BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tinea Barbae merupakan infeksi dermatofita yang jarang dan dibatasi pada area muka dan leher yang berjanggut. 1 Infeksi kebanyakan terjadi pada laki-laki (remaja dan orang dewasa). Gejala klinisnya berupa erupsi pustule yang berat, plak yang meradang atau patch patch superficial yang tidak meradang. 2,3 Kebanyakan tipe peradangan disebabkan oleh dermatofita zoofilik yaitu Trichophyton mentagrophytes var. granulosum atau Trichophyton atau Trichophyton verrucosum. 4,5 Diantara Mei 1949 dan juli 1951, 60 laki-laki menderita tinea barbae dirujuk ke klinik kulit, lima diantarnya memiliki tinea corporis dan tiga lagi memiliki tinea manuum. Dari tiga belas pasien T. discoides diisolasi sebanyak 9 kali., T. mentagrophytes tiga mentagrophytes tiga kali, dan M. dan M. canis satu canis satu kali.6 Dari hasil penelitian selama periode januari 2006 sampai dengan desember 2006, 547 kasus dari total 5627 kasus di Poli Kulit dan Kelamin RSU Mataram, atau sekitar 9,27% adalah kasus dermatofitosis superfisialis. Tinea Barbae menjadi kasus yang paling rendah jumlahnya diantara jenis dermatofitosis superfisialis yang lain, yaitu sebesar 1 kasus (0.18%), sangat jauh jumlahnya bila dibandingkan dengan tinea corporis yang menjadi jumlah kasus tertinggi, yaitu sebesar 232 kasus (42,41%). Berdasarkan uraian diatas diketahui tinea barbae merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan membutuhkan penanganan untuk mempercepat penyembuhan. Maka dari itu pada referat ini akan dibahas mengenai tinea barbae, sehingga dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan bagi orang-orang yang membaca referat ini.
I.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan tinea barbae dan apa penyebabnya? b. Bagaimana mekanisme terjadinya tinea barbae? c. Apa saja faktor risiko terjadinya tinea barbae?
1
I.3 Tujuan I.3.1 Tujuan Umum
Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tinea barbae.
I.3.2 Tujuan Khusus
a. Menginformasikan mengenai definisi dan penyebab terjadinya tinea barbae. b. Menjelaskan mengenai mekanisme terjadinya tinea barbae. c. Menjelaskan mengenai faktor risiko terjadinya tinea barbae.
I.4 Manfaat I.4.1 Manfaat bagi Instansi RSUD Ambarawa
Sebagai bahan tambahan referensi mengenai tinea barbae.
I.4.2 Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan informasi untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang tinea barbae.
I.4.3 Manfaat bagi Penulis
Sebagai bahan tambahan pengetahuan dan pengalaman dalam membuat bentuk referat yang baik dan ilmiah.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Tinea Barbae adalah infeksi jamur dermatofita di daerah dagu/janggut yang menyerang kulit dan folikel rambut. 7 Jamur pada janggut ini juga dikenal sebagai tinea sycosis dan umumnya juga sering disebut sebagai
barber’s itch .
Penyakit ini terutama terjadi pada
orang-orang di bidang agrikultural, khusunya yang orang-orang yang kontak dengan binatang di sawah. Daerah yang sering terkena biasanya di daerah leher atau wajah. 1 Lesinya memiliki dua tipe: tipe superfisial ringan yang menyerupai tinea corporis, dan tipe folikulitis pustul yang parah dan dalam, serta satu tipe lagi yang cukup jarang, yaitu tipe sirsinata. 7
II.2 Epidemiologi
Tinea barbae secara definisi hanya ditemukan pada laki-laki. Kebanyakan ditularkan melalui cukuran jenggot yang sudah terkontaminasi sebelumnya. Dengan meningkatkan kebersihan diri akan menurunkan insiden terjadinya tinea barbae.8 Umumnya, Tinea barbae cukup jarang, tetapi lebih sering pada daerah tropis yang dicirikan dengan kelembaban dan temperature yang tinggi. 9 Hampir semua yang menderita tinea barbae adalah laki-laki karena dermatofita menginfeksi di rambut dan folikel rambut dari jenggot dan mustache. Infeksi dermatofita pada perempuan dan anak-anak didiagnosis sebagai tine faciei. 10 Tinea barbae sekarang lebih difokuskan pada orang-orang yang terpapar dengan kucing, kuda, anjing, dan penularannya kebanyakan ditemukan di daerah pedesaan diantara petani dengan petani atau antar pekerja kebun. 8 Baru-baru ini beberapa penulis melaporkan infeksi ini sebagai hasil dari autoinokulasi dari jamur di kuku atau tinea pedis.5
3
II.3 Etiologi
Tinea barbae umumnya paling sering disebabkan oleh organisme zoofilik, T. mentagrophytes dan T. verrucosum, dan yang cukup jarang, M. canis. Diantara organisme antrofilik, T. megninii, T. schoenleinii, dan T. violaceum mungkin hanya menyebabkan tinea barbae di daerah endemik. Sedangkan T. rubrum juga dapat menjadi penyebab Tinea Barbae walapun jarang. 8 Karena seringnya Tinea Barbae dihadapi, tinea barbae sekarang sangat jarang terjadi. Kebanyakan infeksi ini ditemukan di tempat cukur ketika laki-laki sering mencukur dan memotong jenggotnya dengan alat cukur yang sama yang dipakai pelanggan sebelumnya. Dengan diperkenalkannya desinfeksi untuk alat cukur dan penggunaan alat cukur di rumah yang aman, kejadian penyakit ini dapat dikurangi. Sekarang, kebanyakan infeksi ini didapat dari binatang. 7
II.4 Organisme Penyebab
Infeksi tinea barbae lebih sering di daerah pedesaan dan organisme tersebut biasanya didapat dari hewan-hewan yang terinfeksi dermatofita zoofilik. Sebagai catatan sebelumnya, keparahan infeksi ini lebih sering disebabkan oleh dermatofita zoofilik daripada yang diproduksi oleh jamur antrofilik. 7 Sebagai tambahan, keparahan dari reaksi host lebih besar ketika rambut terlibat. Kombinasi dari kedua faktor ini mungkin menjelaskan reaksi keparahan yang ekstrim yang terlihat pada pasien-pasien dengan tinea barbae.
Gambar 1. Trichopython mentagrophytes
4
II.5 Gambaran Klinis
Tinea barbae biasanya menimbulkan lesi yang unilateral dan lebih sering melibatkan area jenggot daripada kumis atau bibir atas. Gejalanya mempunyai 3 tipe klinis. Tipe klinis dari penyakit ini terbagi menjadi tipe inflamasi/ deep berupa lesi supuratif yang dalam serta bernodul, tipe superficial berupa patch yang sebagian tanpa rambut, berkrusta dan di superficial dengan folikulitis dan tipe sirsinata.7,8 1. Tipe inflamasi/ deep Tipe ini biasanya disebabkan oleh T. mentagrophytes dan T. verrucosum. Tinea barbae tipe inflamasi dianalogkan dengan tipe kerion pada tinea kapitis. Tipe deep berkembang dengan lambat dan menghasilkan nodul yang menebal dan bengkak seperti kerion. Lesi yang timbul berbentuk nodul dan seperti rawa disertai krusta seropurulen. Bengkak pada tipe ini biasanya konfluen dan berbetuk infiltrasi difusa seperti rawa dengan abses. Kulit yang terkena meradang, rambut-rambut menjadi hilang, dan pus mungkin muncul melalui folikel sisa yang terbuka. Rambut-rambut di daerah ini tidak mengkilat, rapuh, dan mudah diepilasi untuk mendemonstrasikan sebuah massa purulen di sekitar akarnya. Pustulasi perifolikel dapat bergabung membentuk saluran sinus dan kumpulan pus seperti abses, yang akhirnya menjadi lesi alopecia. Umumnya lesi ini hanya terbatas pada satu bagian muka atau leher pada laki-laki. 7,8,14
Gambar 2.Tinea barbae tipe inflamasi
5
2. Tipe superfisial Tipe superfisial dicirikan dengan folikulitis pustula yang tidak terlalu meradang dan mungkin dihubungkan dengan T. violaceum atau T. Rubrum. Tipe Superfisial dari tinea barbae menyerupai lesi pada tinea corporis. Ada lesi berbentuk lingkaran dengan tepi vesikopustul. Reaksi host terhadap penyakit ini tidak terlalu perah, meskipun alopecia mungkin timbul di pusat lesi.7 Tipe ini disebabkan oleh lebih sedikit peradangan antropofil, bentuk tinea barbae ini sangat menyerupai folikulitis bakteri, dengan eritema difusa ringan dan papul folikular dan pustul. Rambut yang kusam dan rapuh membentuk infeksi endotriks dengan T. violaceum sebagai etiologi yang lebih sering daripada T. rubrum. Rambut yang terinfeksi biasanya mudah dicabut. Yang jarang, E. floccosuin mungkin menyebabkan lesi verrukosa yang menyebar yang dikenal sebagai epidermofitosis verrukosa. 8,15
Gambar 3. Tinea barbae superfisialis; papul folikel
dan pustul.
3. Tipe sirsinata Tipe ini sangat mirip dengan tinea sirsinata dari kulit glabrous, tinea barbae sirsinata menunjukkan batas vesikopustular yang aktif dan menyebar dengan lingkaran pusat dan rambut yang jarang-jarang pada daerah tersebut.8
6
Gambar 4. Tinea Barbae tipe sirsinata; tepi ditutupi papul dan vesikel kecil serta
bersisik.
II.6 Gejala Klinis
Infeksi sering berawal pada leher atau dagu, tetapi gejala klinis dari Tinea Barbae tergantung pada patogen penyebab. Kadang-kadang dermatofitosis dapat berkembang tanpa lesi khusus, tetapi selalu dengan rasa gatal.16 Tinea yang disebabkan oleh dermatofita zoofilik lebih parah karena reaksi inflamasi yang terjadi disebabkan oleh jamur yang lebih kuat. 14 Dagu, pipi, dan leher sering terinfeksi. Umumnya infeksi ini menyebabkan nodul yang inflamasi atau nodul-nodul dengan pustul mulitpel dan aliran sinus pada permukaannya. Rambut dapat rontok dan patah, eksudat, pus dan krusta menutupi permukaan kulit (kerion celsi). Rambut mudah dicabut dan tidak sakit. Kadang-kadang muncul bersamaan dengan limfadenopati regional, sedangkan demam dan malaise cukup jarang terjadi.3 Ada gejala-gejala yang sangat jauh berbeda satu sama lain. Dua variasi gejala klinis utama dibedakan. Tipe tanpa inflamasi yang disebabkan oleh dermatofita antrofilik diawali dengan patch datar dan eritema dengan tepi yang meninggi. Patch bersisik mungkin ditutupi papul-papul, pustule atau krusta. Rambut patah di dekat kulit dan dapat menyumbat folikel rambut. Patch kulit mungkin soliter tetapi dapat juga multiple dan mungkin berbentuk annular. Patch dapat bertahan hingga bertahuntahun dan mungkin membesar. Kadang-kadang, morfologi klinisnya menyerupai folikulitis bakteri, khususnya ketika folikel pustula telah berkembang dan hilangnya rambut telah terlihat. Lesi pustula dengan rambut yang hilang menunjukkan varian kronik dari infeksi jamur ini yang menyerupai sikosis
7
(folikulitis pustula dari janggut). Dengan demikian, penyakit itu disebut sycosiform tinea barbae. Tipe dalam atau pustul dari tinea barbae dicirikan dengan adanya folikel yang berpustul dan dalam yang membentuk nodul-nodul, seperti lesi kerion yang ditemukan pada Tinea capitis. Lesi pustula ini diawali mikotik yang sesungguhnya dan pus sangat penuh pada artrokonidia jamur. Reaksi yang terjadi bisa benar-benar parah dimana kebanyakan rambut menjadi patah dilanjutkan resolusi dari penyakit ini. Alopecia dan bekas luka mungkin menetap. Lesi terlhat seperti rawa dan membengkak. Rambut-rambut ini ketika diepilasi akan terlihat memiliki sejenis pus, massa putih pada akar rambut dan mengelilingi jaringan di sekitarnya. Aliran sinus meningkat dan merusak jaringan sekitar. Sedikit tekanan akan membangkitkan ekstrusksi dari material purulen. Lesi ini mungkin soliter dan kebanyakan sering ditemukan pada daerah maksila. Kadang-kadang keseluruhan area jenggot terkena dan indurasi verukosa ungu kemerahan yang banyak juga terbentuk. Pembesaran kelenjar getah bening regional, demam ringan, dan malaise mungkin muncul bersamaan pada infeksi yang parah, khususnya yang disebabkan oleh T. verrucosum. Bibir atas biasanya terhindar dari tinea barbae, sangat kontras jika dibandingkan dengan infeksi bakteri sycosis vulgaris.7,14,15
II.7 Histopatologi
Reaksi seluler terhadap tinea barbae sama dengan yang diproduksi pada tinea capitis dengan tipe yang lebih parah. Organisme mungkin tampak pada batang rambut dan folikel dan sejumlah besar antrospora tampak pada batang rambut dan hidup bebas pada debris seluler. Kadang-kadang organisme ini tidak tampak adannya infiltrat pyogen yang akut yang terlihat. Pada lesi kronik atau dalam penyembuhan, infiltrat peradangan kronik dengan sel raksasa mungkin terlihat.7
II.8 Diagnosis
Investigasi mikologi adalah dasar untuk diagnosis. Pemeriksaan mikologi terdiri dari mikroskopi langsung dan kultur/ biakan. Pada beberapa kasus yang
8
jarang seperti tinea yang disebabkan Mikrosporum canis dapat menyebabkan tinea. Pemeriksaan lampu wood akan sangat membantu. Akan tampak florosensi hijau kusam pada rambut yang terinfeksi. 16 Material yang terkumpul biasanya terdiri dari rambut yang diepilasi dan massa pustula. Ketika plak-plak pada superfisial dan tanpa pustul, pemeriksaan material terbaik adalah dengan mengambilnya dari tepi. 3 Pemeriksaan langsung dengan potassium hidroksida 20% dengan tambahan dimetil sulfoksida akan memberikan hasil yang cepat, tetapi diperlukan orang yang berpengalaman untuk melakukannya. Preparat KOH untuk mengidentifikasi hifa adalah diagnosis untuk infeksi T. verrucosum. Menyayat tepi lesi yang aktif atau dengan memakai rambut untuk diteliti sebaiknya dilakukan. Teknik ini memiliki sensitifitas 88% dan spesifisitas 95%. Lampu wood akan memastikan kasus-kasus yang jarang seperti pada infeksi microsporum.9, 16 Pewarnaan tambahan, seperti pewarnaan Swartz-Lamkin, Parker blue-black ink atau chlorazol black E, kadang-kadang akan sangat berguna. Spesimen tersebut diperiksa dengan mikroskop cahaya dan hasilnya tergantung pada jamur penyebab yang diperksa yang akan menunjukkan tipe hifa khusunya masingmasing dan atau artokonidia. 17 Sedangkan untuk pengerjaan kultur dapat memakan waktu sekitar 3 – 4 minggu dan biasanya ditampilkan pada agar Saboraud
dengan
cycloheximide
dan
kloramfenikol
ditambahkan
untuk
menghambat pertumbuhan dari bakteri dan jamur non-dermatofitik. Identifikasi jamur didasarkan pada morfologi dan mikroskopik dari koloni. Identifikasi pathogen menyediakan informasi tentang sumber dari infeksi dan menolong dalam menyeleksi pengobatan yang tepat. 3 Pemeriksaan histologi diperlukan hanya pada kasus-kasus yang sulit. Pewarnaan hematoxylin dan eosin sering tidak dapat menunjukkan elemen jamur. Pewarnaan periodic acid-Schiff (PAS) sangat direkomendasikan. Pada spesimen biopsi, folikulitis dan perifolikulitis akan dapat diamati melalui infiltrat-infiltrat spongiosis dan folikel limfositik. Kadang-kadang mikroabses akan terbentuk oleh neutrofil dalam keratin folikel.18
9
Infiltrat peradangan sel campuran sering tampak pada dermis, serta pada sel raksasa kerion yang kronik juga dapat terlihat. Artrikonidia dan atau hifa mungkin dapat dideteksi di stratum korneum, folikel rambut dan batang rambut. 19
Gambar 5. Gambaran mikroskopik M. Canis; beberapa mikrokonidia, berdinding tebal,
dan makrokonidia ekinulata dengan bentuk kran pada ujungnya.
Gambar 6. Gambaran mikroskopik T. Verrucosum; Rantai-rantai dari klamidokonidia
pada SDA dan makrokonidia berbentuk ”buntut tikus” tipis dengan tiamin.
II.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada tinea barbae dapat berdasarkan kemiripan gejala klinisnya dengan penyakit lain maupun melalui organisme penyebab. Banyaknya morfologi dari lesi Tinea Barbae adalah alasan utama luasnya kelainan kulit lain yang dapat menyerupai infeksi jamur. Penyakit-penyakit ini seperti folikulitis bakteri, dermatitis atopik, dermatitis kontak dan dermatitis seboroik dapat menyerupai tinea barbae.16
10
Diagnosis banding yang terpenting adalah sikosis barbae dan epiteliomata Sikosis barbae biasanya lebih menyebar, lebih kronis dan menginfeksi daerah yang sering kena tekanan, meskipun reaksi inflamasi tidak begitu intens, rambutrambut yang terinfeksi tidak hilang dan tidak sakit saat dicabut. Area kecil dari tinea barbae biasanya menyerupai epiteliomata sel basal, tetapi kesalahan diagnosis tidak akan terjadi bila diagnosis banding tersebut dapat diingat. 20
II.10 Terapi
Pengobatan untuk tinea barbae sama dengan pengobatan pada tinea capitis. 13 Terapi oral antimikosis diperlukan. Beberapa penelitian dan pengalaman sendiri menunjukkan antijamur topikal tidak cukup untuk mengontrol lesi dari tinea barbae secara menyeluruh. Dengan demikian pada kebanyakan kasus sangat direkomendasikan kombinasi antara pengobatan sistemik dan topikal antimikosis. Ketika mengenai rambut-rambut, pencukuran atau depilasi sebaiknya diambil sebagai pertimbangan.16 Dahulu, epilasi manual atau x-ray bersama dengan kompres menggunakan kompres permanganat (1:4000) atau larutan vleminckx (1:33) pernah dilakukan. Tetapi tidak ada dari regimen ini yang sekarang diindikasikan untuk mengobati tinea barbae, khususnya epilasi x-ray. Merkuri amonia (5%), quinolor, desenex, sopronol, atau asterol kadang-kadang digunakan untuk megobati lesi itu. Beberapa dari obat di atas mungkin sangat berguna pada kasus resisten sebagai tambahan untuk pengobatan griseofulvin. Memangkas dan mencukur area jenggot juga sangat direkomendasikan. Sepanjang diberikan bersama-sama kompres hangat dan dilakukan pembersihan sisa-sisa dari jaringan yang sakit. 7 Kompres hangat digunakan untuk menyingkirkan krusta dan debris sebagai pengobatan tidak spesifik, biasanya dapat dilakukan. Sekarang ini terbinafine 250 mg digunakan sehari sekali untuk periode paling sedikit selama 4 minggu tergantung pada pilihan pengobatannya. Pada beberapa kasus penggunaaan griseofulvin pada dosis paling sedikit 20 mg/kg/hari (terapi berlangsung lebih dari 8 minggu) mungkin dapat dipertimbangkan. 1,10 Griseofulvin mungkin sangat berguna untuk pengobatan Tinea barbae, khususnya untuk tipe kronik. Hilangnya rasa sakit, tidak nyaman, dan malaise
11
secara cepat, bersama dengan kegagalan untuk mengembangkan lesi satelit dan resolusi lebih cepat dari penyakit ini, telah dilaporkan setelah pengobatan dari infeksi T. verrucosum yang parah. Dosis griseofulvin adalah 500 mg per hari dibagi menjadi dua sediaan. Pengobatan sebaiknya dilanjutkan selama dua atau tiga minggu seiring hilangnya gejala-gejala klinis. 7 Itrakonazol 100mg/ hari selama 4 – 6 minggu dapat sangat efektif. Telah dipastikan oleh Maeda dkk. yang telah mengobati secara efektif dengan itrakonazol 100 mg/hari (selama 2 bulan terapi) pada seorang petani yang terinfeksi Trichophyton verrucosum.21,22 Sebagai pengobatan topikal bisanya digunakan 2 kelompok antijamur, yaitu azol dan alilamin. Meskipun rekomendasi pengobatan umum sudah ada untuk pasien tinea barbae, tetap penting diingat bahwa sering pada pasien-pasien tersebut,
regimen
pengobatan,
khusunya
periode
pengobatan,
sebaiknya
ditentukan berdasarkan masing-masing pasien tersebut berdasarkan pada gejala klinis dan penilaian laboratoriumnya. Eliminasi dari sumber infeksi, khususnya yang kontak dengan hewan yang terinfeksi akan menjadi sangat penting untuk hasil akhir dari pengobatan ini. Lebih lanjut lagi, pengobatan infeksi jamur lainnya seperti tinea pedis dan onikomikosi sangat penting, karena kemungkinan terjadinya autoinokulasi pada janggut. 7,16
II.11 Prognosis
Karena kebanyakan kasus dari tinea barbae adalah tipe peradangan, resolusi secara spontan biasanya terjadi. Durasi dari infeksi bervariasi tergantung organisme yang terlibat. Karena T. verrucosum dan T. mentagrophytes var. Mentagrophytes kebanyakan merupakan organisme yang virulen, infeksi yang terjadi umumnya sembuh dalam dua sampai tiga minggu. Infeksi kronik dapat berlangsung lebih dari dua bulan dan T. rubrum atau T. violaceum jarang menjadi penyebabnya.7
12
BAB III KESIMPULAN
Tinea Barbae adalah infeksi dermatofitosis superfisialis yang jarang terjadi. Infeksi ini hanya terbatas pada daerah yang berjanggut, yaitu pipi, dagu dan leher. Hampir seluruh penderitanya adalah laki-laki dewasa. Penyakit ini dapat disebabkan berbagai organisme jamur, sehingga penyakit ini memiliki tiga tipe klinis, yaitu tipe inflamasi (deep), tipe superficial, dan tipe sirsinata. Masingmasing tipe memberikan gambaran klinis yang cukup berbeda. Untuk mendiagnosis penyakit ini diperlukan aspek klinis dan pemeriksaan penunjang yang tepat seperti pemeriksaan mikroskopik dengan KOH, maupun pemeriksaan biakan hingga histopatologi. Kadang-kadang penyakit ini sulit dibedakan dengan sycosis barbae. Terapi tinea barbae terbukti efektif bila dilakukan dengan kombinasi terapi sistemik dan terapi topikal. Lama pengobatan tergantung
kondisi
penderita
masing-masing
menginfeksinya.
13
dan
jenis
jamur
yang
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bonifaz A, Ramirez-Tamayo T, Saul A. Tinea Barbae (tinea sycosis): experience with nine cases. J Dermatol 2003; 30, 898-903.
2.
Trotha R, Graser Y, Platt J, Koster A, Konig B, Konig W, Freytag C.Tinea barbae caused by a zoophilic strain of Trichopyton interdigitale. Mycoses 2003; 46: 60-3.
3.
Szepietowski JC, Schwartz RA. Tinea barbae. eMedicine Dermatology [Journal
serial
online].2004.
Available
at:
http://author.emedicine.com/derm/topic419.htm 4.
Elewski BE. Tinea barbae. Clinical Dermatology, Demis DJ (ed). Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins 1999, Unit 17-8, 1-4.
5.
Kawada A, Argane Y, Maeda A, Yudate T, Tezuka T, Hiruma M. Tinea barbae due to Trichophyton rubrum with possible involvement of autoinoculation. Br J Dermatol 2000; 142: 1064-5.
6.
Maeda M, Nakashima T, Satho M, Yamada T, Kitajima Y. Tinea barbae due toTrichophyton verrucosum. Eur J Dermatol 2002; 12: 272-4.
7.
Rippon, J.W. Medical Mycology. W.B. Saunders Co., Philadelphia, 1974, bab 5 hlm. 194-196.
8.
Verma, S. dan Heffernan M.P. Tinea Barbae in Fitzpatrick, Wolff, K.,Goldsmith L.A., Katz S.I, Gilchrest B.A., Paller, A.F., Leffell, D.J. Dermatology in General Medicine, 7th ed., vol. 2, bab. 186, hlm. 1813-1814. (McGraw-Hill Book Company, New york 2006).
9.
Shrum JP, Millikan LE, Bataineh O. Superficial fungal infections in the tropics. Dermatol Clin 1994; 12: 687-93.
10. Szepietowski JC, Schwartz RA. Tinea faciei. eMedicine Dermatology [Journal
serial
online].
2004.
Available
at:
http://author.emedicine.com/derm/topic740.htm 11. Beswick SJ, Das J, Lawrence CM, Tan BB. Kerion formation due to Trichophyton rubrum. Br J Dermatol 1999; 141: 953-4.
14
12. Szepietowski JC, Bielicka E, Maj J. Inflammatory tinea barbae due to Trichophyton
rubrum
infection – autoinnoculation
from
fingernail
onychomycosis? Case Rep Clin Pract Rev 2002; 3: 68-70. 13. Ceburkovas O, Schwartz RA, Janniger CK. Tinea capitis: current concepts. J Dermatol 2000; 27: 144-8. 14. Baldassarre MA, Belli MA, De Luca T, Ruocco E. Tinea faciei:presentazione di un caso. 41st Italian National Dermatology Congress Abstract Book.Capri, Italy. Editors: Berutti G, Ruocco V. Publisher 2003; 169. 15. Lin RL, Szepietowski JC, Schwartz RA. Tinea faciei, an often deceptive facial eruption. Int J Dermatol 2004; 43, in press 16. Baran, W dan Schwartz, R.A. Tinea Barbae. Acta Dermatoven APA vol 13, 2004, No. 3, hlm. 91. 17. Drake LA, Dinehart SM, Farmer ER, Goltz RW, Graham GF, Hordinsky MK, Lewis CW, Pariser DM, Skouge JW, Webster SB, Whitaker DC, Butler B, Lowery BJ, Elewski BE, Elgart ML, Jacobs PH, Lesher JL Jr, Scher RK..Guidelines of care for superficial mycotic infections of the skin: Tinea capitis and tinea barbae. J Am Acad Dermatol 1996; 34: 290-4. 18. Soyer HP, Cerroni L. The significance of histopathology in the diagnosis of dermatomycoses. Acta Derm Venerol (APA) 1992; 1: 84-7. 19. Maeda M, Nakashima T, Satho M, Yamada T, Kitajima Y. Tinea barbae due to Trichophyton verrucosum. Eur J Dermatol 2002; 12: 272-4. 20. Niczyporuk W, Krajewska-Kulak E, Lukaszuk C. Bartoszewicz M, Roszkowska I, Edyta M. Difficulties in the diagnosis and therapy of skin and hair mycoses in children. Dermatol Klin Zabieg 1999; 2: 75-8. 21. Zuber TJ, Baddam K. Superficial fungal infection of the s kin. Where and how it appears help determine therapy. Postgrad Med 2001; 109: 117-20, 123-6, 131-2. 22. Shear NH, Einarson TR, Arikian SR, Doyle JJ, van Assche D. Pharmacoeconomic analysis of topical treatments for tinea infections. Int J Dermatol 1998; 37: 64-71.
15