Telaah Ilmiah
ULKUS KORNEA
Oleh
Aulia Dini Nafisah, S.Ked
Pembimbing
Dr. Petty Purwanita, Sp.M
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018
1
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Telaah Ilmiah
Ulkus Kornea
Oleh:
Aulia Dini Nafisah, S.Ked 04054821820052
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Palembang,
April 2018
Dr. Petty Purwanita, Sp.M
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya telaah ilmiah yang berjudul “Ulkus Kornea” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. Petty Purwanita, Sp.M atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................1 HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................2 KATA PENGANTAR ...........................................................................................3 DAFTAR ISI ..........................................................................................................4 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................7 BAB III KESIMPULAN ......................................................................................24 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kornea merupakan lapisan depan bola mata, transparan, merupakan jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah (avaskular). Kornea berfungsi sebagai membran pelindung yang dilalui berkas cahaya menuju retina. 1 Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel.2 Epitel yang terdapat pada kornea ini adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea sehingga dapat menahan peradangan. Oleh karena kornea jaringan avaskular maka jika terjadi peradangan sistem pertahanan tidak segera bekerja, berbeda dengan jaringan lain yang banyak memiliki jaringan vascular.3 Peradangan kornea jika tidak didiagnosis secara dini serta tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kerusakan pada kornea sampai dapat berlanjut menjadi ulkus. Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat disertai defek kornea bergaung dan diskontinuitas jaringan kornea dengan kehilangan epitel juga sampai mengenai stromal kornea. Klasifikasi ulkus kornea dibagi menjadi infeksius dan non-infeksius. Ulkus kornea infeksius disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, dan virus. Sedangkan ulkus kornea noninfeksius disebabkan oleh penyakit autoimun, neutrotropik, toksik, dan alergi.2 Ulkus non-infeksius lainnya dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin A. 4 Pola epidemiologi ulkus kornea bervariasi di seluruh dunia, berhubungan dengan populasi pasien, lokasi geografis, dan iklim. Staphylococcus aureus dan Aspergillus spp adalah penyebab paling umum terjadinya ulkus kornea infeksius di negara berkembang, sedangkan penyebab ulkus kornea non -infeksius terbanyak adalah autoimun. Usia penderita ulkus kornea infeksius terbanyak adalah orang yang berusia 40 – 60 tahun dan pada sebuah penelitian di India menunjukan 65% kasus ulkus non-infeksius terbanyak terjadi pada rentang usia 18 – 45 tahun. 5,6 Diagnosis ulkus kornea dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis yang baik dibantu dengan slit lamp. Pada pemeriksaan ketajaman penglihatan atau
5
visus, didapatkan adanya penurunan visus. Penelitian yang dilakukan di Afrika menunjukan bahwa dari 82 pasien ulkus kornea sebanyak 55 pasien mengalami penurunan visus kurang dari 3/60.
7
Tujuan penatalaksanaan ulkus kornea adalah eradikasi bakteri dari kornea, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat
penyembuhan
defek
epitel,
mengatasi
komplikasi,
serta
memperbaiki tajam penglihatan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Selain terapi medikamentosa, tindakan lain yang dapat dilakukan adalah tindakan operatif. . 1.1.1
Tujuan
Tujuan penulisan telaah ilmiah ini adalah untuk menjelaskan secara singkat diagnosis dan tatalaksana ulkus kornea.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 a)
EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA MATA Embriologi Kornea
Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu ektoderm, neuroektoderm dan mesoderm. Kornea dibentuk dari lapisan nureal crest cell yang merupakan derivat dari ektoderm. Pada akhir dari minggu ke 6 gestasional, kornea telah terdiri dari 3 lapis, yaitu lapisan epitel skuamosa superfisial dengan sel basal yang berbentuk kubus, lapisan stroma dan laisan set endotel. Pada bulan ke empat, lapisan Bowman dan descement mulai terlihat. Saat lahir ukuran diameter kornea mencapai 10,00 mm dan terus berkembang kemudian berhenti ketika telah berusia 1 tahun.10 b)
Anatomi Kornea
Gambar 1. Anatomi Mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian anterior bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat bentuk dengan dua kelengkungan berbeda. Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat cairan aqueous humor, lensa dan vitreous humor. 10
7
Kornea adalah jaringan transparan, yang disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm dari anterior ke posterior. Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. 11 Sifat kornea yang avaskuler membuat kornea mendapatkan nutrisinya dari jaringan di sekitarnya yaitu humor akuos melalui proses difusi, lapisan air mata, dan pembuluh darah limbus. Sumber nutrisi utama kornea adalah glukosa dan oksigen. Kornea juga merupakan jaringan yang memiliki serabut saraf sensorik terbanyak (300-400 serabut saraf), yang berasal dari nervus trigeminus. 2 Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Epitel kornea memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total ketebalan kornea, dan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel superfisial, lapisan sel sayap, dan lapisan sel basal. Membran Bowman merupakan lapisan aseluler yang dibentuk oleh serat kolagen dan merupakan modifikasi dari bagian anterior stroma dengan ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat mengalami regenerasi dan akan digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma kornea menyusun 90% dari seluruh ketebalan kornea. Stroma kornea tersusun atas fibril kolagen dengan ukuran yang seragam, meluas di seluruh permukaan kornea dan membentuk kelompok yang disebut lamella; serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan matriks ekstraseluler yang terdiri dari glikoprotein dan glikosaminoglikan. Membran Descemet merupakan lamina basalis sel-sel endotel kornea. Membran ini terutama tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki ketebalan 10-12 µm. Endotel kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah. Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam mempertahankan transparansi kornea.2 c)
Fisiologi Kornea
8
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgensi. Deturgensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting dari pada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah dari kerusakan epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan, sebaliknya kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi.12 . Endotel kornea memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai jalur untuk penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan sisa metabolisme melalui difusi dan mekanisme transport aktif. Kedua, mengatur hidrasi kornea dan mempertahankan transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena adanya pompa metabolik 9 aktif di endotel kornea. Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah teridentifikasi antara lain, pompa sodium-potasium yang menggerakkan ion sodium keluar dari sel dan bergantung pada enzim Na+ ,K+ -ATPase; pompa sodium-hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke dalam sel; pompa bikarbonat yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke humor akuos. Pompa-pompa transport ion ini bekerja sama untuk mempertahankan transparansi kornea. 13 Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap
kerusakan
keratokonjungtivitis
pada
kornea
ultraviolet)
(erosi,
penetrasi
mengekspose
ujung
benda saraf
asing
atau
sensorik
dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea. 13 Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan
9
kasar dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air mata juga melindungi mata dari infeksi.13 2.2
Ulkus Kornea
2.2.1
Definisi
Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Ulkus kornea ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung dan dikontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Ulkus kornea dapat terjadi oleh karena proses kolagenase dari sel-sel epitel baru dan sel radang.10,14 2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika, ulkus kornea merupakan penyebab tersering kebutaan dengan insidensi 30.000 kasus pertahun. Sedangkan di California, insidensi terjadinya ulkus kornea dilaporkan sebesar 27,6/100.000 orang. pertahun, dengan perkiraan sebanyak 75.000 orang yang mengalami ulkus kornea setiap tahunnya. Faktor predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain trauma, pemakaian lensa kontak, riwayat operasi kornea, penyakit permukaan okular, pengobatan topikal lama dan penyakit imunosupresi sistemik.8 Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata sebab kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kebutaan. Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri, jamur, dan virus dan bila terlambat didiagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas.15 Di Indonesia, Insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah 5,5 persen dengan prevalensi tertinggi di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi kekeruhan kornea pada laki‐laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi kekeruhan kornea yang paling tinggi (13,6%) ditemukan pada kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi kekeruhan kornea tertinggi (9,7%) dibanding kelompok pekerja
10
lainnya. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.9 2.2.3. Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang dilalui cahaya, yang pabila terjadi perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, se gera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.16 Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap. 16 Epitel
adalah
merupakan
barrier
yang
efisien
terhadap
masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. 16 Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Bila terjadi infeksi maka proses infiltrasi dan vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian. Maka wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea. 17,18
11
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.11 Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan parut. Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif. Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya sikatrik.16 2.2.4 Etiologi a. Infeksi
Infeksi Bakteri P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
Infeksi Jamur Dapat
disebabkan
oleh
Candida,
Fusarium,
Aspergilus,
Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
Infeksi virus Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
Acanthamoeba
12
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar. b. Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH. Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
Radiasi atau suhu Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan merusak epitel kornea.
Sindrom Sjorgen Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan
permukan
palpebra
atau
kelainan
epitel
yang
menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.
Defisiensi vitamin A
13
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
Obat-obatan Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
Pajanan (exposure)
Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
Granulomatosa wagener
Rheumathoid arthritis
2.2.4 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu 11: 1. Ulkus kornea sentral. A.
Ulkus kornea bakterialis
a. Ulkus Streptokokus Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung.
Gambar 2. Ulkus Kornea Streptokokus
b. Ulkus Stafilokokus
14
Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik kekuning-an disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel.
Gambar 3. Ulkus Kornea Stafilokokus
c. Ulkus Pseudomonas Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea yang dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak. Secara histopatologi, khas pada ulkus ini ditemukan sel neutrofil yang dominan.
Gambar 4. Ulkus Kornea Pseudomonas
d. Ulkus Pneumokokus Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran karakteristik yang disebut ulkus serpen. Terdapat hipopion. Ulkus biasanya dimulai dari perifer yang kemudian bergerak menuju sentral. Ulkus terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan. Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung.
15
Gambar 5. Ulkus Kornea Pneumokokus
e. Ulkus Neisseria gonorrhoeae Ulkus kornea yang terjadi karena Neisseria gonorrhoeae dan merupakan salah satu dari penyakit menular seksual. Pada ulkus kornea terdapat sekret yang purulent dan bisa didapatkan adanya kemosis. bisa menyebabkan perforasi kornea dan kerusakan yang sangat berarti pada struktur mata yang lebih dalam.
Gambar 6. Ulkus Kornea Neisseria gonorrhoeae
B.
Ulkus kornea fungi Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-
abuan yang agak kering. Tepi lesi berbatas tegas irregular, feathery edge dan terlihat penyebaran seperti bulu di bagian epitel. Terlihat suatu daerah tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit disekitar-nya. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik dan dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang.
16
Gambar 7. Ulkus Kornea Fungi
C.
Ulkus kornea virus a. Ulkus kornea Herpes Zoster Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu timbul
1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit. Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra, konjung-tiva hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan stroma. Lesi pada ulkus kornea ini sering disebut dengan pseudodendrit. Namun pada lesi ini tidak menunujukkan lesi arborisasi.
Gambar 8. Ulkus Kornea Herpes Zoster
b. Ulkus kornea Herpes Simpleks Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit, gambaran lesi arborisasi. Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulseratif, jelas diwarnai dengan fluoresein.
Gambar 9. Ulkus Kornea Herpes Simpleks
17
D. Ulkus kornea Acanthamoeba Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya, kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural.
Gambar 10. Ulkus Kornea Acanthamoeba
2. Ulkus kornea perifer a. Ulkus marginal Merupakan peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat atau segiempat, dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea yang sehat dengan limbus. b. Ulkus mooren Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adanya kecenderungan untuk perforasi. Gambaran khasnya yaitu terdapat tepi tukak bergaung dengan bagan sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu yang agak lama. Tukak ini berhenti jika seluuh
permukaan kornea terkenai. Penyebabya adalah
hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, virus atau autoimun.
Gambar 11. Ulkus Mooren
18
2.2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa 10: Gejala Subjektif
Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
Merasa ada benda asing di mata
Pandangan kabur
Mata berair
Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
Silau
Nyeri Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
Gejala Objektif
Injeksi siliar
Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
Hipopion
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan oftalmologis dengan menggunakan lampu celah serta pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh. Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus terutama keratitis herpes simplek.11 Pada pemeriksaan oftakmologis didapatkan gejala berupa adanya injeksi siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea disertai adanya jaringan nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang disertai dengan hipopion.10
19
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti ketajaman penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil, pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dan scrapping untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH).10 Karena gambaran klinis tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis etiologik secara spesifik, diperlukan pemeriksaan mikrobiologik, sebelum diberikan pengobatan empirik dengan antibiotika. Pengambilan spesimen harus dari tempat ulkusnya, dengan membersihkan jaringan nekrotik terlebih dahulu; dilakukan secara aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas steril, kertas saring atau Kalsium alginate swab. Medium yang digunakan adalah medium pelat agar darah, media coklat, medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat. Selain itu dibuat preparat untuk pengecatan gram. Hasil pewarnaan gram dapat memberikan informasi morfologik tentang kuman penyebab yaitu termasuk kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat digunakan sebagai dasar pemilihan antibiotika awal sebagai pengobatan empirik.11
2.2.5. Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. 1. Penatalaksanaan non-medikamen-tosa: a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskan-nya; b. Jangan memegang atau meng-gosok-gosok mata yang meradang; c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih; 2. Penatalaksanaan medikamentosa: Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan antimikrobial yang dapat diberikan berupa: A. Antibiotik
20
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum luas diberikan dapat berupa salep, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salep mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan dapat menimbulkan erosi kornea kembali. Berikut ini contoh antibiotik: Sulfonamide 10-30%, Basitrasin 500 unit, Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5 mg, Tobramisin 3 mg, Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg, Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg, Polimisin B 10.000 unit. B. Anti jamur Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia. Berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi: a. Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal, Natamicin, Imidazol; b. Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol, Micafungin 0,1% tetes mata14,15; c. Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik. C. Anti Viral Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum luas untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat indikasi serta antiviral topika berupa salep asiklovir 3% tiap 4 jam. D. Anti acanthamoeba Dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin isetionat atau salep klorheksidin glukonat 0,02%. Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan yaitu: a. Sulfas atropin sebagai salep atau larutan. Kebanyakan dipakai sulfas atropin karena bekerja lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas atropin: 1. Sedatif, menghilangkan rasa sakit. 2. Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
21
3. Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil. Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi sehingga mata dalam keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga sinekia posterior yang ada dapat terlepas dan dapat mencegah pembentukan sinekia posterior yang baru. b. Skopolamin sebagai midriatika. c. Analgetik. Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain, atau tetrakain tetapi jangan sering-sering. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa pemberian nerve growth factor (NGF) secara topikal menginisiasi aksi penyembuhan luka pada ulkus kornea yang disebabkan oleh trauma kimia, fisik dan iatrogenik serta kelainan autoimun tanpa efek samping. 3.
Penatalaksanaan bedah
a.
Flap Konjungtiva 19 Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah dilakukan
sejak tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi dimana terapi medis atau bedah mungkin gagal, kerusakan epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap konjungtiva adalah pengobatan yang efektif dan definitif untuk penyakit permukaan mata persisten. Penutupan
ulkus
dengan
flap
konjungtiva,
yaitu
melepaskan
konjungtiva dari sekitar limbus yang kemudian ditarik menutupi ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi pada ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap konjungtiva ini dapat dilepaskan kembali. Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas permukaan kornea yang terganggu dan memberikan metabolisme serta dukungan mekanik untuk penyembuhan kornea. Flap konjungtiva bertindak sebagai patch biologis, memberikan pasokan nutrisi dan imunologi oleh jaringan ikat vaskularnya. b.
Keratoplasti19
22
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak berhasil. Indikasi keratoplasti: 1. Dengan pengobatan tidak sembuh; 2. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan; 3. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perfo-rasi. Ada dua jenis keratoplasti yaitu: A.
Keratoplasti penetrans Adalah penggantian kornea seutuhnya. Karena sel endotel sangat cepat
mati, mata hendaknya diambil segera setelah donor meninggal dan segera dibekukan. Mata donor harus dimanfaatkan <48 jam. Tudung korneo sklera yang disimpan dalam media nutrien boleh dipakai sampai 6 hari setelah donor meninggal dan pengawetan dalam media biakan jaringan dapat tahan sampai 6 minggu. Telah dilakukan penelitian tentang pendonoran jaringan kornea manusia dari sisik ikan (Biocornea). Penelitian dilaku-kan pada kelinci dan menunjukkan hasil bahwa Biocornea sebagai pengganti yang baik memiliki biokompa-tibilitas tinggi dan fungsi pendukungan setelah evaluasi jangka panjang. B.
Keratoplasti lamelar Adalah penggantian sebagian dari kornea. Untuk keratoplasti lamelar,
kornea dapat dibekukan, didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es selama beberapa minggu. Selama dekade terakhir, tatalaksana bedah untuk penyakit endotel telah berkembang dengan cepat ke arah keratoplasti endotel, atau transplantasi jaringan selektif. Keratoplasti endotel menawarkan keuntungan yang berbeda dalam hal hasil visual dan sayatan lebih kecil.
2.2.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa 19: 1. Kebutaan parsial atau komplit karena endoftalmitis; 2. Prolaps iris; 3. Sikatrik kornea;
23
4. Katarak; 5. Glaukoma sekunder.
24
BAB III KESIMPULAN
Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Ulkus kornea adalah suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan kebutaan yang membutuhkan penatalaksanaan secara langsung. Etiologi ulkus kornea dibagi menjadi infeksi, noninfeksi. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, dan virus. Noninfeksi
ulkus kornea
noninfeksius disebabkan oleh bahan kimia, radiasi atau suhu, neutrotropik, dan obat-obatan. Selain itu dapat juga disebabkan karena penyakit autoimun seperti granulomatosa wagener dan rheumathoid arthritis. Kornea bersifat avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, maka wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.6’ Klasifikasi ulkus kornea di bedakan menjadi ulkus kornea sentral dan ulkus kornea perifer. Gejala klinis dari ulkus kornea ini dibedakan menjadi gejala klinis subjektif dan objektif. Gejala subjektif meliputi eritema pada kelopak mata dan konjungtiva, merasa ada benda asing di mata, pandangan kabur, mata berair, silau, nyeri dan bintik putih pada kornea sesuai lokasi ulkus. Gejala objektif meliputi injeksi silier, hilangnya sebagian kornea dan adanya infiltrat, serta hipopion. Penatalaksanaan
ulkus
kornea
dapat
berupa
non-medikamentosa,
medikamentosa ataupun penatalaksaan bedah.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDAMI (2002). Ulkus Kornea dalam Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke 2. Jakarta: Penerbit Sagung Seto. 2. American Academy of Ophthalmology (2012). External Disease and Cornea Section 8. San Fransisco: AAO MD Association. 3. Biswell R (2010). “Corneal Ulcer” in Cornea. Vaughan D, Asbury T, Eva PR (Ed). General Ophtalmology 17th ed. USA Appleton Lange, pp: 126149. 4. Hamurwono GB, Ilyas R, Marsetio M, et al (2002). Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke 2. Jakarta: Sagung Seto, pp: 116-137. 5. Gandhi S, Shakya DK, Ranjan KP, Bansal S (2014). Corneal ulcer: A prospective clinical and microbiological study. International Journal of Medical Science and Public Health, 3 (11): 1334-1337. 6. Sharma N, Sinha G, Shekhar H, Titiyal JS, Agarwal T, Chawla B, Tandon R, Vajpayee RB (2015). Demographic profile, clinical features and outcome of peripheral ulcerative keratitis: a prospective study. Br J Ophthalmol; pp.bjophthalmol-2014. 7. Ezegwui IR (2010). Corneal ulcers in a tertiary hospital in Africa. J Natl Med Assoc, 102 (7): 644. 8. Amescua G, Miller D, Alfonso EC. What is Causing the Corneal Ulcer? Management strategies for unresponsive corneal ulceration [internet]. USA; 2012 [diakses tanggal 5 April 2018 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/] 9. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah Nasional. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan [internet]. Jakarta; 2013 [diakses tanggal 5 April 2018]. Tersedia dari http://www.depkes.go.id/. 10. Ilyas, Sidarta. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FK Universitas Indonesia, Jakarta.
26
11. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan, P. 2012. Oftalmologi Umum. 14th Ed. Alih bahasa: Tambajong J, Pendit BU. Jakarta: Widya Medika. 12. Kaufma HE, Barron BA, Mc Donald MB. 1998. The Cornea : second edition.. 13. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S. M. Lai. 2012. New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of Ophthalmology, Queen Mary Hospital, Hong Kong. 14. Khurana,
A.
K.
2017.
Disease
of
the
Cornea.
Comprehensive
Ophthalmology : sixth edition. Rohtak. 15. Suharjo, Fatah widido. 2007.Tingkat keparahan Ulkus Kornea di RS Sarjito
Sebagai
Tempat
Pelayanan
Mata
Tertier.
Dikutip
dari
www.tempo.co.id. 16. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. 2012. Ulkus Kornea dalam: Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Penerbit Sagung Seto Jakarta. 17. Srinivasan, M., Gonzales, C., George, C., Cevallos, V., Mascarenhas, J., Asokan, B,. et al. Epidemiologi and aetiological diagnosis of corneal ulcer. Br J Ophtalmol. 2007 Nov;81(11):965-971. 18. Patel, S.V. Graft survival and endothelial outcomes in the new era of endothelial keratoplasty. J Exer. 2012 Feb;95(1):40-7. 19. Farida, Y. 2015. Corneal Ulcers Treatment. J Majority 4 (1): 119-127.
27