BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT APRIL 2013
TUMOR SINONASAL
Disusun Oleh : KARTIKA ACHMAD – C 111 06 005 NUR RAHMAH RASYID - C 111 08 134 Pembimbing : Dr. ANTONIUS PASULU
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2013 1
TUMOR SINONASAL
I.
Pendahuluan
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel (ganas) pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Asal tumor primer juga sulit untuk ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.
1,2
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena itu, pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Pengobatan keganasan sinonasal paling baik dilakukan oleh tim dokter ahli dengan berbagai disiplin ilmu. II.
3
Epidemiologi
Keganasan pada sinonasal jarang terjadi. Umumnya ditemukan di Asia dan Afrika daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma
2
nasofaring. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita,dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga ron gga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% 10 -15% terjadi pada sel-sel udara ud ara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal 3,4
dan sphenoid. III.
Anatomi dan Fisiologi
A. Hidung Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar (eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk oleh tulang, kulit dan otot. Osteokartilago hidung dibungkus oleh beberapa otot yang berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal. Kulit yang melapisi tulang hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk digerakkan serta mengandun banyak kelenjar sebasea. Sedangkan dibagian dalamnya terdiri atas dua kavum berbentuk seperti 3
terowongan yang dibatasi oleh septum nasi.
Gambar 1. (kiri) Struktur dinding lateral hidung. (kanan) Anatomi septum nasi Dikutip dari kepustakaan nomor 5
Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan choana dibagian belakang. Didalam cavum nasi anterior inferior terdapat vestibulum yang berisi kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian
3
lateralnya terdapat tiga susun turbin konka yang disebut konka nasalis 5
superior, media dan inferior.
Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis baik eksterna maupun interna. Persarafan hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglion sphenopalatina
dan
cabang
saraf
infraorbitalis,
sedangkan
fungsi
autonomnya yang berasal dari serat saraf parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus superfisial terbesar.
5
Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi, indera penciuman sebab didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbus olfaktori, konka dan vaskular didalamnya melembabkan udara inspirasi, cilia dan rambut hidung yang terdapat pada anteroinferior cavum nasi melindungi saluran pernapasan atas, memperbaiki kualitas resonansi suara yang 5
dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal. B. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok anterior dan posterior. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang – tulang tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus maxillaris, frontalis dan ethmoidalis anterior masuk dalam kelompok anterior, kesemua sinus ini bermuara pada meatus medius. Sedangkan kelompok posterior terdiri atas sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Sinus ethmoidalis bermuara dengan meatus superius cavum nasi dan sinus 1,5
sphenoidalis bermuara pada resesus sphenoethmoidalis.
4
Gambar 2. Anatomi sinus paranasalis. (kiri) Potongan frontal. (kanan)Tampak depan Dikutip dari kepustakaan nomor 6
Sinus paranasal dilapisi dengan pseudostratified epitel kolumnar, atau epitel pernapasan, juga disebut sebagai membran Schneiderian (epitel). Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin manusia. Kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus 1
maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media.
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus – sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior 1
dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga – rongga, rongga, terdiri dari sel – – sel sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel – – sel sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior dan bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – – kecil kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
5
(lamina basalis), sedangkan sel – – sel sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina 1
basalis.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Dibagian 1
belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
Sinus frontalis mempunyai kapasitas total volume 6-7 ml. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis sedangkan sinus sfenoidalis mempunyai kapasitas total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior. Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel goblet, dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi. Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri
dan
bahan
berbahaya
yang
dibawa
oleh
silia,
kemudian 2
mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang.
Secara umum, fungsi dari sinus-sinus ini adalah melembabkan dan menghangatkan udara inspirasi, melindungi komponen beberapa organ dalam tengkorak akibat adanya perbedaan suhu intrakranial, berperan dalam resonansi suara dan meringankan tempurung kepala agar tidak terlalu berat 5
akibat adanya beberapa komponen organ yang di bebankan pada tengkorak. IV. Etiologi dan Faktor Resiko
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang.
6
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain : 1. Penggunaan tembakau Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor 7
resiko terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher. 2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko 7
kanker kepala dan leher. 3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah : a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis, dan tepung. b. Debu logam berat : kromium, asbes c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan 1,4,7,8,9
sepatu.
9
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV 5. Virus
7,9
: Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun 7
hingga 85 tahun. 7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali 7
lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita.
7
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelahnya. setelahn ya.Paparan Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan. V.
1,4,8
Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan 9,10
karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran
8
basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe 9,10
regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi. VI.
10
Klasifikasi Tumor
1. Tumor Jinak a. Papiloma Skuamosa Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Etiologinya mungkin disebabkan oleh virus, namun perubahan epitel pada papiloma skuamosa dapat bervariasi dalam berbagai derajat diskeratosis. Lesi seringkali diamati dia mati pada sambungan mukoutaneus hidung anterior, terutama pada batas kaudal anterior dan septum. Untuk kepentingan diagnosis ataupun pengobatan, eksisi lesi 1,8
dilakukan dengan anestesi lokal dan di periksakan untuk biopsi. b. Papiloma Inversi
Papiloma inversi ini membalik ke dalam epitel permukaan. Jarang ditemukan pada hidung dan sinus paranasalis, seringkali berasal dari dinding lateral hidung dan secara makroskopis terlihat hanya seperti gambaran polip. Tumor ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas (pada 10% kasus). Lebih sering
9
dijumpai pada laki-laki usia tua. Terapi pada tumor ini adalah bedah 1,7,8
radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media. c. Displasia Fibrosa
Displasa fibrosa sering mengacu pada tumor fibro-oseus tak berkapsul yang melibatkan tulang-tulang wajah dan sering mengenai sinus paranasalis. Etiologinya tidak diketahui, tumor ini merupakan tumor yang tumbuh lambat, jarang disertai nyeri dan cenderung timbul sekitar waktu pubertas dimana pasien datang dengan alasan kosmetik akibat asimetri wajah. Karena pertumbuhan tumor kembali melambat dengan bertambahnya usia, maka kebutuhan akan pengobatan bergantung pada derajat deformitas atau ada tidaknya nyeri. Meskipun reseksi total diperlukan pada terapi tumor ini tapi pada mayoritas kasus hanya dilakukan pengangkatan sebagian tumor saja untuk 8
memulihkan kontur dan fungsi wajah. d. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi 1,8
seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata keanterior. 2.
Tumor Ganas a. Karsinoma Sel Skuamosa Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum yang sering ditemukan pada karsinoma sinonasal, sekitar 60% dari semua kasus. Kebanyakan karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam hidung atau sinus maksila, tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya sudah melibatkan hidung, sel ethmoidal dan antrum/maksila. Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan keratinizing dan nonkeratinizing .
10
Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%). Gejala berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada
kasus
lanjut
dapat
terjadi
proptosis,
diplopia
atau
1,8,11,12
lakrimasi.
Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh,
berdarah,
terutama
demarcated atau demarcated atau infiltratif.
berupa
nekrotik,
atau indurated ,
3
Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi seperti terapi bedah diikuti dengan 4
radioterapi atau kemoterapi post operatif. i.
Mikroskopik Keratinizing Squamous Keratinizing Squamous Cell Carcinoma Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan.
Sering
terlihat
reaksi
stromal
desmoplastik.
11
Karsinoma ini dinilai dengan diferensiansi baik, sedang atau 1,3,7,8
buruk.
ii. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (Cylindrical (Cylindrical Cell, transitional ) Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang di karakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. pattern. Dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory 3,7
neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin. b. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas 7,8
mitosis meningkat dengan gambaran mitosis atipikal. c.
Rhabdomyosarkoma Kejadian Rhabdomyosarcoma pada daerah kepala dan leher berkisar antara 35-45% kasus, 10% terjadi pada traktus sinonasal. Secara histologi, tumor Rhabdomyosarcoma ini terbagi atas lima kategori besar yaitu, embrional (paling sering), alveolar, botryoid
12
embrional, spindel sel embrional dan anaplastik. Jenis embrional dan alveolar merupakan tumor yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda meskipun begitu kejadian anaplastik pun juga sering terjadi pada usia dewasa. Angka keberhasilan terapi dan bertahan hidup dalam jangka lima tahun 35% lebih rendah pada 4,7,8,12
orang dewasa.
Rhabdomyosarcoma yang terjadi pada traktus sinonasal atau tumor diluar parameningeal orbita akan berkembang lebih agresif dibanding tumor yang berada dilokasi yang lain. Metastase sistemik maupun regional sering terjadi. Penatalaksanaan yang diperlukan melibatkan banyak modalitas terapi seperti kemoterapi, radioterapi, 4,7,8,12
dan pembedahan. d. Chondrosarkoma
Chondrosarcoma merupakan tumor dengan pertumbuhan tumor lambat yang berasal dari struktur kartilago. Angka kejadiannya berkisar antara 5-10% pada kepala dan leher, terbanyak pada maxilla dan mandibula. Tumor ini berkembang dari tingkat I ke tingkat III berdasarkan pada kecepatan mitosis, seluler, dan ukuran sel. Ukuran tumor memiliki korelasi dengan kemajuan agresivitas, kecepatan metastasis dan kemampuan bertahan hidup pasien. Pilihan terapi untuk Chondrosarcoma adalah pembedahan. Radiasi pasca pembedahan dianjurkan utamanya jika ditemukan 7,12
hasil grade tumor yang tinggi setelah pemeriksaan pemeriksaan histologi. e. Limfoma Maligna Sinonasal
Limfoma pada sinonasal ditemukan sekitar 5.8-8% dari limfoma ekstranodal pada kepala dan leher. Meskipun jarang, tumor ini merupakan tumor ganas non epithelial yang sering ditemukan pada keganasan hidung. Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam
13
kavum nasi berasal dari sel natural killer (NK). (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa limfoma primer dapat juga berasal b erasal dari sel B dan T. Limfoma pada sinonasal jarang ditemukan di negara barat, umumnya dijumpai di negaranegara Asia. Limfoma sinonasal dengan origin sel T maupun sel NK sering ditemukan pada p ada usia muda mud a dan berkaitan dengan infeksi virus Epstein-Barr. Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies selalu ditemukan.. Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan, menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik. Terapi pada tumor ini adalah radioterapi untuk lesi lokal dan kemoterapi untuk keterlibatan sistemik dan rekurensi sistemik. Angka ketahanan hidup 5 tahun 3,4,7,12,13
pada segala jenis tipe limfoma ini adalah 52%. f.
Adenokarsinoma Sinonasal Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Gejala utama berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya. Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform, tubular, dan solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan gambaran khas penampakan “swiss cheese”. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang
14
bermetastasis. Terapi pembedahan dan adjuvant radioterapi adalah pengobatan pilihan yang umum digunakan untuk terapi pada adenokarsinoma.
Prognosisnya
jelek
dan
biasanya
penderita
meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya 3,4,7,12
metastasis.
g. Olfactory Neuroblastoma Esthesioneuroblastoma (ENB) atau dikenal dengan nama neuroblastoma olfaktorius adalah tumor ganas yang muncul dari epitel olfaktorius pada dinding superior nasi. Merupakan 7-10% keganasan yang ditemukan di sinonasal pada kisaran usia 10-20 dan 50-60 tahun baik pada wanita maupun laki-laki. Secara mikroskopis, tumor
terdiri
dari
gambaran
sel
bulat
berbentuk rosette,
pseudorosette, ataupun berbentuk lembaran dan cluster. Tumor ini mengekspresikan penanda neuroendokrin seperti neuron-specific enolase (NSE), chromogranin, dan synaptophysin yang sangat berguna dalam membedakannya dengan small cell carcinoma lainnya. Terapi bedah eksisi tumor dengan batas bebas tumor merupakan pilihan terapi pada tumor ini. Penambahan terapi dengan radioterapi postoperatif meningkatkan angka kesembuhan pada 4,7,12
penyakit ini.
h. Mukosal Melanoma Maligna Sekitar 1% kasus melanoma maligna ditemukan pada 20% kasus melanoma maligna dengan origin kepala dan leher. Umumnya didapatkan pada daerah kavum nasi kemudian pada sinus maxillaris dan kavum oral. Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik, didapatkan massa polipoid berwarna keabu-abuan k eabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45%
15
kasus. Tumor ini menyebar melalui aliran darah atau secara limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal. Melanoma bisa terjadi sebagai sindrom autosomal dominan familial sekitar 8% dari 12 % semua kasus. Terapi bedah yaitu reseksi tumor dengan
batas
yang
jelas
adalah
pilihan
utama
pengobatan 3,4,7,13
dilanjutkan dengan pemberian radioterapi lokoregional. VII. Diagnosis
1. Anamnesis Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu 1
diketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko.
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Gejala yang dikeluhkan dapat 1
dikategorikan sebagai berikut: 1. Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret, sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan 1,7,13
nekrotik.
2. Gejala orbital. Perluasan
tumor
kearah
orbita
menimbulkan
gejala
diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, 1,7,14
gangguan visus dan epifora.
16
3. Gejala oral. Perluasan
tumor
ke
rongga
mulut
menyebabkan
penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah 1,4,7
dicabut.
4. Gejala fasial Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika sudah 1,4,7
mengenai nervus trigeminus. 5. Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia 1,4,7
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis. 2. Pemeriksaan Fisis
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. g anas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
17
Pemeriksaan
nasoendoskopi
dan
sinuskopi
dapat
membantu
menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke 1
kelenjar leher.
3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Biopsi Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan, dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan 7
tumor yang sudah diangkat.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker, maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau 7
diberikan kemoterapi atau radioterapi. b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga dapat membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan terevaluasi dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan endoskopi dapat merupakan pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi sebagai media 7
biopsi dan juga terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak.
18
c. Pemeriksaan X-ray Normal sinus x-ray dapat dapa t menunjukkan menun jukkan sinus dipenuhi dengan d engan gambaran seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x7
ray sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan.
Gambar 3. Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris Dikutip dari kepustakaan 15
d. CT - Scan
Gambar 4. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang berbentuk lobus tajam sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid, sinus sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris. Dikutip dari kepustakaan 9
CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya
19
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi 3
dan hubungannya dengan arteri karotis. e. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan
daerah
sekitar
tumor
dengan
jaringan
lunak,
membedakan sekret di dalam nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanalis
optik.
Sagital
image
berguna
untuk
menunjukkan
replacement signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa 3,7
pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak. f. Pemeriksaan Positron Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi. Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance dan surveillance..
3,7
20
4. Staging Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem TNM didasarkan atas 3 kategori. Masing – masing masing kategori dibagi lagi menjadi subkategori untuk melukiskan keadaan masing – masing – masing pada T, N, dan M dengan memberi indeks angka dan huruf, yaitu: 1.
T = Tumor primer a.
Indeks angka : Tx, Tis, T0, T1, T2, T3, dan T4.
b.
Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst.
2. N = Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional a.
Indeks angka : N0, N1, N2, dan N3.
b.
Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst.
3.
M = Metastase jauh 7
Indeks angka saja : M0 dan M1.
Tiap – tiap tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti sendiri – – sendiri untuk tiap jenis atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma tidak sama dengan kulit, dsb. Untuk satu jenis kanker tertentu tidak semua indeks harus dipakai. Rinciannya sebagai berikut : Penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal menurut American menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, yaitu: 3,7,12
Tx T0 Tis T1 T2
T3 T4a
Sinus Maksillaris Tumor primer tidak dapat ditentukan Tidak terdapat tumor primer Karsinoma in situ Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi tulang. Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid. Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan subkutaneus, subkutaneus, dinding dasar dasar dan medial medial orbita, orbita, fossa pterigoid, sinus sinus etmoidalis. etmoidalis. Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa
21
T4b
Tx T0 Tis T1 T2 T3 T4a
T4b
pterigoid, fossa fossa infratemporal, infratemporal, fossa fossa kribriformis kribriformis , sinus sfenoidalis atau frontal. Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus. Kavum Nasi dan Ethmoidal 3,7,12 Tumor primer tidak dapat ditentukan Tidak terdapat tumor primer Karsinoma in situ Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi tulang Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris, palatum atau fossa kribriformis. Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid , sinus sfenoidalis atau frontal. Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus. 3,7
N3
Kelenjar Getah Bening Regional (N) Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar Tidak ada pembesaran kelenjar Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Mx M0 M1
Metastasis Jauh (M) 3,7 Metastasis jauh tidak dapat dinilai Tidak terdapat metastasis jauh Terdapat metastasis jauh
Nx N0 N1 N2 N2a N2b N2c
22
Stadium Tumor Ganas dan Sinus Paranasal P aranasal Tis N0 T1 N0 T2 N0 T3 N0 T1 N1 T2 N1 T3 N1 T4a N0 T4a N1 T1 N2 T2 N2 T3 N2 T4a N2 T4b Semua N Semua T N3 Semua T Semua N
0 I II III
Iva
IVb IVc
3,7
M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1
VIII. Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi: 1. Pembedahan Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu perlu dilakukan untuk mengurangi
nyeri
yang
hebat,
ataupun
untuk
membebaskan
23
dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan 4,7
letaknya/ekstensinya.
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi
nasal, transnasal,
sublabial, sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open surgery). surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita, total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal. Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan disamping dilakukannya maksilektomi.
1,7,13
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma optikum . Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat.
4,13
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit an menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post
24
pembedahan adalah penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan kavum 1,4,7
nasi dan kavum cranii. 2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah setelah dilakukannya terapi utama utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal).
2,9
3. Kemoterapi Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking untuk debulking pada pada lesi-lesi masif
25
eksternal. Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural, 4
ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional. IX.
Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu : 1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikau ter atau 4
diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii. Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan drainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal, harus 4
dilakukan intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan 4
tindakan dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari
komplikasi
ini.
Jika
terjadi
diplopia,
penggunaan kacamata prisma merupakan terapi yang paling 4
sederhana. X.
Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi
26
adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis 1,3
penyakit ini.
Angka ketahanan hidup 5 tahun berdasarkan penelitian Patel dkk, low-grade
neoplasma
seperti
esthesioneuroblastoma
78%,
adeno-
karsinoma 52%, karsinoma sel skuamos 44%, undifferentiated carcinoma 4
37%, serta mucosal melanoma 18%.
Walaupun demikian, pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil
yang
terbaik
dalam
mengontrol
tumor
primer
dan
akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh 1
stadium tumor. XI.
Kesimpulan
Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana sel-sel kanker ditemukan dalam jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sinus ethmoidal dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan 3
sphenoid.
Paparan asap hasil sisa industri, terutama debu kayu, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Pasien dengan tumor sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis menggunakan 4,7
pendekatan holistik multidisiplin ilmu.
27
Tingkat rata-rata ketahanan hidup bagi pasien dengan tumor sinus maksilaris sekitar 40% selama 5 tahun. Tumor yang berada pada tahap awal memiliki angka kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan tumor yang dioperasi dan dilakukan terapi radiasi memiliki tingkat kelangsungan 3
hidup kurang dari 20%.
28
DAFTAR PUSTAKA
1.
Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Tengg orokan Kepala & Leher: edisi 6 . Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 178-81.
2.
Slomski G, Ph.D. Paranasal Ph.D. Paranasal Sinus Cancer, Gale Encyclopedia of Cancer . 2002. th
[cited on April 4 2013]. Available from : http://www.encyclopedia.com/c/2981literature-and-arts.html 3.
Agussalim, dr. Tumor Sinonasal . 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited on th
April 4 2013]. Available from :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /24571/.../Chapter%20II.pdf 4.
Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. Sinuses. [cited on th
April 4 2013]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article /846995overview#showall 5.
th
Dhingra P. Anatomy P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4 edition. 2010. India. Elsevier. p 130-5,141,165.
6.
th
Karanvilof B. Sinus Anatomy and Function. [cited on April 11 2013]. Available from : http://www.ohiosinus.com/patient-info/sinus-anatomy-and-function
7.
American Society of Clinical Oncology. Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus Cancers. Cancers. 2011. USA. [cited on April 4
th
2013]. Available from : http://www.
cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer 8.
Hilger PA, Adam GL. Penyakit GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher. L eher. dalam : BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6 . Effendi H, Santoso RAK, editor. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
9.
Siregar, BH. Head and Neck, Breast, Soft Tissue, Skin Tumor. 2005. Makassar. Oncology Surgery Dept. of Hasanuddin Unive rsity. hal : 4-19.
29
10. Surakardja, IDG. Onkologi Klinik . 2000. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. hal : 85-103. 11. Hermans, Robert. Neoplasms of the Sinonasal Cavities. in : Head and Neck Cancer Imaging . Hermans R, ed. University Hospitals Leuven. Belgium. p 192217.
12. Sargi RB, Casiano RR. Surgical Anatomy of the Paranasal Sinuses. in : Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques. Techniques. Kountakis SE, Onerci M, eds. 2007. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. p 17-26. 13. Holman PR, Weisman RA, Kavanagh et al. Lymphoma, Myeloproliferative Disorders, Leukemia, and Malignant Melanoma. In : Head and Neck Manifestation of Systemic Disease. Disease. Harris JP, Weisman MH, eds. 2007. Informa Healthcare USA, Inc. New York. p 251-83. 14. Salam KS, Choudhury AA, Hossain MD, et al. Clinicopathological Study of Sinonasal Malignancy. Bangladesh J Otorhinolaryngol 2009; 15(2):55-9. 15. Loevner L, Bradshaw J. J. Paranasal Sinuses and Adjacent Spaces. Spaces. Radiology Dept. of the University of Pennsylvania, USA and the Radiology Dept. of the th
Medical Centre Alkmaar, the Netherlands. [cited on April 4 2013]. Available from : http://www.radiologyassistant.nl/en/p491710c96a36d/paranasal-sinusesand-adjacent-spaces.html
30