - 0,021 mg/l atau 0,1 mg/l dan pH 7,2 - 8,3 atau 8 - 8,3. Syarat hidup anemon yang baik berada pada kisaran suhu 29-32 0C dan dengan kadar salinitas berkisar antara 31 - 33 ‰. Anemon akan optimum hidup pada perairan yang memiliki intensitas cahaya matahari yang hangat dan nutrient yang melimpah, seperti pada ekosistem
16
terumbu karang dimana pada ekosistem tersebut memiliki asupan nutrient yang banyak dan intensitas cahaya matahari yang tinggi. Cahaya matahari merupakan faktor penting dalam metabolisme anemon karena cahaya matahari berperan penting dalam proses fotosintesis. Organisme yang bersimbiosis mutualisme dengan anemon laut yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae
merupakan
faktor
pengendali
dalam
kelimpahan
dan
metabolisme anemon laut artinya semakin kecil intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan maka proses fotosintesis akan berkurang atau menjadi terhambat, begitu pula dengan zooxanthellae akan semakin berkurang populasinya karena banyak yang mati akibat penetrasi cahaya matahari yang kurang sehingga organisme tersebut sulit untuk membuat makanannya sendiri atau berfotosintesis. Hal ini mengakibatkan kelimpahan dan metabolisme anemon akan terganggu.
Gambar 11. Anemon Laut Sumber : https://tse3.mm.bing.net/ 3.Produsen a. KELP Kelp adalah makroalga yang berukuran raksasa termasuk dalam alga coklat dan digolongkan dalam genus Laminariales. Ada sekitar 30 genera. Beberapa spesies dapat sangat panjang dan membentuk hutan kelp. Kelp tumbuh di bawah “hutan” (kelp hutan) di lautan dangkal. Memerlukan air yang kaya dengan nutrien dengan suhu di bawah 20 ° C (68 ° F). Hal ini menyebabkan
tingkat
pertumbuhannya
17
sangat
tinggi
yaitu
genera Macrocystis dan Nereocystis tumbuh dengan cepat setengah meter sehari, sehingga mencapai 30 sampai 80 m. Kelp menempel pada substrat tidak dengan akar, tetapi dengan struktur yang disebut Holdfast. Dari holdfast timbul batang atau cabang yang disebuut stipe. Stipe ini diakhiri dengan satu atau lebih daun (blade) yang gepeng dan lebar. Dipangkal daun terdapat pneumatokist atau pelampung, yang menjaga daun tetap di permukaan. Seperti halnya fitoplankton, kelp mendapatkan makanannya langsung dari air laut. Mereka mengandalkan gerakan air yang melewatinya secara konstan untuk menghindari kekurangan nutrien. Karena perairan dangkal secara konstan dipengaruhi oleh aktivitas ombak dan arus, nutrien tersedia terus melalui turbelensi, upwelling, dan masukkan dari daratan. Kekurangan nutrien jarang terjadi sehingga terjadi pertumbuhan yang subur, membentuk “kebun kelp”. Kelp tumbuh dan berkembang pesat di daerah yang beriklim sedang yaitu daerah yang memiliki 4 musim, seperti Amerika, Jepang, Inggris. Kebun kelp tidak ditemukan di daerah Indonesia, karena Indonesia beriklim tropis.
Bull kelp, Nereocystis luetkeana, sebuah spesies barat laut Amerika yang digunakan oleh masyarakat adat untuk membuat jaring ikan.
Giant
kelp, Macrocystis
pyrifera, Raksasa
kelp, Macrocystis
pyrifera, rumput laut yang terbesar. Ditemukan di Pasifik pantai Amerika Utara dan Amerika Selatan.
Kombu, Laminaria japonica dan lain-lain, beberapa jenis edible kelp ditemukan di Jepang.
Gambar 11. Kelp
18
Sumber : https://tse4.mm.bing.net/ b. Lamun Lamun adalah kelompok tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji
tertutup
(Angiospermae),
berkeping
tunggal
(monokotil)
dan
mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah serta mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. Kehadiran jenis tumbuhan lamun pada suatu lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh faktor biologis, fisika dan kimia lingkungan perairan dan penyebarannya hampir di seluruh zona intertidal dan zona subtidal, sepanjang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari. Lamun sangat bermanfaat baik secara ekologis maupun ekonomis. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generative. Mampu hidup di media air asin. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik. Jenis-jenis lamun tersebut membentuk padang lamun baik yang bersifat padang lamun monospesifik maupun padang lamun campuran yang luasnya diperkirakan mencapai 30.000 km2 (Nienhuis 1993). Pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25 - 30°C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman 1986). Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/0. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan
pulih
lamun.
Pada
jenis
19
Amphibolis
antartica
biomassa,
produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada salinitas 42,5 °°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun. Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya.Contoh intensitas cahaya pada perairan yang jernih di Pulau Barang Lompo mencapai 400 u,E/m2/dtk pada kedalaman 15 meter. Sedangkan di Gusung Tallang yang mempunyai perairan keruh didapatkan intensitas cahaya sebesar 200 uJ3/m2/dtk pada kedalaman 1 meter.Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun. Adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan panjang dan bobot E. acoroides. Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah.Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Pertumbuhan tertinggiE. acoroidesterletak pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi fektor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih.Unsur N dan P sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfeatkan oleh lamun. Ditambahkan bahwa kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat dipengaruhi oleh ukuran sedimen, sedimen ini mempunyai kapasitas penyerapan yang
20
paling tinggi.Di Pulau Barang Lompo kadar nitrat dan fosfet di air antara lebih besar dibanding di air kolom, dimana di air antara ditemukan sebesar 45,5 uM (nitrat) dan 7,1118 uM (fosfet), sedangkan di air kolom sebesar 21,75 uM (nitrat) dan 0,8397 uM (fosfet).Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun dan akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik. Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar lamun. Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang. Tipe substrat juga mempengaruhi standing crop lamun (Zieman 1986). Selain itu rasio biomassa di atas dan dibawah substrat sangat bervariasi antar jenis substrat. Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada lumpur halus menjadi 1 : 5 pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar (Zieman 1986). Lamun mengembangkan sistem perakaranan rhizome yang sangat luas untuk menangkap nutrien-nutrien dan POM (Particulate Organic Material). Padang lamun merupakan ekosistem yang sangat produktif dan mempunyai peran penting dalam dinamika nutrien pesisir. Selain itu padang lamun juga berhubungan dengan perolehan perikanan lokal, dan ekosistem tetangganya, seperti terumbu karang. Padang lamun sebagai tempat dan sumber makanan bagi spesies duyung (Dugong-dugong) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Ekosistem ini tidak sepenuhnya terisolasi. Interaksi dengan ekosistem yang berdekatan dengan hubungan timbal balik yang rumit melalui beberapa mekanisme. Komunitas lamun mampu menjadi habitat bagi sejumlah besar organisme bentik, demersal (organisme yang hidup di dasar laut), dan organisme pelagik, baik penghuni tetap atau sementara. Spesies yang tinggal sementara biasanya masih tahap awal, yang merupakan tahap kritis dalam siklus hidupnya untuk mencari makan atau berlindung di padanglamun (Tomascik dkk, 1997).
21
Gambar 12. Lamun Sumber : https://tse2.mm.bing.net/ 2.8 Siklus Materi 1. Siklus nitrogen
Fungsi nitrogen adalah membangun atau memperbaiki jaringan-jaringan tubuh dan memberikan energi. Tumbuhan dan hewan membutuhkan nitrogen dalam sintesa protein. Tumbuhan menyerap nitrogen dan membuat protein yang kemudian dimakan hewan dan diubah menjadi protein hewan. Jaringan organik yang mati diurai oleh berbagai jenis bakteri, termasuk bakteri pengikat nitrogen yang mengikat nitrogen molekuler menjadi bentuk-bentuk gabungan (NO 2, NO3, NH4) dan bakteri nitrifikasi yang melakukan hal sebaliknya. Nitrogen lepas ke atmosfer dan diserap atmosfer selama siklus berlangsung. Jumlah nitrogen yang tergabung dalam mineral dan mengendap di dasar laut tidak seberapa besar.Pola
22
sebaran nitrogen di Samudra Atlantik, Pasifik, dan Samudra India tidak menunjukan perbedaan yang signifikan (Romimohtarto dan Juwana 2001). Oksigen mempengaruhi kadar nitrat di dalam sedimen. oksigen dapat masuk ke dalam sedimen karena adanya aktivitas biota dasar dan melalui sistem perakaran lamun. Oksigen yang dihasilkan fotosintesis di daun dialirkan ke rimpang dan akar. Sebagian oksigen dipakai untuk respirasi akar dan rimpang dan sisanya dikeluarkan melalui dinding sel ke sedimen. oksigen yang masuk ke dalam sedimen dipakai oleh bakteri nitrifikasi dalam proses siklus nitrogen (Kombo, 2008). 2. Siklus carbon
Siklus
karbon
adalah
siklus
biogeokimia
yang
mencakup
pertukaran/perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Pertukaran karbon ini melalui empat reservoir karbon utama yaitu atmosfer, biosfer terestrial, lautan, dan sedimen. Adapun peredaran karbon dari permukaan ke laut dalam dipengaruhi oleh proses fisis dan biologis dimana proses ini disebut pompa fisis dan biologis. Kedua pompa ini bertindak meningkatkan konsentrasi CO2 di dalam laut. Pompa fisis dibangkitkan oleh sirkulasi balik laut yang lamban dan CO2 yang lebih mudah terlarut di air dingin daripada air hangat. Permukaan air laut menyerap CO2 yang kemudian tenggelam menuju kedalaman laut. Air yang tenggelam ini akan diimbangi oleh transpot vertikal di bagian laut lainnya. Air yang naik ke atas akan menjadi hangat ketika mencapai permukaan sehingga
23
CO2 menjadi kurang larut dan sebagian diantaranya akan terlepas kembali ke atmosfer melalui sebuah proses pelepasan gas (Wahyono, 2011). Dalam pompa biologis fitoplankton mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida yang diperoleh dari atmosfer pada saat fotosintesis. Gas karbon dioksida yang digunakan oleh fitoplankton untuk fotosintesis tenggelam di dasar lautan bersama kotoran makhluk hidup pemakan fitoplankton dan predator-predator tingkat tinggi lainnya. Binatang bercangkang menggunakan karbon untuk membuat cangkang. Ketika binatang tersebut mati, cangkang akan tenggelam dan tersimpan di dasar laut hingga kedalaman 2000 sampai 4000 meter dalam waktu ribuan tahun. Adapun beberapa bagian dari karbon ini kemudian dimineralisasi kembali menjadi CO2 dan sebagian kecilnya terkubur dalam sedimen di dasar laut (Wahyono, 2011). 3. Siklus air (Siklus Hidrologi)
Siklus air merupakan suatu sirkulasi air dalam bumi yang digerakkan oleh sinar matahari melalui berbagai proses yaitu kondensasi, presipitasi, evaporasi, transpirasi, infiltrasi, pergerakan air permukaan (surface runoff), dan pergerakan air dibawah tanah (perlokasi) secara terus menerus dari atmosfer lalu jatuh ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Adapun proses siklus air dimulai dari air yang ada di laut, daratan, sungai, pada tanaman akan menguap ke atmosfer dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan), akan mengumpul menjadi gumpalan kecil air yang selanjutnya akan turun (sebagai
24
presipitasi)dalam bentuk hujan, salju, dan es. Air bergerak ke dalam tanah melalui celah dan pori tanah dimana air dapat begerak akibat aksi kapiler secara vertikal atau horizontal di bawah permukaan tanah hingga air tersebu memasuki kembali sistem air permukaan. Kemudian air yang bergerak di atas permukaan tanah melewati sungai-sungai yang membawa seluruh air menuju laut (Rahman, 2008).
4. Siklus fosfor
Fosfor di dalam air laut berada dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Dalam bentuk senyawa organik fosfor dapat berupa gula fosfat dan hasil oksidasinya nukleoprotein dan polifosfat. Sedangkan senyawa anorganik meliputi ortofosfat dan polifosfat. Sumber fosfat diperairan laut pada wilayah pesisir dan paparan benua adalah sungai, dimana aliran sungai membawa hanyutan sampah maupun sumber fosfat daratan lainnya. Fosfat akan diurai di dalam air menjadi ion H2PO4-, HPO42-, PO3-. Fitoplankton kemudian mengabsorbsi fosfat dan seterusnya masuk dalam rantai makanan. Peningkatan kadar fosfat di air laut menyebabkan terjadinya ledakan populasi (blooming) fitoplankton yang akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan secara massal (Hutagalung, 1997).
25
2.9 Aliran Energi dan Rantai Makanan
Aliran energi ke dalam ekosistem laut besar pengaruhnya terhadap organisme laut yaitu golongan konsumen yang meliputi organisme herbivora dan karnivora. Sebaliknya golongan produsen yaitu tumbuhan hijau dan fitoplankton, serta golongan redusen seperti bakteri dapat memproduksi energi dari hasil metabolismenya. Oleh karena itu untuk menjaga keseimbangan energi maka peranan organisme produsen akan melakukan proses fotosintesis dan organisme redusen akan melakukan proses dekomposisi yang akhirnya akan menghasilkan energi. Sehingga energi dalam ekosistem laut tetap dalam keseimbangan (homeostatis) (Kunarso, 1988). Cahaya matahari merupakan sumber dari segala energi yang menggerakkan seluruh fungsi ekosistem. Di laut, tumbuhan berklorofil seperti lamun (seagrass) Fitoplankton adalah produsen primer terpenting yang menghasilkan zat-zat organik melalui fotosintesis. Fitoplankton terdapat di seluruh laut, dari permukaan sampai kedalaman sekitar 100 meter. Oleh karena itu, kontribusi fitoplankton dalam produktivitas primer global di laut adalah yang terbesar. Dalam proses ini, energi surya (sinar matahari) diserap dan disimpan dalam senyawa kimia organik berenergi tinggi dalam sel-sel fitoplankton. Pada gilirannya fitoplankton dimakan
26
oleh hewan karnivor. Karnivor ini akan dimangsa oleh karnivor yang lebih besar dan seterusnya hingga sampai pada karnivor puncak (top carnivore) yang tidak lagi mempunyai pemangsa. Dengan demikian terbentuk rantai makanan (food chain). Seluruh hewan dipandang sebagai konsumen (consumer) karena hanya dapat menggunakan zat organik, tidak dapat memproduksinya sendiri seperti pada fitoplankton. Lewat rantai makanan inilah energi dialirkan mulai dari produsen primer (fitoplankton) hingga karnivor puncak (Nontji, 2008). Hubungan antara cahaya dan laju fotosintesis atau produktivitas fitoplankton di laut adalah produktivitas mempunyai hubungan linier dengan cahaya hanya pada intensitas cahaya yang rendah. Produktivitas di permukaan mengecil karena pengaruh sinar matahari yang terlampau kuat akan menghambat produktivitas. Semakin dalam
laut, produktivitas semakin meningkat hingga mencapai
maksimum pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan. Di bawah titik maksimum produktivitas akan berkurang secara proporsional terhadap intensitas cahaya (Nontji, 2008). Pada zona subtidal dengan subtrat lunak ( soft bottom ), Rumput laut dan lamun sangat sedikit, sehingga disebut komunitas tanpa tanaman besar. Produsen primer pada komunitas ini adalah fitoplankton seperti diatom, mikro alga, dan bakteri. Pada zona subtidal dengan subtrat keras ( Hard bottom ) Padang lamun mencakup beragam habitat yang bergantung pada kondisi lingkungan yang unik. Padang lamun berperan sebagai timbunan nutrient. Energi dalam bentuk sinar matahari disimpan melalui fotosintesis oleh produsen (oleh lamun sendiri). Cahaya dapat menjadi faktor penting yang membatasi produksi lamun, distribusinya dapat terjadi secara vertikal dan horizontal. Lamun dapat menangkap nutrien terlarut dari dua sumber yaitu dari air pada celah pori, serta dari air laut di badan air. Kelp raksasa Pada ekosistem terdapat dua siklus nutrient berbeda, yaitu siklus detritivora dan siklus herbivora. Konsumen berukuran kecil (meiofauna) antaralain : a. Predator, contoh : siput (Nassarius sp. ), siput bulan (Polinices sp.), bintang laut (Astropecten sp. ) kepiting biru (Callinectes sapidus ), kepiting (Ovalipes ocellatus), lobster, paus abu-abu, singa laut, flat fish, cumi-cumi
27
b. Scavenger, contoh: sebagian besar anggota Crustacea, udang (Penaeus sp.) c. Suspension feeders, contoh : Terebella sp., Sea pens (Cnidaria). d. Deposit feeders, contoh : Pectinaria sp. Clymenella
sp.
Lugworms(Arenicola sp.), Landak Hati (Spatangus sp.) sand dolar (Dendraste sp ), dan brittle stars
Siklus detritivora Siklus ini memanfaatkan fitoplankton atau biomassa mati daun kelp. Biomassa di ekosistem subtidal bervariasi antara 1-2479 gDW.m-2. Sekitar 8590% produktivitasnya mengalami dekomposisi. Siklus herbivora Sekitar 10-15% sisa produktivitas siklus detritivora dimakan oleh herbivora atau zooplankton. Energi total yang digunakan untuk trofik diatasnya akan berkurang Siklus Karnivora Maksimal 20 – 25 % energi dari tingkat trofik di bawahnya akan digunakan oleh karnivora (hiu, tuna, dsb).
28
2.10 Manfaat Zona Subtidal Zona subtidal (padang lamun) merupakan ekosistem yang sangat produktif. Lamun mengembangkan sistem perakaranan rhizome yang sangat luas untuk menangkap nutrien-nutrien. Memiliki produktivitas tinggi untuk ekosistem laut dalam. Sebagai tempat sumber makanan bagi duyung & penyu Sebagai habitat bagi sejumlah besar organisme bentik, demersal (organisme yang hidup di dasar laut), dan organisme pelagik. Tempat mata pencaharian nelayan dengan menangkap ikan atau udang udangan yang memiliki nilai ekonomis. Berperan sebagai tempat pariwisata bahari seperti scuba diving.
29
BAB 3. KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan Zona Subtidal merupakan daerah yang terletak antara batas air surut terendah di pantai dengan ujung paparan benua (continental shelf), dengan kedalaman sekitar 200 meter Zona subtidal meliputi daerah dibawah rata-rata level pasang surut yang rendah dan biasanya selalu digenangi air secara terus menerus. Berdasarkan subtratnya dibagi menjadi 2 yaitu soft bottom dan hard bottom. Soft bottom mencakup semua bidang yang tidak terkonsolidasi misalkan lumpur dan pasir. Sebagian besar organisme subtidal soft bottom didominasi oleh invertebrata infauna dan epifauna. Produsen primer pada komunitas ini adalah fitoplankton seperti diatom, mikro alga, dan bakteri.Hard bottom memiliki subtrat yang keras dan berbatu, organisme yang dapat ditemui adalah lamun, rumput laut, kepiting, lobster, sea urchin, bintang laut Salah satu tanaman yang paling mencolok, kelp raksasa (Macrocystis pyrifera). Zona perairan subtidal dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain : pergerakan ombak, salinitas, suhu, penetrasi cahaya, persediaan makanan, topografi.Organisme yang hidup pada zona subtidal diantaranya: lamun, anemon, siput laut, ganggang coklat, ganggang merah, bintang laut, dan sebagainya. Karena lingkungan yang sangat mendukung di perairan pesisir maka tumbuhan lamun dapat hidup dan berkembang secara optimal. Adaptasi organisme subtidal yaitu: suhu, salinitas, kekeruhan, kedalaman, nutrient, dan substrat.
30
DAFTAR PUSTAKA Azkab, M.H. 1998. “Duyung Sebagai Pemakan Lamun”. Oseana. 23 (3 dan 4): 34-35 Fortes, M.D. 1990. Taxonomy and ecology and Philipines seagrasses. University of The Philipines, Diliman, Quzon city, Philipines. Ph.D. dissertation Grzimek, B. 1972. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia. Van Nostrand Reinhold Company. New York Harmer,R.W.,2014.Diversity and distribution of subtidal soft bottom macrofauna . westville : university of kwazulu natal press. Hatcher, B. G., R.E Johannes and A.I. Robertson. 1989. Review of research relevant to the conversation of shallow tropical marine ecosystems. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 27: 337-414. Hutagalung, et al,. 1997. Metode Analisa Air Laut, Sedimen, dan Biota. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Imam, musthofa. 2011. Pengelolaan Ikan Hiu Berbasis Ekosistem di Indonesia. FMIPA Universitas Indonesia Jefferson, T.A.S. Leatherwood dan M.A Webber. 1994. FAO Species Identification Guide: Marine Mammals of the World. FAO and UNEP Rome Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar Biologi. Grafindo Media Pratama. Jakarta Kombo, Jeffri. 2008. Hubungan Antara Kandungan Nitrogen pada Pore Water terhadap Nitrogen pada Akar dan Daun Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barrang Lompo. Skripsi Sarjana pada UNHAS Makassar: tidak diterbitkan [NMFS] National Marine Fisheries Services. 1998. Recovery plan for the blue whale (Balaenoptera musculus), Prepared by Reeves RR, Clapham PJ, Brownell RL. Jr., and Silber GK for the National Marine Fisheries Services. Silver Spring [US]: NMFS Nienhuis, P. H. 1993. Marine benthic vegetation: recent changes and the effects of eutrophication. Springer. Torronto Nontji., Anugrah. 2008. Plankton Laut. Jakarta: Lipi Press Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan 31
Nuitja, I. Nyoman Sumertha. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Bogor: IPB Press Rahman, Herjuna. 2008. “Aplikasi Program Water Balance Model untuk Manajemen Air Hujan Perkotaan: Studi Kasus Pada Sub-DAS Sugutamu, Jawa Barat, Indonesia” . Skripsi Sarjana. Universitas Indonesia: tidak diterbitkan Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentangBiologi Laut. Jakarta: Penerbit Djambatan Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji and M.K. Moosa. 1997. The ecology of the Indonesian seas. Part II. Periplus editions (HK), Singapore Wahyono., Ikhsan Budi. 2011.“Kajian Biogemia Perairan Selat Sunda dan Barat Sumatera Ditinjau dari Pertukaran Gas Karbon Dioksida (CO2) antara Laut dan Udara”. Thesis Pasca Sarjana. Universitas Indonesia: tidak diterbitkan Woodward BL, Winn JP, Fish FE. 2006. Morphological specialization of baleen whales associated with hydrodynamic perfomance and ecological niche. JOM. 267: 1284-1294 Zieman, 1986.Oceanography And Marine Biology. Routledge. France
32