Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.10.
Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit; Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 1995), hlm.3.
Robert J.Scheiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm.208.
M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm.29.
Ibid., hlm.29.
Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2003), hlm.202.
Ibid., hlm.203.
Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2003), hlm.205.
Joseph Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, (New York: Harper, 1952), hlm.263.
Mohtar Mas'oed dan Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, , 2006), hlm.79.
Philip J. Cook , The Journal of Politics, (University of Chicago: The University of Chicago Press, 1971), hlm.773.
Ibid., hlm.773
http://www.encyclopedia.com/topic/Robert_Michels.aspx
Warin Diyo Sukisman, Sejarah Cina Kontemporer, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), hlm.20.
Ibid., hlm.21.
http://www.encyclopedia.com/topic/Robert_Michels.aspx
Robert Michels, Political Parties, (Canada: Kitchener, 2001), hlm.224.
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Robert_Michels
Leslie Lipson, The Democratic Civilization, (New York: Oxford University Press, 1964), hlm.1.
Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, ( Yogyakarta: PT Tiara Wacana,1988), hlm.36.
Jeffrey A. Winters, Oligarchy, (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm.6.
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Robert_Michels
Pradjarta Dirdjosanjoto, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.23.
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.142.
Koirudin, Menuju Partai Advokasi, (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 20015), hlm.184.
Jurnal Amartya Sen, Konstelasi: Oligarki, Kanker Dalam Rahim Demokrasi, 2011, hlm.1.
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.163.
Ibid., hlm.164.
Lipi, Quo Vadis Politik Indonesia, (Indonesia: Yayasan Obor, 2004), hlm.5.
Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2003), hlm.209.
Nurjannah Intan, dkk, Salahkah George Berantas Korupsi?, (Yogyakarta: Bangkit Publisher, 2010), hlm.76.
Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2003), hlm.205.
Ibid., hlm.206.
Vedi R Hadiz, 'Retrieving the Past for the Future? "Indonesia and the New Order Legacy, 2000.
Winters, Oligarchy, (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm.157.
Ibid., hlm.142.
Ibid., hlm.158.
Vedi R Hadiz, 'Retrieving the Past for the Future? "Indonesia and the New Order Legacy, 2000.
Robert Michels
Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah "Filsafat Politik II"
Dosen: Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M. Afifuddin, M.Si.
Oleh
Siska Andrianika 11141120000006
Ilmu Politik 4A
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Teori elit dan kekuasaan sampai sekarang masih sangat relevan apabila dikaitkan dengan Ilmu Politik. Ilmu Politik sebagai suatu ilmu memiliki ruang lingkup dalam tiga ranah, yaitu pemikiran, kelembagaan dan juga mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Sumbangsih paling besar teori elit ini terhadap ilmu politik adalah untuk memahami konfigurasi politik disuatu arena publik.
Konsep elit pertama kali digunakan untuk menyatakan "bagian yang menjadi pilihan atau bunga" dari barang-barang yang ditawarkan untuk dijual sebagai tanda obyek-obyek yang dijual tersebut mempunyai nilai pilihan. Kata elit sendiri berasal dari kata latin eligere yang berarti "memilih" yang kemudian digunakan dalam arti yang paling umum yaitu sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Kelompok elit diidentifikasikan dengan kekuasaan dan pengendalian sumber-sumber dari orang-orang yang tidak terdidik dan diambil haknya. Pareto menjelaskan elit dalam masyarakat berada pada lapisan atas yang terbagi menjadi elit yang memerintah (governing elit) dan elit yang tidak memerintah (non governing elit), sedangkan dalam masyarakat juga terdapat lapisan yang lebih rendah (non elit).
Sejalan dengan Pareto, Mosca menyebutkan dalam masyarakat selalu terbentuk kelas yang terbagi menjadi kelas yang memerintah dengan jumlah yang kecil dan memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan mampu mencapai tujuan-tujuan keuntungannya dengan kekuasaan yang dimiliki, dan kelas yang diperintah dengan jumlah yang lebih besar dan diatur serta dikontrol oleh kelas yang memerintah.
Mosca menolak semua klasifikasi bentuk pemerintahan yang pernah ada semisal aristokrasi, demokrasi, atau lain sebagainya, dalam kondisi masyarakat apapun baik pada masyarakat yang sudah maju maupun masyarakat yang kehidupan bernegaranya sedang berkembang. Menurutnya hanya ada satu macam bentuk pemerintahan yaitu oligarki yang dipimpin oleh sekelompok elit.
Pemaparan Pareto dan Mosca memiliki celah lemah yang cukup mengaburkan pemahaman elit karena tidak memperhatikan bidang interaksi lain dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan pada masanya kedua pemikir ini melihat dominasi negara yang begitu kuat atas rakyat.
Pemikir lain yang ikut mengklasifikasikan dan mendefenisikan elit adalah Robert Michels yang mengemukakan tentang "hukum besi oligarki", yakni kecenderungan dominasi (penguasaan) oleh sekelompok kecil orang (minoritas). Oligarki ini muncul dalam empat dimensi politik, yaitu, oligarki dari segi organisasi, oligarki dalam kepemimpinan, oligarki dalam konteks hubungan organisasi dengan rakyat, dan oligarki dalam kekuasaan pemerintahan. Michels mengkonsepkan elit dengan melihat elit dalam tubuh birokrasi partai politik dan semakin memperkuat penjelasan mengenai elit di mana elit memiliki jumlah yang relatif kecil namun mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan arah kehidupan bersama.
Konsep elit dari Pareto, Mosca, dan Michels di atas pernah ditelusuri dan kemudian dikonsepkan lagi oleh Schumpeter seorang ekonom, Lasswell seorang ilmuwan politik, dan Mills seorang sosiolog, namun sama halnya dengan Pareto, Mosca dan Michels, pemikir-pemikir ini tidak membuka ruang lebih luas dalam menjelaskan konsep elit. Laswell sangat kabur mengidentifikasi elit, apakah elit politik atau semua tipe elit. Sedangkan Schumpeter dan Mills terjebak dalam pandangan posisi kelembagaan tanpa memperhitungkan kemungkinan kekuasaan lain di balik posisi-posisi kelembagaan tersebut.
Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran di atas pada gilirannya memberikan penjelasan mengenai elit dengan kecenderungan yang ada di dalamnya. Pertama, kekuasaan dalam masyarakat terdistribusikan dengan tidak merata dan hanya dimiliki oleh orang atau sekelompok orang yang disebut elit. Kedua, secara internal, elit bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran kelompok serta mengatur sendiri kelangsungannya dan oleh karena itu elit menjadi otonom.
Biografi
Robert Michels dilahirkan di Cologne pada tanggal 9 Januari 1876, kemudian dia bersekolah di Inggris, dan dia berkuliah di Uniersitas Munch, Leipzig , Halle dan Turin. Ketika ia mengajar di Universitas Marburg, Michels menjadi kaum sosialis. Dia aktif sebagai golongan radikal di partai sosal demokrasi Jerman dan ia sering mendatangi kongres partai tersebut pada tahun 1903, 1904 dan 1905. Walaupun pada tahun 1907 Michels keluar dari Partai Sosialis Demokrasi Jerman, pemerintah oposisi membatasi karier pendidikannya di Jerman. Dia pergi ke Universitas Turin, Italia , disana Michels mengajar bidang ekonomi, ilmu politik dan sosiologi. Sampai pada tahun 1914. Ketika ia menjadi Professor bidang Ekonomi di Universitas Basel, Switzerland. Dia tinggal disana selama satu tahun terakhir di Italia sebagai Profesor di dalam Bidang Ekonomi. Dan sejarah dalam doktrinnya Michels di Universitas Perugia dan menjadi dosen di Roma. Michels meninggal pada 3 Mei 1936.
Michels dianggap sebagai murid yang dari Max Weber yang mulai menerbitkan tulisan-tulisannya di Archiv für Sozialwissenschaft und Sozialpolitiko pada tahun 1906. Michels mengkritik apa yang dianggap menjadi determinisme materialistik Karl Marx. Michels meminjam dari metode sejarah Werner Sombart, yaitu seorang ahli sejarah, ekonomi, dan sosiologi bangsa Jerman. Karena Michels mengagumi budaya Italia dan menonjol dalam ilmu-ilmu sosial, ia dibawa ke perhatian Luigi Einaudi dan Achille Loria. Mereka berhasil mengangkat Michels menjadi professor di University of Turin. Dia kemudian menjadi professor ekonomi di University of Basel, Swiss, sebuah pos dia pegang sampai 1928.
Robert Michels tergabung dalam revolusi Jerman yang membuatnya memiliki pengetahuan dalam persatuan perdagangan. Dan peran kelompok intelektual di dalam politik. Michels menulis sebuah buku bernama "Political Parties" yang merupakan analisis sebelum terjadinya perang Sosialisme di Jerman. Beserta contoh kasus serta menggambarkan pergerakan untuk memprotes politik yang terjadi di Perancis, Italia, Inggris dan Amerika Serikat sebagai sebuah Hipotesis dari karyanya Michels mengatakan bahwa organisasi dibentuk untuk menaikan nilai dalam demokrasi dan tak bisa dihindarkan utuk membentuk kecenderungan pada pemerintahan oligarki yang kuat.
Pada tahun 1924 ia bergabung dengan Partai Fasis, yang dipimpin oleh Benito Mussolini, mantan direktur koran Sosialis Partai Italia. Michels yakin bahwa hubungan langsung antara karisma Benito Mussolini dan kelas pekerja itu adalah cara terbaik untuk mewujudkan pemerintahan kelas sosial yang lebih baik tanpa mediasi birokrasi politik. Michels menggambarkan kondisi pemimpin adalah terlepas dari komitmen yang tulus pada demokrasi, permintaan dalam organisasi memaksa pemimpin untuk mempercayakan pada sebuah birokrasi, dimana para kelompok professional dan jajarannya di bayar untuk memusatkan kewenangan kekuasaan. Dalam proses ini menyebabkan perpindahan dari tujuan demokrasi yang sesungguhnya kedalam kecendrungan konservatif untuk mempertahankan kekuasaan. Di dalam sebuah kondisi kerugian yang tidak diinginkan dan untuk memiliki kekuasaan tersebut harus melalui pemilihan bebas. Michels mengatakan teori tersebut adalah "Hukum tangan Besi Oligarki". Dia sangat mengkritisi keruntuhan untuk mendefinisikan "oligarki". Dimana para pengikutnya menyamakannya dengan "perputaran kelas". Michels membandingkan kelas pekerja di Jerman, Italia dan Perancis. Dia juga menganalisis perang tripolitan yang terjadi pada tahun 1911- 1912, yang menfokuskan perhatiannya pada penderitaan yang terjadi akibat perang dan dampak perang propaganda tersebut yang pada masanya hanya menyisakan 7.093 pasukan yang selamat tiba di pelabuhan Benghazi.
Imperialism Italia, dia percaya hasil dari tekanan demografis dan dari social dan kebudayaan yang telah hilang menyebabkan perpindahan penduduk ke luar negeri. Tulisan Michels memiliki dampak yang terjadi pada tahun 1920 dan 1930 dan hubungannya dalam nasionalisme, Fasisme dan sosialisme Italia , mobilisasi social dan kaum elite , peran para intelektuan dan sejarah ilmu sosial. Michels jarang membahas kembali masalah oligarki dan demokrasi. Para pemikir banyak yang medeskripsikan seorang Robert Michels sebagai seseorang yang kecewa pada demokrat.
BAB II
PEMBAHASAN
Grand Theory Robert Michels
Tahun 1911, sosiolog Jerman, Robert Michels (1876-1936), memunculkan tesis "hukum besi oligarki" dalam bukunya berjudul Zur Soziologie des Parteiwesens in der modernen Demokratie: Untersuchungen Über die oligarchischen Tendenzen des Gruppenlebens. Robert Michels mengatakan "setiap kepartaian memiliki kekuasaan oligarkis yang didasarkan atas basis demokratis". Penyebab utama oligarkis yaitu kebutuhan teknis yang mendesak akan kepemimpinan. Proses yang berawal dari konsekuensi diferensiasi fungsi-fungsi dalam partai berujung dengan seperangkat kualitas yang diperoleh para pemimpin melalui keterkucilan mereka dari massa. Fungsi-fungsi mereka adalah hiasan dan kurang penting. Tapi, setelah itu mereka menjadi pemimpin-pemimpin profesional, dan pada tahap perkembangan yang kedua mereka menjadi stabil dan tidak dapat diganggu gugat.
Penjelasan mengenai fenomena oligarkis yang dihasilkan sebagian bersifat psikologis. Oligarki berasal dari transformasi psikis yang dialami pemimpin-pemimpin partai sepanjang hidup mereka, sebuah bentuk pemerintahan yang kekuatan politiknya berada di tangan sekelompok kecil (minoritas) anggota masyarakat. Namun lebih dari itu, oligarki tergantung kepada apa yang dapat dikatakan sebagai psikologi organisasi itu sendiri, yakni kepada kebutuhan-kebutuhan taktis dan teknis yang berasal dari konsolidasi setiap kesatuan politik yang berdisiplin. Secara singkat, hukum sosiologis paling fundamental dari partai-partai politik dapat dirumuskan sebagai berikut; "organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas member mandat, utusan atas pengutus. Organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas pemberi mandat, utusan atas pengutus. Barang siapa yang berbicara tentang organisasi, ia berbicara tentang oligarki".
Adapun prinsip-prinsip "Hukum besi oligarki" sebagai berikut; Pertama, partai sebagai suatu entitas dan bagian dari mekanisme, tidak selalu dapat diidentifikasikan dengan totalitas anggotanya dan juga dengan kelas yang memiliki partai itu. Karena partai pada awalnya dibentuk sebagai alat untuk mencapai tujuan pada akhirnya telah menjadi tujuan itu sendiri, serta dibekali oleh cara-cara dan kepentingan-kepentingan, maka dari sudut pandang teologis partai terpisah dari kelas yang diwakilinya. Dalam realitas sering ada gap antara kepentingan-kepentingan massa yang menyatu dalam membentuk partai dengan kepentingan- kepentingan birokrasi dalam mana partai menjadi person di dalamnya. Oligarki tidak hanya sekedar elit minoritas yang berkuasa ataupun bentuk pemerintahan, melainkan para pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.
Kedua, penyebab utama oligarki dalam partai-partai demokratis adalah kebutuhan teknis yang mendesak akan kepemimpinan. Hal ini dimulai dari proses diferensiasi fungsi-fungsi dalam partai dilengkapi dengan hal-hal kompleks yang di dalamnya para pemimpin menentukan dirinya terpisah dari massa. Oligarki juga berasal dari transformasi-transformasi fisik dimana tokoh-tokoh pemimpin partai memiliki jalan hidup mereka sendiri. Namun oligarki juga tergantung pada apa yang disebut psikologi organisasi itu sendiri.
Ketiga, hukum sosiologis dari partai-partai politik "hukum besi oligarki" dengan ungkapannya yaitu "organisasi yang melahirkan dominasi oleh golongan terpilih atas pemilih, oleh pemegang mandat atas pemberi mandat, oleh utusan atas yang mengutus. Barang siapa yang berbicara tentang organisasi, ia juga berbicara tentang oligarki".
Keempat, setiap organisasi kepartaian mengetengahkan suatu kekuatan oligarki yang didasarkan pada basis demokratis. Dimana-mana ditemui kekuasaan yang hampir tak terbatas dari para pemimpin yang dipilih atas massa pemilih, disini struktur oligarkis telah mencekik prinsip dasar demokratis, penindasan seolah-olah merupakan suatu keharusan. Struktur oligarkis telah membunuh demokrasi. Oligarki adalah sistem apapun yang dikuasai oleh segelintir orang. Michels menemukan gejala oligarki elite pada kasus Partai Sosial Demokrat (SPD), Jerman. Oligarki adalah sebuah kontradiksi, apalagi bagi SPD yang dilihat dari sejarah kelahirannya maupun tipikal keparta-iannya masuk kategori partai berbasis kader (membership-based party). Kader seharusnya diberi ruang yang lebar untuk ikut menentukan hitam-putihnya partai, kader politik yang baik sudah waktunya diberi ruang yang cukup, termasuk dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan partai. Tipikal partai semacam ini seharusnya menempatkan kader sebagai tulang punggung partai karena merekalah penggerak sekaligus penyumbang sumber daya finansial partai. Robert Michels mempelajari bagaimana sistem kepartaian yang ada di Jerman, dan mencoba merumuskan pemikirannya dengan "Hukum Besi Oligarki". Oligarki masa kini dijadikan sebagai persengkokolan segelintir orang untuk menguasai anggaran negara.
Kekuasaan oligarkis yang terbentuk di dalam partai politik akan terbawa ke dalam pemerintahan, tak peduli apakah partai tersebut berkuasa melalui pemilihan umum yang demokratis atau melalui jalur revolusi sekalipun. Perbedaan oligarki dengan demokrasi berada pada kepentingan siapa yang diwakili dan diperjuangkan. Pada oligarki, yang didahulukan adalah kepentingan. para pemegang kekuasaan, sementara pada demokrasi kepentingan yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak, bahkan tanpa melihat lagi batas-batas apakah orang-orang tersebut merupakan konstituennya atau bukan.
Dengan kata lain, dalam pemerintahan demokratis kekuasaan juga berada di tangan sedikit orang, namun penggunaannya ditujukan bagi kemaslahatan bersama, bukan bagi kepentingan perorangan, keluarga, kerabat atau teman dekat. Salah satu fungsi partai yang pokok adalah sebagai tempat penampungan aspirasi masyarakat terhadap pemerintah. Partai timbul karena adanya sistem demokrasi yang menginginkan adanya kekuatan rakyat untuk dapat menentukan kebijaksanan negara secara langsung melalui pilihannya dalam partai politik. Rakyat adalah golongan mayoritas yang pada hakikatnya ingin diatur oleh pihak yang lain, atau dalam oligarki berarti rakyat menginginkan dipimpin oleh segelintir orang. Setiap partai membutuhkan bantuan financial untuk menjalankan dan terus "memberi makan" orang-orang yang ada didalamnya. Dalam hubungan ini, partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi publik. Disini faktor kedekatan dengan elite-elit di kepengurusan partai sangatlah menentukan, disamping factor besarnya uang sumbangan yang dapat disediakan. Ini adalah faktor penting yang membuat "Hukum Besi Oligarki" itu hidup.
Organisasi memiliki kebutuhan, yaitu kebutuhan taktis dan teknis. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka partai politik mau tidak mau akan menjadikan dirinya sebagai partai pengikut Hukum Besi Oligarki. Ketika sebuah partai politik sudah terikat Hukum Besi Oligarki, maka ia bukanlah lagi patuh kepada konstituennya, melainkan patuh pada pemberi sokongan besar. Inilah pengaruh berbahaya bagi partai politik yang tidak memiliki kekuatan. Partai-partai politik mestinya memahami posisi dirinya sebagai agen paling penting dalam perkembangan demokrasi lokal. Pada akhirnya partai politik hanya akan dijadikan alat kaum oligarkis partai untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan meninggalkan aspirasi rakyat dibelakangnya. Partai Politik yang ada hanyalah partai politik yang menafikkan adanya system demokrasi, serta menjadi partai politik yang melayani pemegang kedaulatan partai, bukan menjadi pelayan rakyat.
"Organisasi" merupakan cara lain untuk mengeja "oligarki". Tendensi oligarki yang terjadi di seluruh dunia terdapat dalam setiap jenis organisasi manusia yang berjuang tuntuk mengusahakan tujuan yang jelas. Penyebab utama oligarki dalam partai-partai demokratis adalah karena didirikan dalam teknik kepemimpinan yang tak bisa habis. Sebagai suatu gerakan atau partai yang tumbuh makin besar, makin banyak fungsi yang harus diserahkan kepada pimpinan pusat, dan dengan berjalannya waktu, anggota-anggota organisasi tersebut, berkurang kewenangannya untuk mengatur dan mengawaasi mereka, sehingga penguasa mempunyai kebebasan menyuarakan kepentingan pribadinya dalam posisi mereka. Mereka mati-matian bergayuh pada kekuasaan dan segala hak istimewa yang terlekat padanya, dan menjadi hampir tak tergeserkan. Apabila suatu negara mengalami korupsi, maka itu adalah karena oligarki yang sudah tertancap kuat.
Tumbuhnya oligarki semacam ini didukung oleh Michels dengan konsepnya tentang pikiran masyarakat. Mayoritas manusia menurut Michels adalah apatis, malas dan berjiwa budak, dan senantiasa tak mampu memerintah diri sendiri. Mereka biasa berada dalam ketidak tetapan dan menjadi seperti budak dengan adanya paksaan. Michels menegaskan bahwa sistem-sistem politik mengalami tekanan yang sangat kuat ke arah sentralisasi dan oligarki, dan bahwa tekanan-tekanan tersebut merupakan sebuah kecenderungan alamiah dalam semua organisasi manusia. Oleh karena itu, situasi ini dimanfaatkan pemimpin-pemimpin untuk mengambil keuntungan, yang tidak lain melesatarikan posisi kekuasaan mereka.
Kelompok elit secara struktur duduk di lapisan paling atas dari masyarakat dan meskipun sedikit dalam jumlah, akan tetapi memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar. Struktur ini kemudian dapat digambarkan dalam bentuk yang piramidal, dimana lay people (rakyat jelata) duduk di lapisan paling bawah sementara elit pemerintah duduk di lapisan paling atas, yang meskipun secara mutlak kalah jumlah, namun menjadi kelompok eksklusif yang tidak terjangkau dengan sumber daya yang melimpah. Demokrasi representatif tidak terelakkan dari hukum tersebut. Meskipun warga negara memiliki hak untuk memilih siapa yang menjadi wakilnya di pemerintahan, sifat representatif itu sendiri menyebabkan warga negara sebagai golongan terbesar menjadi terasing dengan sistem politik yang berlaku.
Hanya wakil-wakil yang dipilih oleh-nya lah yang mampu secara aktif mempengaruhi dan berpartisipasi dalam lingkaran pembuat kebijakan. Sementara konstituennya hanya mampu berharaps apakah kebijakan yang dihasilkan oleh sekelompok kecil elit tersebut mampu mewakili kepentingan mereka. Hal ini makin menjadi ketika wakil yang mereka pilih tidak dengan hati nurani melihat kepentingan rakyat sebagai kewajiban moral yang seharusnya mereka perjuangkan, dan memilih berbagai macam bentuk agenda dan ambisi politik pribadi sebagai tujuan untuk duduk dalam lingkaran elit.
Partai politik, sebagai jalur konservatif bagi pengumpulan kepentingan dan suara rakyat menjadi jalur yang nihil, karena sudah pada asalnya partai politik bersifat elitis dan dipimpin oleh beberapa tokoh utama yang menjadi bintang panggung. Dan tidak bualan lagi ketika kita melihat secara faktual dibutuhkan modal yang tidak sedikit untuk masuk dalam lingkungan "bintang panggung" tersebut. Pada akhirnya, hanya mereka yang memiliki cukup modal, baik modal finansial maupun akses yang memadai mampu mengatur kemana arah dan tujuan nasional bangsa.
BAB III
KASUS DAN ANALISA
Di Indonesia oligarki telah berkembang dan terus tumbuh sejak tahun 1950-an yang mengumpul di sekitar negara beserta para korps birokrat politisnya. Para panglima militer dan para menteri baik era Soekarno maupun tahun-tahun awal kekuasaan Soeharto semuanya memanfaatkan kontrol atas lembaga-lembaga "pemegang kunci gerbang" yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Badan Urusan Logistik, Badan Usaha Milik Negara. para birokrat itu membagikan lisensi perdagangan, kredit, konsensi lahan, kontrak pasokan. Oligarki Soeharto dibangun sejak Orde Baru berdiri diakhir tahun 1960-an melalui aktor-aktor yang disebut dengan kapitalis baru, konglomerat, kapitalis kroni, politik-bisnis keluarga. Hal ini kemudian diikuti dengan politik patronase dan bagi-bagi kepada pendukungnya sepanjang mereka menyediakan dan loyal atas penggunaan kekuatan brutal untuk menjaga kekuasaan.
Pada awal Orde Baru kemajuan pembangunan menunjukan perkembangan signifikan sebagai pusat kekuasaan oligarki. Sulit dibantah bahwa pembangunan Orde Baru telah berhasil menggerakan transformasi struktural di bidang ekonomi dan politik. Sekalipun negara Orde Baru cenderung mencontoh model pembangunan yang kapitalistik, tetapi model ini dipraktekan dengan besarnya peran negara dan tidak adanya dasar perkembangan tehnologi yang memadai. Kapitalisme semu ini dicirikan secara lengkap dengan pentingnya keberadaan modal asing, besarnya peranan negara, tingkat tehnologi yang rendah, dan dominasi modal domestik non pribumi.
Rezim oligarki terlibat dalam berbagai prosesi politik demokrasi seperti pemilu sebagai instrumen kekuasaan, dan memenangkannya dengan menggunakan intimidasi, kekayaan yang secara legal dapat dialokasikan dalam proses politik. Praktek politik yang dikangkangi oleh rezim oligarki ini membuat demokrasi hanya memberi keuntungan dan semakin menguntungkan oligarki kaya, demokrasi inilah yang disebut sebagai demokrasi kriminal. Oligarki Soeharto ini berkembang dalam tiga tahap yakni, fase aliansi antara militer-etnis China. Fase ini merupakan simbiosis antara keamanan dan bisnis yang semuanya di bawah kendali Soeharto. Kedua, fase pribumi yang diawali dengan booming minyak pada paruh 1970-an. Era ini Soeharto banyak memberikan kesempatan pada oligark pribumi, tidak hanya dalam jabatan politik, tetapi juga akses pada sumberdaya penting bagi pemupukan kekayaan. Ketiga, fase keluarga, dimana era 1980-an keluarga Cendana terutama anak-anak Soeharto telah semakin matang dan didorong untuk mengambil peranan lebih besar dalam kegiatan bisnis melalui berbagai privellege dan memasuki ranah politik kekuasaan.
Setelah Soeharto turun dari kursi pemerintahan, oligarki belum juga dapat dikatakan berakhir, malahan semakin meluas dengan sistem politik demokrasi. Para oligarki yang sebelumnya merupakan kroni Soeharto menyebar melalui partai-partai politik. Para oligark mengendalikan partai dan berbagai kekuatan politik baik secara langsung maupun tidak langsung pada level pusat maupun daerah, sebagai contoh adalah Wiranto mengendalikan partai Hanura, Prabowo dengan partai Gerindra, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat, Golkar sebagai aliansi birokrat-pebisnis-militer yang dibesarkan oleh Soeharto. Struktur politik yang ada pasca Soeharto merupakan kumpulan dari orang-orang yang dibesarkan oleh Orde Baru tanpa mengikutsertakan elemen-elemen lain misalnya buruh dan petani yang secara sistematis telah termarjinalkan.
Hal semacam ini menimbulkan ketimpangan bagi masyarakat yang miskin. Masyarakat miskin akan semakin miskin dan terlilit banyak hutang sedangkan yang kaya akan semakin kaya. Tentu juga semakin banyak persaingan dan kecurangan dalam sistem kekuasaan dan kekayaan. Masyarakat yang miskin semakin terbelakang dan menjadi semakin terpuruk karena mulai terbentuknya kelas-kelas sosial. Jurang pemisah semakin terlihat antara kaum borjuis dan proletar. Kaum borjuis yang mendominasi dan memiliki kekuasaan sedangkan kaum proletar yang menjual tenaganya untuk kepentingan kaum borjuis sendiri. Setelah turunnya soeharto dari masa jabatannya, banyak investasi asing dan perusahaan serta pengusaha yang dapat mengembangkan usaha mereka untuk perekonomian Indonesia yang lebih baik. Kiat-kiat dalam membangun perekonomian Indonesia semakin terlihat ketika mulai berkembangnya perusahaan hingga keluar negari dan kapitalisme mulai memudar.
BAB IV
KESIMPULAN
Robert Michels mempelajari sistem kepartaian yang ada di Negara Jerman, dan mencoba merumuskan pemikirannya dengan sebutan "The Iron Law Of Oligarch" atau dalam bahasa Indonesia berarti "Hukum Besi Oligarki". Berdasarkan hasil studinya, Michels menemukan adanya gejala oligarki elit pada tubuh Partai Sosial Demokrat di Jerman. Oligarki adalah sebuah kontradiksi, apalagi bagi Partai Sosial Demokrat yang dilihat dari sejarah kelahirannya maupun tipikal kepartaiannya masuk kategori partai berbasis kader (membership-based party). Kader seharusnya diberi ruang yang lebar untuk ikut menentukan dan ikut dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan partai. Namun yang terjadi justru sebaliknya, dimana para pemimipin Partai Sosial Demokrat mengontrol proses rekrutmen pemimpin baru. Terjadilah kemudian apa yang disebut a self reproducing class yang berakibat semakin menjauhkan jarak sosial antara elit dan massa.
Dalam pandangannya, partai politik dianggap tidak sanggup keluar dari penyakit kronis elitis. Michels mengungkapkan bahwa elit politik akan selalu menguasai struktur dan pengambilan keputusan di dalam internal partai politik, mereka akan selalu berada dalam kekuasaannya. Ini menjadi mungkin, karena kita semua tahu bahwa partai membutuhkan banyak biaya untuk keperluan-keperluannya. Maka dari itu, orang-orang yang berkuaasa di dalam partai sudahlah pasti merupakan orang-orang besar dalam artian kaya secara finansial.
Oligarki diartikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan yang berada hanya pada segelintir kecil orang. Kekuasaan itu biasanya ditentukan oleh kekuatan harta kekayaan, kekuatan militer, pengaruh politik, atau kombinasi dari ketiganya. Robert Michels mengartikan oligarki sebagai hukum besi di setiap bentuk organisasi. Dalam organisasi, secara alamiah kekuasaan akan jatuh ke tangan sejumlah kecil pimpinan, mendorongnya menjadi birokratis, dan terkadang konservatif. Kekuasaan oligarki yang terbentuk di dalam partai politik akan terbawa ke dalam pemerintahan. Pengambilan keputusan tidak ada di tangan organisasi, namun di tangan segelintir elit yang berkuasa di dalamnya. Nah dengan ini maka dapat dikatakan bahwa keberadaan oligarki dalam politik adalah mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, M. Alfan. 2009. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 2006. Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Haris, Syamsudin. 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Intan, Nurjannah. 2010. dkk, Salahkah George Berantas Korupsi?. Yogyakarta: Bangkit Publisher.
J.Scheiter, Robert. 2006. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: Gunung Mulia.
Keller, Suzanne. 1995. Penguasa dan Kelompok Elit; Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada.
Keraf, A. Sonny dan Dua, Mikhael. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
Koirudin. 2015. Menuju Partai Advokasi. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa.
Lipi. 2004. Quo Vadis Politik Indonesia. Indonesia: Yayasan Obor.
Lipson, Leslie.1964. The Democratic Civilization. New York: Oxford University Press.
Mas'oed, Mohtar dan MacAndrew, Colin. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Michels, Robert. 2001. Political Parties. Canada: Kitchener.
Philip J. Cook. 1971. The Journal of Politics. University of Chicago: The University of Chicago Press.
Sukisman, Warin Diyo. 1992. Sejarah Cina Kontemporer. Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.
Varma. 2003. Teori Politik Modern. Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada.
Winters, Jeffrey A. 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.
http://www.encyclopedia.com/topic/Robert_Michels.aspx
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Robert_Michels
Jurnal Amartya Sen. 2011. Konstelasi: Oligarki, Kanker Dalam Rahim Demokrasi.
Jurnal Vedi R Hadiz, 2000. 'Retrieving the Past for the Future? "Indonesia and the New Order Legacy.