TIFUS ABDOMINALIS MAKALAH UNTU TUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH H Epidemiologi Penyakit Menular yang ng dibina oleh Ibu dr. Anindya Hapsari, S.Ked
Disusun Oleh: D Derada Karunia I.
130612607847
R Rahma Ismayanti
130612607891
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FA FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN JURUSAN ILMU KESEHATAN PROGRAM M STUDI ILMU KESEHATAN MASYAR RAKAT Februari 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang.................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2 1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Penyebab dan Gejala Penyakit Demam Tifoid ................................ Epidemiologi Penyakit Demam Tifoid ............................................ Patogenesis dan Patofisiologi Demam Tifoid .................................. Cara Penularan Demam Tifoid ........................................................ Penatalaksanaan Demam Tifoid ...................................................... Cara Pencegahan Demam Tifoid .....................................................
3 3 4 5 7 9
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 10 3.2 Saran ................................................................................................ 10 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negara
berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah Tifus Abdominalis atau biasa dikenal demam tifoid. Secara global, diperkirakan 17 juta orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya. Di indonesia diperkirakan insiden demam tifoid adalah 300- 810 kasus per 100.000 penduduk pertahun, dengan angka kematian 2%. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi terbanyak keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten. Di Sulawesi Selatan melaporkan demam typhoid melebihi 2500/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan Salmonella typhi. Demam tifoid (thypoid fever atau tifus abdominalis) banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun dipedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan yang kurang, hygiene pribadi serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan penting di negara berkembang. Diagnosis penyakit ini masih menjadi tantangan para kliniisi karena gambaran klinis yang tidak khas sehingga pengenalan gejala dan tanda klinis menjadi sangat penting untuk membantu diagnosis. Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Kecenderungan terjadinya angka kejadian demam typhoid di Indonesia terjadi karena banyak faktor, antara lain: Urbanisasi, sanitasi yang buruk, karier yang tidak terdeteksi, dan keterlambatan diagnosis. Dengan melihat data tersebut diatas, baik inseiden maupun angka kematiannya, maka pengetahuan dini mengenai demam tifoid perlu segera dipaparkan. Oleh karena itu memahami penyebab, gejala, cara penularan, penatalaksanaan dan
1
pencegahan masalah demam tifoid perlu diungkap dan dijelaskan untuk mengurangi insiden dan angka kematian secara tidak langsung. 1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa penyebab penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid?
2.
Bagaimana gejala penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid?
3.
Bagaimana cara penularan Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid?
4.
Bagaimana penatalaksanaan penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid?
5.
Bagaimana usaha pencegahan Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui penyebab penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid 2. Memahami gejala penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid 3. Mengetahui cara penularan penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid 4. Memahami penatalaksanaan penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid 5. Memahami cara pencegahan penyakit Tifus Abdominalis atau Demam Tifoid
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Penyebab dan Gejala Penyakit Demam Tifoid Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terjadi dalam saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. (Brusch, 2013). Demam typhoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu Salmonella typhosa, Salmonella paratyphi A, dan Salmonella paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh Salmonella typhosa cenderung untuk menjadi lebih berat dari pada bentuk infeksi salmonella yang lain (Ashkenazi et.al, 2002). Penyakit pada anak biasanya tidak seberat pada orang dewasa. Biasanya dimulai berangsur- angsur dengan naiknya panas dari hari ke hari, sering mencapai 40oC (140oF) pada akhir minggu pertama. Sakit kepala, batuk, konstipasi, perdarahan hidung, dan meningismus sering kali muncul. Pada minggu kedua penyakit, tinggi suhu menetap dan kulit menjadi panas dan kering. Anak tampak sangat sakit dan berbaring dengan tenang. Perut seringkali bengkak. Diare dapat terjadi dengan tinja cair, berwarna kehijauan dan berlendir. Limpa akan membesar, walaupun barangkali sudah terjadi karena malaria. Bercak Rose ( rose spots, rata, bercak merah dengan diameter 2-5 mm) dapat tampak, terutama diperut dan dada, dan pada anak- anak dengan kulit yang kering. Pemeriksaan dada sering menunjukan gejala bronkhitis atau pneumonia. ( Irianto, 2014)
2.2
Epidemiologi Penyakit Demam Tifoid Demam typhoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika,
Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang 3
terkontaminasi. Insiden demam typhoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 3002 sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus demam typhoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan Salmonella typhosa : pasien yang menderita demam typhoid dan yang lebih sering dari carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam typhoid namun masih mengeksresikan Salmonella typhosa dalam tinja selama lebih dari satu tahun. (Brusch, 2013).
2.3
Patogenesis dan Patofisiologi Demam Tifoid Bakteri Salmonella typhosa masuk ke tubuh manusia melalui mulut dengan makanan
dan minuman yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyer di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Bakteri Salmonella typhosa kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah mengalami kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhosa masuk ke aliran darah melalui ductus thoracicus. Bakteri bakteri Salmonella typhosa lainnya mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhosa bersarang di plaque peyer, limpa, hati, dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid disebabkan oleh endotoksin. Tapi kemudian berdasarkan penelitianeksperimental disimpulkan bahwa endotoksin bukan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid. Endotoksin Salmonella typhosa berperan pada patogenesis demam typhoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhosa berkembang biak. Demam pada typhoid disebabkan karena Salmonella typhosa dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang ( Juwono, 2006).
4
2.4
Cara Penularan Demam Tifoid Demam typhoid ditularkan melalui fecal-oral antara lain makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh kuman Salmonella typhosa. ( Juwono, 2006) Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan demam tifoid diantaranya adalah pola makan, hygiene sanitasi, dan tingkat pengetahuan kebersihan. 1. Pola makan Pola makan adalah kebiasaan makan yang dikonsumsi seharihari. Pola makan dan intensitas yang benar adalah kebiasaan makan tiga kali sehari dengan gizi seimbang diterjemahkan sebagai upaya untuk mengatur tubuh kita agar tediri dari sepertiga makanan, sepertiga cairan, sepertiga udara. Apabila pola makan dan intensitas tidak dilakukan dengan benar dapat menyebabkan asam lambung meningkat dan dinding lambung mengalami iritasi, dalam keadaan tersebut kuman Salmonella typhosa dapat dengan mudah menginfeksi melalui dinding lambung (Siswono, 2002). Menurut Fathonah (2005) pola makan dipengaruhi oleh sosial budaya, segi psikologi, kepercayaan terhadap makanan. 2. Kebersihan diri Kebersihan diri adalah sikap perilaku bersih pada seseorang agar badan terbebas dari kuman. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain pemeriksaan kesehatan, perilaku cuci tangan, kesehatan rambut, kebersihan hidung, mulut, gigi, telinga, dan kebersihan pakaian (Rohim et.al, 2002). Kebersihan diri terutama dalam hal perilaku mencuci tangan setiap makan, merupakan sesuatu yg baik. Dimana sebagian besar Salmonella typhosa ditularkan melalui jalur fecal oral. Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas untuk membuang air. Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel di tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Tangan 5
yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi. Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan adalah bagian penting dalam penularan kuman Salmonella typhosa (Rohim et.al, 2002). Kebersihan diri sangat penting mengingat Salmonella typhosa mampu bertahan beberapa minggu didalam air, es, debu, sampah kering dan pakaian, mampu bertahan di sampah mentah selama satu minggu dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, tanpa merubah warna atau bentuknya (Rohim et.al, 2002).
3. Pengetahuan Pengetahuan tentang suatu hal akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Perilaku seseorang sangat berhubungan erat dengan pengetahuan tentang kesehatan serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan, yang salah satunya adalah pengetahuan tentang demam typhoid (Notoatmodjo, 2005). Determinan perilaku adalah faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua, yakni : 1) Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2) Faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2005).
4. Hygiene sanitasi Hygiene adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Termasuk upaya melindungi, memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun masyarakat), sedemikian
6
rupa sehingga berbagai faktor lingkungan yang menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan kesehatan (Azwar, 1990). Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan manusia, lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan sedemikian rupa sehingga munculnya penyakit dapat terhindar (Azwar, 1990).
2.5
Penatalaksanaan Demam Tifoid Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih mengikuti trilogi penatalaksanaan yang
meliputi istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang ( baik simptomik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tata laksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi internal maupun eksternal. I. Istirahat dan Perawatan Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi dan BAK/ BAB. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pneumonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. II. Diet dan Terapi Penunjang Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat misalnya: a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus,, dan diet bubur saring pada penderita yang meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan. b. Cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
7
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kepan saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi. III. Pemberian Antimikroba Obat- obat anti mikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana demam tifoid adalah: a.
Chloramphenicol, diberikan dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari bakteri Salmonella, menghambat pertumbuhannya dan menghambat sintesis protein. Efek samping penggunaan cholramphenicol
adalah
terjadi
agranulositosis.
Kerugian
menggunakan
choramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi mencapai 5-7% penggunaan jangka panjang (14 hari) dan seringkali menyebabkan timbulnya karier. b.
Tiamfenikol, diberikan dengan dosis 4 x 500 mg per hari dan demam turun rata- rata pada hari ke- 5 sampai ke- 6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan chloramphenicol
c.
Ampicilin dan Amoksisilin, kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibandingkan chloramphenicol diberikan dengan dosis 50- 150 mg/ kgBB selama 2 minggu.
d.
Trimetroprim – sulfamethoxazole (TMP- SMZ), dapat digunakan secara oral atau intravena pada dewasa dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
e.
Sefalosforin, yaitu ceftrixon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
f.
Flurokuinolon, secara relatif obat ini tidak mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat- obatan lini pertama. Flurokuinolon memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh Salmonella thypi yang berada pada stadium statis. Obat ini mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan gejala lain dalam 3-5
8
hari. Menggunakan obat ini juga mampu menurunkan kemungkinan karier pasca pengobatan.
2.6
Cara Pencegahan Demam Tifoid Bakteri tifoid atau Salmonella thypi dikeluarkan melalui tinja dan urine penderita
yang sakit dan dalam sedikit kasus, melalui pembawa penyakit (carrier) yang sehat. Penderita tertular lewat air minum, susu, dan makanan terkontaminani. Penyebaran paling penting terjadi lewat tangan yang kotor, lalat dan akibat pembuangan tinja dan urine pada penampungan air ( kolam) desa. Karena itu pencegahan terpenting terhadap tifoid adalah dengan memasak air minum dan susu, membangun dan menggunakan jamban dengan lubang yang dalam, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dan mengusir lalat dari lingkungan rumah. Penderita yang tersangka atau sudah terbukti menderita tifoid, jika mungkin harus diisolasi pada kamar yang terpisa. Mereka dapat dirawat pada bangsal yang terbuka, bila dimaksudkan mencegah penyebaran penyakit. Jika lalat banyak dijumpai, kawat nyamuk harus digunakan. Keluarga, dokter dan perawat harus selalu mencuci tangan setiap selesai mengunjungi penderita. Tinja dan urien penderita harus direndam selama 2-3 jam dalam larutan 1:20 asam karbonat, pada penampungnya di tempat tidur, sebelum dibuang ke saluran air,, kloset atau jamban. Pakaian dan sprei harus disterilkan dalam larutan asam karbonat 1:20 sebelum dicuci. Anak- anak yang kontak langsung dengan penderita tifoid harus diberitahu untuk dilaporkan ke rumah sakit, bila mereka menunjukan gejala- gejala demam atau gejala sakit lainnya. Suntikan intramuskular atau intradermal dari bakteri Salmonella thypi yang mati (TAB) dapat digunakan, tetapi hanya memberi kekebalan yang tidak sempurna dalam jangka waktu pendek. Suntikan ini juga menimbulkan berbagai reaksi berat, seperti demam dan tangan yang sakit, dan booster tahunan juga diperlukan. Suntikan ini tidak dianjurkan diberikan secara rutin pada anak- anak di daerah tropis, walaupun mungkin berguna bila terjadi wabah dan pada anak dan pada keadaan bencana alam. (Irianto, 2014)
9
BAB III PENUTUP
3.1 1.
Kesimpulan Penyebab penyakit Tifus Abdominal adalah karena adanya infeksi tubuh oleh bakteri Salmonella typhosa , Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B
2.
Gejala penyakit Tifus Abdominal adalah demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
3.
Cara Penularan penyakit Tifus Abdominal bisa melalui pola makan, kebersihan diri, pengetahuan, dan hygiene sanitasi
4.
Penatalaksanaan demam Tifoid dapat dilakukan dengan istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, pemberian Antimikroba
5.
Cara Pencegahan demam Tifoid dapat dilakukan dengan cara 4 M, yaitu memasak air minum dan susu, membangun dan menggunakan jamban dengan lubang yang dalam, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dan mengusir lalat dari lingkungan rumah
3.2 1.
Saran Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami penyakit Tifus Abdominal.
2.
Perlu diadakan penelitian dan penulisan lebih lanjut mengenai kajian ini.
10
DAFTAR PUSTAKA
Brush, Jl. 2013. Typhoid Fever: Deferential Diagnoses and work Up, Accessed at;http://emedicine. medscape.com/article/231135-diagnosis. Juwono, R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI Jakarta. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta. Irianto, Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan Klinis. Bandung: Alfabeta
11