iii
i
MAKALAH
PEREKONOMIAN INDONESIA
UMKM DAN PERKEMBANGAN UMKM DI INDONESIA
DI SUSUN OLEH :
Vania Pramanda Sari 5111141108
Muhammad Akbar
Dika Nakita
Dosen Pembimbing :
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
T.A 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunianya lah kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul "UMKM DAN PERKEMBANGAN UMKM DI INDONESIA". Terimakasih kepada Ibu. Leni selaku dosen yang telah memberikan kami pengajaran mengenai Perekonomian Indonesia dan telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mencari tau dan menjelaskan mengenai UMKM dan PERKEMBANGAN nya di Indonesia.
Dalam penulisan makalah ini kami mengutip dari bebagai sumber buku dan juga internet yang dapat menambah wawasan kami untuk mengetahui apa itu UMKM, dan perkembangan nya di Indonesia. Kesulitan dalam pembuatan makalah pun sering kami alami. Namun, dengan berdiskusi dan membahas nya maka kesulitan-kesulitan tersebut dapat kami atasi.
Terimakasih kepada para rekan yang senantiasa mendukung kami dalam penulisan makalah ini dan orang tua yang tidak henti-hentinya memberikan do'a kepada kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca dan dapat menambah pengetahuan kita semua mengenai UMKM dan PERKEMBANGAN nya di Indonesia.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1. Peran, Karakteristik, Konsep dan Definisi UMKM 3
2.1.1. Peran 3
2.1.2. Karakteristik 6
2.1.3. Konsep dan Definisi UMKM 9
2.2. Hukum yang Mengatur UMKM di Indonesia 10
2.3. Perkembangan UMKM dari Perspektif Teori 11
2.3.1. Pola dari perkembangan UMKM 11
2.3.2. faktor-faktor utama yang memengaruhi pola perubahan 29
2.3.3. Faktor pendapatan-permintaan 30
2.3.4. Faktor Pendapatan-Penawaran 33
2.3.5. Faktor populasi permintaan 34
2.3.6. Faktor penawaran populasi 34
2.3.7. Faktor "push" versus "Pull" 34
BAB III PENUTUP 36
DAFTAR PUSTAKA 38
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) ini merupakan salah satu usaha yang berperan besar dalam menganekaragamkan produk-produk ekspor Indonesia dan menjadi andalan dalam perolehan devisa. Dalam sejarah nya, sepanjang pemerintahan orde baru, UMKM sangat dikesampingkan keberadaan nya. Berbeda dengan usaha besar yang selalu diberikan keleluasan dalam berbagai hal. Namun, UMKM justru dapat bertahan dalam menghadapi kebijakan kebijakan tersebut. UMKM sangat lah penting keberadaan nya di Indonesia karena selain dapat menambah pendapatan UMKM juga dapat mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
Selain itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar dari jumlah UMKM di Indonesia terdapat di perdesaan, kelompok usaha tersebut sangat diharapkan sebagian motor utama penggerak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi perdesaan, yang berarti juga mengurangi kesenjangan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan. UMKM diperdesaan terutama bisa berperan sebagai mendorong diversifikasi kegiatan ekonomi diluar sector pertanian, dan ini sangat penting karena kapasitas penyerapan tenaga kerja dari sector pertanian di banyak wilayah ditanah air semakin mengecil karena banyak hal, termasuk luas lahan yang semakin sempit.
Namun, hingga sekarang dibanding UMKM dinegara maju UMKM di Negara Indonesia masih lemah dalam banyak hal termasuk masih lebih berpusat pada tekhnologi rendah seperti makanan, pakaian jadi, mebel dan kerajinan. Maka dari itu disini kami akan membahas lebih mendetail mengenai UMKM dan perkembangan UMKM di Indonesia serta hukum yang mengatur mengenai UMKM di Indonesia.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah Peran, Karakteristik, Konsep, dan Definisi UMKM ?
Hukum yang mengatur UMKM di Indonesia ?
Bagaimana perkembangan UMKM dari perspektif teori?
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Peran, Karakteristik, Konsep dan Definisi UMKM
2.1.1. Peran
Dari perspektif dunia, di akui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memainkan suatu peran sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di Negara-negara yang sedang berkembang (NSB), tetatpi juga di Negara-negara maju (NM). Di NM, UMKM sangat penting karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja di bandingkan usaha besar (UB), seperti halnya di NSB, tetapi juga di banyak Negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari UB.
Di NSB di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, UMKM juga berperan sangat penting, khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi perdesaan. Namun, dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor non-migas, khususnya produk-produk non-faktur dan inovasi serta penembangan tekhnologi, peran UMKM di NSB masih relative rendah, dan ini sebenarnya perbedaan yang sangat mencolok dengan UMKM di NM.
Di dalam literature diakui secara luas bahwa di NSB, UMKM sangat penting karena karakteristik-karakterik utama mereka yang berbeda dengan UB, yakni sebagai berikut :
Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah UB), terutama dari kategori usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK)
Karen asangat padat karya, berarti mempunyai suatu potensi pertunbuhan kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan kebijakan nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan mencipkana pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin.
Tidak hanya mayoritas dari UMKM, terutama UMI, di NSB berlokasi di pedesaan, kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok usaha ini juga pada umumnya berbasis pertanian.
UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih "cocok" (jika dibandingkan dengan teknologi-teknologi canggih yang umum dipakai oleh perusahaan perusahaan modern / UB) terhadap proporsi-proporsi dari factor-faktor produksi dan kondisi local yang ada di NSB, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerj aberpendidikan rendah yang berlimpah ( walaupun jumlahnya bervariasi menurut Negara atau wilayah di dalam sebuah Negara), tetapi modal serta sumber daya ( SDM) atau tenaga kerja berpendidikan yan sangat terbatas.
Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan pada saat ekonomi diindonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun 1997-1998.
Walaupun pada umumnya masyarakat perdesaan miskin, banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan mereka mau mengambil resiko dengan melakukan investasi.
(Masih berkaitan dengan butir 6) Terbukti bahwa pada umumnya pengusaha UMKM membiayai sebagian besar dari operasi-operasi bisnis mereka dengan tabungan pribadi, ditambah dengan bantuan atau pinjaman dari saudara atau kerabat, atau dari pemberi-pemberi kredit informal, pedagang atau pengumpul, pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari konsumen-konsumen.
Walaupun banyak barang yang diproduksi dari UMKM juga untuk masyarakat kelas menengah dan atas (untuk yang terakhir ini proporsiny lebih kecil), terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi UMKM adalah untuk barabg-barang konsumsi sederhana dengan harga relative murah, seperti pakaian jadi dengan desain sederhana, mebel dari kayu, bambu, dan rotan, barang-barang lainnya dari kayu, alas kaki, dan alat-alat dapur dari alumunium dan plastic.
Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM (khususnya UK dan UM yang mampu meningkatkan produktifitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi) walaupun Negara berbeda mungkin punya pengalaman berbeda dalam hal ini, tergantung pada banyak factor. Factor-faktor tersebut bisa termasuk tingkat pembangunan ekonomi pada umumnya dan pembangunan sector terkit pada khususnya.
Seperti sering dikatakan di dalam literature, satu keunggulan dari UMKM adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relative terhadap pesaingnya UB.
Oleh karena itu, dengan menyadari betapa pentingnya UMKM (paling tidak secara potensial seperti yang diuraikan diatas tersebut, tidak heran kenapa pemerintah-pemerintah di hampir semua NSB (termasuk Indonesia) sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan skim-skim kredit bersubsidi sebagai komponen terpenting, untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan.
2.1.2. Karakteristik
Karakteristik-karakteristik utama dari UMI, UK dan UM di NSB
No
Aspek
UMI
UK
UM
1.
Formalitas
Beroperasi di sector informal; usaha tidak terdaftar; tidak/jarang bayar pajak
Beberapa beroperasi di sector formal; beberapa tidak terdaftar; sedikit yang bayar pajak
Semua di sector formal; terdaftar dan bayar pajak
2.
Organisasi dan manajemen
Dijalankan oleh pemilik; tidak menerapkan pembagian tenaga kerja informal (ILD), manejemen dan struktur organisasi formal (NOF), system pembukuan formal (ACS)
Dijalankan oleh pemilik; tidak ada ILF, MOF dan ACS
Banyak yang memperkerjakan manejer professional dan menerapkan ILD, MOF, dan ACS
3.
Sifat dari kesempatan kerja
Kebanyakan menggunakan anggota-anggota yang tidak dibayar
Beberapa menggunakan tenaga kerja yang digaji
Semua memakai tenaga kerja di gaji; semua memilik system prerekrutan formal
4.
Pola atau sifat dari proses produksi
Drajat mekanisasi sangat rendah atau umumnya manual; tingkat teknologi sangat rendah
Beberapa memakai mesin-mesin terbaru
Banyak yang puya drajat mekanisme yang tinggi atau punya akses terhadap teknologi tinggi
5.
Orientasi pasar
Umumnya menjual ke pasar local untuk kelompok berpendapan rendah
Banyak yang menjual ke pasar domestic dan ekspor, melayani kelas menengah dan atas
Semua menjual ke pasar domestic dan banyak yang di ekspor dan melayani kelas menengah ke atas.
6.
Profilah ekonomi dan social dari pemilik usaha
Pendidikan rendah dan dari rumah tangga miskin; motivasi utama; survival
Banyak berpendidikan baik dan dari RT non-miskin; banyak yang bermotifasi bisnis dn mencari profit
Sebagian berpendidikan baik dan dari RT makmur; motifasi utama profit
7.
Sumber-sumber dari bahan baku dan modal
Kebanyakan pakai bahan baku local dan uang sendiri
Beberapa memakai bahan baku impor dan punya akses ke kredit formal
Banyak yang memakai bahan baku impor dan punya akses ke kredit formal
8.
Hubungan-hubungan eksternal
Kebanyakan tidak punya akses ke program-program pemerintah dan tidak punya hubungan -hubungan bisnis dengan UB
Banyak yang punya akses ke program-program pemerintah dan punya hubungan-hubungan bisnis dengan UB (termasuk PMA)
Sebagian besar punya akses ke program-program pemerintah dan banyak yang punya hubungan-hubungan bisnis dengan UB (termasuk PMA)
9.
Wanita pengusaha
Rasio dari wanita terhadap pria sebagai usaha sangat tinggi
Rasio dari pri terhadap wanita sebagai pengusaha cukup tinggi
Rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha sangat rendah
Menurut laporan tersebut, sebagian besar pengusaha mikro di Indonesia mempunyai latar belakang ekonomi, yakni alasan utama melakukan kegiatan tersebut adalah ingin memperoleh perbaikan penghasilan. Ini menunjukkan bahwa pengusaha mikro berinisiatif mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Disamping itu, latar belakang menjadi pengusaha mikro karna factor keturunan, yakni meneruskan usaha keluarga.
Karakteristik lainnya adalah dalam struktur umur pengusaha. Berdasarkan data BPS, struktur umur pengusaha di UMKM menurut kelompok umur menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga ( 34,5 persen ) pengusaha UMKM berusia diatas 45 tahun, dan hanya sekitar 5,2 persen pengusaha UMKM yang berumur dibawah 25 tahun.
Komposisi tenaga kerja tidak dibayar memiliki kecenderungan berbanding terbalik dengan skala usaha, yang artinya semakin besar skala usaha semakin kecil komposisi tenaga kerja tanpa upah.
2.1.3. Konsep dan Definisi UMKM
Definisi dan konsep UMKM berbeda menurut Negara. Oleh karena itu, memang sulit membandingkan pentingnya atau peran UMKM antarnegara. Tidak ada kesepakatan umum dalam membedakan sebuah MIE dari sebuah UK, atau sebuah UK dari sebuah UM, dan yang terakhir ini dari sebuah UB. Namun demikian, secara umum, sebuah UMI mengerjakan lima (5) atau kurang pekerja tetap; walaupun banyak usaha dari kategori ini tidak mengerjakan pekerja yang di gaji, yang didalam literature dering disebut self-employment. Sedangkan sebuah UKM bisa berkisar antara kurang dari 100 pekerja, misalnya di Indonesia, ke 300 pekerja, misalnya di China. Selain mengunakan jumlah pekerja, banyak Negara yang juga menggunakan nilai aset tetap ( tidak termasuk gedung dan tanah ) dan omset dalam mendefinisikan UMKM. Bahkan di banyak Negara, definisi UMKM berbeda antarsektor, misalnya di Thailand, India, dan China, atau bahkan berbeda antarlembaga atau departemen pemerintah, misalnya Indonesia dan Pakistan.
Di Indonesia, definisi UMKM di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam Bab I ( Ketentuan Umum ), pasal I dari UU tersebut, dinyatakan bahwa UMI adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/ atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria UMI sebagaimana diatur dalam UU tersebut. UK adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung, dari UM atau UB yang memenuhi kriteria UK sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Sedangkan UM adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung, dari UMI, UK atau UB yang memenuhi kriteria UM sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.
Selain menggunakan nilai moneter sebagai kriteria, sejuklah lembaga pemerintah seperti departemen peridustrian dan badan pusat statistik/BPS, selama ini juga menggunakan jumlah pekerja sebagai ukuran untuk membedakan skala usaha antara UMI, UK, UM, dan UB.
2.2. Hukum yang Mengatur UMKM di Indonesia
Berikut ini adalah list beberapa UU dan Peraturan tentang UKM
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2.3. Perkembangan UMKM dari Perspektif Teori
2.3.1. Pola dari perkembangan UMKM
Dalam pembahasan system-sistem industry dan peran UMKM di dalam sistem-sistem tersebut serta pola perkembangan dari kelompok usaha itu di NSB, perhatian umumnya terfokus pada karya-karya yang terkenal, termasuk dari hoselized (1959), Staley dan Morse (1965), serta Anderson 1982. Pemikiran-pemikiran mereka diklasifikasikan sebagai teori-teori "klasik" mengenai perkembangan UMKM. Sedangkan, yang masuk dalam literature yang memuncul kan paradigm baru atau disebut juga teori-teori "modern" mengenai perkembangan UMKM adalah Berry dan Mazumdar (1991) serta Levy (1991). Teori-teori secara eksplisit membahas penting nya jaringan-jaringan subcontracting dan keuntungan-keuntungan ekonomi dari aglomerasi dan pengelompokan, atau umum disebut cluster, bagi perkembangan UMKM.
2.3.1.1. Teori-teori klasik
Literature mengenai UMKM di NSB pada umum nya membahas UMKM di industry manufaktur, dan perkembangan literature ini diawali oleh munculnya artikel dan Staley dan Morse tahun 1965. Studi mereka didasarkan pada pengalaman dari NM dan NSB, dan mereka mengidentifikasi 3 kategori kondisi bagi keberadaan UMKM, yakni lokasi, proses pengolahan, dan pasar atau tipe dari produk yang dihasilkan. Operasi-operasi pengolahan yang terpisah, kerajinan, atau pekerjaan tangan yang sangat membutuhkan presisi dan proses perakitan, pencampuran, dan penyelesaian akhir yang sederhana adalah kondisi-kondisi paling penting dari proses pengolahan bagi keberadaan UMKM. Sedangkan kondisi pasar yang cocok bagi perkembangan UMKM adalah dalam bentuk produk diferensiasi dengan skala ekonomi yang terendah dan melayani pasar-pasar kecil.
Dari kondisi-kondisi tersebut, staley dan Morse (1965) beragumen bahwa khusus nya kegiatan-keiatan pengolahan yang terpisah atau spesifik (misalnya UMKM memproduksi komponen-komponen tertentu untuk UB) dan produk diferensiasi dengan skla ekonomi yang rendah adalah factor-faktor yang menjelaskan paling penting yang menjelaskan keberadan UMKM di NSB.
Pangsa Tenaga Kerja
Walaupun hubunan antara besarnya unit usaha dan tingkat pembangunan ekonomi telah diungkapkan oleh sejumlah peneliti lewat analisis mereka terhadap tahap-tahap pembangunan, literartur teori yang ada mengenai bagaimana UMKM akan dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan riil perkapita (sebagai suatu indicator dari tingkat atau proses pembangunan ekonomi) hingga saat ini masih relative terbatas. Perhatian terhadap isu ini pertama kali diberikan oleh Hoselitz yang dijabarkan di dalam tulisannya (1959) mengenai industrialisasi di Jerman. Ia menunjukkan bahwa pada tahap 'awal' pembangunan, sektor manufaktur di Negara itu di dominasi oleh pengrajin-pengrajin dan banyak dari mereka akhirnya berkembang menjadi usaha-usaha besar; sedangkan yang lainnya gugur atau kegiatannya mengalami stagnasi.
Namun demikian, Hoselitz (1959) tidak menganalisis secara eksplisit sifat alami dari keterkaitan antara tingkat industrialisasi dan perubahan structural di dalam sektor manufaktur. Dia lebih menekankan pada karakteristik dari biaya produksi yang rendah, yang ia simpulkan sebagai kunci kebehasilan dari UMKM. Rendahnya biaya produksi disebabkan teruutama oleh pemakaian angota-anggota keluarga sebagai pekerja-pekerja tidak dibayar.
Mengikuti penelitian Hoselitz, Parker (1979) dan Anderson (1982) juga mengembangkan tipologi fase pertumbuhan yang berbasis pada pengalaman dari NM untuk menjelaskan perubahan struktur skala usaha di sektor industry menurut wilayah dan waktu di NSB. Menurut pendekatan ini, di dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan atau bisa juga disebut evolusi dari komposisi dari kegiatan manufaktur-manufaktur, jika diklarisifikasikan menurut skala, berlangsung melalui tiga fase. Dalam fase pertama, yakni tahap "awal" pembangunan industri (ekonomi masih dicirikan sebagai ekonomi agraris), UMI, disebut juga industry-industri rumah tangga atau kegiatan-kegiatan pengrajin (tipe paling tradisional dari perusahaan-perusahaan di industri manufaktur) paling dominan, baik dalam jumlah unit usaha maupun dalam jumlah pekerja, dilihat dari persentasenya dari jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur. Ini adalah suatu fase dari industrialisasi, di mana terdapat sejumlah besar UMI (kebanyakan di pedesaan) berdampingan dengan sejumlah kecil UB (kebanyakan adalah perusahaan asing atau badan usaha milik Negara yang berlokasi di perkotaan atau kota-kota besar). Dalam tahap ini, UMI lebih terkonsentrasi di industry-industri seperti pakaian jadi, pandai besi, alas kaki, kerajinan, bahan-bahan bangunan sederhana, serta makanan dan minuman. Di NSB, kegiatan-kegitan produksi di subsector-subsektor tersebut relative mudah dilakukan. Khususnya industry-industri pakaian jadi, makanan dan minuman, serta kerjainan, kebutuhan modal awal sangat sedikit dan produsen/pengusaha tidak perlu memiliki pendidikan formal yang tinggi dan tidak perlu ada tempat khusus untuk kegiatan produksi. Mungkin untuk alasan ini, kegiatan produksi UMI di kelompok-kelompok industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh perempuan dan anak-anak sebagai suatu kegiatan paro waktu, dan dilakukan di dalam rumah pemilik usaha/pengusaha. Pendapatan dari kegiatan-kegiatan UMI tersebut sangat penting, baik sebagai sumber pendapatan utama atau satu-satunya maupun sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kebanyakan UMI adalah usaha sendiri tanpa pekerja (di dalam literatur umum disebut self-employment atau unit usaha satu orang di mana pemilik melakukan semua pekerjaan).
Dalam tahap ini, juga terdapat banyak kegiatan UMI yang erat kaitannya dengan produksi di sektor pertanian, baik dalam bentuk keterkaitan produksi ke depan, yakni UMI menyuplai berbagai input ke pertanian, maupun dalam bentuk keterkaitan produksi ke belakang, yakni UMI mengolah output dari pertanian, misalnya industri-industri makanan dan minuman. Selain itu, keterkaitan dalam kegiatan produksi antara UMI dan pertanian juga secara tidak langung lewat keterkaitan konsumsi, yakni UMI menyediakan kebutuhan-kebutuhan makanan dan nonmakanan bagi penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah rumah tangga-rumah tangga petani.
Dalam fase kedua, di wilayah-wilayah yang lebih berkembang dengan pendapatan per kapita lebih tinggi, UK dan UM (sebut UKM) mulai muncul dan tumbuh pesat, dan secara perlahan menggeser UMI di sejumlah subsektor manufaktur. Ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan ekspansi UKM pada fase kedua ini. Steel (1979), misalnya, menekankan salah satunya adalah pentingnya pasar (dia sebut cash market, yang artinya pasar dimana penjualan dan pembelian dilakukan dengan uang) yang berkembang: Increased urbanization and expanding cash markets give rise to a shift from traditional household activities to complete specialization of the entrepreneur in small scale production and increased use of apprentice and hired labor.
Dalam fase ketiga, pada tahap "terakhir" pembangunan, pabrik-pabrik besar (UB) menjadi dominan, menggantikan UKM (dan juga UMI yang masih ada) di sejumlah industri. Menurut Anderson (1982) fase ini sebagian adalah suatu produk dari fase kedua, sejak pertumbuhan output dan kesempatan kerja di UB dapat dibagi ke: (a) perkembangan skala usaha dari yang sebelumnya UKM menjadi UB, dan (b) perluasan skala produksi dari UB. Namun demikian, ekspansi UB dalam fase ini bisa juga disebabkan sebagian oleh munculnya UB baru (yang perkembangannya sejak awal tidak melalui struktur skala), yang tidak diperhitungkan secara eksplisit dalam analisisnya Anderson.
Dalam fase terakhir ini, pemakaian skala ekonomi dalam produksi, manajemen, pemasaran dan distribusi (tergantung pada tipe produk dan fleksibilitas dalam produksi); keunggulan tekhnologi; efisiensi manajemen; koordinasi produktif; akses ke jasa-jasa infrastruktur pendukung serta keuangan eksternal yang lebih baik; dan pendanaan konkesi dengan insentif investasi, struktur tarif, dan subsidi pemerintah, semuanya adalah penyebab-penyebab atau merupakan insentif utama bagi perusahaan-perusahaan untuk berkembang menjadi lebih besar. Dalam kenyataannya, faktor-faktor ini sering kali lebih tersedia atau menguntungkan UB atau usaha modern daripada UMKM, khususnya UMI, dan hal ini dapat menjelaskan kenapa kinerja UB lebih baik daripada UMKM dalam fase industrialisasi yang lebih maju.
Dapat dikatakan bahwa bukti empiris mengenai pola perubahan struktur usaha yang sistematis di sektor industri, walaupun masih terbatas, lebih banyak daripada literatur teorinya. Penelitian-penelitian dari Snodgrass dan Biggs (1996) and Tambunan (1994) mungkin dapat memberikan suatu gambaran umum mengenai pentingnya UMI dan UK secara relatif menurut negara dengan tingkat pembangunan ekonomi (diukur dengan tingkat pendapatan) yang berbeda.
Ada banyak kemungkinan pola dari perubahan atau perkembangan dari perusahaan-perusahaan, baik secara individu maupun kelompok skala, yang bisa terjadi yang semuanya konsisten dengan data tersebut. Pola-pola tersebut bisa: (i) banyak UK berkembang menjadi UM dan sejumlah UMI menjadi UK; (ii) banyak perusahaan baru skala kecil atau langsung menjadi skala menengah atau besar; (iii) banyak UMI dan mungkin juga UK tutup karena kalah bersaing.
Mungkin penelitian dari Beck dkk. (2003) dapat dikatakan sebagai studi empiris lintas negara pertama mengenai relasi antara pertumbuhan UMKM dan pertumbuhan ekonomi dengan memakai data pangsa UMKM di dalam total kesempatan kerja di industri manufaktur dari suatu jumlah besar negara di Afrika, Eropa, Asia dan Amerika. Untuk analisis mereka, dikembangkan dua jenis pengukur skala usaha. Ukuran pertama (SME250) adalah pangsa UMKM di dalam total tenaga kerja di industri manufaktur dengan 250 pekerja sebagai batas maksimum untuk definisi UMKM. Variabel ini memberikan suatu ukuran yang konsisten dari distribusi perusahaan menurut skala antarnegara. Ukuran kedua (SMEOFF) adalah pangsa UMKM dengan memakai definisi UMKM resmi dari masing-masing negara yang diteliti, yang definisinya bervariasi antara 100 hingga 500 tenaga kerja.
Pangsa Output
Komposisi output dari UMKM di industri manufaktur juga bergeser dalam proses pembangunan. Saat pendapatan per kapita meningkat, kegiatan-kegiatan UMKM bergeser dari industri-industri "ringan" dengan pengolahan sederhana ke industri-industri "berat" yang memperoduksi barang-barang antara dan kemudian barang-barang modal dengan proses yang lebih ruwet. Dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin rendah pangsa UMKM di industri-industri ringan dan semakin tinggi pangsa dari kelompok usaha ini di industri-industri berat, terutama di industri-industri mesin dan alat-alat transportasi, yang di ukur dengan suatu persentase dari total kesempatan kerja di UMKM (Biggs dan Oppenheim, 1986). Namun, tidak hanya antarsubsektor manufaktur, tetapi di dalam sebuah kelompok industri suatu pergeseran industri di dalam UMKM juga terjadi dari membuat barang-barang "tradisional" (yakni jenis kegiatan yang dilakukan umumnya oleh wanita dan anak-anak) ke produksi barang-barang yang lebih canggih atau modern. Dalam kata lain, dengan berjalannya pembangunan (atau meningkatnya pendapatan per kapita), pangsa UMKM yang membuat barang-barang tradisional sebagai suatu persentase dari jumlah kesempatan kerja atau perusahaan di industri-industri terkait berkurang (Liedholm dan Parker, 1989).
Biggs dan Oppenheim (1986) juga menunjukkan bukti yang mengindikasikan bahwa pergeseran sektoral atau perpindahan dari sebelumnya membuat produk-produk sederhana ke produksi barang-barang yang lebih canggih di dalam suatu kelompok industri berlangsung berbarengan dengan perubahan skala usaha, yakni dari UMI menjadi UK, dari UK ke UM, dan dari UM tumbuh menjadi UB.
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, UKM, terutama UMI, di NSB diperlakukan sebagai kegiatan-kegiatan ekonomi informal dengan tingkat produktivitas dan pendapatan sangat rendah, tidak terorganisasi secara baik dan sangat buruk pengelolaanya, yang membuat perusahaan-perusahaan tersebut tidak mendapatkan kesempatan lebih baik, bahkan berkurang, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat per kapita. Namun, seperti dijumpai di banyak negara di Afrika, ternyata banyak juga UMI yang aktif terlibat dalam sejumlah industri, termasuk yang berbasis sumber daya alam dan agro, yang mempunyai suatu prospek pasar yang baik, seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Artinya, tidak selalu UMI hanya terdapat di industri-industri yang membuat barang-barang "inferior", seperti dugaan umum. Bukti ini bisa memberi kesan bahwa dengan pembangunan ekonomi, tidak semua UMI akan hilang. Sebaliknya, di banyak NSB terbukti UMI tetap beroperasi. Sebagian dari mereka tetap mikro dan sebagian lain berkembang menjadi pabrik-pabrik yang lebih besar. Satu faktor penting yang bisa menjelaskan kenapa di banyak NSB yang pembangunannya sudah lebih maju, banyak UMI yang bisa selamat dan bahkan tumbuh menjadi usaha-usaha yang lebih besar walaupun mendapatkan persaingan ketat dari UK, UMB, dan barang-barang impor, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering tidak pro dengan mereka, adalah keahlian atau spesialisasi khusus yang dimiliki pengusaha-pengusaha di UMI secara tradisional (turun-temurun).
Perbedaan Pola Pembangunan UMKM Menurut Wilayah Perdesaan dan Perkotaan
Di dalam suatu negara, perbedaan-perbedaan dalam pola transisi di dalam kelompok UKM (yaitu perkembangan dari UMI menjadi UK dan dari UK menjadi UM) atau dari UM menjadi UB juga terjadi menurut lokasi, yakni antara perdesaan dan perkotaan. Penyebab utamanya berkaitan dengan perbedaan-perbedaan dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya/kebiasaan masyarakat, dan dalam karakteristik UMKM antara perdesaan dan perkotaan. Dalam perbedaan karakteristik, sejumlah studi menunjukkan bahwa UMI, terutama pengrajin-pengrajin tradisional, seperti pandai besi, pembuat anyaman, pengukir, dan pengrajin lainnya, relatif lebih penting di pedesaan dan mereka lebih banyak dari kategori unit usaha satu orang (tanpa pekerja). Sedangkan UKM, khususnya UM, cenderung mendominasi perkotaan. Pekerja untuk periode jangka pendek, dan sekaligus sebagai tempat pelatihan/magang dan pekerja yang digaji adalah komponen-komponen yang relatif lebih penting dari total kesempatan kerja di UKM perkotaan; sedangkan UMI di perdesaan lebih bergantung pada anggoa-anggota keluarga dari pemilik usaha/pengusaha sebagai pekerja. Selain itu, di daerah perdesaan, pangsa terbesar dari kesempatan kerja di industri manufaktur, terutama di kelompok UMI, dibandingkan dengan UKM berbasis perkotaan, sangat musiman: kegiatan-kegiatan nonpertanian paro waktu mencapai puncaknya pada saat tidak ada kegiatan di sektor pertanian (di luar musim tanam dan panen).
Perbedaan karakteristik juga kelihatan dalam kewirausahaan. Untuk ini, Liedholm (1973) berargumen bahwa di perdesaan pengusaha-pengusaha mikro dan kecil memiliki perbedaan-perbedaan dalam latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang substansial dibandingkaan rekan mereka di perkotaan. Pemilik perusahaan-perusahaan di perdesaan (yang didominasi oleh UMI dan UK) pada umumnya berpendidikan formal lebih rendah daripada rekan mereka di perkotaan, dan mereka di perdesaan kebanyakan adalah petani atau dari keluarga petani.
Perbedaan dalam orientasi pasar juga kelihatan nyata. Beberapa studi menemukan bahwa perusahaan-perusahaan di perdesaan tidak terlalu berorientasi pasar, baik untuk output maupun input, dibandingkan rekan mereka di perkotaan, dalam arti tidak agresif mencari atau berusaha memperluas pasar. Selanjutnya, hasil observasi dari Chuta dan Liedholm (1985) di Sierra Leone (Afrika) mengungkapkan adanya suatu keterkaitan erat antara laju pertumbuhan UMKM dan jumlah pekerjanya dengan luas lokasi: laju pertumbuhan UMKM di perkotaan lebih pesat dibandingkan perdesaan. Alasan utanmanya menurut Anderson (1982) adalah pertumbuhan pasar yang lebih pesat di perkotaan daripada di perdesaan. Yang terakhir ini pada gilirannya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita (yang menentukan jumlah pembeli aktual dan potensi) di perkotaan lebih pesat, dan, lebih penting lagi, segmen-segmen penduduk perkotaan yang berpenghasilan menengah dan tinggi lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Kondisi seperti ini menciptakan lebih banyak kesempatan bagi UMKM perkotaan untuk memperluas usaha dan melakukan diservasifikasi pasar; dan khususnya UMKM perkotaan yang melayani pasar bagi segmen berpenghasilan tinggi bisa tumbuh pesat.
Lagi pula, permintaan antara dari UB (termasuk PMA) lebih banyak terkonsentrasi di perkotaan atau di sekitar kota-kota besar. Jadi, ini bisa memberi lebih banyak peluang untuk tumbuh terus dan lebih pesat lagi bagi UMKM yang berlokasi di perkotaan yan melayani segmen pasar ini (misalnya, lewat subcontracting). Sedangkan di perdesaan atau desa-desa yang lokasinya jauh atau secara geografi terisolasi dari ekonomi perkotaan, perusahaan-perusahaan lokal kebanyakan memproduksi barang-barang tradisional dengan elastisitas pendapatan yang rendah atau bahkan negatif, untuk pasar-pasar lokal yang kecil, dan terutama untuk segmen penduduk berpenghasilan rendah (Mazumdar, 1976).
Sedangkan menurut Byerlee (1973) adanya perbedaan dalam pola perubahan atau pembangunan antara UMKM perdesaan dan UMKM perkotaan, disebabkan oleh pola penawaran dan permintaan dari perusahaan-perusahaan di perdesaan yang sangat berbeda dengan di perkotaan, walaupun dalam skala yang sama. Permintaan output dan sisi penawaran dari UMKM perdesaan sangat erat kaitannya dengan volume produksi dan tingkat pendapatan di perdesaan yang sangat fluktuatif sesuai musim aktifitas pertanian.
Dengan perbedaan-perbedaan karakteristik dan lingkungan yang telah di bahas di atas, UMKM perkotaan bisa menghadapi berbagai masalah, tetapi juga peluang-peluang yang berbeda dengan yang dihadapi oleh UMKM perdesaan. Maka bisa diperkirakan bahwa proses pembangunan ekonomi dalam bentuk peningkatan pendapatan per kapita atau perubahan permintaan di pasar akan memberi dampak yang berbeda terhadap UMKM di perkotaan dengan di perdesaan.
Pola Keseluruhan
Baik Hoselitz (1959) maupun Anderson (1982) memprediksi bahwa keunggulan komparatif dari UMKM akan berkurang terus dan UB akan semakin mendominasi ekonomi dengan semakin majunya pembangunan. Namun demikian, pengalaman-pengalaman dari banyak negara di eropa yan menunjukkan munculnya kembali UMKM sebagai unit-unit bisnis yang kompetitif; semakin pentingnya UMKM di Jepang dan negara-negara industri baru di Asia Timur dimana kelompok usaha tersebut sangat terintegrasi dengan UB lewat jaringan-jaringan subcontracting; dan berkembangnya literatur mengenai berakhir era produksi massal dan tesis mengenai FS, memberi kesan bahwa teori-teori "klasik" tersebut tidak berlaku lagi, tidak hanya di NM, tetapi juga di banyak NSB yang sudah lebih maju, seperti Taiwan dan Korea Selatan.
Sebagai suatu rangkuman, teori-teori "klasik" mengenai evolusi UMKM percaya bahwa dalam perjalanan pembangunan, porsi "ekonomi" dari UMKM dalam pembentukkan atau pertumbuhan PDB, kesempatan kerja, output sektoral, dan total perusahaan akan terus menurun. Sebaliknya, pangsa UB yang lebih modern tumbuh dengan laju yang semakin pesat dan akhirnya kelompok usaha ini mendominasi ekonomi.
Hipotesis "Klasik" Mengenai Hubungan antara Pembangunan Ekonomi dan Pentingnya UMKM di Dalam Ekonomi
Pangsa "ekonomi" dari UMKM
Garis Pendapatan-UMKM
Pendapatan per kapita
Rendah Tinggi
2.3.1.2. Teori-teori "Modern
Pada dekade 80-an, muncul texis flexible specialization (FS) dan sejak saat itu sudah banyak makalah-makalah seminar, penelitian-penelitian, artikel-artikel di jurnal-jurnal, dan buku-buku yang di tulis mengenai isu baru ini. Munculnya tesis ini adalah hasil dari suatu perdebatan panjang mengenai bagaimana menginterpretasikan pola produksi global yang baru akibat tekanan-tekanan globalisasi dan restrukturisasi industri. Perubahan pola produksi tersebut juga membawa perubahan terhadap cara mengorganisasikan produksi dan tenaga kerja. Beberapa peneliti berargumen bahwa produksi global sedang mengalami suatu transformasi dari produk massal (fordist) ke produksi dalam volume kecil. FS dikenal sebagai salah satu pola baru tersebut yang menggantikan pola produksi fordist (Piore dan Sabel, 1984). Konsep FS berasosiasi erat dengan buku yang terkenal dari Piore dan Sabel (1984) mengenai "the second industrial divide". Di dalam buku ini mereka mendiskusikan munculnya kembali lokasi-lokasi pengrajin di sejumlah negara di Eropa Barat, yakni Italia, austria, dan Jerman. Dalam mempelajari perkembangan dari lokasi-lokasi pengrajin tersebut, Piore dan Sabel (1984) menegaskan bahwa UMKM di lokasi-lokasi itu telah menjadi bentuk yang dominan dari organisasi industri. UMKM tersebut dikenal sebagai perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan pekerja-pekerja dengan keterampilan tinggi dan multi, menggunakan mesin-mesin yang "fleksibel" yang mengandung tekhnologi-tekhnologi paling akhir dan membuat dalam volume kecil sejumlah produk-produk khusus yang berbeda untuk pasar global. Sedangkan, Holt (1996) memberi penilaiannya mengenai kualitas dari UMKM yang membuat kelompok usaha ini menjadi sangat penting di dalam ekonomi: small firms are supposedly leaner, less bureaucratic, more entrepreneurial and more innovative than large firms and, as a result, it is supposed that they grow further and faster than established firms. Small firms are thought to be especially important as wealth creators and job creators, and they are also considered to be more commited to their local communities than large firms, both in the sense of sourcing and recruiting locally and in the sense of being less geographically footloose than large companies.
Literatur mengenai tesis FS mengatakan secara explisit bahwa tekhnologi-technologi baru (seperti komputer dan alat-alat monitor dan mesin kontrol pabrik) membuat skala ekonomi menjadi lebih efisien, dan ini semua mempromosikan kelayakan relatif dari UMKM di dalam era globalisasi. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan suatu industri untuk memenuhi perubahan-perubahan pasar yang cepat (khususnya pasar global) dengan tepat waktu, murah, dan efisien telah menciptakan suatu peran baru bagi UMKM di NM. Jadi, peran baru UMKM ini di dalam ekonomi bisa digunakan sebagai suatu argumen untuk menentang proposisi dari Anderson, diantara beberapa lainnya, yang telah dibahas sebelumnya, yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang ekonomi akan dikuasai oleh UB (dalam output maupun kesempatan kerja).
Ada empat bentuk organisasi yang umum dari FS yang diidentifikasi di dalam bukunya Piore dan Sabel (1984) tersebut.
Fleksibel dan spesialisasi: perusahaan-perusahaan di dalam komunitas dapat menyesuaikan dengan cepat tekhnik-tekhnik produksi mereka terhadap perubahan-perubahan pasar, tetapi tetap berspesialisasi dalam memproduksi satu tipe barang, misalnya pakaian jadi.
Masuk terbatas: perusahaan-perusahaan di dalam komunitas membentuk bagian dari suatu komunitas yang tertutup dan perusahaan-perusahaan di luar komunitas tidak bisa atau sulit masuk.
Tingkat inovasi kompetitif yang tinggi: ada tekanan terus-menerus terhadap perusahaan-perusahaan di dalam komunitas untuk mempromosikan inovasi untuk bisa tetap lebih unggul daripada pesaing-pesaing mereka.
Tingkat kerja sama yang tinggi: ada persaingan terbatas antarsesama perusahaan di dalam komunitas dalam hal gaji dan kondisi kerja, yang merangsang kerja sama yang lebih besar antarmereka.
Sejak dipublikasi bukunya Piore dan Sabel (1984) tersebut, tidak hanya karakteristik-karakteristik dan bentuk baru dari organisasi industri tersebut didiskusikan secara luas, tetapi beberapa peneliti juga telah berusaha mengkaji relevansi dari paradigma FS tersebut terhadap distrik-distrik industri yang didominasi oleh UMKM di NB. Selain itu, banyak juga peneliti yang telah berusaha mengkaji implikasi dari FS terhadap industri, khususnya kluster-kluster UMKM, di banyak NSB.
Juga dalam beberapa tahun belakangan ini, muncul literatur yang hampir serupa dengan tesis FS tetapi secara eksplisit melihat UMKM atau wirausaha sebagai sumber inovasi. Literatur ini menegaskan bahwa UMKM yang melakukan suatu strategi inovasi adalah UMKM yang akan bisa membuat produk-produk yang kompetitif, yang berarti juga UMKM yang bisa bertahan terus dan bahkan berkembang pesat. Peran baru UMKM ini juga bisa dibaca dari salah satu paragraf dari tulisannya Audretsch (2003) sebagai berikut: The empirical evidence has found that the post-entry growth of firms that survive tends to be spurred by the extent to which there is a gap between the MES (Minimum Efficient Scale) level of output and the size of the firm. However, the likelihood of any particular new firm surviving tends to decrease as this gap increases. Such new SMEs (UMKM) deploying a strategy of innovation to attain competitiveness are apparently enganged in the selection process. Only those SMEs offering a viable product that can be produced afficiently will grow and ultimately approach or attain te MES level of output. The remainder will stagnate,………may ultimately be forced to exit the industry. Thus, in highly innovative industries, there is a continuing process of the entry of new SMEs into industries.
Literatur ini didukung oleh banyak studi kasus mengenai peran UMKM sebagai motor penggerak inovasi dan efek posiitifnya terhadap industri-industri dimana UMKM tersebut beropersikan pada khususnya dan ekonomi pada umumnya. Misalnya, dengan data 1990-an mengenai perusahaan-perusahaan yang baru berkembang di Jerman, hasil penelitian dari Audretsch dan Fritsch (2002) mengungkapkan bahwa di daerah-daerah yang tingkat kelahiran perusahaan-perusahaan baru lebih tinggi juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah-daerah yang sebaliknya, yang tingkat membuka/memulai usahanya rendah. Mereka menyimpulkan bahwa motor penggerak pertumbuhan telah bergeser ke kewirausahaan sebagai suatu sumber pertumbuhan. Hal yang serupa juga di jumpai oleh Reynold (1999) dengan data Amerika Serikat (AS) yan menunjukkan adanya suatu keterkaitan positif antara derajat dari perkembangan kewirausahaan (yang dicerminkan dengan laju dari lahirnya perusahaan-perusahaan baru) dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian dari Foelster (2000) untuk kasus Sweden dengan memakai data dari jumlah perusahaan dari kategori usaha satu orang (self-employment) dan total kesempatan kerja untuk periode 1976-1995 juga menghasilkan gambaran yang sama. Callejon dan Segarra (2000) memakai satu set data dari industri-industri manufaktur di Spanyol dari tahun 1980 s.d. 1992 untuk mengaitkan tingkat kelahiran perusahaan-perusahaan baru dan tingkat kematian perusahaan-perusahaan dengan pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP) di industri-industri dan daerah-daerah. Mereka mengadopsi suatu model didasarkan pada suatu kerangka-kerja modal vintage yang mana sebuah perusahaan atau perusahaan baru berdiri memiliki tekhnologi-tekhnologi paling akhir dan perusahaan atau pemain yang sudah ada mewakili tekhnologi-technologi yang sudah usang. Mereka menemukan bahwa laju start-up dari usaha-usaha baru dan laju exit berkolerasi positif dengan pertumbuhan TFP, baik di tingkat daerah maupun industri. Lainnya, misalnya, Audretsch dan Thurik (1999) memberikan bukti empiris dari sebuah studi lintas negara untuk periode 1984-1994 dari 23 negara anggota OECD (Organisation for EconomicnCo-operation and Development), bahwa peningkatan kewirausahaan, yang diukur dengan laju pertumbuhan perusahaan-perusahaan baru, berasosiasi dengan laju pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih tinggi pada tingkat negara. Sama juga, Audretsch dkk. (2002) menemukan bahwa negara-negara OECD yang menunjukkan tingkat pertumbuhan kewirausahaan yang lebih tinggi juga mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan tingkat pengangguran yang lebih rendah.
Robson dan Gallagher (1993) juga secara eksplisit menekankan aspek inovasi dari peran baru dari UMKM: small firms can play a leading role as a test bad for new ideas, new innovations and new technologies. Therefore those firms in which new innovations, ideas and technologies are likely to be developed should be at the top of the list for receiving aid. Also, to further encourage those small firms which can grow independently of large firms, or whose growth can be complementary to large firm growth. Juga, Rothwell dan Zegveld (1982) menegaskan sebagai berikut: any assessment of the importance of small firms within the industrial and social structure of societies, and the need to strengthen their productivity, will lead to the establishment of measures aimed at improving the position of these firms as utilizers of upgraded technologies. National scientific and technological policy, on the other hand, will tend to be mainly interested in the small innovative or new technological-based firm within the fluid, high growth, scientific-based industrial branches, from which radical new technologies might emerge…….,a great deal has been written concerning the innovativeness of SMEs in comparison to that of larger companies. It has on the one hand been argued that large size and monopoly power are prerequisites for economic progress via technical change, while on the other hand it has been argued that small firms are more efficient at performing innovative activities and are, in fact, the major source of innovations.
Di banyak NM, seperti Jepang, Sweden, AS, dan beberapa negara di Eropa Barat, UMKM di sejumlah subsektor manufaktur, khususnya eletronika dan otomotif, ditemukan sangat signifikan sebagai sumber-sumber penemuan baru, inovasi dan efisiensi, dan juga mampu menghadapi persaingan dari UB; dan bahkan bisa memperkuat posisi mereka relatif terhadap kekuatan UB. Di Inggris, pada akhir 1980-an perhatian mulai bergeser dari UB ke UMKM, dan kelompok usaha ini di anggap akan jadi sangat penting tidak hanya dalam perkembangan ekonomi nasional, tetapi juga regional. Tidak heran kalau sejak akhir 1980-an muncul banyak sekali buku atau artikel yang membahas peran UMKM di dalam perekonomian Inggris. Berikut ini beberapa penjelasan/pernyataan dari sejumlah peneliti: Danson (1996), over the last two decades there has been an increasing realization of the importance of small and medium enterprises (SMEs) to the development and health of the national and regional economy…….there has been a perceived need to intervene in the market to ensure that the high proportion of SMEs which fail each year are replaced, and to promote the creation of new businesses to convensate for the decline in large plants; Oakey (1991), the rediscovery of the importance of small firms a decade ago, and the acknowledgement of this size of enterprise as an important part of any national industrial effort, was a welcome balancing of an earlier excessive preoccupation with large firms…….the perception that entrepreneurially led new small firms in high technology sectors could sustain manufacturing industry in the face of a general decline of industries that had grown in the 1960s……there can be little doubt that high technology small firms are important to future British national industrial employment growth; Smallbone dan North (1996), ….the growth and survival of manufacturing SMEs in different location ……..suggets that estabilished SMEs have an important contribution to make to relagion economic development. They have been shown to be an important source of new jobs, especially in rural and outer metropolitan locations; Holiday (1995), ….since the publication of the Bolton Report on small firms (1971),
Di rusia, Struthers dkk. (1996) melihat kehancuran rezim komunis beserta sistem ekonominya yang sangat sentralistik menjadi suatu kesempatan besar bagi perkembangan UMKM, dan salah satu caranya adalah dengan menstransfer semua BUMN yang bangkrut menjadi usaha-usaha yang lebih kecil dan efisien.
Rothwell dan Zegveld (1982) menguraikan beberapa alasan dari kebijaksanaan umum yang mendukung UMKM, diantaranya yang terpenting adalah:
Distribusi dari kekuatan pasar lewat sebuah sistem dari UMKM membuat suatu distribusi dari kekuatan pasar yang lebih baik di masyarakat secara umum
Suatu tingkat konsentrasi pasar yang tinggi mengakibatkan ekonomi tidak efisien
UMKM bisa berfungsi sebagai suatu peredam terhadap goncangan kesempatan kerja, misalnya pada saat krisis ekonomi (1997-1998)
UMKM menghasilkan produk-produk yang lebih bervariasi yang bisa memenuhi selera individu masyarakat.
Sedangkan dari perspektif inovasi atau perubahan tekhnologi beberapa alasan kenapa UMKM sangat penting adalah:
Perubahan tekhnologi paling baik dipromosikan di dalam suatu sistem yang menggunakan potensi dari relasi atau kerjasama yang saling menguntungkan antara UMKM dan UB
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa UMKM sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan inovasi
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa dalam bentuk inovasi yang diukur dengan pengualaran dolar untuk R & D, UMKM memiliki suatu kinerja yang lebih tinggi daripada UB.
Hipotesis "Modern" Mengenai Hubungan antara Tingkat Pembangunan Ekonomi dan Pentingnya UMKM di Dalam Ekonomi
Pangsa "ekonomi" dari UMKM
Garis Pendapatan-UMKM
Pendapatan per kapita
Rendah Tinggi
2.3.2. faktor-faktor utama yang memengaruhi pola perubahan
Didalam literatur mengenai UMKM di NSB, diantara banyak faktor, tingkat pendapatan riil perkapita dan kepadatan penduduk sering disebut sebagai dua faktor penting yang memenaruhi pola atau sifat alami dari pembangunan dan perubahan UMKM. Kedua faktor ini memengaruhi proses transformasi UMKM lewat efek-efek langsung nya secara bersamaan terhadap sisi permintaan (pasar output) dan sisi penawaran (pasar tenaga kerja) dari UMKM. Efek-efek sisi permintaan dan sisi penawaran dari perubahan- perubahan dari kedua faktor tersebut terefleksikan, masing-masing, dalam perubahan permintaan pasar terhadap produk – produk buatan UMKM dan dalam perubahan penawaran tenaga kerja ke UMKM.
Dua Faktor dan Efek-efeknya Terhadap Proses Transformasi UMKM
Sisi PermintaanSisi PermintaanSisi PenawaranSisi PenawaranUKMUKM Pendapatan riil per kapita Kapadatan Penduduk
Sisi Permintaan
Sisi Permintaan
Sisi Penawaran
Sisi Penawaran
UKM
UKM
Faktor pendapatan-permintaan - Faktor pendapatan-penawaran
Faktor populasi-permintaan - faktor populasi-penawaran
2.3.3. Faktor pendapatan-permintaan
Perubahan Permintaan
Pergeseran struktur di dalam permintaan akhir ini menyebabkan penurunan permintaan pasar terhadap barang-barang inferior, yang kebanyakan dibuat oleh UMI, dan peningkatan permintaan pasar terhadap barang-barang dengan elastisitas pendapatan tinggi, yang pada umumnya dihasilkan oleh UB dan sebagian kecil juga oleh UK atau UM. Dalam kasus permintaan antara, semakin tinggi tingkat pembangunan atau industrialisasi semakin banyak permintaan industri terhadap produk-produk antara dan barang-barang modal.
Pola permintaan terhadap produk-produk UMKM di perdesaan
Mengetahui bahwa sebagian besar dari UMKM di NSB (terutama negara-negara miskin) adalah UMI dan berlokasi di perdesaan, efek dari peningkatan pendapatan di perdesaan atau modernisasi perekonomian perdesaan pada permintaan lokal terhadap produk-produk buatan UMI perdesaan menjadi suatu isu penting. Dalam pembangunan ekonomi di perdesaan dengan masuknya pengaruh kultur dan pola konsumsi dari perkotaan akibat antara lain perbaikan/pembangunan infrastruktur, fasilitas transportasi dan komunikasi antara perdesaan dan perkotaan dan di perdesaan tiu sendiri, dan biasanya diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita dari masyarakat perdesaan, selera atau preferensi dari banyak orang di perdesaan berubah yang menguntungkan barang-barang dengan kualitas lebih baik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan modern di perkotaan atau dari luar negeri (impor). Akibatnya, permintaan lokal terhadap produk-produk buatan perdesaan menurun.
Namun demikian, perbaikan infrastruktur dan fasilitas transportasi di perdesaan bisa juga menciptakan pasar baru di perkotaan bagi barang-barang buatan industri perdesaan, dan ini akan menjadi suatu pendorong bagi pertumbuhan industri perdesaan. Karena infrastruktur dan transportasi yang baik akan mempermudah produsen-produsen di perdesaan untuk menjual produk-produk mereka ke luar desa, baik dengan bantuan pedangang-pedagang atau melakukannya sendiri. Perusahaan-perusahaan di desa-desa dekat dengan pusat-pusat bisnis/pasar di perkotaan akan memproduksi lebih banyak barang untuk pasar perkotaan dan akan memiliki pasar lebih luas dibandingkan rekan-rekan mereka yang berlokasi di desa-desa yang terisolasi yang hanya melayani masyarakat lokal dalam volume yang kecil.
Jadi, integrasi ekonomi perdesaan-perkotaan tidak harus selalu berarti bahwa semua industri perdesaan akan mati karena persaingan dari industri-industri perkotaan. Itu tergantung terutama pada bagaimana pengusaha-pengusaha di perdesaan dapat cepat menyesuaikan diri terhadap suatu situasi yang sedang berubah yang sebenarnya sedang menciptakan kesempatan-kesempatan pasar baru, misalnya, dengan mengubah atau melakukan diversifikasi produk, meningkatkan kualitas, dan mengubah strategi pemasaran mereka.
Kesanggupan sebuah perusahaan untuk menyesuaikan terhadap perubahan-perubahan pasar tidak hanya tergantung pada kemampuan dari pemilik/manajer perusahaan, tetapi karakteristik-karakteristik umum dan sikap yang lebih objektif dari perusahaan itu sendiri juga memainkan suatu peran sangat penting. Menurut Chuta dan Liedholm (1979), berdasarkan pada observasi-observasi mereka sendiri, industri-industri perdesaan yang layak ekonomi (yakni yang mempunyai kesempatan-kesempatan lebih baik untuk tumbuh dalam jangka panjang dengan proses pembangunan ekonomi perdesaan dan integrasi ekonomi antara perdesaan dan perkotaan) merefleksikan empat pola umum sebagai berikut.
Memakai pekerja-pekerja berkualitas baik yang digaji, jadi tidak memakai anggota-anggota keluarga seperti istri dan anak sebagai pekerja berkualitas rendah yang tidak dibayar.
Perusahaan berlokasi di wilayah luas yang banyak penduduknya, jadi tidak terisolasi.
Kegiatan produksi dilakukan di tempat kerja khusus atau pabrik, jadi tidak bersatu dengan rumah tinggal pengusaha atau pemilik usaha.
Membuat produk-produk atau kegiatan-kegiatan usaha yang punya prospek pasar/ekonomi yang lebih baik, misalnya mebel, roti, pakaian jadi, dan bengkel atau reparasi mobil.
2.3.4. Faktor Pendapatan-Penawaran
Perubahan pendapatan riil per kapita juga berpengaruh terhadap pola dari perubahan kesempatan kerja di UMKM lewat sisi penawarannya, yaitu lewat pasar tenaga kerja dalam bentuk perpindahan tenaga kerja ke (atau keluar dari) UMKM dari (ke) UB atau dari (ke) UMKM di subsektor-subsektor manufaktur atau sektor-sektor lainnya.
Asosiasi antara tingkat pendapatan dan tingkat kesempatan kerja (atau relasi antara keduanya dalam pertumbuhan) di UMKM lewat pasar tenaga kerja bisa positif atau negatif. Asosiasinya positif jika pendapatan riil per pekerja di, misalnya, sektor pertanian, relatif tinggi atau meningkat, yang merefleksikan tingkat produktifitas tenaga kerja yang tinggi di pertanian, membuat penawaran tenaga kerja dan / atau wirausaha dari pertanian ke sektor-sektor lain, misalnya UMKM di industri manufaktur juga tinggi atau meningkat. Asosiasi negatif jika pendapatan riil per orang di pertanian tinggi atau meningkat, yang menandakan relatif lebih baiknya kesempatan kerja (dari sisi pendapatan) di sektor tersebut, membuat penawaran tenaga kerja dari pertanian ke sektor-sektor lain rendah atau berkurang (pertumbuhan negatif dari penawaran tenaga kerja). Jika di lihat dalam perbedaan antar wilayah, perkiraan teorinya adalah bahwa di wilayah-wilayah dengan pendapatan per kapita yang tinggi, lebih sedikit orang yang terlibat dalam kegiatan UMKM dibandingkan wilayah-wilayah dengan pendapatan-pendapatan per kapita yang lebih rendah.
2.3.5. Faktor populasi permintaan
Tingkat permintaan perdesaan terhadap produk-produk lokal tidak hanya tergantung pada tingkat pendapatan riil per kapita (dan faktor-faktor lain), tetapi juga pada besarnya populasi.
2.3.6. Faktor penawaran populasi
Perubahan dalam jumlah atau kepadatan penduduk juga dipengaruhi pola dari perubahan kesempatan kerja di UMKM, lewat efeknya terhadap supplay tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan tersebut. White (1976) membuat suatu perbedaan antara faktor-faktor permintaan dan penawaran dalam menjelaskan besarnya kesempatan kerja nonpertanian di perdesaan. Menurutnya, kesempatan kerja ini di tentukan oleh suatu interaksi yang komplek antar dua kelompok faktor-faktor tersebut.
2.3.7. Faktor "push" versus "Pull"
Sebelumnya tela dijelaskan bahwa relasi antara perubahan pendapatan per kapita dan perubahan porsi dari total kesempatan kerja yang bekerja di UMKM bisa negatif, saat pertumbuhan pendapatan yang merefleksikan kesempatan kerja di sektor-sektor lain lebih baik, yang mengakibatkan suatu pertubuhan negatif dari penawaran tenaga kerja ke UMKM. Ini memberi kesan bahwa UMKM berfungsi sebagai (penampung terakhir) bagi orang berkeluarga miskin. Kebanyakan orang melakukan UMKM, terutama UMI, di NSB adalah dari kelompok miskin yang berpendidikan rendah (bahkan banyak tidak menamati sekolah dasar) karena pendidikan mereka rendah, mereka tidak ada harapan untuk bisa mendapatkan pekerjaan, terutama di sektor, dengan pendapatan yang baik. Jadi, sebagai alternatif satu-satunya untuk bisa bertahan hidup, mereka terpaksa bekerja di atau membuka UMI. Oleh karena itu, tidak heran apabila UMKM dan UMI pada khususnya sangat banyak di negara-negara miskin.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan atau tetap banyaknya UMKM, dan khususnya UMI di Indonesia bisa menandakan suatu pembangunan yang positif,dalam arti banyak orang memang tertarik (pull) untuk melakukannya sebagai alasan, seperti ingin mandiri (tidak mau bekerja sebagai pegawai). Ingin mengembangkan kemampuan diri sendiri, dan karena ada prospek pasar yang lebih baik; atau karena terpaksa (puss).
BAB III PENUTUP
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM merupakan sebuah istilah yang mengacuke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri.Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah:³Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secaramayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah daripersaingan usaha yang tidak sehat.´Pertumbuhan UKM di Indonesia membawa dampak baik bagi perkembanganekonomi. Satu hal yang patut menjadi perhatian adalah rasio kredit bermasalah aliasnon performing loan (NPL). Selain itu, UKM juga mampu meningkatkan jumlah pendapatan Negara. Selain bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia,tanpa disadari UKM juga telah mampu mengurangi angka pengangguran dimasyarakat, sekaligus juga meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan UKM di Indonesia mengalami beberapa hambatan dalam operasionalnya. Pengetahuan para produsen atau pemilik UKM di Indonesia mengenai teknologi masih jauh dari cukup. Kebenyakan produsen di Indonesia masih menggunakan peralatan yang sifatnya masih tradisional. Sehingga biaya produksi malah menjadi lebih tinggi dibandingkan jika para produsen menggunakan mesin-mesin modern. Selain itu Indonesia juga dihadapkan pada kualiatas SDM yang masih jauh dari standar yang ada.kendala yang banyak dialami adalah factor dana. Banyak calon pengusaha yang mengeluhkan mengenai keterbatasn dana.Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut ada beberapa solusi yang dapat dilakukan, yaitu dengan memberikan pembekalan serta penyuluhan untuk mengatasi masalah SDM, sehingga kualitas SDM yang dapat meningkat. Sedangkan untuk mengatasi masalah kekurangan dana pemerintah telah mengeluarkan program bagicalon pemilik UMKM yang mengalami kesulitan dalam maslah pembiayaan. Pemerintah memberikan bantuan berupa kredit usaha rakyat (KUR) yang disalurkan oleh beberapa Bank di Indonesia yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu memerhatikan keadaan UMKM di Indonesia. Supaya kelangsungan perekonomian selalu terjaga, serta mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.
DAFTAR PUSTAKA
TAMBUNAN.TULUS.2009."UMKM DI INDONESIA".Perpustakaan Nasional.Jakarta.
Tambunan.Tulus."PEREKONOMIAN INDONESIA".
http://iamsyahputra.wordpress.com/2011/10/20/peranan-umkm-terhadap-pembangunan-ekonomi-indonesia/
http://id.shvoong.com/business-management/human-resources/2034751-peran-ukm-dalam-perekonomian-indonesia/
repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/18076/H08mte.pdf
http://diskop.padang.go.id/rendah-adopsi-teknologi-informasi-oleh-ukm-di-indonesia/
http://www.scribd.com/doc/35101611/PERKEMBANGAN-UKM-BAGI-PEREKONOMIAN-INDONESIA
http://id.wikipedia.org/wiki/Usaha_Kecil_dan_Menengah