BAB I PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG Obat merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses penyembuhan penyakit,
pemulihan kesehatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit. Keputusan penggunaan obat selalu mengandung pertimbangan antara manfaat dan risiko. Fokus pelayanan kefarmasian bergeser dari kepedulian terhadap obat (drug oriented) menuju pelayanan optimal setiap individu pasien tentang penggunaan obat (patient oriented). Untuk mewujudkan pharmaceutical care dengan risiko yang minimal pada pasien dan petugas kesehatan perlu penerapan manajemen risiko. Manajemen risiko adalah bagian yang mendasar dari tanggung jawab pemberian pengobatan. Pesatnya perkembangan teknologi farmasi yang menghasilkan obat-obat baru juga membutuhkan perhatian akan kemungkinan terjadinya risiko pada pasien. Manajemen obat mencakup sistem dan proses yang digunakan rumah sakit dalam memberikan farmakoterapi kepada pasien. Ini biasanya merupakan upaya multidisiplin dan terkoordinir dari para staf rumah sakit sakit, menerapkan prinsip rancang proses yang efektif, implementasi
dan
peningkatan
terhadap
seleksi,
pengadaan,
penyimpanan,
pemesanan/peresepan, pencatatan (transcribe), pendistribusian, persiapan (preparing), penyaluran (dispensing), pemberian, pendokumentasian dan pemantauan terapi obat. Peran para pemberi pelayanan kesehatan dalam manajemen obat sangat bervariasi antara satu negara ke negara lain, namun proses manajemen obat yang baik bagi keselamatan pasien bersifat universal. Medication Error ( ME ) atau kesalahan pelayanan obat menurut NCC MERP yaitu setiap kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak tepat atau membahayakan pasien sementara obat berada dalam pengawasan tenaga kesehatan atau pasien. Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien mulai dari produksi dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan monitoring pasien. Di dalam setiap mata rantai ada beberapa tindakan, sebab tindakan mempunyai potensi sebagai sumber kesalahan. Setiap tenaga kesehatan dalam mata rantai ini dapat memberikan kontribusi terhadap kesalahan ( Cohen, 1999). 1
II.
TUJUAN Pengelolaan medication error sangat penting dilakukan dimanapun medikasi
diberikan, adapun tujuannya adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menurunkan Insiden Keselamatan Pasien dalam medication error Meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Meminimalkan potensi terjadinya kerugian Menanggapi pihak yang mengalami cedera dengan segera dan selayaknya Mengantisipasi dan merencanakan pertanggungjawaban jika terjadi kerugian. Membantu praktisi kesehatan dan lembaga terkait untuk dapat menelusuri kesalahan obat
III. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan medication error? 2. Apa saja penyebab dari medication error? 3. Bagaimana cara mencegah medication error?
BAB II LANDASAS TEORI
2
I.
Definisi Medication Error Menurut Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Medication error
adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kerugian yang dialami pasien bisa bermacam-macam mulai dari kerugian dalam hal biaya bahkan sampai menyebabkan kematian. Medication error sendiri merupakan garis besar dari kesalahan pengobatan yang terjadi didunia kesehatan yang telah dipilah menjadi dua definisi yang berbeda, yaitu: 1)
Medical error Kesalahan yang dilakukan oleh dokter, seperti salah mendiagnosa penyakit dari seorang pasien. Dari salah diagnosis tersebut bisa berpengaruh ke tahap selanjutnya yakni tahap pengobatan.
2)
Pharmaceutical error Kesalahan yang dilakukan oleh pihak kefarmasian. Kesalahan pada kategori ini bisa terjadi dari tahap produksi obat, pelayanan resep, hingga obat telah diterima dan dikonsumsi oleh pasien. Sebab-sebab kesalahan pada saat pelayanan resep meliputi :
Salah pembacaan atau interpretasi tulisan dokter. Bisa nama obat atau
dosisnya. Salah pengambilan obat. Salah cara peracikan obat. Hingga salah pada saat KIE kepada pasien. Dalam hal penulisan resep terdapat titik-titik yang rawan yang harus dipahami baik oleh penulis resep (prescriber) maupun pembaca resep (dispenser). Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap untuk menghindari adanya salah persepsi diantara keduanya dalam mengartikan sebuah resep. Menurut Michelle R. Colien kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antaraprescriber dengan dispenser merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kesalahan medikasi (medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita. (Cohen, 1999).
Menurut JAMA 5 Juli 1995, kesalahan pengobatan (medication error) dapat terjadi dalam proses prescribing (39%), transcribing (12%), dispensing (11%),dan administering(38%), adapun pengertian dari masing-masing tersebut adalah : 1.
Prescribing 3
Kesalahan dalam proses prescribing merupakan kesalahan yang terjadi dalam penulisan resep obat oleh dokter seperti; dokter salah menulis jumlah atau dosis obat yang tepat untuk pasien, tidak jelasnya tulisan dalam resep, keliru dalam menuliskan nama obat atau tidak jelasnya instruksi yang diberikan dalam resep. 2.
Transcribing Kesalahan
dalam
proses transcribing merupakan
kesalahan
yang
terjadi
dalam
menterjemahkan resep obat di apotek. Misalnya, resep yang keliru dibaca/diterjemahkan sehingga otomatis salah juga obat yang diberikan kepada pasien. Bisa juga karena secara sengaja instruksi yang diberikan dalam resep tidak dikerjakan atau secara tidak sengaja ada instruksi dalam resep yang terlewatkan sehingga tidak dikerjakan. 3.
Dispensing Kesalahan dalam proses dispensing merupakan kesalahan yang terjadi dalam peracikan
atau pengambilan obat di apotek. Misalnya, obat salah diambil karena adanya kemiripan nama atau kemiripan kemasan, bisa juga karena salah memberi label obat sehingga aturan pemakaian obat atau cara pemakaian obat menjadi tidak sesuai lagi atau mengambil obat yang sudah kadaluarsa. 4.
Administering Kesalahan
dalam
proses administering berkaitan
dengan
hal-hal
yang
bersifat
administrasi pada saat obat diberikan atau diserahkan kepada pasien. Misalnya, karena keliru dalam membaca nama pasien atau tidak teliti dalam memeriksa identitas pasien maka obat yang diberikan/diserahkan juga menjadi salah. Bisa juga karena salah dalam menuliskan instruksi pemakaian obat kepada pasien atau salah memberi penjelasan secara lisan kepada pasien sehingga pasien pun akhirnya salah dalam menggunakan obat tersebut.
II.
Tujuan pemberian obat Tujuan pemberian obat adalah memberikan obat sesuai dengan dosis dan cara
pemakaian yang benar agar obat bisa memberikan efek penyembuhan terhadap suatu penyakit atau pun keluhan yang dirasakan oleh seseorang. 4
III.
Cara Pemberian obat Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia ( UU no. 36 tahun 2009 ). Ada beberapa macam dan biasanya dilaksanakan dalam unit pelayanan kesehatan baik itu di Puskesmas, Klinik, ataupun dalam lingkup pelayanan Rumah Sakit. Dan berikut adalah beberapa beberapa hal yang berhubungan dengan memberikan obat dan tentunya harus sesuai dengan pendelegasian dari medis atau dokter yaitu : 1. Oral 2. Sublingual 3. Inhalasi 4. Rektal 5. Pervaginam 6. Perenteral 7. Topikal/lokal Hasil Studi : Berbagai studi terkait dengan medication error telah dilakukan dan hasilnya adalah sebagai berikut : Penyebab Kesalahan Pemberian Obat Leape, et.al ( 1995) mengidentifikasi penyebab kesalahan pemberian obat antara lain : 1. Kurangnya diseminasi pengetahuan, terutama para dokter yang merupakan 22% penyebab kesalahan 2. Tidak cukupnya informasi mengenai pasien seperti halnya data uji laboratorium 3. Sebanyak 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan tidak diikutinya SOP pengobatan 4. 9% lupa 5. 9% kesalahan dalam membaca resep seperti tulisan tidak terbaca, interpretasi perintah dalam resep dan singkatan dalam resep 6. Salah mengerti perintah lisan 7. Pelabelan dan kemasan nomenklatur yang membingungkan 8. Blok dari penyimpanan obat yang tidak baik 5
9. Masalah dengan standar dan distribusi 10. Asesmen alat penyampai obat yang tidak baik saat membeli dan penggunaan misalnya pada alat infus obat anti kanker 11. Gangguan ketegangan dan lingkungan kerja 12. Ketidaktahuan pasien ME terjadi pada salah satu dari kondisi di bawah ini: a. Omission error : Gagal menyerahkan dosis sesuai dosis yang diperintahkan b.
Wrong dose error : Jumlah obat yang diberikan berbeda dengan yang diminta lebih dari 17% (10% untuk injeksi)
c.
Unordered drug error : Obat tidak pernah diperintahkan untuk diberikan kepada pasien
d.
Wrong form error : Dosis yang diberikan berbeda dengan bentuk atau sediaan yang diperintahkan
e.
Wrong time error : Dosis obat diberikan 30 menit lebih awal dari waktu yang perintahkan atau lewat 30 menit dari waktu yang diperintahkan
f. Wrong route error : Obat diberikan tidak sesuai rute yang diperintahkan g. Deteriorated drug error : Obat telah kadaluarsaatau integritas obat secara kimia atau fisika telah berubah h.
Wrong rate of administration error : Infus atau cairan intravena diberikan dengan laju yang tidak sesuai dengan yang diresepkan
i.
Wrong administration technique error : Contoh, mengoleskan alkohol pada tapak suntikan pada hal obat yang akan disuntikkan belum dipersiapkan
j. Wrong dose preparation error : Contoh, memberikan suspensi oral tanpa mengocok lebih dulu
IV.
Penyebab Medication Error Penyebab medication error yang dikemukakan oleh ISMP (Institute for Safe
Medication Practices), yaitu: 1.
Komunikasi yang salah Tulisan tangan yang tidak jelas 6
Penulisan yang jelek dapat menyebabkan kesalahan pembacaan order terutama untuk obat-obat yang mempunyai kemiripan nama. Kesalahan interpretasi nama obat yang di order juga dapat terjadi melalui order via telepon, karena kemiripan pengucapan beberapa nama obat.
Nama obat yang hampir sama Nama obat menjadi penyebab dua hingga tiga kejadian medication error. Terdapat ratusan, bahkan ribuan obat dengan nama yang hampir mirip, baik nama paten maupun generik. Beberapa diantaranya: Losec® (omeprazole) vs Lasix® (furosemide). Coumadin® (anticoagulant) vs Kemadrin® (anti parkinson). Taxol® (paclitaxel) vs Paxil® (paroxetin). Kesalahan ini pada dasarnya bisa di prediksi. Akan tetapi dari sekian banyak produk obat yang tersedia, tidak dapat diharapkan akan diingat semua oleh praktisi kesehatan. Terutama untuk produk baru, seperti Losec ® pembacanya secara terburuburu pasti akan langsung menyangka lasix®, produk yang terlebih dahulu telah familiar dengannya. Kecenderungan ini disebut “confirmation bias”.
Angka nol (0) dan angka desimal Dalam kondisi terburu-buru menulis resep/order obat, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan meski nama obat tertulis dengan benar. Order “vincristine 2.0 mg” pernah salah dibaca oleh personel menjadi “20 mg”, karena koma tertulis di garis kertas order, sehingga tidak terlihat oleh pembaca. Akibatnya pasien meninggal setelah menerima dosis yang tinggi tersebut. Pada kasus lain, seorang bayi seharusnya menerima 0.17 mg digoxin, tetapi malah menerima 0.017 mg karena kesalahan kalkulasi dosis. Menghilangkan angka nol juga dapat berakibat kesalahan pembacaan. Seperti pada “Synthroid® .1 mg”, salah arti menjadi “1 mg”.
Singkatan yang tidak baku Sering pula terjadi medication error karena kesalahan menstandardisasi singkatan, hingga terjadi salah arti antara penulis dan pembaca. Contoh penulisan D/C yang diartikan ganda sebagai “discharge” dan discontinue”. Seorang dokter menulis order sebagai berikut: “D/C meds: digoxin, propranolol, regular insulin”. Ia bermaksud meneruskan ketiga obat tersebut setelah pasien keluar dari rumah sakit (discharge from the hospital). Akan tetapi, personel klinik nya mengira dokter 7
menginginkan agar ketiga obat tersebut dihentikan (discontinue). Akibatnya, pasien tidak mendapatkan pengobatan ketika keluar dari rumah sakit selama 3 hari. Kesalahan terdeteksi setelah perawat memperhatikan resep tersebut di chart pasien.
Ambigu atau ketidak lengkapan resep Di tahun 1995, public dikejutkan dengan kesalahan pengobatan yang fatal yang terjadi di Dana Farber Cancer Institute di Boston. Seorang wanita 39 tahun penderita kanker payudara meninggal akibat cardiotoxicity karena overdosis. Cyclophosphamide di order pada dosis “4 g/m2 days 1-4”. Maksud penulis resep adalah total 4 g/m2 diberikan selama maksimal 4 hari (1 g/m 2 per hari selama 4 hari). Sementara beberapa professional kesehatan lain menginterpretasi order tersebut dengan 4 g/m2 per hari selama 4 hari. Setelah 4 hari, wanita tersebut menerima total 26.08 g cyclophosphamid (dosis maksimal 6,52 g).
2.
Sistem distribusi obat System UDD (Unit Dose Dispensing) telah terbukti mengurangi celah terjadinya
medication error. Dengan UDD, order obat diawasi dan disaring oleh personel farmasi dan perawat. Dosis disiapkan, dikemas, dilabel, dan dicek oleh personel farmasi, dan diberikan pada pasien oleh perawat, yang sekaligus mengecek ketepatan administrasi obat 3.
Dosis yang salah perhitungan Kesalahan ini sering terjadi terutama untuk pasien pediatric dan produk yang
diberikan melalui iv. 4.
Pemberian nama / label dan kemasan Masalah labeling dan packaging merupakan masalah kedua yang sering terjadi,
nama obat yang tidak terlihat dengan jelas pada kemasan obat dapat menyebabkan salah pada saat mengambil obatnya. 5.
Administrasi obat yang salah Meskipun semua langkah-langkah awal penyiapan obat telah dilalui dengan hati-
hati untuk mencegah terjadinya medication error, akan tetapi medication error pun dapat terjadi juga. Hal ini diakibatkan oleh salah penggunaan obat oleh pengguna obat tersebut. Tetes mata yang salah digunakan sebagai tetes telinga, obat topical yang ditelan, dan kesalahan administrasi lainnya.
8
6.
Kurangnya pendidikan pasien Menjadi suatu langkah yang memegang peran penting untuk mencegah terjadinya
medication error, dengan memberikan informasi dan pengetahuan pada pasien tentang pengobatan mereka. Pasien yang mengetahui kegunaan masing-masing obatnya, aturan pakai,
bentuk
obatnya,
dan
bagaimana
kerjanya,
akan
meminimalisir
terjadinya medication error. Pasien harus diberikan haknya untuk bertanya dan mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Contoh kasus Medication error : Ada seorang pasien yang menebus resep racikan di sebuah apotek. Resep racikan tersebut mengandung GG (glyceril guaiacolat) dengan indikasi sebagai obat batuk. Tetapi pada saat pembacaan resep, AA (asisten apoteker) yang berada di apotek salah mengartikan GG yang tertulis di resep. Dia justru mengambil glibenclamide yang berindikasi sebagai penurun kadar gula darah. Alhasil, setelah obat dikonsumsi oleh si pasien, bukannya sembuh, tetapi si pasien justru pingsan setelah meminum obat tersebut.
V.
Cara Mencegah Medication Error Di Indonesia pencegahan medication error terus dilakukan guna memberikan
pelayanan pengobatan yang aman bagi pasien. Untuk mengoptimalkan aplikasi management of medication error, maka Indonesia dapat mempergunakan berbagai konsep baik dari manajemen risiko, patient safety, analisis rekam kesehatan dan konsep NCC MERP ( national coordinating council medication Error reporting and prevention ) yaitu 9
Dewan Koordinasi Nasional untuk Pencatatan dan Pencegahan Kesalahan Obat yang sudah diaplikasikan di luar negeri. 1. Managemen Resiko Manajemen risiko merupakan perilaku dan intervensi proaktif untuk mengurangi kemungkinan cedera serta kehilangan. Dalam perawatan kesehatan, manajemen risiko bertujuan untuk mencegah cedera pada pasien dan menghindari tindakan yang merugikan profesi. Asuhan kesehatan yang bermutu tinggi dan sistem pelaksanaannya yang aman, merupakan kunci bagi manajemen risiko yang efektif. Mayoritas cedera pada pasien yang diakibatkan medication error dapat ditelusuri sampai kepada ketidaksempurnaan sistem yang dapat menjadi penyebab primer cedera atau yang membuat petugas melakukan kesalahan sehingga terjadi cedera pada pasien. Proses manajemen risiko meliputi proses identifikasi risiko, analisa risiko, evaluasi risiko, dan penanganan risiko di rumah sakit dengan segala aktifitas yang melingkupinya termasuk pemberian obat untuk mencegah medication error 2. Patient Safety (Keselamatan Pasien) Keselamatan Pasien /Patient Safety adalah pasien bebas dari harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis, cacad, kematian dll), terkait dengan pelayanan kesehatan. Aplikasi patient safety idealnya dilakukan secara sistem dengan memenuhi tujuh langkah menuju KPRS sebagai berikut : 1. Bangun kesadaran akan nilai Keselamatan Pasien, Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil 2.
Pimpin dan dukung Staf anda, bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di rumah sakit anda.
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, kembangkan sisitem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. 4. Kembangkan system pelaporan, pastikan staf anda agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta RS mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien – Rumah Sakit.
10
5.
Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, kembangkan cara – cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan Pasien, dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul. 7. Cegah cedera melalui implementasi sistem Keselamatan Pasien, gunakan informasi yang ada tentang kejadian/ masalah untuk melakukan perubahan pada sistem. Penerapan patient safety adalah bersifat menyeluruh di seluruh bagian di rumah sakit. Unit-unit atau Bagian-bagian di rumah sakit dengan banyak prosedur atau tindakan di dalamnya mengandung konsekuensi risiko terjadinya kesalahan juga lebih banyak. Pelayanan kesehatan yang melibatkan aspek kolaborasi antar banyak tenaga kesehatan juga mempunyai dampak terhadap peningkatan potensi terjadinya kejadian yang tidak diharapkan. 3. Komunikasi Efektif Komunikasi adalah sangat penting dan seringkali merupakan penyebab dominan medication error sehingga harus menjadi perhatian. Berbagai tehnik komunikasi efekf tdiupayakan untuk mencegah medication error. Petugas melakukan “read back” terhadap instruksi pengobatan yang diterima secara lisan maupun melalui telepon atau melaporkan hasil pemeriksaan penting yang membutuhkan verifikasi oleh orang yang menerima informasi. Upaya meningkatkan komunikasi efektif ini meliputi: 1. Hand over (serah terima): Petugas serah terima mencatat pesan-pesan yang perlu diinformasikan. Petugas serah terima menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada petugas selanjutnya secara lisan sambil menyerahkan catatan yang telah dibuat sebelumnya. 2. Read back (baca ulang): Petugas yang menerima serah terima membaca ulang pesan-pesan yang diserah terimakan. 3. Repeat back (sebutkan ulang): Petugas penerima serah terima menyebutkan ulang semua pesan-pesan yang diserah-terimakan untuk memastikan bahwa ada persepsi yang sama antara petugas serah terima dan petugas penerima serah terima terhadap pesan-pesan yang diserah-terimakan. 4. Check back (periksa ulang): Petugas serah terima memeriksa ulang catatan serah terima dan menambahkan apabila ada pesan-pesan tambahan yang belum tercatat. 11
5. Teach back (ajarkan ulang): Ajarkan ulang bila diperlukan. Bila perlu didemonstrasikan, demonstrasikanlah agar komunikasi benar-benar menjadi efektif. 6. Pencegahan yang dapat dilakukan pasien
Bertanya kepada tenaga kesehatan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan yang sedang dijalaninya misalnya untuk apa obat tersebut digunakan, bagaimana aturan pakainya, sampai kapan obat dipakai.
Bisa juga dengan melihat informasi obat atau penyakitnya melalui internet sehingga pengetahuan pasien pun tentang penyakit dan obatnya dapat bertambah.
7. Pencegahan yang dapat dilakukan pemerintah Mengatur pembuatan kemasan obat agar tidak terlalu mirip dan dapat dibedakan secara spesifik satu sama lain. Membentuk suatu lembaga independen yang khusus memantau dan mencari solusi terhadap Medication Error yang terjadi seperti ISMP (Institute for Safe Medication Practices) yang ada di Canada dan di beberapa negara lainnya
BAB III KASUS MEDICATION ERROR
I.
Kasus
Contoh kasus yang terjadi : Medication Error pada Pasien Rawat Inap (4 Mei 2012) Pasien bernama Jacquelyn ( 9 tahun) menjalani operasi tulang siku. Setelah mencari rekomendasi dari lima rumah sakit, orang tua Jacquelyn memutuskan satu rumah sakit dan memastikan rumah sakit tersebut adalah rumah sakit terbaik yang dapat 12
memberikan pengobatan terbaik bagi anak mereka. Setelah tiga jam menjalani operasi tulang, Jacquelyn diberi obat penghilang rasa sakit berupa morfin. Pompa morfin terhubung dengan alat-alat lain yang menunjukkan perkembangan keadaan Jacquelyn seperti monitor fungsi hati, monitor fungsi pernafasan, dan monitor oksigen dalam darah. Karena perkembangan yang baik, maka dokter memutuskan untuk menghentikan pemberian morfin pada Jacquelyn dan melepas monitor-monitor yang memantau fungsi organ penting. Malam itu, ibu Jacquelyn, Carol, menginap di rumah sakit menjaga anaknya. Tengah malam ia terbangun untuk mengecek Jacquelyn. Fungsi pernafasannya normal, namun tidak memberikan respon ketika dipanggil. Carol segera meminta bantuan. Setelah dilakukan pengecekan, pompa morfin belum dimatikan, namun mesin diprogram untuk menaikkan dosis morfin untuk Jacquelyn. Konsentrasi obat narkotik ini meningkat tajam pada darah Jacquelyn, ia telah mengalami overdosis morfin. Carol sangat menyayangkan kejadian ini dan meminta rumah sakit untuk bertanggung jawab. Paramedis segera mengecek keadaan Jacquelyn dan memastikan ia baik-baik saja, serta berjanji kesalahan seperti ini tidak akan terjadi lagi. Menurut Carol, hal ini terjadi di karenakan penggunaan pompa morfin tidak diajarkan kepada suster sehingga tujuan mempermudah penggunaan morfin membawa petaka.
II.
Analisi Kasus Dalam kasus ini, ada sebuah kegagalan dalam proses pemberian morfin, dimana
pemberian morfin yang seharusnya dihentikan malah ditinggkatkan dosisnya sehingga mengakibatkan pasien mengalami overdosis morfin. Morfin sulfat adalah analgesik kuat yang digunakan untuk meredakan nyeri akut atau sedang sampai berat, sakit kronis (misalnya, pada pasien sakit parah). Obat ini juga digunakan parenteral sebagai suplemen untuk anestesi dan analgesia selama persalinan. Beberapa produsen juga menyatakan bahwa morfin sebagai sediaan oral extended-release tidak diindikasikan untuk menghilangkan nyeri akut, tetapi untuk pada saat dibutuhkan seperti administrasi pra 13
operasi untuk mengontrol rasa sakit pasca operasi. Pemberian secara iv yang cepat dari obat dapat menyebabkan peningkatan frekuensi efek samping opiate diinduksi, depresi berat pernapasan, apnea, hipotensi, kolaps sirkulasi perifer, dinding dada kekakuan, serangan jantung, dan reaksi anafilaktoid Kasus medication error ini merupakan suatu bentuk kelalaian berat dari tenaga medis yang ada di rumah sakit. Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien. Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena adanya kompleksitas pelayanan kesehatan seperti teknologi yang sulit dipahami, kurang komunikasi antara dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya, serta pendidikan yang dimiliki paramedis yang mungkin masih minim.
BAB IV PENUTUP
Medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien mulai dari produksi dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan monitoring pasien. Di dalam setiap mata rantai ada beberapa tindakan, sebab tindakan mempunyai potensi
14
sebagai sumber kesalahan. Setiap tenaga kesehatan dalam mata rantai ini dapat memberikan kontribusi terhadap kesalahan ( Cohen, 1999). Indonesia telah menerapkan konsep manajemen risiko dan patient safety dalam pemberian obat namun disadari belum optimal. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam pemberian obat dapat dilakukan secara nasional dengan strategi Manajemen risiko, patient safety dan analisis rekam kesehatan baik secara kuantitatif dan kualitatif serta strategi NCC MERP yang terdiri dari pencatatan, pemahaman dan pencegahan kesalahan obat dan sudah diaplikasikan di luar negeri. Tentunya ke depan kita berharap akan ada banyak lagi usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya medication Error ini dengan harapan agar masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik, aman dan dapat dipercaya.
DAFTAR PUSTAKA Cohen, M.R.,, 1991, Causes of Medication Error, in: Cohen. M.R., (Ed), Medication Error, American Pharmaceutical Association, Washington, DC (https://sisicia.wordpress.com/2012/03/14/medication-eror-definisi-dari-beberapa-sumber/) Hatta, ed. 2013. Pedoman manajemen informasi kesehatan di sarana pelayanan Kesehatan, edisi revisi 2. Universitas Indonesia (http://www.rsi.co.id/attachments/category/25/MEDICATION%20ERROR.pdf), (http://egacuman1.blogspot.co.id/2013/07/medication-error.html) 15
(https://www.scribd.com/doc/92388077/Medication-Error-Pada-Pasien-Rawat-Inap) AHFS Drug Information® (2008)
16