Fenomena Konglomerasi pada Masa Pemerintahan Soeharto dari Tahun 1966 - 1998 disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Sistem Sosial Politik Indonesia Dosen Pengampu : Prof. Dr. Jahja Muhaimin Ahmad Hanafi Rais, MPP
Oleh: Faelasufa 09/ 280657/ SP/ 23228/ PS
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS AKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK POLIT IK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010
DAFTAR ISI
1
Halaman Sampul
i
Halaman Persembahan
ii
Daftar Isi
iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
2
Landasan Konseptual
3
Argumentasi Utama
4
BAB II PEMBAHASAN
Konglomerasi di Masa Soeharto
5
Dampak Konglomerasi terhadap Perekonomian Indonesia dan Sistem Sosial Politik Indonesia
6
Studi Kasus: Perkembangan Grup Salim sebagai Konglomerat Terbesar di Asia Tenggara pada era Orde Baru dan Kaitannya dengan Soeharto
8
BAB III KESIMPULAN
10
Lampiran A
11
Daftar Pustaka
12
2
Untuk, Allah SWT Ayah dan Ibu Kakakku Bapak Jahja Muhaimin Serta, Impian, Harapan dan Cita-cita... Terima kasih.
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
3
Fenomena konglomerasi1 di Indonesia memang sesuatu yang menarik untuk diamati, terutama ketika masa Orde Baru. Di interval tahun 1960-an hingga 1998, banyak sekali grup bisnis dengan skala besar yang lahir. Seperti tipikal konglomerat lain, mereka mengumpulkan berbagai perusahaan yang bergerak di banyak bidang. Dan grup-grup bisnis tersebut tidak berkembang hanya karena keahlian pengusaha dalam menjalankan usahanya. Kedekatan mereka dengan penguasa, ketika itu Soeharto, berimplikasi pada perlakuan eksklusif yang mereka peroleh sehingga dapat membangun imperium bisnis raksasa. Pemerintahan Soeharto yang berlangsung selama tiga puluh dua tahun kental dengan unsur Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Lahirnya banyak konglomerat instan ketika itu adalah salah satu bukti adanya hubungan yang sarat dengan kolusi antara pengusaha dengan Soeharto serta keluarganya. Beberapa pengusaha-pengusaha pribumi yang berhasil mengembangkan bisnis mereka di masa Soeharto antara lain adalah Ibnu Sutowo, Ginanjar Kartasasmita, Radius Prawiro dan Akbar Tanjung.2 Membicarakan konglomerasi di masa Orde Baru tidak akan lepas dari nama The Kian Seng atau Bob Hasan dan tentunya Liem Siong Liong atau Sadono Salim. Kedua orang tersebut adalah pengusaha Tionghoa yang terkenal sangat dekat dengan Soeharto. Bahkan, nama yang terakhir (Liem) telah menjalin hubungan kerja sama dengan Soeharto sejak sebelum beliau menjabat menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Memang tidak semua hubungan antara pengusaha dengan politisi berkonotasi negatif. Konsep ersatz capitalist 3 Yoshihara Kunio tidak sepenuhnya sesuai, karena terdapat pengusaha yang sukses karena produktivitas, kreativitas dan kerja keras mereka. Namun yang sering terjadi ketika itu adalah korelasi yang kolutif antara pengusaha dengan pihak-pihak yang memegang kekuasaan, seperti dikeluarkannya kebijakan oleh pemerintah yang berpihak pada golongan tertentu. Dalam konteks ini, yakni golongan pengusaha ataupun kerabat 1 Secara teoritis (Douglas Greenwald, The McGraw-Hill Dictionary of Modern Economics, 1973), konglomerat dapat didefinisikan sebagai suatu korporasi yang berselang-seling ( diversified ) yang mengalami pertumbuhan melalui merger yang bukan horizontal dan bukan vertikal. Maka menurut Bob Widyahartono dalam buku Sepak Terjang Konglomerat (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990) konglomerasi adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan yang tidak memiliki hubungan bisnis sebagai kompetitor maupun pembeli-penjual dan hasilnya disebut ‘konglomerat’. 2 Junus, George Aditjondro, Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga (Yogyakarta: LKiS), hlm.3. 3 Ersatz capitalist atau kapitalisme semu adalah suatu bentuk kapitalisme pengganti yang bersifat inferior karena negara memiliki campur tangan yang besar dalam sektor perekonomian. Dampaknya adalah berkembangnya praktek kolusi, korupsi, nepotisme dan monopoli. Banyak sekali pencari rente dalam lingkungan birokrasi pemerintah. Selain diungkapkan oleh Yoshihara Kunio, hal yang sama juga pernah diungkapkan oleh Richard Robison dari Australia. Beliau mengatakan bahwa kapitalisme yang berkembang di Indonesia adalah state-led capitalism atau kapitalisme yang memiliki interdependensi yang sangat kuat terhadap sektor negara.
4
4 penguasa. Misalkan saja kebijakan tentang ‘mobil nasional’ yang pada akhirnya
menguntungkan PT. Timor Putra Nasional milik Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Kebijakan yang sangat kental dengan unsur favoritisme tersebut memang tetap pro-rakyat, namun rakyat secara minoritas, bukan rakyat secara mayoritas. Selain banyak mengandung unsur favoritisme, mekanisme pasar juga banyak mengandung perburuan rente, blokade pasar menggunakan kekuasaan, captive market dan faktor-faktor lainnya.5 Paper ini akan berkonsentrasi pada para pemimpin dan grup bisnis yang berskala besar, mengingat keadaan ekonomi dan politik sendiri sangat dipengaruhi peran dan prilaku grup-grup bisnis berskala besar atau yang lazim kita sebut dengan konglomerat. 1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, pertanyaan riset yang penulis ajukan adalah “Bagaimana konglomerasi berlangsung di masa pemerintahan Soeharto dari tahun 1966 hingga 1998?” Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa variabel yang perlu dibahas yaitu: 1. Konglomerasi di masa Soeharto sebagai implikasi dari hubungan Soeharto dengan para pengusaha. 2. Dampak konglomerasi terhadap perekonomian Indonesia pada khususnya, dan
terhadap sistem sosial politik Indonesia pada umumnya. 3. Studi Kasus: Perkembangan Grup Salim sebagai konglomerat terbesar di Asia
Tenggara pada era Orde Baru dan kaitannya dengan Soeharto.
1.2 Landasan Konseptual
Untuk membatasi permasalahan agar lebih sistematis dan fokus, serta untuk membantu saya menganalisis paper yang saya angkat, saya akan menggunakan konsep behavioural approach dan konsep neo-patrimonialisme. Behavioural Approach
4 Kebijakan mobil nasional dikemukakan Soeharto pada Februari 1996. Seseorang yang memproduksi kendaraan mobil nasional dapat dibebaskan dari pajak barang mewah 35%. Kabar baik bagi kalangan industri Indonesia ini langsung berubah menjadi kabar buruk ketika menteri perdagangan dan perindustrian mengatakan bahwa hanyalah PT. Timor Putra Nasional yang mula-mula akan diberi kelonggaran ini. Borsuk, Richard, Indonesia beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm.260. 5 J.R. Didik, Ekonomi di Era Transisi Demokrasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm.13.
5
Konsep ini digunakan agar obyek penelitian menjadi lebih terspesialisasi. Maka dari itu, saya memilih konsep ini untuk membantu membatasi permasalahan agar lebih sistematis dan fokus. Pendekatan ini menekankan pada pola-pola yang dibentuk oleh individu, dalam konteks ini yakni prilaku Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Karakter dan kepercayaan Soeharto sangat mempengaruhi sistem sosial dan politik Indonesia saat itu, termasuk mempengaruhi perekonomian Indonesia. Karena hal inilah, penulis memilih behavioiral approach sebagai salah satu landasan konseptual untuk menganalisis paper ini. Konsep Neo-Patrimonialisme
Max Weber, yang pertama kali mengemukakan konsep ini, merumuskan bahwa dalam birokrasi patrimonial, individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka. Investasi-investasi yang mengalir masuk akan mendapatkan jaminan keamanan dengan perlindungan dari patron patron yang berkuasa di kalangan elit pemerintah.6 Pada hakikatnya patrimonialisme bukan suatu hambatan, namun apabila patrimonialisme berlangsung dalam periode yang lama, birokrasi patrimonial ini dapat menjadi hambatan bagi pembangunan ekonomi. Karena struktur ini penuh dengan ketidakpastian, sementara kapitalis industri menginginkan adanya hukum yang bersih dan struktur yang dapat diramalkan.7 Richard Robison adalah salah satu pakar ekonomi dari Australia yang turut menguatkan opini beberapa ahli lainnya bahwa jenis birokrasi yang berjalan di Indonesia ketika itu adalah birokrasi patrimonial. Beliau mengungkapkan bahwa fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya memang berakar dari birokrasi patrimonial. Bagaimana bisa? Misalkan saja, Soeharto sebagai patron memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Tentu hubungan ini adalah simbiosis mutualisme. Pengusaha, bawahan dan orang-orang yang mendapat perlindungan dari Soeharto tersebut juga akan memberikan dukungan mereka kepada Soeharto. Sehingga, bahkan bukan hanya praktek korupsi yang terjadi, namun juga praktek kolusi, nepotisme dan monopoli di negeri ini. 1.3 Argumentasi Utama 6 Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.9. 7 Contoh patrimonialisme sebagai hambatan dapat kita temukan dalam kebijakan mobil nasional yang dikeluarkan Soeharto pada 1996. General Motors saat itu baru menginvestasikan $110juta untuk merakit kendaraan di Indonesia merasa dirugikan dengan keputusan Soeharto yang begitu memihak bisnis mobil Tommy.
6
Soeharto, dengan kekuasaan dan otoritasnya ketika itu berhasil membantu perkembangan beberapa pengusaha dan anak-anak serta kerabatnya hingga menjadi konglomerat. Banyak pihak yang diuntungkan, namun tentu saja lebih banyak pihak yang dirugikan. Salah satunya adalah rakyat. Memang dari kulit luarnya, konglomerasi yang berlangsung pada era Orde Baru memang terlihat menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Sektor pertanian, perkebunan, dan industri kita maju pesat. Kita bangga karena ketika itu telah memiliki perusahaan-perusahaan raksasa sendiri, seperti Indofood, Astra Internasional, Nusamba, Barito Pacific dan lain sebagainya. Namun kita juga perlu berpikir ulang, apakah kita masih patut berbangga apabila proses pertumbuhan perusahaan-perusahaan raksasa itu banyak merugikan rakyat Indonesia, termasuk kita? Apabila kita mau dan dapat mendata, sebenarnya banyak kerugian yang kita peroleh ketika itu. Misalkan saja, bantuan-bantuan dana yang diberikan pemerintah kepada beberapa perusahaan konglomerasi itu. Bantuan dana sebesar $320 juta yang diberikan pemerintah kepada Indosemen adalah uang rakyat. Begitu pun mayoritas bantuan-bantuan dana lainnya. Titik kulminasinya adalah krisis ekonomi pada tahun 1997. Meskipun bukan satusatunya sebab, fenomena konglomerasi selama Orde Baru adalah salah satu faktor yang mengakibatkan krisis tersebut dapat terjadi. Para pengusaha ingin mengembangkan usaha mereka dalam waktu yang instan, sehingga mereka banyak meminjam modal dari luar negeri. Implikasinya, ketika rupiah terus melemah, mereka kesulitan untuk membayar hutang mereka. Hal tersebut adalah salah satu sebab krisis 1997. Begitulah kondisi perkembangan bisnis di Indonesia pada masa Soeharto. Nepotisme yang terjadi selama tiga puluh dua tahun memungkinkan monopoli dan konglomerasi oleh pengusaha-pengusaha dengan dukungan dari aktor-aktor pemegang kekuasaan politik (dengan Soeharto sebagai aktor utama karena beliaulah yang memiliki kekuasaan paling besar).
BAB II ISI
2.1 Konglomerasi di Masa Soeharto
Sebenarnya terdapat korelasi antara konglomerasi yang berkembang di masa Orde Baru dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi rezim Orde Lama. Pada masa pemerintahannya, Soekarno menerapkan beberapa kebijaksanaan ekonomi yang terkesan sangat mendukung pengusaha pribumi dan merugikan pengusaha Tionghoa. Salah satu
7
kebijaksanaan itu adalah Program Benteng. Tujuan program ini adalah untuk menumbuhkan dan membina kewiraswastaan Indonesia sambil menumbuhkan nasionalisme ekonomi atau ‘Indonesianisasi’ dengan memberikan kredit, modal serta perlakuan-perlakuan khusus untuk pengusaha dari kalangan pribumi.8 Sejak awal mula menjabat sebagai presiden, Soeharto telah berusaha untuk membebaskan ekonomi Indonesia dari kebijakan Soekarno yang cenderung tidak adil bagi kalangan pengusaha Tionghoa. Namun dalam implementasinya, yang kemudian terjadi adalah sebuah paradoks. Sampai pada pertengahan 1980-an, mekanisme pasar sangat kental dengan unsur favoritisme, di mana muncul pelaku-pelaku ekonomi tertentu yang memiliki akses lebih terhadap sumber-sumber ekonomi. Selain itu, pada masa tersebut banyak terjadi perburuan rente, blokade pasar menggunakan kekuasaan dan juga adanya fenomena pasar yang terkurung (captive market ).9 Misalkan saja pada sektor plastik, pemerintah telah memberikan monopoli impor kepada pengusaha-pengusaha yang memiliki koneksi dengan penguasa, termasuk anggota keluarga presiden. Di sektor lainnya seperti perbankan, pemerintah membekukan jumlah lisensi yang dikeluarkan untuk beroperasi. Hal ini tentu mengakibatkan pasar menjadi tidak kompetitif sehingga terciptalah gejala monopoli. Selain menciptakan gejala monopoli, campur tangan pemerintah dalam bidang perekonomian tersebut mengakibatkan praktek korupsi dan kolusi dalam lingkungan birokrasi. Tindakan pemerintah tersebut memudahkan pertumbuhan perusahaan-perusahaan konglomerasi di Indonesia. Yang patut digarisbawahi, tidak semua perusahaan mendapatkan keuntungan karena tindakan pemerintah tersebut. Hanyalah pengusaha yang memiliki akses ke dalam birokrasi yang dapat dengan mudah mengembangkan perusahaannya hingga menjadi grup bisnis berskala besar.10 Selain dari kalangan keluarga Cendana, Liem Siong Liong dan Bob Hasan adalah dua dari beberapa pengusaha yang mampu memetik keuntungan dari kedekatannya dengan Soeharto. Pemerintahan Soeharto selama tiga puluh dua tahun telah membantu mereka menjadi konglomerat dengan usaha bisnis yang berkembang sedemikian pesat. Namun sesuai dengan konsep neo-patrimonialisme, hubungan ini bukan hanya hubungan satu arah saja. 8 Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.75. 9 J.R. Didik, Ekonomi di Era Transisi Demokrasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm.13. 10 Lihat Lampiran A untuk mengetahui dua puluh lima konglomerat terbesar di Indonesia tahun 1996. Mayoritas dari mereka adalah pengusaha yang memiliki koneksi langsung dengan Soeharto. Misalkan saja, Salim, Bob Hasan, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Indra Rukmana, The Ning King, Prajogo Pangestu, Murdaya Poo, Hutomo Mandala Putra, dan lainnya.
8
Maksudnya, para pengusaha kroni Soeharto pun seringkali memberikan dukungan kepada Soeharto. Sehingga terciptalah suatu simbiosis mutualisme11 antara mereka. Begitulah yang terjadi, selama tiga puluh dua tahun, KKN telah memungkinkan perkembangan fenomena konglomerasi dan monopoli di Indonesia. Para pejabat pemegang kekuasaan politik (terutama Soeharto karena beliau-lah yang memiliki kekuasaan yang paling besar) memberikan dukungan kepada beberapa pengusaha ‘kroni’ mereka. Saat itu, lembaga perwakilan rakyat sudah tidak dapat menjalankan fungsi check and balances lagi. Kekuasaan Soeharto yang nyaris tidak terbatas mengakibatkan hampir semua lembaga politik tidak berani berbeda pendapat dengannya. 2.2 Dampak Konglomerasi terhadap Perekonomian Indonesia dan Sistem Sosial
Politik Indonesia
Dalam memandang suatu fenomena, kita harus membiasakan diri untuk melihatnya dari dua perspektif yang berbeda. Karena setiap hal tentu memiliki dua dampak yang berbeda, dampak negatif dan dampak positif. Begitu pula dalam memandang fenomena konglomerasi di Indonesia pada era Orde Baru. Ketersediaan fasilitas dan modal yang cukup membantu grup-grup bisnis skala besar untuk bersaing di pasar global. Ini adalah salah satu kelebihan mereka yang menguntungkan negara dan tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan menengah atau kecil. Namun, konglomerasi yang tidak sehat tersebut lebih banyak mendatangkan dampak negatif daripada dampak positif. Pengusaha yang memiliki koneksi dengan penguasa tentu mendapatkan keuntungan tersendiri, seperti perlakuan-perlakuan eksklusif berupa mendapatkan lisensi ekspor dan dapat memonopoli pasar. Kondisi pasar yang tidak kompetitif ini tentu mendatangkan keuntungan bagi beberapa kelompok orang, walaupun jumlah mereka jelas lebih sedikit apabila dibandingkan dengan pihak-pihak yang merugi akibat monopoli pasar tersebut. Masyarakat sebagai konsumen dan pengusaha yang mandiri adalah beberapa pihak yang merugi akibat praktek monopoli. Masyarakat harus membayar lebih tinggi dari harga normal produk tersebut di pasaran. Kemudian pengusaha mandiri, yang tidak berada di bawah lindungan patron-patron yang berkuasa di kalangan pemerintahan saat itu, juga menjadi sukar untuk berkembang. Merupakan hal yang sulit bagi mereka untuk bersaing dengan kekuatan gabungan antara pengusaha dan kekuasaan politik. 11 Contoh dari simbiosis mutualisme ini dapat kita amati dari hubungan Soeharto dengan Liem (pendiri Grup Salim). Saat Indosemen (perusahaan semen milik Liem Siong Liong) mengalami kesulitan dana selama resesi di pertengahan tahun 1980-an, pemerintah memberikan suntikan dana sebesar $320 juta. Sebaliknya, saat Bank Duta (yakni bank milik salah satu yayasan yang dikontrol oleh Soeharto) mengalami krisis finansial mereka, Liem pun membantu Soeharto untuk menyelamatkan Bank Duta. Jadi antara pengusaha dan penguasa ketika itu lahirlah semacam simbiosis mutualisme.
9
Terlepas dari hal itu, keinginan pengusaha untuk mengembangkan usahanya dalam waktu singkat telah mendorong mereka untuk berutang. Pada mulanya, mereka meminjam uang rakyat. Dengan cara mendirikan bank, mereka dengan leluasa dapat meminjam uang tabungan rakyat itu. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa suku bunga di Indonesia terlalu tinggi. Yakni sekitar 15% sementara di luar negeri berkisar antara 5 hingga 10%. Lalu apa yang terjadi? Ya, pada akhirnya mereka meminjam uang dari luar negeri, dalam bentuk valuta asing.12 Hal inilah yang kemudian menjadi titik kulminasi dari dampak-dampak negatif konglomerasi semu di Indonesia, yakni krisis 1997. Memang konglomerat bukanlah aktor utama dan satu-satunya yang mengakibatkan krisis ini. Namun sedikit banyak mereka memiliki peran di sini. Pada akhirnya hutang-hutang dalam bentuk valuta asing grup bisnis ini menjadi salah satu faktor esensial hancurnya perekonomian Indonesia pada tahun 1997. Rakyat Indonesia, terutama dari kalangan menengah ke bawah, adalah pihak yang paling merasakan implikasi dari krisis 1997. Harga kebutuhan pokok terus naik hingga tidak dapat mereka jangkau, bahkan sebagian dari merekapun kehilangan pekerjaan karena aksi PHK yang dilakukan perusahaan mereka. Pada akhirnya, krisis 1997 memicu amarah rakyat dan menuntut agar Soeharto mundur dari jabatannya. Dan memang benar, pada 21 Mei 1998 Soeharto mundur dari jabatannya. Semua hal itu adalah beberapa dampak konglomerasi terhadap perekonomian Indonesia, bahkan juga pada sistem sosial politik Indonesia. 2.3 Studi Kasus: Perkembangan Grup Salim sebagai Konglomerat terbasar di Asia
Tenggara pada Era Orde Baru dan Kaitannya dengan Soeharto
Liem Sioe Liong atau Sudono Salim adalah seorang imigran Cina yang kemudian menjadi salah satu pengusaha yang terkenal sangat dekat dengan Soeharto. Pada 16 Juli 1916, Liem lahir di daerah Fuqing, sebelah selatan provinsi Fujian. Di tahun 1937, Liem tiba di Kudus, salah satu kota kecil di Jawa Tengah.13 Hubungan antara Soeharto dengan pendiri Grup Salim ini pada dasarnya telah terjalin sejak tahun 1950-an, yakni sejak Soeharto ditempatkan di Divisi Diponegoro Jawa Tengah dan terlibat dalam perdagangan dan aktivitas penyelundupan.14 Selanjutnya, Soeharto dan 12 Konglomerat lebih memilih valuta asing karena suku bunga luar negeri yang lebih rendah. Konglomeratkonglomerat Indonesia kemudian diketahui telah meminjam dalam valuta asing sejumlah $80milyar hingga $100milyar. Akhirnya mereka kesulitan untuk mengembalikan pinjaman karena nilai rupiah yang terus merosot. Investor asing dan domestik mulai menjual saham perusahaan yang diprediksi rentan terhadap kurs tukar. Implikasinya, permintaan akan valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997. Ahmad D. Habir, Indonesia beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm.350. Lihat juga Baswir, Revrisond , Dilema Kapitalisme Perkoncoan (Yogyakarta: IDEA, 1991), hlm. 32. 13 Riès, Philippe, The Asian Storm: Asia’s Economic Crisis Examined (Boston: Tuttle Publishing, 2000), hlm.145. 14 Studwell, Joe, Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009), hlm.313.
10
Liem menjadi partner bisnis. Korelasi yang erat antara Liem dengan Soeharto telah membuatnya mendapatkan monopoli dan hak-hak eksklusif dari pemerintah saat Soeharto menjabat menjadi presiden, hingga Liem berhasil membangun grup Salim menjadi imperium bisnis yang besar dan menjadi konglomerat terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Liem memulai bisnis profesionalnya dengan mendirikan PT. Waringin15 yang bergerak di bidang ekspor-impor komoditi primer seperti kopi, karet dan kopra. Di tahun 1968, Liem mendapatkan lisensi untuk mengimpor cengkeh bersama dengan PT. Mercu Buana milik adik tiri Soeharto, Probosutedjo. Harga impor cengkeh dan harga jualnya di pasar domestik telah ditentukan oleh pemerintah sehingga lebih mahal daripada standar jual di pasar dunia, hal ini mengakibatkan Liem mendapatkan untung yang signifikan dari PT. Waringin. Di interval tahun 19681970 saja misalnya, Liem memperoleh pendapatan U.S $340,000. 16 Selanjutnya Liem mulai memperluas bisnisnya ke bidang manufaktur pada periode 1968-1974. Mulai dari tahun 1975-1978, Liem
mulai
memasuki
bidang
perbankan.
Selanjutnya
Tabel ini penulis peroleh dari tulisan Yuri Sato, The Salim Group in Indonesia: The Development and Behavior of The Largest Conglomerate in Southeast Asia. Yuri Sato memperoleh data dari hasil kalkulasi artikel-artikel yang ada di TBN (Tambahan Berita Negara).
mengembangkan bisnis semen pada 1877-1981. Pada akhirnya di tahun 1981-1985, diversifikasi yang dijalankan Grup Salim telah memasuki bisnis-bisnis yang tidak memiliki kaitan sama sekali. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan proses diversifikasi Grup Bisnis Salim di interval 1968-1985.
PT. Bogasari Flour Mills didirikan oleh Liem pada dekade 1970-an. Perusahaan yang nantinya akan menjadi perusahaan manufaktur mie instan terbesar di dunia ini adalah awal 15 Waringin yang merupakan cikal bakal dari Grup Salim ini berdiri pada tahun 1953 dalam bentuk C.V. (commanditaire vennootschap). Di tahun 1968, berubah menjadi PT, selanjutnya menjadi PT. Waringin Kencana pada tahun 1969. 16 Sato, Yuri, The Salim Group in Indonesia: The Development and Behavior of The Largest Conglomerate in Southeast Asia (The Developing Economies XXXI-4, 1993), hlm.411.
11
mula bisnis produksi makanan oleh Grup Salim. Selain Bogasari sebagai sebuah perusahaan flour milling , Grup Salim juga memiliki Indofood Sukses Makmur yang menjadi perusahaan
mie instan terbesar di dunia saat itu. Berdasarkan riwayat perkembangannya, maka Grup Salim dapat dinilai sebagai pengusaha klien. Definisi dari Pengusaha klien adalah individu dan perusahaan yang tergantung pada penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya.17 Kita dapat menganalisisnya dari pola-pola berikut. PT. Bogasari Flour Mills mendapatkan kontrak eksklusif untuk menyuplai tepung ke Bulog. Selain itu, PT. Sarpindo Soybean Industri juga mendapatkan hak eksklusif dari pemerintah untuk menghancurkan kedelai.
Saat itu di seluruh Indonesia, notabenenya hanya perusahaan milik Liem yang
diizinkan beroperasi. Dan Bulog harus membayar jasa penghancuran kedelai ke Sarpindo lebih mahal daripada standar harga dunia. Maka bukanlah hal yang mengherankan bila Grup Salim selalu menduduki posisi pertama dalam daftar konglomerat Indonesia di era Orde Baru. Lengsernya Soeharto turut mempengaruhi Grup Salim. Dapat kita lihat dari posisi Grup Salim yang sekarang turun hingga nomor 9 di daftar konglomerat Indonesia versi majalah Forbes tahun 2009.
BAB III KESIMPULAN
Konglomerasi memang tidak selamanya berkonotasi negatif. Ada beberapa pengusaha mandiri di Indonesia yang dapat mengembangkan usahanya sendiri seperti Haji Abdul Ghani Aziz dan A.Rahman Tamin. Akan tetapi, kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa dalam beberapa kasus, bisnis tidak dapat dipisahkan dari politik. Begitu juga sebaliknya. Berkembangnya perusahaan-perusahaan konglomerasi di era Soeharto, sedikit banyak adalah akibat birokrasi patrimonial yang berlaku saat itu. Dalam jenis pemerintahan patrimonial seperti itu praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) hampir tidak dapat dihindari lagi. Soeharto, yang saat itu adalah pemegang kekuasaan utama di Indonesia, menjadi patron paling kuat dan memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Sebagai balasan, aktor-aktor yang telah dilindungi Soeharto memberikan dukungan kepadanya. Praktek KKN dalam struktur birokrasi patrimonial tersebut berimplikasi pada pertumbuhan konglomerasi di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun. Sebagai pengusaha
17 Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.265.
12
yang terkenal paling dekat dengan Soeharto, Liem Siong Liong berhasil membawa Grup Salim menjadi grup konglomerat terbesar di Indonesia saat itu, bahkan di Asia Tenggara. Sebagai grup bisnis dengan skala besar, tentu Grup Salim dan konglomerat lainnya juga membawa implikasi yang positif terhadap Indonesia. Salah satunya adalah, mereka mampu bersaing di pasar global karena memiliki sarana dan dana yang cukup. Namun tidak sedikit pula dampak negatif dari konglomerasi yang tidak sehat ini. Salah satunya, para konglomerat adalah salah satu aktor krusial yang melatarbelakangi krisis 1997. Karena ingin mengembangkan imperium bisnis mereka dengan cara yang instan, beberapa pengusaha mulai meminjam modal dari luar negeri tanpa banyak pertimbangan. Dampak dari kecerobohan para konglomerat itu terjadi pada tahun 1997, ketika Indonesia diterpa krisis moneter. Ketika nilai rupiah terus merosot dan mereka kesulitan mengembalikan pinjaman, mereka mulai menjual sahamnya. Sehingga permintaan akan valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997. Manusia memang makhluk yang tidak akan pernah puas. Akan tetapi, sebagai makhluk yang dikaruniai rasa, apakah sedemikian tega kita terus mengeruk untung sementara di sisi lain mereka yang lebih ‘kecil’ daripada kita terkena kerugian akibat tindakan kita?
LAMPIRAN A
13
DAFTAR PUSTAKA Pustaka Literatur
Aditjondro, George Junus. Korupsi Kepresidenan, Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS , 2006. Baswir, Revrisond. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: IDEA ( Institut of Development and Economic Analysis ), 1991.
Emmerson, Donald K., dkk. Indonesia Beyond Soeharto : Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Gie, Kwik Kian, dkk. Sepak Terjang Konglomerat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990. J.R. Didik. Ekonomi di Era Transisi Demokrasi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001. Muhaimin, Jahja A. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES, 1990. Prof. Komaruddin. Pengantar Kebijaksanaan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Riès, Philippe. The Asian Storm : Asia’s Economic Crisis Examined. Boston: Tuttle Publishing, 2000.
Tabel ini penulis peroleh dari buku Indonesia beyond Soeharto (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), halaman 308-309.
14
Sato, Yuri. The Salim Group in Indonesia: The Development and Behavior of The Largest Conglomerate in Southeast Asia . The Developing Economies Vol. XXXI-4, 1993.
Studwell, Joe. Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009.
15