ii
20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) :
Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Mikro memiliki kriteria asset maksimal sebesar 50 juta dan omzet sebesar 300 juta.
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Usaha Kecil memiliki kriteria asset sebesar 50 juta sampai dengan 500 juta dan omzet sebesar 300 juta sampai dengan 2,5 miliar.
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Menengah memiliki kriteria asset sebesar 500 juta sampai dengan 10 miliar dan omzet sebesar 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar.
Terdapat beberapa acuan definisi yang digunakan berbagai instansi di Indonesia, yaitu:
UU No.9 tahun 1995 tentang mengatur kriteria usaha kecil berdasarkan nilai aset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling besar Rp 200 juta dengan omzet per tahun maksimal Rp 1 milyar. Sementara itu berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999 tentang usaha menengah, batasan aset tetap (di luar tanah dan bangunan) untuk usaha menengah adalah Rp 200 juta hingga Rp 10 milyar.
Kementerian Koperasi dan UKM menggolongkan suatu usaha sebagai usaha kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per tahun. Untuk usaha menengah batasannya adalah usaha yang memiliki omset antara Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per tahun.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan menetapkan bahwa industri kecil dan menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp 5 milyar. Sementara itu usaha kecil di bidang perdagangan dan industri juga dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp 200 juta dan omzet per tahun kurang dari Rp 1 milyar (sesuai UU no.9 tahun 1995)
Bank Indonesia menggolongkan usaha kecil dengan merujuk pada UU no 9/1995, sedangkan untuk usaha menengah BI menentukan sendiri kriteria aset tetapnya dengan besaran yang dibedakan antara industri manufaktur (Rp 200 juta s/d Rp 5 miliar) dan non manufaktur (Rp 200 – 60 juta).
Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan suatu usaha berdasarkan jumlah tenaga kerja. Usaha mikro adalah usaha yang memiliki pekerja 1-5 orang. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 6-19 orang. Usaha menengah memiliki pekerja 20-99 orang dan usaha besar memiliki pekerja sekurang-kurangnya 100 orang.
Menurut Sri Winarni (2006) Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara lain sebagai berikut (1) Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan hukum perusahaan, (2) Aspek legalitas usaha lemah, (3) Struktur organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku, (4) Kebanyakan tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Kualitas manajemen rendah dan jarang yang memiliki rencana usaha, (6) Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi, (7) Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas, (7) Pemilik memiliki ikatan batin yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi kewajiban pemilik.
Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah (UMKM) telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Sejarah membuktikan, ketika terjadi krisis moneter di tahun 1998 banyak usaha besar yang tumbang karena dihantam krisis tersebut, namun UMKM tetap eksis dan menopang kelanjutan perekonomian Indonesia. Tercatat, 96% UMKM di Indonesia tetap bertahan dari goncangan krisis. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2008-2009. Ketika krisis datang dan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, UMKM lagi-lagi menjadi juru selamat ekonomi Indonesia.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga berperan dalam memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 % dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen. Angka tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan UMKM dari tahun ke tahun.
Meski demikian, UMKM juga masih memiliki beberapa kendala antara lain dalam hal produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi, permodalan, serta iklim usaha. Dalam pertemuan APEC 2013, Menkop dan UMKM Syarif Hasan mengungkapkan 3 kendala yang dihadapi oleh pelaku UMKM yakni permodalan, teknologi, dan pemasaran. Agar kendala tersebut tidak berlanjut, perlu dilakukan upaya pemberdayaan UMKM.
Dalam rangka pemberdayaan UMKM, keterlibatan stakeholder sangat menentukan keberhasilannya. Sejauh ini keterlibatan stakeholder UMKM antara lain terdiri dari instansi pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, koperasi, perbankan dan asosiasi usaha. Menurut Karsidi dan Irianto (2005) keterlibatan yang ada masih bersikap sendiri-sendiri dan kurang intergratif antara stakeholder satu dengan yang lain.
Sejatinya pemberdayaan UMKM merupakan gerakan sinergis antar berbagai pihak. Namun pemerintah tetap memegang peranan terbesar dalam upaya pemberdayaan tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam memberdayakan UMKM telah diatur jelas dalam UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM. Undang-Undang ini memuat tentang ketentuan umum, asas, prinsip dan tujuan pemberdayaan, kriteria, penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, dan koordinasi pemberdayaan, sanksi administratif dan ketentuan pidana.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah mampu membuktikan eksistensinya dalam perekonomian di Indonesia. Ketika badai krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998, banyak investor dan pengusaha besar yang mengalihkan modalnya ke negara-negara lain, sehingga perekonomian Indonesia dikala itu semakin terpuruk. Usaha kecil dan sektor riil mampu bertahan dan menopang roda perekonomian bangsa Indonesia. Undang-undang yang mengatur tentang seluk-beluk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sebuah perusahaan yang digolongkan sebagai UMKM adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu. Rinciannya sebagai berikut:
Usaha produktif yang kekayaannya sampai 50 juta rupiah dengan pendapatan sampai 300 juta rupiah per tahun digolongkan sebagai Usaha Mikro.
Usaha produktif yang nilai kekayaan usahanya antara 50 juta hingga 500 juta rupiah dengan total penghasilan sekitar 300 juta hingga 2,5 milyar rupiah per tahun dikategorikan sebagai Usaha Kecil.
Sedangkan Usaha Menengah merupakan usaha produktif yang memiliki kekayaan (modal) 500 juta hingga 10 milyar rupiah dengan jumlah pendapatan pertahun berkisar 2,5 – 50 milyar rupiah.
Menurut Bank Dunia, UMKM dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu Usaha Mikro (jumlah karyawan 10 orang), Usaha Kecil (jumlah karyawan 30 orang) dan Usaha Menengah/Medium (jumlah karyawan hingga 300 orang). Dalam perspektif usaha, UMKM diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu:
UKM sektor informal atau dikenal dengan istilah Livelihood Activities, contohnya pedagang kaki lima dan warteg.
UKM Mikro atau Micro Enterprise adalah para UKM dengan kemampuan sifat pengerajin namun tidak memiliki jiwa kewirausahaan dalam mengembangkan usahanya.
Usaha Kecil Dinamis (Small Dynamic Enterprise) adalah kelompok UKM yang mampu berwirausaha dengan menjalin kerjasama (menerima pekerjaan subkontrak) dan ekspor.
Fast Moving Enterprise adalah UKM-UKM yang mempunyai kewirausahaan yang cakap dan telah siap untuk bertranformasi menjadi usaha besar.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana perkembangan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia?
Apa hambatan dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia?
Bagaimana peran pemerintah dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia?
Apa Strategi Pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui perkembangan dan pemberdayaan UMKM di Indonesia.
Mengetahui hambatan dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia
Mengetahui peran pemerintah dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia
Mengetahui Strategi Pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan dan Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang mengalami peningkatan yang sangat menggembirakan dikarenakan berhasil menyumbangkan 57% dari PDB (di dukung oleh data BPS tahun 2006 - 2010) dimana UMKM meningkat bukan hanya dari segi kuantitas melainkan tenaga kerja, modal serta asset mereka. UMKM juga dikatakan usaha ekonomi produktif yang cukup kuat, sekalipun terjadi gejolak atau krisis mereka tidak terkena dampak yang begitu menyedihkan. Hal tersebut dikarena prinsip kemandirian yang dimiliki yang artinya mereka memiliki modal sendiri dan tidak terlalu bergantung pada lembaga lain sehingga membuat mereka kokoh hingga saat ini dan menjadi katup perekonomian negara.
Pencapaian yang sangat menggembirakn bagi UMKM kita tidak didapat hanya dengan sekali mengedipkan mata. Banyak tantangan yang mereka harus lalui dan banyak masalah yang harus mereka selesaikan baik secara modal, tenaga kerja, kegiatan produksi dan hal lainnya. Sehingga apabila terdapat UMKM yang tidak siap dan tak mampu menghindari atau mengatasi gejolak yang datang maka tidak mustahil akan ada juga UMKM yang kolaps.
Berdasarkan masalah-maslah yang dialami oleh koperasi dan UMKM di Indonesia penulis menganalisis dan memiliki strategi penyelesaian masalah-masalah tersebut yang mereka alami agar tak terulang kembali dan terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Strategi yang penulis sarankan, baik bagi pemerintah khususnya Menteri Koperasi dan UMKM, anggota serta pengurus koperasi di seluruh Indonesia dan para owner UMKM di seluruh Indonesia untuk agar memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan perekonomian Indonesia melalui cara-cara berikut, diantaranya:
Penyediaan modal dan akses kepada sumber dan lembaga keuangan. Ditambah dengan pemberian kemudahan (bukan berbelit-belit) dalam mengurus administrasi untuk mendapatkan modal dari lembaga keuangan. Dapat juga melalui pengefektifan dan pengefisienan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah disediakan oleh pemerintah sebelumnya.
Meningkatkan kualitas dan kapasitas kompetensi SDM. Melalui pendidikan dan pelatihan baik dilakukan oleh pemerintah maupun oleh koperasi atau UMKM itu sendiri. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas SDM, mereka perlu "dibangunkan" kembali mengapa mereka berada di koperasi, orang yang masih konsisten berusaha mengembalikan mindset orang yang tidak aktif agar mereka mau berorganisasi khususnya koperasi berdasarkan asas dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
Meningkatkan kemampuan pemasaran UMKM. Pemberian pendidikan mengenai pemasaran atau dengan cara membuka/merekrut tenaga profesional yang ahli dalam hal pemasaran.
Meningkatkan akses informasi usaha bagi UMKM.
Menjalin kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku usaha (UMKM, Usaha Besar dan BUMN).
Melakukan/membuat program goes to goal, yaitu langsung ke tujuan atau sasaran. Dilakukan dengan cara memberikan bantuan baik modal, konsep, dan hal-hal yang dibutuhkan oleh koperasi dan UMKM atau dengan membidik para individu yang memiliki jiwa enterpreneur dengan tetap adanya prinsip prudensial dan adanya manager investasi (meminjam istilah perbankan syariah dimana nasabah yang telah diberi pinjaman tetap terus mendapat pengawasn atau layanan prima dalam pengolahan dana yang ). Selama ini banyak orang ahli dalam bidang UMKM mengadakan seminar-seminar demi meningkatnya kualitas dan kuantitas dari UMKM, namun "efek" yang ada dari seminar tersebut tidaklah lama, hanya bertahan sebentar, untuk itu lebih baik mereka mencari langsung terjun ke lapangan untuk mencari orang-orang yang benar-benar serius di UMKMK dan jika dilihat potensi usahanya bagus segera dipinjami dana dalam rangka mengembangkan usahanya.
Sejatinya perkembangan UMKM di Indonesia cukup baik, jika ditinjau dari segi jumlah unit usaha maupun jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UMKM dalam rangka mengurangi pengangguran. Data BPS (1994) menunjukkan jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15,635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.
Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Sementara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen.
Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008) adalah:
penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
2.2 Hambatan dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sebagai usaha yang ruang lingkup usahanya dan anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas, UMKM sangat rentan terhadap masalah-masalah perekonomian.
Perlu digaris bawahi bahwa lebih dan 51 juta usaha yang ada, atau lebih dan 99,9% pelaku usaha adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan skala usaha yang sulit berkembang karena tidak mencapai skala usaha yang ekonomis. Dengan badan usaha perorangan, kebanyakan usaha dikelola secara tertutup, dengan Legalitas usaha dan administrasi kelembagaan yang sangat tidak memadai. Upaya pemberdayaan UMKM makin rumit karena jumlah dan jangkauan UMKM demikian banyak dan luas, terlebih bagi daerah tertinggal, terisolir dan perbatasan.
Kuncoro (2000) mengungkapkan ada beberapa kendala yang dialami oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Kendala tersebut berupa tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Kuncoro juga mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan "aman" sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka.
Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.
Hasil penelitian Schiffer-Weder (2001) dalam Rizali secara keseluruhan juga memperkuat persepsi bahwa UKM menghadapi hambatan berusaha yang lebih besar daripada UB. Bila dilihat dari persentasi jawaban responden, secara umum hambatan utama dalam berusaha adalah sumber pembiayaan.
Sekitar 39% responden UKM menyatakan pembiayaan sebagai hambatan utama dalam berusaha, sedangkan responden Usaha Besar (UB) yang menyatakan pembiayaan sebagai sumber hambatan utama usaha sekitar 28%. Ini mengindikasikan bahwa UKM memang lebih sulit memperoleh kredit dari sektor keuangan formal dibandingkan dengan UB.
Berbeda dengan UKM, pengelola UB memandang ketidakstabilan kebijakan pemerintah sebagai hambatan utama dalam berusaha, demikianlah pendapat 30% responden dari UB.
Tiga faktor selanjutnya yang menghambat dunia usaha adalah inflasi (35% responden), ketidakstabilan kebijakan (34%), dan pajak dan peraturan pemerintah (33,5%). Yang menarik sekitar 37% UKM menganggap aspek perpajakan dan peraturan pemerintah sebagai hambatan utama berusaha dibandingkan dengan hanya 21% UB.
Hal ini mengindikasikan bahwa UB lebih mudah menghindari pajak, misalnya, dengan mengalihkan dan melaporkan keuntungannya ke daerah yang tingkat pajaknya lebih rendah. Responden memandang nilai tukar (28%), korupsi (28%), kejahatan jalanan (27%), dan kejahatan teroganisir (24,5%) sebagai faktor lain yang menghambat kegiatan usaha.
Bila dilihat tingkat rata-rata intensitas hambatan yang dirasakan, pajak dan peraturan pemerintah (skor 2,95 dalam skala 4) dianggap sebagai hambatan yang paling umum dihadapi oleh UKM. Pembiayaan (skor 2,87), inflasi (skor ? 2,8), dan ketidakpastian kebijakan (skor ? 2,8) adalah tiga faktor lain yang punya intensitas gangguan tinggi bagi UKM.
Sedangkan UB melihat ketidaksatabilan kebijakan (skor 2,7) sebagai masalah utama. Masalah selanjutnya adalah pajak dan peraturan (skor 2,6), dan inflasi (skor 2,6). Sedangkan pembiayaan (skor 2,6) berada pada posisi ke empat.
Baik secara persentase persepsi responden dan intensitas, UKM ternyata memang menghadapi masalah lebih besar daripada UB. Menarik diperhatikan bahwa dari persentase persepsi responden dan skor intensitas, UB melihat ketidakpastian kebijakan sebagai hambatan usaha utama.
Ini menunjukkan bahwa usaha besar memang menjadi target utama kebijakan pemerintah, sedangkan UKM terabaikan. Akibatnya, semakin tidak pasti kebijakan pemerintah semakin besar dampaknya pada UB. Sedangkan para wirausahawan UKM, karena terabaikan dari kebijakan, sudah terbiasa dengan ketidakpastian dan menjadi lebih fleksibel menghadapi ketidakpastian dunia usaha.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM. Hambatan tersebut berupa:
Kurangnya modal yang dimiliki oleh UMKM
Akses terhadap modal yang sulit dijangkau
Pengelolaan yang kurang profesional
Kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat
Rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM
Kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM
Bahan baku sukar diperoleh
Pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit
2.3 Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia.
Semenjak Indonesia merdeka, pemerintah berusaha mencetak pengusaha-pengusaha baru untuk merobohkan sistem ekonomi kolonial dan diganti dengan ekonomi kerakyatan. Beberapa program disusun oleh pemerintah Orde Lama. Di masa demokrasi liberal, dikenal Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
Gagal dengan Program Benteng, pemerintah mengenalkan program baru yakni sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina (baba) dan pengusaha pribumi (ali). Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Di masa Orde Baru, pengembangan UMKM terus berlanjut. Pemerintah Orba membuat UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil guna memberdayakan usaha kecil. UU ini berisi XI bab dan 38 pasal dan mengatur pelaksanan permberdayaan UMKM di Indonesia.
Sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin dinamis dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha. UU tersebut diganti dengan UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam UU tersebut, disebutkan peran pemerintah untuk memberdayakan UMKM.
Terkait dengan urusan pemerintahan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 4 ayat 1). Kementerian Koperasi dan UKM RI merupakan Kementerian di kelompok ketiga yaitu urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 4 ayat 2, huruf C), berkaitan dengan urusan pemerintahan bidang Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Pasal 5 ayat 3).
Undang-Undang telah memberi amanat terhadap pemerintah untuk mengembangkan UMKM. Dalam UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM disebutkan peran pemerintah antara lain:
Bersama Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan dan pengendalian kesempatan berusaha (Pasal 13).
Bersama Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan promosi dagang (Pasal 14, ayat2).
Bersama Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, dan desain dan teknologi (Pasal 16 ayat 1).
Menyusun Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka waktu pengembangan usaha dimaksud (Pasal 16 ayat 3).
Bersama dengan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (Pasal 2l). Dalam hal ini Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil(Pasal 2l ayat4).
Memberikan insentif datam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (Pasal 21 ayat 5).
Meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil (Pasal 22).
Bersama Pemerintah Daerah, meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan (Pasal 23 ayat 1).
Bersama dengan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan (Pasal 24).
Bersama Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan (Pasal 25 ayat 1). Kemitraan antar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi (Pasal 25 ayat 2).
Menteri Koperasi dan UKM dan Menteri teknis lain mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, pengunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Pasal 25 ayat 3).
Menteri Koperasi dan UKM dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan usaha nasional dan daerah untuk memantau pelaksanaan kemitraan (Pasal 34).
Melarang Usaha Besar memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan (Pasal 35).
Melarang Usaha Menengah memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil mitra usahanya(Pasal 35).
Menteri Koperasi dan UKM melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Pasal 38 ayat 1).
Mengatur dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemberian sanksi administratif pelaggaran UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 39 ayat 3).
Sehubungan dengan amanat Undang-Undang, pemerintah melaksanakan berbagai program yang bertujuan untuk memberdayakan UMKM. Program tersebut antara lain adalah program Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dan pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Strategi Pemberdayaan UMKM di Indonesia mengahadapi Pasar Bebas ASEAN
Belum kokohnya fundamental perekonomian Indonesia saat ini, mendorong pemerintah untuk terus memberdayakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja cukup besar dan memberi peluang bagi UMKM untuk berkembang dan bersaing dengan perusahaan yang lebih cenderung menggunakan modal besar (capital intensive). Eksistensi UMKM memang tidak dapat diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Sudaryanto dan Hanim, 2002). Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan misi yang belum mantap. Hal ini terjadi karena umumnya UMKM bersifat income gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri sebagai berikut: merupakan usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan modal usaha dengan kebutuhan pribadi.
Pemberdayaan UMKM di tengah arus globalisasi dan tingginya persaingan membuat UMKM harus mampu mengadapai tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan jasa, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, serta perluasan area pemasaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu sendiri, utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia, mengingat UMKM adalah sektor ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia (Sudaryanto, 2011).
Pada tahun 2011 UMKM mampu berandil besar terhadap penerimaan negara dengan menyumbang 61,9 persen pemasukan produk domestik bruto (PDB) melalui pembayaran pajak, yang diuraikan sebagai berikut : sektor usaha mikro menyumbang 36,28 persen PDB, sektor usaha kecil 10,9 persen, dan sektor usaha menengah 14,7 persen melalui pembayaran pajak. Sementara itu, sektor usaha besar hanya menyumbang 38,1 persen PDB melalui pembayaran pajak (BPS, 2011).
Sebagian besar (hampir 99 persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di sektor informal dan pada umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal. Itulah sebabnya tidak terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan World Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke-15. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi negara lain. Potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM secara maksimal.
Perkembangan UMKM di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan sehingga menyebabkan lemahnya daya saing terhadap produk impor. Persoalan utama yang dihadapi UMKM, antara lain keterbatasan infrastruktur dan akses pemerintah terkait dengan perizinan dan birokrasi serta tingginya tingkat pungutan. Dengan segala persoalan yang ada, potensi UMKM yang besar itu menjadi terhambat. Meskipun UMKM dikatakan mampu bertahan dari adanya krisis global namun pada kenyataannya permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat banyak dan lebih berat. Hal itu dikarenakan selain dipengaruhi secara tidak langsung krisis global tadi, UMKM harus pula menghadapi persoalan domestik yang tidak kunjung terselesaikan seperti masalah upah buruh, ketenagakerjaan dan pungutan liar, korupsi dan lain-lain.
Permasalahan lain yang dihadapi UMKM, yaitu adanya liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) yang secara efektif telah berlaku tahun 2010. Di sisi lain, Pemerintah telah menyepakati perjanjian kerja sama ACFTA ataupun perjanjian lainnya, namun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu kesiapan UMKM agar mampu bersaing. Sebagai contoh kesiapan kualitas produk, harga yang kurang bersaing, kesiapan pasar dan kurang jelasnya peta produk impor sehingga positioning persaingan lebih jelas. Kondisi ini akan lebih berat dihadapi UMKM Indonesia pada saat diberlakukannya ASEAN Community yang direncanakan tahun 2015. Apabila kondisi ini dibiarkan, UMKM yang disebut mampu bertahan hidup dan tahan banting pada akhirnya akan bangkrut juga. Oleh karena itu, dalam upaya memperkuat UMKM sebagai fundamental ekonomi nasional, perlu kiranya diciptakan iklim investasi domestik yang kondusif dalam upaya penguatan pasar dalam negeri agar UMKM dapat menjadi penyangga (buffer) perekonomian nasional.
Masalah lain yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan UMKM adalah kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar (Ishak, 2005). Hal tersebut menjadi kendala dalam hal memasarkan produk-produknya, karena dengan terbatasnya akses informasi pasar yang mengakibatkan rendahnya orientasi pasar dan lemahnya daya saing di tingkat global. Miskinnya informasi mengenai pasar tersebut, menjadikan UMKM tidak dapat mengarahkan pengembangan usahanya secara jelas dan fokus, sehingga perkembangannya mengalami stagnasi.
Kemampuan UMKM dalam menghadapi terpaan arus persaingan global memang perlu dipikirkan lebih lanjut agar tetap mampu bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia. Selain itu faktor sumber daya manusia di dalamnya juga memiliki andil tersendiri. Strategi pengembangan UMKM untuk tetap bertahan dapat dilakukan dengan peningkatan daya saing dan pengembangan sumber daya manusianya agar memiliki nilai dan mampu bertahan menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui penyaluran perkreditan (KUR), penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan lembaga keuangan mikro melalui capacity building, dan pengembangan information technology (IT).
Demikian juga upaya-upaya lainnya dapat dilakukan melalui kampanye cinta produk dalam negeri serta memberikan suntikan pendanaan pada lembaga keuangan mikro. Keuangan mikro telah menjadi suatu wacana global yang diyakini oleh banyak pihak menjadi metode untuk mengatasi kemiskinan (ref). Berbagai lembaga multilateral dan bilateral mengembangkan keuangan mikro dalam berbagai program kerjasama. Pemerintah di beberapa negara berkembang juga telah mencoba mengembangkan keuangan mikro pada berbagai program pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat juga tidak ketinggalan untuk turut berperan dalam aplikasi keuangan mikro (Prabowo dan Wardoyo, 2003).
2.5 Analisa Usaha Dagang Mie Ayam
Asumsi
Masa pakai meja dan kursi serta gerobak atau etalase 5 tahun
Masa pakai peralatan masak (kompor dan tabung gas, panci, dan saringan mi) 3 tahun.
Masa pakai peralatan makan (mangkuk, sendok, garpu, dan gelas) 2 tahun.
Masa pakai perlengkapan lain-lain (wadah saos, kecap, sambal, dan wadah tissue) 1 tahun.
Biaya Investasi
Meja dan kursi Rp 500.000
Gerobak atau etalase Rp 2.000.000
Peralatan masak Rp 1.200.000
Peralatan makan Rp 1.200.000
Perlengkapan lain-lain Rp 200.000
Total investasi Rp 5.100.000
Biaya Operasional per Bulan
Biaya Tetap
Penyusutan meja dan kursi (1/60 x Rp 500.000,-) Rp 8.300
Penyusutan gerobak dan etalase (1/60 x Rp 2.000.000,-) Rp 33.300
Penyusutan peralatan masak (1/36 x Rp 1.200.000,-) Rp 33.300
Penyusutan peralatan makan (1/24 x Rp 1.200.000,-) Rp 50.000
Penyusutan perlengkapan lain-lain (1/12 x Rp 200.000,-) Rp 16.700
Sewa tempat Rp 400.000
Total biaya tetap Rp 541.600
Biaya Variabel
Mi (3 kg x Rp9.000,0/kg x 30 hari) Rp 810.000
Ayam (1 ekor x Rp 20.000,-/ekor x 30 hari) Rp 600.000
Sawi dan bumbu (Rp 10.000,-/hari x 30 hari) Rp 300.000
Kecap (Rp 8.000,-/3 hari x 10 hari) Rp 80.000
Gas (Rp 13.000,-/3 hari x 10 hari) Rp 130.000
Listrik, kebersihan, dan keamanan Rp 60.000
Total biaya variabel Rp 1.980.000
Total biaya operasional Rp 2.521.600
Penerimaan per Bulan
Penjualan mi ayam
(30 mangkuk x Rp 5.000,-/mangkuk x 30 hari) Rp 4.500.000,-
Keuntungan per Bulan
Keuntungan = Total penerimaan – total biaya operasional
= Rp 4.500.000,- – Rp 2.521.600,-
= Rp 1.978.400,-
Revenue Cost Ratio (R/C)
R/C = Total penerimaan : total biaya operasional
= Rp 4.500.000,- : Rp 2.521.600,-
= 1,78
Pay Back Period
Pay back period = (Total biaya investasi : keuntungan) x 1 bulan
= (Rp 5.100.000,- : Rp 1.978.400,-) x 1 bulan
= 2,6 bulan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia telah terbukti mampu menjaga stabilitas ekonomi disaat krisis terjadi. Keberadaan UMKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai 99,99% dari total usaha di Indonesia telah menyerap 97,30% tenaga kerja di Indonesia. Keberadaan UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 57,12% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun UMKM juga memiliki berbagai hambatan dalam hal pengelolaan usahanya. Masalah utama yang dihadapi oleh UMKM adalah permodalan. Menyusul masalah lain adalah pengelolaan yang kurang profesional, kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat, rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM, bahan baku sukar diperoleh, pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, peran pemerintah sangat diharapkan. Undang-Undang telah memberi amanat kepada pemerintah untuk mengembangkan dan memberdayakan UMKM. Sinergi antra pemerintah pusat dan daerah juga harus diperhatikan guna menumbuhkembangkan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku UMKM.
Beberapa program telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang. Program GKN dan pemberian KUR mencadi contoh peran pemerintah dalam upaya untuk menghasilkan UMKM yang berdaya dan mampu bersaing dengan usaha lain.
3.2 Saran
Pemberdayaan UMKM perlu disinkronkan dengan kebijakan kementrian lain agar tidak mengganggu iklim usaha yang kondusif. Pemerintah juga harus memperbanyak lagi kerjasama dengan pihak lain dalam upaya untuk memberdayakan UMKM.s
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kerjausaha.com/2013/01/mengenal-usaha-mikro-kecil-dan-menengah.html
http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/m/edef-konten-view- mobile.asp?id=20131231220022813872431
http://studyandlearningnow.blogspot.com/2013/01/pengertian-umkm-dan-koperasi.html
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/12/18/perkembangan-koperasi-dan-ukm-di-indonesia-617617.html
http://lembagalentera.wordpress.com/2012/12/11/kelemahan-dan-hambatan-koperasi-dan-ukm-2/
Kementerian UMKM dan Koperasi, Rencana Strategis 2009-2014
Kementerian UMKM dan Koperasi, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014 Bidang Pemberdayaan UMKM dan Koperasi.
UU No 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil Mikro Dan Menengah
UU No 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil
Kementerian Koperasi dan UMKM, data UMKM dan UB tahun 2006-2010.
http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201240.pdf
http://yohkandjoek.blogspot.co.id/2014/10/peranan-pemerintah-dalam-pemberdayaan.html
[Type the company name]
Golden
DIKI KHAIRUL JAHAR
RUSLI
WARTOMI
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah penulis akhirnya dapat menyusun makalah ini, kami berusaha semaksimal mungkin makalah ini dapat tersusun dengan sebaik – baiknya, mudah – mudahan kami buat makalah ini dapat bermanfaat bagi si pembaca.
Kami buat makalah dengan judul "USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH MIE AYAM " memiliki arti yang sangat penting bagi kita semua khususnya para pelajar, supaya lebih mengenal tentang dunia usaha agar lebih mandiri
Dengan kami menyusun makalah ini diharapkan tercipta sumber daya menusia yang handal dan bertanggung jawab.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada si pembaca. Akhirnya kami mohon maaf apabila secara Adminitrasi dan penyusunan maupun penyajian materi ini ada kekurangan. Kritik dan saran yang sangat kami harapkan demi sempurnanya kegiatan ini.
Binong, Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I.
PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang Masalah
1
1.2.
Rumusan Masalah
5
1.3.
Tujuan Penulisan
5
BAB II.
PEMBAHASAN
2.1.
Perkembangan dan Pemberdayaan UMKM di Indonesia
6
2.2.
Hambatan Dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia
8
2.3.
Peran Pemerintah Dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia
11
2.4
Strategi Pemberdayaan UMKM di Indonesia Menghadapi Pasar Bebas ASEAN
14
2.5
Analisa Usaha Dagang Mie Ayam
17
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
19
3.2
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
20