Warna Urin seperti Air Teh – bagian 1 Pada kasus ini, seorang pria usia 40 tahun datang ke klinik dokter kita dengan keluhan nafsu makan menurun dan mual sudah 1 minggu. Riwayat penyakit sekarang: 2 minggu yang lalu penderita merasakan tubuhnya panas nglemeng, rasa ingin muntah, setelah 1 minggu nafsu makan menurun, dan timbul rasa tidak enak di perut kanan atas, warna feses normal, warna urin seperti air teh (merah kecoklatan). Pemeriksaan fisik ditemukan: suhu 37.8˚C, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/mnt. Warna mata kekuningan, nyeri tekan pada perut kanan atas. Lalu dokter memberikan obat dan menyarankan istirahat total. Kasus kali ini kita akan membahas banyak mengenai ikterus dan penyakit yang mengenai hati. Hal ini bisa terlihat dari keluhan pasien diatas. Pada 2 minggu yang lalu penderita merasakan tubuhnya panas nglemeng, rasa ingin muntah, setelah 1 minggu nafsu makan menurun, dan timbul rasa tidak enak di perut kanan atas. Salah satu fungsi hati yang penting adalah biosintesis bilirubin. Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir metabolisme pemecahan eritrosit yang sudah tua; biirubin mengalami konjugasi dalam hati dan diekskresi dalam empedu. Metabolisme bilirubin normal Metabolisme bilirubin dalam tubuh berlangsung 5 langkah: 1.
Fase Prahepatik: Pembentukan bilirubin dan Transpor Plasma
2.
Fase Intrahepatik: Liver Uptake dan Konjugasi
3. Fase pasca hepatik: Ekskresi Bilirubin Pembentukan Bilirubin. Sekitar 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua (rata-rata berumur 120 hari) dalam sistem monosit makrofag. Tiap hari 50 ml darah dihancurkan, menghasilkan 250-350 mg bilirubin atau 4 mg/kgBB/hari. Sedangkan 15% bilirubin berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati. Pada katabolisme bilirubin (terutama terjadi dalam limpa, sebagai sistem retikuloendotelial), hemoglobin dipecah menjadi heme dan globulin, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Dengan enzim biliverdin reduktase, biliverdin diubah menjadi biirubin tak terkonjugasi (B₁).
Transport B₂ melalui membran sel dan sekresi ke dalam kanalikuli empedu oleh proses aktif yamg merupakan langkah akhir metabolisme bilirubin dalam hati. Agar dapat diekskresi dalam empedu, bilirubin harus dikonjugasi. B₂ kemudian diekskresi melalui saluran empedu ke usus halus. B₁ tidak diekskresikan dalam empedu kecuali setelah proses fotooksidasi. Bakteri usus mereduksi B₂ menjadi urobilinogen dan sterkobilinogen. Sterkobilinogen mengalami proses oksidasi menjadi sterkobilin yang menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10%-20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam kemih. Mekanisme Patofisiologik Kondisi Ikterik 1.
Pembentukan bilirubin secara berlebih
2.
Gangguan pengambilan B₁ oleh hati
3.
Gangguan konjugasi bilirubin
4.
Penurunan ekskresi B₂ dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstahepatik (obstruktif fungsional atau mekanik) Pembentukan bilirubin secara berlebih Hal ini karena pemecahan eritrosit yang meningkat, sehingga terbentuk bilirubin berlebih. Sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tapi suplai B₁ melampaui kemampuan hati sehingga kadar B₁ dalam darah meningkat. Karena B₁ tidak larut air, maka tidak dapat disalurkan dalam kemih. Tapi pembentukan urobilinogen menjadi meningkat (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi dan ekskresi), yang selanjutnya peningkatan ekskresi dalam feses dan kemih (berwarna gelap). Gangguan pengambilan B₁ oleh hati Pengambilan B₁ yang terikat albumin dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Gangguan terjadi ketika terganggunya ikatan antara B₁-albumin, misal karena obat (sulfonamide, salisilat), selain itu juga asam flavaspidat, novobiosin, beberapa zat warna kolesistografik. Namun bisa juga ditemukan defisiensi glukuronil tranferase. Gangguan konjugasi bilirubin
Transpor Plasma.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi mulai terjadi pada hari kelima lahir, karena kurangnya enzim glukuronil transferase (pematangan sampai minggu ke 3). Pada keadaan yang parah bisa terjadi kernikterus (bilirubin ensefalopati), akibat penimbunan B₁ di jaringan lemak ganglia basalis.
Dalam pembuluh darah, B₁ berikatan dengan albumin (karena sifat B₁ yang tak larut air) untuk dibawa ke hati. B₁ juga tidak dapat melewati membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan B₁- albumin melemah pada keadaan asidosis, dan seperti antibiotic, salisilat, berlomba pada temapat ikatan dengan albumin.
Penurunan ekskresi B₂ dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstahepatik (obstruktif fungsional atau mekanik)
Liver Uptake. Pengambilan B₁ oleh hepatosit memerlukan protein sitoplasma (protein penerima ) “protein Y” dan “protein Z”. Konjugasi. Konjugasi bilirubin berlangsung dalam reticulum endoplasma sel hati dengan asam glukuronat (dengan bantuan enzim glukuronil transferase) sehingga menjadi bilirubin terkonjugasi (B₂). Reaksi katalisis ini, mengubah sifat B₁ yang larut lemak, tak dapat diekskresi dalam kemih menjadi B₂ yang larut air, dan dapat diekskresi dalam kemih. Ekskresi Bilirubin.
Defek bagian ini meningkatkan kadar B₂, karena sifatnya yang larut air, maka bilirubin ini dapat dieksresikan lewat kemih (bilrubinuria, dan urin gelap). Karena adanya penyumbatan, misal kolestasis (baik intra-ekstrahepatik), kejadian tersering berkurangnya urobilinogen feses (feses pucat). Peningkatan garam empedu dalam darah menimbulkan gatal pada ikterus. Pigmen empedu di urin pada penyakit Bilirubin. Pada urin normal tak ada bilirubin yang dapat dideteksi. B₁ tak dapat diekskresikan pada ginjal yang sehat karena kelarutannya yang rendah dan karena terikat kuat pada protein (albumin), sehingga pada ikterus hemolitik, kadar B₁ meningkat, tak ada yang dapat dideteksi lewat urin. B₂ yang larut air dan sejumlah kecil yang terikat lemah dengan protein, bisa diekskresikan lewat urin: dan bilirubin yang ditemukan dalam urin selalu dalam bentuk dikonjugasi. Bila B₂ plasma tinggi, kemudian dapat dideteksi dalam urin sewaktu kadar bilirubin plasma >30
µmol/L dan busa urin dikocok (Karena kelebihan garam empedu) berwarna kuning bila kadar bilirubin plasma >50 µmol/L (walaupun ambangnya bervariasi) Urobilinogen. Sejumlah kecil urobilinogen dapat dideteksi dalam urin normal yang segar. Ekskresi ke urin normal 24 jam adalah 0.5-5.0 µmol. Pada ikterus hemolitik, banyak bilirubin berlebih dalam plasma masuk ke dalam urin yang mana meningkatkan jumlah urobilinogen yang terbentuk (baca penjelasan Pembentukan Bilirubin Secara Berlebih). Banyak urobilinogen yang diabsorbsi dan urobilinogen yang berlebih diekskresikan dalam urin. Pada ikterus obstruktif atau hepatoseluler yang berat, bilirubin hanya mencapai usus dalam jumlah kecil, sedikit urobilinogen yang terbentuk dan urobilinogen tak ditemukan dalam urin. Timbulnya kembali urobilinogen dalam urin, merupakan tanda pemulihan kolestasis. Pasien diatas mengalami pewarnaan feses normal, tapi warna urin seperti air teh (merah kecoklatan) dan warna mata kekuningan, menurut hipotesis penulis, warna feses yang normal menunjukkan adanya ekskresi bilirubin yang normal karena tak adanya obstruksi Sedangkan warna urin seperti air teh (merah kecoklatan) bisa karena adanya peningkatan bilirubin dan urobilinogen. Adanya bilirubin menunjukkan kerusakan (sumbatan) pada saluran kanalikuli biliaris sehingga bilirubin tak bisa keluar, yang akhirnya mengalir masuk ke pembuluh darah menuju ginjal. Adanya urobilinogen dalam urin menunjukkan urin normal tapi karena kadarnya yang meningkat sehingga terjadi oksidasi berlebih yang akhirnya urin menjadi merah kecoklatan.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap: 1.
Fase Inkubasi. Waktu masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda untuk tiap virus dan tergantung dosis inokulum yang dikeluarkan dan jalur penularannya.
2.
Fase prodromal (Pra Ikterik). Timbulnya keluhan dan ikterus, awitan singkat, adanya anoreksia, malaise, mialgia, atralgia, mudah lelah, nyeri kepala, demam rendah (umumnya pada HAV), nyeri abdomen kuadran kanan atas. Terutama pada HBV, mengalami serum sickness (demam, ruam, atralgia; dikaitkan adanya kompleks imun dalam darah; meningkatnay aminotransferase)
3.
Fase Ikterus. Muncul setelah 5-10 hari, tapi dapat muncul bersamaan adanya gejala.
4.
Fase Konvalesen (penyembuhan). Diawali hilangnya ikterus dan keluhan lain, tapi tetap hepatomegali, dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Agen Penyebab hepatitis virus 1.
Hepatitis dengan transmisi secara enterik
2. Hepatitis dengan transmisi melalui darah Hepatitis dengan transmisi secara enterik. Terdiri atas HAV dan HEV. 1.
Virus tanpa selubung
Sedangkan warna mata yang kuning terjadi karena adanya B₁ yang meningkat dan larut dalam mukosa di sklera mata (dinding sel tersusun atas lemak) atau kadar B₂ yang berlebih sehingga akhirnya keluar dari pembuluh darah masuk ke ekstrasel (jaringan ikat dan jaringan longgar mata).
2.
Tahan terhadap cairan empedu
3.
Ditemukan di tinja
(penjelasan berikutnya mengenai hepatitis virus, pada kasus “Warna Urin seperti Air Teh”, buka di halaman Modul Enterohepatik – Hepatitis Virus)
4.
Tidak bersifat kronik
Referensi Baron D. N., 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik Edisi 4. Jakarta : EGC Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC Price S. A., Wilson L. M., 1995. Patofisiologi – Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4.Jakarta : EGC Hepatitis Virus Merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Disebabkan Virus Hepatitis A (HAV), HBV, HCV, HDV, HEV, virus lain akibat pascatransfusi HGV, virus TT. Walaupun kelima agen ini dapat dibedakan melalui tanda antigeniknya, tapi kesemuanya punya kemiripan klinis. Bentuk hepatitis yang paling dikenal adalah HAV (istilah dulu: hepatitis infeksiosa) dan HBV (istilah dulu: hepatitis serum). Hepatitis yang tidak dapat digolongkan sebagai HAV dan HBV melalui pemeriksaan serologi disebut sebagai hepatitis non-A non-B (NANBH) yang saat ini disebut hepatitis C. selanjutnya ditemukan bahwa jenis hepatitis ini ada 2 macam, virus PT-NANBH (parenteral transmitted) dan virus ET-NANBH (enterically transmitted). Lalu dibuat tata nama baru pada PT-NANBH sebagai HCV dan ET-NANBH sebagai HEV. HDV, suatu partikel virus yang menyebabkan infeksi bila sebelumnya telah ada infeksi HBV. HDV dapat timbul sebagai infeksi bersamaan dengan HBV (koinfeksi) atau suprainfeksi pada pembawa HBV
5. Tidak terjadi viremia yang berkepanjangan Hepatitis dengan transmisi melalui darah. Terdiri atas HBV, HDV, HCV 1.
Virus dengan selubung
2.
Rusak ketika terpajan empedu/ detergen
3.
Tidak terdapat dalam tinja
4.
Dihubungkan dengan penyakit kronik
5. Dihubungkan dengan viremia resisten Epidemiologi dan Faktor Risiko HAV 1.
Masa inkubasi 15-50 hari (±30 hari)
2.
Distribusi di seluruh dunia; endemisitas di daerah tinggi
3.
HAV dapat dideteksi pada feses pada akhir masa inkubasi dan fase praikterik. Sewaktu timbul ikterik, antibodi anti-HAV dapat diukur dalam serum, adanya IgM anti-HAV meningkat tajam menunjukkan infeksi akut. Setelah masa akut, IgG anti-HAV naik dan mendominasi, menunjukkan infeksi HAV lampau dan penderita pernah mengalami infeksi HAV (yang akhirnya kebal terhadap HAV). HAV diekskresi di tinja oleh orang yang terinfeksi selama 1-2 minggu dan 1 minggu setelah awitan penyakit
4.
Viremia muncul singkat (<3 minggu) kadang sampai 3 bulan pada infeksi membandel
5.
Ekskresi feses yang memanjang (bulanan) dilaporkan pada neonatus yang terinfeksi
6.
Transmisi enteric (fekal-oral) predominan diantara anggota keluarga. Sering terjadi pada anak. Prevalensi berkorelasi dengan standar sanitasi dan rumah tinggal berukuran besar. Faktor risiko, meliputi paparan pada: pusat perawatan sehari pada bayi, bepergian ke negara berkembang, perilaku seks-anal, pemakaian IVDU bersama
7. Tak terbukti adanya penularan maternal-neonatal. Transmisi melalui transfusi darah sangat jarang HEV 1.
Masa inkubasi ±40 hari
2.
Distribusi luas, dalam bentuk epidemik dan endemik
3.
HEV tinja ditemukan di serum (adanya anti HEV dan RNA HEV) dan tinja (dengan mikroskop electron) selama fase akut
4.
Hepatitis sporadik sering pada dewasa muda di negara sedang berkembang, dan wanita hamil. Di negara maju sering berasal dari orang bepergian ke daerah endemik, atau imigran baru dari daerah endemik
5.
Penyakit epidemik dengan sumber penularan melalui air
6.
Intrafamilial, kasus sekunder jarang. Dilaporkan adanya transmisi maternal-neonatal
7. Zoonosis: babi dan binatang lain HBV
6. Cara penularan: melalui darah, transmisi seksual, penyebaran maternal-neonatal HCV 1.
Masa inkubasi 15-160 hari (± 50 hari)
2.
Viremia yang berkepanjangan dan infeksi yang persisten. Distribusi geografik luas
3.
Infeksi yang menetap dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati
4.
Cara transmisi: darah (predominan), IVDU dan penetrasi jaringan, resipien produk darah, transmisi seksual dan maternal neonatal: efisiensi rendah, frekuensi rendah, tak ada bukti transmisi fekal-oral Patologi Hepatitis Virus Pada kasus “Warna Urin seperti Air Teh”, hipotesis penulis cenderung kea rah hepatitis akut, hal ini didasari adanya keluhan yang terlihat. Dan kasus diatas sudah sampai fase ikterik, gejala prodromal (panas nglemeng, rasa ingin muntah, nafsu makan menurun, rasa tidak enak di perut kanan atas), Ikterik (warna mata kekuningan). Perubahan morfologik pada bakteri seringkali serupa untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus klasik, ukuran dan warna hati tampak normal, tapi kadang sedikit edema, membesar, warna seperti empedu. Secara histologik, susunan hepatoseluler menjadi kacau, cedera dan nekrosis sel hati, dan peradangan perifer. Perubahan ini reversible sempurna, bila fase akut mereda. Pada beberapa kasus, nekrosis submasif atau masif dapat mengakibatkan gagal hati yang berat dan kematian Gambaran Klinis 1.
Spektrum penyakit mulai dari asimptomatik, infeksi tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut
2.
Sindrom klinis mulai dari gejala prodromal yang non spesifik dan gejala gastrointestinal: malaise, anoreksia, mual-muntah, gejala flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala, dan mialgia, hilangnya nafsu merokok.
1.
Masa inkubasi 15-180 hari (± 60-90 hari)
2.
Distribusi di seluruh dunia: prevalensi karier di USA < 1%, di asia 5-15%
3.
HEV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, air mata
4.
Viremia berlangsung beberapa minggu-bulan setelah infeksi akut
3.
Awitan gejala cenderung mendadak pada HAV dan HEV.
5.
Cara transmisi: melalui darah (resipien produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah), melalui seksual, penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa (tertusuk jarum), penggunaan ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur, sikat gigi dan silet, akupuntur, tato
4.
Demam derajat rendah dan jarang ditemukan, kecuali pada HAV
5.
Gejala prodromal menghilang saat timbul kuning, tapi anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap. Fase prodromal diikuti fase ikterik dan awitan ikterus, Fase ini biasanya berlangsung 4-6 minggu. Selama fase ini penderita tampak sehat, nafsu makan meningkat, dan demam mereda, sementara kemih menjadi lebih gelap dan feses memucat, hati sedikit membesar dan ditemukan limfadenopati.
6.
Kelainan biokimia yang paling dini adalah peningkatan kadar AST dan ALT,mendahului awitan ikterus 1-2 minggu. Pemeriksaan kemih pada saat awitan akan mengungkap adanya bilirubin dan kelebihan urobilinogen. Bilirubinuria menetap selama penyakit berlangsung, namun urobilinogen kemih akan menghilang untuk sementara waktu (bila ada fase obtruktif karena kolestasis), pada perjalanan penyakit selanjutnya dapat timbul kenaikan urobilinogen sekunder.
7.
Fase ikterik dikaitkan dengan hiperbilirubinemia (baik B₁ dan b₂) yang biasanya kurang dari 10mg/100ml. Kadar fosfatase alkali serum biasanya normal / sedikit naik.Leukositosis ringan lazim ditemukan pada hepatitis virus, waktu protrombin memanjang,HBsAg ditemukan dalam serum selama fase prodromal (memastikan adanya HBV). Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (ringan, sementara) dapat muncul ketika ikterus meningkat
8.
Pemeriksaan fisik menunjukkan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati
6.
Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant
7. Tak ada bukti penyebaran fekal oral Resipien produk darah tak perlu khawatir lagi tertular HBV, karena sekarang sudah dilakukan pemeriksaan pada semua darah sebelum di transfusikan. HDV 1.
Masa inkubasi ± 4-7 minggu
2.
Endemis di mediterania, semenanjung Balkan, bagian eropa bekas rusia
3.
Insidensi berkurang dengan adanya peningkatan pemakaian vaksin
4.
Viremia singkat (infeksi akut) atau memanjang (infeksi kronik)
5.
Infeksi HDV hanya terjadi pada risiko infeksi HBV (koinfeksi dan superinfeksi)
9.
Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien.
4.
Aman dan toleransi baik
5.
Efektivitas proteksi selama 20-50 th
10. Pada kasus yang tidak berkomplikasi, penyembuhan dimulai 1 atau 2 minggu setelah awitan ikterus, dan berlangsung selama 2-6 minggu. Keluhan sering mudah lelah, feses kembali normal, ikterus berkurang dan warna kemih menjadi lebih muda. Bila splenomegali, maka akan segera mengecil. Tapi hepatomegali kembali normal setelah beberapa minggu. Temuan laboratorium dan hasil tes fungsi hati yang abnormal dapat menetap selama 3-6 bulan Pengobatan
6. Efek samping: nyeri pada daerah suntikan b.Dosis dan jadwal vaksin HAV:
1.Infeksi yang sembuh spontan
2. Anak >2 tahun. 3 dosis 0,1 dan 6 atau 12 bulan atau 2 dosis 0, 6 atau 12 bulan c.Indikasi vaksin
1.
>19 tahun. 2 dosis, interval 6-12 bln
1.
Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan dehidrasi
1.
Pengunjung ke daerah risiko tinggi
2.
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat. Tak ada rekomendasi yang khusus, makan pagi dengan porsi cukup besar.
2.
Homoseksual dan biseksual, IVDU
3.
Hindari alcohol dan aktivitas berlebih
3.
Tinggal di daerah endemis
4.
Tidak ada pengobatan spesifik untuk HAV, HEV, HAD. Pemberian interferon-alfa pada HCV akut dapat menurunkan infeksi kronik. Lamivudin atau adefovir pada HBV akut masih belum jelas. Kortikosteroid tidak bermanfaat.
4.
Pasien rentan
5. Obat-obat yang tidak perlu harus dihentikan 2.Gagal Hati Akut 1.
Rawat di RS: diagnosis segera dan penanganan terbaik dengan program transplantasi hati
2.
Belum ada terapi yang terbukti efektif
3.
Tujuan: (1)Tunggu perbaikan infeksi spontan dan perbaikan fungsi hati dilakukan dengan monitoring kontinu dan terapi suportif; (2) Pengenalan dini dan terapi terhadap komplikasi yang mengancam; (3) Mempertahankan fungsi vital; (4)Persiapan transplantasi bila terjadi perburukan
4. Angka survival mencapai 65-75% bila dilakukan dengan transplantasi dini 3.Hepatitis Kolestasis 1.
Perjalanan penyakit dapat dipersingkat dengan terapi prednisone atau asam ursodioksikolat. Hasil penelitian masih belum tersedia.
2. Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin 4.Hepatitis Relaps Penanganan serupa dengan hepatitis yang sembuh spontan Pencegahan Pencegahan terhadap Infeksi Hepatitis pada Penularan Enterik pada HAV Pencegahan dengan Imunoprofilaksis vaksin HAV (sebelum paparan) a.Vaksin HAV yang dilemahkan:
5. Pekerja laboratorium yang menangani HAV, pramusaji, pekerja pembuang air Pencegahan dengan Imunoprofilaksis vaksin HAV (setelah paparan) a.Keberhasilan vaksin HAV belum jelas b.Keberhasilan Ig sudah nyata tapi tidak sempurna c.Dosis & jadwal imunoglobulin: diberikan segera setelah paparan; toleransi baik, nyeri daerah suntikan, indikasi: kontak erat dan kontak dalam rumah tangga dengan infeksi HAV akut Pencegahan terhadap Infeksi Hepatitis pada Penularan Enterik pada HEV Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien HEV dapat bersifat proteksi, tapi efektivitas dari Ig anti HEV masih belum jelas Pencegahan terhadap Infeksi Hepatitis pada Penularan Parenteral pada HBV Pencegahan dengan Imunoprofilaksis vaksin HBV (sebelum paparan) a. Vaksin rekombinan ragi: 1.
Mengandung HbsAg sebagai immunogen
2.
Sangat imunogenik, kadar proteksi anti HBsAg pada >95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3 dosis
3.
Efektivitas 85-95% mencegah infeksi HBV
4.
Efek samping: nyeri daerah suntikan dan demam ringan
5.
Booster (pengulangan vaksin) tidak direkomendasikan walaupun >15 tahun imunisasi awal
6.
Booster hanya untuk imunokompromise jika titer <10mU/mL
1.
efektivitas tinggi (94-100%)
2.
Sangat imunogenik (hampir 100% pada subyek sehat)
7. Peran imunoterapi HBV kronik masih dalam penelitian b.Dosis dan jadwal vaksin HBV:
3.
Antibodi protektif setelah 15 hari
Untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak (½ dewasa): 0.1.6 atau 0.1.2
c.Indikasi 1.
Imunisasi universal bayi baru lahir
2.
Vaksin catch up utk anak sampai umur 19 tahun (bila belum divaksin)
3. Grup risiko tinggi Pencegahan dengan Imunoprofilaksi vaksin HBV dan Immunoglobulin HBV (HBIg) – (setelah paparan) Indikasi : kontak seksual dan neonatus dari ibu HBsAg (+) Vaksin kombinasi untuk Perlindungan dari HAV dan HBV Proteksi dengan pemberian 3 x berjarak 0.1.6 bulan Rekomendasi Umum 1.
Pasien dapat rawat jalan apabila hidrasi & intake cukup
2.
Tirah baring tidak lagi disarankan kecuali kelelahan berat
3.
Tidak ada diet spesifik & suplemen yang efektif
4.
Protein dibatasi hanya pada pasien enchepalopati hepatikum
5.
Selama masa rekovalesensi diet tinggi protein diperlukan untuk proses penyembuhan
6.
Alkohol dihindari & obat-obatan dibatasi
7.
Obat yang dimetabolisme di hati harus dihindari, jika diperlukan perlu penyesuaian dosis
8.
Pasien diperiksa tiap minggu dan dievaluasi sampai sembuh
9.
Harus dimonitor terhadap kejadian ensefalopati seperti somnolen, mengantuk dan asterisk
10. Masa protrombin serum merupakan petanda baik untuk menilai dekompensasi hati dan menentukan saat yang tepat untuk dikirim ke pusat transplantasi 11. Memonitor kadar transaminasi serum tidak tidak membantu dalam hal menilai fungsi hati pada hepatitis fulminan, karena kadarnya akan turun pada kerusakan sel hati massif 12. Pasien dengan gejala hepatitis fulminan harus segera dikirim ke pusat transplantasi 13. Anti mual dapat membantu menghilangkan keluhan mual 14. Pasien hepatitis akut tidak memerlukan perawatan isolasi 15. Tenaga kesehatan yang merawat pasien HAV dan HEV harus cuci tangan dengan sabun dan air 16. Orang kontak erat dengan pasien HBV akut harus menerima vaksin HBV Referensi Kumar V., Cotran R. S., Robbins S. L. 2007. Buku ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC
Price S. A., Wilson L. M., 1995. Patofisiologi – Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4.Jakarta : EGC Abses Hati Pada kasus kita yang pertama, selain hepatitis akibat virus, bisa juga infeksi hati disebabkan bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT dan alkohol. Tapi pada pembahasan kita kali ini, kita tidak membahas alkohol karena pada kasus diatas, pasien tidak terdapat riwayat konsumsi alkohol. Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT; ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hati. Organisme mencapai hati melalui satu jalur berikut: 1) infeksi asendens di saluran empedu (kolangitis asendens); 2) melalui pembuluh darah, baik porta atau arteri; 3) infeksi langsung ke hati dari sumber disekitar; 4)luka tembus. Abses hati timbul pada keadaan defisiensi imun (lanjut usia, imunosupresi, kemoterapi kanker disertai kegagalan sumsum tulang). Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amebic (AHA) dan abses hati piogenik(AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver Abcess). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal, paling sering terjadi di daerah tropis/subtropik. AHA lebih sering terjadi endemic di negara berkembang dibanding AHP. AHAterutama disebabkan oleh E. Histolytica. AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan sanitasi kurang. EtiologiAHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, S. aureus, S. milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, S. typhi, brucella militensis,dan fungal. Pada era pre-antibiotik, AHP terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileflebitis. Bakteri patogen melalui a. hepatica atau sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakterimia sistemik, atau menyebabkan komplikasi infeksi intraabdominal (diverticulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi). Sedangkan saat era antibiotik, terjadi peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem biliaris (kolangitis, kolesistitis). Hal ini karena makin tinggi angka harapan hidup dan makin banyak pula orang lanjut usia dikenai penyakit sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka tusuk / tumpul, dan kriptogenik Patogenesis Hati adalah organ paling banyak yang dikenai abses. Abses hati dapat berbentuk soliter atau multiple. AHP dapat berupa lesi tunggal dan jamak, dengan garis tengah milimeter hingga masif. Abses terjadi melalui penyebaran hematogen atau infeksi rongga peritoneum. Hati menerima darah sistemik dan melalui sirkulasi portal, sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang, tapi adanya sel kupffer bisa melindungi terjadinya infeksi hati. Adanya sistem biliaris, memungkinkan terjadinya obstruksi aliran empedu dan akibatnya terjadi proliferasi bakteri (abses empedu biasanya multiple yang mengandung bahan purulen). Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang vena portal dan limfatik sehingga terbentuk formasi abses fileflebitis. Penyebaran secara hematogen menimbulkan mikroabses dan multiple sehingga terjadi bakteri sistemik. Sedangkan penyebaran langsung dari trauma biasanya menyebabkan abses besar dan tunggal. Penetrasi akibat luka tusuk menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadiAHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadi kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan kanalikuli. Kerusakan kanalikuli akan memudahkan bakteri masuk, dan proliferasi melalui proses supurasi.
AHP lebih sering terjadi pada lobus kanan hepar. Hal ini berdasarkan perbedaan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari a. mesenterika superior dan vena portal sedang lobus kiri menerima darah dari a. mesenterika inferior dan aliran limfatik. Manifestasi Klinis
Jika dalam waktu 48-72 jam, belum ada perbaikan klinis dan laboratoris, maka antibiotik diganti dengan antibiotik sesuai hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan secara perenteral dapat dirubah menjadi oral setelah 10-14 hari, dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian.
Manifestasi sistemik AHP biasanya lebih berat dari pada AHA. Sindrom klinis klasik AHPberupa nyeri spontan perut kanan atas, ditandai jalan membungkuk ke depan dengan dua tangan ditaruh diatasnya. Selain itu, demam tinggi (keluhan utama) disertai keadaan syok. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi AHP adalah malaise, demam tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan.
Pengelolaan dengan dekompresi saluran biliaris dilakukan jika terjadi obstruksi sistem bilaris yaitu dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi.
Apabila AHP letaknya dekat diafragma, akan timbul iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri bahu kanan, batuk, ataupun atelektasis (terutama akibat AHA). Gejala lain, mual, muntah, anoreksia, berat badan turun yang unintentional, badan lemah, ikterus, berak seperti kapur, dan urin berwarna gelap.
Istilah sulit:
Pemeriksaan Penunjang
Inokulasi : pemasukan mikroorganisme, agen infektif ke individu
Pada laboratorium didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, anemia; laju endap darah, alkali fosfatase, transaminase dan serum bilirubin meningkat; konsentrasialbumin serum menurun dan waktu protrombin yang memanjang.
Kriptogenik : idiopatik
Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Kultur darahmemperlihatkan bacterial penyebab menjadi standar emas penegakan diagnosis secara mikrobiologik.
Kumar V., Cotran R. S., Robbins S. L., 2007. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta : EGC
Pemeriksaan Penunjang Lain Pemeriksaan foto thoraks dan foto polos abdomen: diafragma kanan meninggi, efusi pleura, atelektasis basiler, empiema atau abses paru Pada foto thoraks PA: sudut kardiofrenikus tertutup; foto thoraks lateral: sudut kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah diafragma terlihat air fluid level. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskular. Abdominal CT-Scan atau MRI, USG abdominal, sdan Biopsi Hati memiliki sensitivitas yang tinggi. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan penunjang. Kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis yang tidak spefisik. CT-scan dan tes serologis sangat membantu. Diagnosis berdasarkan penemuan bakteri penyebab dengan kultur darah hasil aspirasi (merupakan standar emas). Dengan diagnosis dini, akan memperlihatkan prognosis yang baik. Penatalaksaan Secara konvensional dengan drainase terbuka secara operasi dan antibiotik spektrum luas. Penatalaksanaan saat ini, dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi computer, komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intraabdominal, infeksi, atau kesalahan penempatan kateter untuk drainase. Kadang pada AHP multiple dilakukan reseksi hati. Penatalaksanaan dengan antibiotik, pada terapi awal digunakan penisilin. Selanjutnya dikombinasikan dengan antara ampisilin, aminoglikosida, atau sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazol.
(penjelasan berikutnya mengenai Hepatotoksisitas Imbas Obat, pada kasus “Warna Urin seperti Air Teh”, buka di halaman Modul Enterohepatik – Hepatotoksisitas Imbas Obat)
Aminoglikosida : salah satu antibiotic (e.g. amikacin, gentamicin, streptomycin) dengan menghambat sintesis protein.
Referensi
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC