A. Lembaga Bank Syariah Dalam Sejarah Islam
Islam di dalam suatu kota besar yang dianggap sebagai salah satu dari tempat yang heterogen dan yang paling rumit di wilayah Arab. Masyarakat telah tumbuh di luar pembatasan suku bangsa dan kaum untuk membangun kompleksitas dalam hal ekonomi dan politik. Selama itu kota besar menjadi makmur dengan bisnis di dalam pinjaman dengan jumlah beban biaya yang lebih besar. Pada awalnya pembentukan bank islam banyak diragukan karena beberapa alasan. Pertama, banyak orang yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak lazim. Kedua, keraguan tentang bagaimana bank islam akan membiayai operasionalnya. Meskipun begitu terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pengembangan dari sistem perbankan islam berjalan dan mulai ada dari zamanya nabi dan sahabat, bani umayyah dan bani abbasiyah, dan di masa eropa.
1. Di Zaman Nabi Muhammad SAW dan Sahabat
Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dan setelah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan "Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali RA untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair Bin Al-Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda; pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullahbin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang keadiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeriSyam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar Bin Khattab RA, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara'ah.
Musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja. Fungsi-fungsi Bank sudah dipraktekkan oleh para sahabat di zaman Nabi SAW: Menerima Simpanan Uang, Memberikan Pembiayaan, dan Jasa Transfer Uang. Biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja.
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang, Credo dalam bahasa romawi berarti kepercayaan, sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (Inggris: check; Perancis: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
2. Di Zaman Bani Umayyah Dan Bani Abbasiyah
Jelas saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi perbankan yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah. Di jaman Rasulullah SAW fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang(money changer). Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sassanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnu Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf Al-Dawlah Al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).
3. Di Masa Eropa
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan jihbiz kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai institusi bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktek perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam pandangan fikih adalah riba, dan oleh karenanya haram. Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545, membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Ketika Raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja Edward VIyang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak berlangsung lama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga uang.
Selanjutnya, bangsa Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance. Penjelajahan dan penjajahan mulai dilakukan ke seluruh penjuru dunia, sehingga kegiatan perekonomian dunia mulai didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama, peradaban muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara muslim satu per satu jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya, institusi-institusi perekonomian umat muslim runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern kini. Karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa, yang notabene berbasis bunga.
B. Sejarah Lahirnya Bank Syariah Di Zaman Modern
Pemikiran untuk mendirikan bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul dalam waktu yang cukup lama. Hal ini ditandai dengan munculnya pemikiran muslim yang menulis tentang perlunya dibangun bank islam dengan prinsip bagi hasil, antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) Dan Mahmud Ahmad (1952). Kemudian pada 1960-an Al-Maududi menulis secara perinci tentang perlunya dibangun bank islam untuk mengimbangi praktik-praktik bank konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Pemikiran beliau ini ditindak lanjuti oleh Muhammad Hamidullah dengan menulis beberapa buku berturut-turut pada 1994, 1995, 1957, dan 1962 yang kesemuanya itu dikategorikan sebagai penggagas awal tentang perbankan islam.
Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing dalam bentuk bank syariah modern mencatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu adanya upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Rintisan bank syariah lainya adalah berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank pada 1963 di Mesir yang dibangun oleh Dr. Ahmad El-Najar. Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank ini beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran agama islam ini sangat populer dan pada mulanya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu ada persoalan politik di Mesir bank ini ditutup dan diambil alih oleh National Bank Of Egypt Dan Central Bank Of Egypt yang dioperasikan berdasarkan prinsip ribawi. Pada 1972 sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi di Mesir dengan ditandai berdirinya Nasser Social Bank. Berdirinya bank ini lebih bersifat sosial daripada komersial.
Kesukaan Mit Ghamr mengelola bank dengan sistem bagi hasil, memberi inspirasi bagi umat islam diseluruh dunia untuk membentuk bank islam dengan sistem bagi hasil. Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah ditingkat internasional muncul dalam konferensi negara islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21 s/d 27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta. Salah satu keputusan dalam konferensi ini adalah perlu segera dibentuk sebuah bank syariah yang bersih dari sistem riba. Kemudian pada desember 1970 dalam pertemuan menteri luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan, delegasi mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tentang berdirinya bank islam ini kemuian dikaji dengan seksama oleh para ahli dari 18 negara islam yang semuanya menyetujui dibentuk bank islam.
Selanjutnya pada sidang luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Baghazi, Libya pada maret 1973 usulan tentang perlunya didirikan bank syariah diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus yang menangani tentang hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973 komite ahli yang mewakili negara islam penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan berdirinya bank syariah, sekaligus dibahas tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Selanjutnya pada 1974, diadakan pertemuan menteri keuangan negara OKI di Jeddah dan dalam pertemuan ini disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank) dengan modal awal dua milyar dinar.
Setelah Islamic Development Bank (IDB) didirikan pada oktober 1975 yang beranggota 22 negara islam sebagai pendiri. Tujuan dibentuk bank ini adalah untuk membantu finansial dalam membangun negara anggotanya, usaha untuk mendirikan bank islam menyebar ke banyak negara. Beberapa negara islam seperti Pakistan, Sudan, dan Iran mengubah seluruh sistem keuangan yang ada di negara tersebut menjadi bebas bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Sekarang, perbankan syariah sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke seluruh dunia. Di Eropa tercatat "The Islamic Bank International Of Denmark" tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, bank ini mulai beroperasi pada 1983 di Denmark. Sekarang bank-bank besar di negara-negara Eropa seperti City Bank, ANZ Bank, Chase Mahatam Bank, dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat islam.
C. Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia
Ide untuk mendirikan Bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul sejak 1970-an. Gagasan ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada 1974 dan dalam seminar internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Study Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhinika Tunggal Ika pada 1976. Setelah diadakan penelitian yang mendalam, usaha untuk mendirikan bank syariah sedikit ada kendala, yaitu tidak ada payung hukum yang mengatur tentang bank yang operasionalnya yang memakai prinsip bagi hasil. Kalau tetap dioperasikan bank syariah itu, maka tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbangkan yang berlaku pada waktu itu. Selain hambatan ini lahirnya bank syariah ini dianggap sementara oleh pihak ada keterkaitan dengan faktor ideologi yang dianggapnya bagian dari konsep negara islam.
Pada 1998 gagasan mengenai bank syariah muncul lagi dengan gagasan ini muncul karena pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi di Indonesia. Setelah adanya rekomendasi lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor pada tanggal 19-22 Agustus 1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlansung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas MUI ini dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Hasil kerja dari kelompok ini adalah dibentuknya PT. Bank Muamalah Indonesia dengan ditandatangani akta pendiriannya pada 1 November 1991 dengan total modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000,-. Dana ini berasal dari presiden dan wakil presiden, juga dari 10 Menteri Kabinet Pembangunan V, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, Yayasan Purna Bhakti Pratiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Pada 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Pada awal berdirinya, keberadaan PT Bank Muamalat Indonesian belum mendapatkan perhatian yang optimal dalam tataan industri perbankan nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan bagi hasil diakomodasikan dan diakui keberadaannya, maka perkembangan bank syariah mulai menunjukkan prospeknya yang sangat bagus. Dalam menanggapi beberapa pasal yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada 30 Oktober 1992, LNRI Nomor 119 Tahun 1992. Dalam peraturan pemerintah ini ditegaskan bahwa bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prrinsip bagi hasil, demikian juga sebaliknya.
Oleh karena Bank Muamalat dan bank-bank perkreditan rakyat tidak menjangkau masyarakat islam lapisan bawah, maka dibentuklah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal Wattamwil (BMT). Kemudian bank muamalat juga mensponsori berdirinya Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada 1997, Bank Muamalat mensponsori lokakarya ulama tentang reksadana syariah oleh PT. Danareksa Investment Management. Kemudian juga lahirnya pasar modal syariah, obligasi syariah membuat perkembangan lembaga keuangan syariah tumbuh dan berkembang cepat dengan hasil yang sangat menggembirakan. Menurut riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting pada 2005 yang lalu menunjukkan bahwa total aset bank syariah di indonesia diperkirakan akan lebih besar daripada apa yang diperkirakan oleh Bank Indonesia. Total aset bank syariah diperkirakan akan mencapai antara 1,92% sampai 2,31% dari industri perbankan nasional. Pertumbuhan yang cukup signifikan ini disebabkan karena semakin baiknya kapasitas disisi regulasi serta perkembangannya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dalam bentuk surat keputusan direksi Bank Indonesia dan peraturan Bank Indonesia, telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia ini telah memberikan kesempatan untuk mengembangkan bank syariah dengan cara mempermudah memberi izin usaha dan mempermudah pembukuan kantor cabang serta diperkenankan bank umum dapat menjalankan dua kegiatan usaha, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan telah memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah. Dari peraturan perundang-undangan ini dapat diketahui bahwa tujuan dikembangkan bank syariah adalah untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan dual banking system, mobilitas dana masyarakat dapat diserap secara luas, terutama daerah-daerah yang tidak bisa dijangkau oleh bank konvensional. Disamping itu, dengan dibukanya izin operasional bank syariah, maka membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan, bukan hubungan formal antara debitur dan kreditur sebagaimana yang terdapat pada bank konvensional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah kita menelusuri secara singkat sejarah praktek perbankan yang dilakukan oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fikih Islam tidak mengenal kata "Bank", namun sesungguhnya bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi perbankan modern telah dipraktekkan oleh umat muslim, bahkan sejak zaman nabi Muhammad SAW.
Praktek-praktek fungsi perbankan ini tentunya berkembang secara berangsur-angsur dan mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tertentu, seiring dengan naik-turunnya peradaban umat muslim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang asing bagi umat muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya Allah akan menjadi lebih mudah.
B. Saran
Selain tujuan dibentuknya bank syariah sebagaimana tersebut diatas, juga diharapkan melalui bank syariah dapat meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan industri perbankan, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat yang masih enggan berhubungan dengan bank, sebab bank dianggap mempraktikan riba dalam transaksi yang dilakukannya, padahal riba itu haram hukumnya dalam syariat islam. Diharapkan, dengan lahirnya bank syariah ini, masyarakat islam yang tadinya enggan berhubungan dengan bank, akan merasa terpanggil untuk berhubungan dengan bank syariah, ikhtiar ini akan sekaligus mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomis, berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualtas hidupnya.
A. Pengertian Bank Syariah
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari'ah (Shari'a Bank).[1] Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi "Bank Syariah", atau yang secara lengkap disebut "Bank Berdasarkan Prinsip Syariah". Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Sudah cukup lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam (muslim world) lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) untuk dapat di terapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat.
B. Latar Belakang Berdirinya Bank Syariah dalam Islam
Islam didalam suatu kota besar yang dianggap sebagai salah satu dari tempat yang heterogen dan yang paling rumit di wilayah Arab. Masyarakat telah tumbuh diluar pembatasan suku bangsa dan kaum untuk membangun kompleksitas dalam hal ekonomi dan politik. Selama itu kota besar menjadi makmur dengan bisnis di dalam pinjaman dengan jumlah beban biaya yang lebih besar.[2] Pada awalnya pembentukan bank islam banyak diragukan karena beberapa alasan. Pertama, banyak orang yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak lazim. Kedua, keraguan tentang bagaimana bank islam akan membiayai operasionalnya.[3] Meskipun begitu terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pengembangan dari sistem perbankan islam berjalan dan mulai ada dari zamanmya Nabi dan Sahabat, Bani Umayyah dan Bani Abassiyah, dan di Masa Eropa. [4]
C. Sejarah dan Perkembangan Bank Syariah di Dunia Internasional
a. Sejarah Bank Syariah di Dunia Internasional
Bank Syariah menurut Ensiklopedia bebas adalah (al-Mashrafiyah al-Islamiyah) Yaitu suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Untuk pertama kalinya, pembentukan bank syari'ah didirikan di mesir pada tahun 1963 dengan nama Bank Syari'ah Myt-Ghamr, yang permodalannya dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Pendirian Bank Syari'ah Myt-Ghamr dipelopori oleh Ikhwanul Muslim, tetapi tidak berlangsung lama karena segera dibubarkan oleh Gamal Abdul Nashr. namun demikian, eksperimen pendirian Bank Bank Syari'ah Myt-Ghamr (1963-1967) ini telah mampu merangsang pemikiran tentang kemungkinan didirikannya lembaga islam yang bergerak dibidang keuangan dan investasi dengan keuntungan yang layak.
Masih dimesir dengan dipelopori oleh seorang hartawan yang bernama Thalut Harb Pasha, pada tahun 1970 para hartawan mendirikan Bank syari'ah dengan nama Bank Mesir. Bank ini mulai beroperasi pada tahun 1972 yang pada dasarnya merupakan lembaga swasta yang memiliki otonomi tersendiri. Kegiatannya terutama dalam bidang sosial, membantu usaha pengusaha kecil dan menolong kaum Dhu'afa .
Selanjutnya bermunculan bank-bank syari'ah diberbagai negara islam. Peristiwa ini diawali oleh pertemuan ketiga dari menteri-menteri luar negeri Negara-negara islam di Jeddah pada tanggal 29 Februari 1972. Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan pembentukan Departemen Keuangan dan Ekonomi di bawah Sekretaris Jenderal yang ditugasi untuk menjelaskan sistem perbankan Islam dan mengumpulkan pendapat dari Negara-negara islam. Hasil dari kajian departemen ini dibicarakan pada pertemuan pertama Menteri-menteri keuangan Organisasi Konferensi Islam pada bulan Desember 1973. Dalam pertemuan ini dihasilkan pernyataan kehendak untuk mendirikan sebuah Bank Syari'ah. Perkembangan bank Syari'ah yang pesat ternyata tidak terlepas dari andil yang diperankan oleh Organisai Konferensi Islam (OKI) yang sejak tahun 1970-an banyak mengeluarkan anjuran dan mendorong Negara-negara anggotanya untuk meningkatkan perekonomian rakyat di Negara masing-masing. Sampai pada akhirnya Islamic Development Bank (IDB) bulan Juli 1985 yang berkantor di Jeddah.[5]
Perbankan syari'ah pada dasarnya adalah sistem perbankan yang didalam usahanya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syari'ah islam dengan mengacu kepada Al-Qur'an dan Al-hadits. Maksud dari system yang sesuai dengan syari'ah islam adalah beroperasi mengikuti ketentuan –ketentuan syari'at islam, khususnya yang menyangkut tata-cara bermuamalat misaalnya dengan menjauhi praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil pembiayaan. Sedangkan kegiatan usaha dengan mengacu pada Al-Qur'an dan Al-hadits yang dimaksudkan beroperasi mengikuti larangan dan perintah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasul Muhammad SAW. Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan dengan praktik-paraktik bank uang mengandung dan menimbulkan unsur riba. Pada awalnya penerapan system perbankan syari'ah, pembentukan lembaga keuangan syari'ah , serta penciptaan produk-produk syari'ah dalam system keuangan untuk menciptakan sesuatu kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan semua aspek kehidupannya termasuk aspek ekonominya dengan berlandaskan Al-Qur'an dan As-sunnah. Saat ini, system perekonomian islam mengalaminperkembangan yang cukup pesat dan menjadi objek kajian dan penelitian kalangan barat. Sistem syari'ah dewasa ini telah terintegrasi dan berinteraksi dengan system perekonomian dunia. Sistem perbankan syari'ah tidak lagi hanya dimonopoli dan diklaim sebagai sistem perbankan Negara-negara islam.[6]
b. Perkembangan Bank Syariah di Dunia Internasional
Dalam perkembangan bank Islam tidak hanya didirikan oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, melainkan dijalankan pula oleh bank-bank negara-negara nonmuslim dengan cara membentuk suatu unit tersendiri yang ada pada bank guna melayani nasabah yang menghendaki perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah.
Potensi pasar yang besar bagi kegiatan perbankan islam, telah membuka cakrawala baru bagi bank-bank yang berasal dari negara-negara nonmuslim untuk membuka islamic devision dibank tersebut. Hal ini dilakukan, misalnya oleh Citibank, Chase Mahattan Bank, ANZ Bank, dan Jardine Fleming. Mengingat bank Islam sekalipun melakukan kegiatan nya berdasarkan syariah atau hukum Islam, tetapi karena boleh pula melayani siapa saja termasuk yang nonmuslim, maka jasa-jasa perbankan Islam telah dirintis oleh bank-bank tersebut diatas sebagai pilihan pembiayaan. Bahkan di Eropa yang notabene sebagian besar masyayrakatnya nonmuslim, bank Islam tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan perbankan Islam yang sangat aktif di London, karena paling sedikit dua alasan. Alasan pertama, London merupakan pusat keuangan dunia terkemuka dan alasan kedua, karena hubungan sejarah yang sangat erat dari masa lalu antara negara-negara Teluk di Timur Tengah (Gulf Countries) dengan Inggris. Di London banyak sekali tinggal para syeh, orang-orang kaya Arab, dari Negara-negara Teluk dan banyak diantara mereka yang berusaha dibidang keuangan. Mereka juga memiliki lembanga-lembaga keuangan syariah di negaranya, yaitu di Saudi Arabia, Kuwait, Emirat Arab, dan Qatar. Di Eropa perbankan Islam memperoleh dasar untuk tumbuh yang baik,karena tingkat inflasi dan bunga bank yang rendah. Bank-bank Islam memang lebih dapat berkembang di negara-negara dengan tingkat inflasi dan bunga yang rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan tingkat inflasi dan bunga bank yang tinggi .
Sebagian besar negara-negara Islam telah endirikan bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, jauh lebih menguntungkan bersaing dengan ban-bank konvensional yang ada. Masyarakat lebih percaya dan yakin untuk menanamkan modalnya kepada bank-bank Islam. Prinsip bank dengan bunga mulai ditinggalkan oleh mereka, dengan beralih menggunakan prinsip bank tanpa bunga padaa lembaga-lembaga keuangannya.
Pakistan juga merupakan pelopor dibidang perbankan Islam. Pada awal Juli 1979, sistem bunga dihapuskan dari operasional tiga institusi, yaitu National Investment (Unit Trust),, House Building Finance Corporation (pembiayaan sektor perumahan) Mutual Funds on the Investment Corporation of Pakistan (kerja sama investasi). Pada tahun 1979-1980,pemerintah mensosialisasikan skema pinjam tanpa bunga kepada petani dan nelayan. Seiring dengan berlakunya Undang-undangperusahaaan mudharabah dan murabahah pada tahun 1998, mulailah beroperasi tujuh ribu cabang bank komersial nasioanal diseluruh Pakistan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh sistem perbankan pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem perbankan syariah.
Demikian pula di Iran telah dilakukan Islamisasi sistem perbankan pada tahun 1983 berdasarkan Undang-undang Perbankan Islam, yang ditandai dengan nasionalisasi seluruh industri perbankan yang dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu perbankan komersial dan lembaga pembaiyaan khusus. Dengan demikian, seajak dikeluakan Undang-undang Perbankan Islam pada tahun 1983 tersebut, seluruh sistem perbankan di Iran otomatis berjalan sesuai syariah dibawah kontrol penuh pemerintah.
Di Kuwait juga didirikan Kuwait Finance House pada tahun 1977dan sejak awal beroperasi dengan sistem tanpa bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukkan perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980 hingga 1982, dana masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD 149 juta menjadi KD 474 juta. Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai 803 juta dan tingkat keuntungan bersih mencapai KD 17 juta (satu dinar Kuwait ekuivalen dengan 4 hingga 5 dolar US ). Di Timur Tengah,Bahrai merupakan off shore banking heaven terbesar. Di negeri yang hanya berpenduduk tidak lebih dari 660.000 jiwa per Desember 1999 tumbuh sekitar 220 local dan off shore banks.Tidak kurang dari 22 diantaranya beroperasi berdasarkan syariah. Diantara bank-bank yang beroperasi secara syariah tersebut adalah Citi Islamic Bank of Bahrain (anak perusahaan Citi Corporation N.A), Faysal Islamic Bank of Bahrain, dan al-Barakah Bank. Dubai Islamic Bank jugga merupakan pelopor perkembangan bank Islam, yang didirikan pada tahun 1975. Investasinya meliputi bidang perumahan, proyek-proyek Industri, dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan bank konversional.
Perbankan Islam tidak hanya berkembang dan dimonopoli negara-negara Islam yang berada di Timur Tengah saja. Negara-negara Asia lainnya yang berpenduduk beragama Islam, juga tidak ketinggalan untuk mendirikan dan mengembangkan lembega-lembega keuangan berdasarkan prinsip syariah tersebut, termasuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan prinsip profit and loss sharing . Di Filipina pada tahun 1973 didirikan Philippine Amanah Bank (PAB). PAB sendiri sebenarnya tidak dapat dikategorikan sebagai suatu Bank Islam murni, dalam pengertian kegiatan usahanya tidak merujuk pada prinsip syariah. Di samping itu, PAB masih menerapkan ssistem ganda,yaitu sistem riba (interest based lending) dan sistem perbankan tanpa bunga (interst east based) secara sekaligus. Pendirian tersebut dilakukan dengan suatu keputusan presiden sebagai suatu bank khusus. Pendirian PAB ini lebih merupakan respon politik pemerintah Pilipina saat itu terhadap pemberontakan kaum muslim di wilayah Selatan Fillipina. Tujuan utama dari PAB ini memulihkan perekonomian di Mindanao, Sulu, dan Palawan. PAB berkantor pusat di Zamboanga City,Mindanao dan memiliki delapan cabang yang tersebar di kota-kotabesar di wilayah selatan Filipina terrmasuk satu cabang di Makati (Metro Manila). Saat ini terdapat usaha untuk menjadikan PAB benar-benar sebagai bank Islam.
Di Malaysia, bank Islam pertama kali didirikan pada tahun 1983. Namun jika ditelusuri kebelakang,perkembangan menuju kearah pendirian bank sudah ada sejak tahun 1963. Pada tahun tersebut didirikan Muslim Pilgrims Savings Corporation, sebuah lembaga keuangan Islam yang bertujuan membantu masyarakat dalam menunaikan ibadah haji. Kegiatan lembaga ini lebih mirip dengan kegiatan arisan untuk pergi haji. Pada tahun 1969, lembaga ini berubah menjadi Pilgrims Management and Fund Board atau lebih dikenal dengan istilah Tabung Haji. Kegiatan Tabung Haji ini masih sama, yaitu membantu masyarakat untuk naik haji. Masyarakat yang ingin menunaikan ibadah haji namun mengalami keterbatasan dana dapat menabung di Tabung Haji. Tabung Haji menginvestasikan dana tersebut pada bidang-bidang yang dihalalkan oleh syariah. Dana yang ditabungkan oleh calon jamaah haji ditambah dengan keuntungan hasil investasi, akan dipergunakan untuk menunaikan ibadah haji. Keberhasilan Tabung Haji ini membawa inspirasi bagi didirikannya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983. BIMB merupakan bank islam komersial pertama di Malaysia. Tabung Haji merupakan salah satu pendirinya dengan investasi sebesar 12,5 persen dari modal awal BIMB sebesar M$ 80 juta.
Sampai dengan akhir 1999, BIMB telah memiliki lebih dari tujuh puluh cabang yang tersebar di setiap negarabagian dan kota-kota Malaysia. Sejak beberapa tahun yang lalu, BIMB telah tercatat sebagai listed public company dan mayoritas sahamnya dikuasai oleh Lembaga Urusan dan Tabung Haji. Kemudian pada tahun 1999, telah hadir satu bank syariah dengan nama Bank Bumi Putera yang baru saja melakukan merger dengan Bank of Commerce. Perlu diingat bahwa di malaysia, disamping full pledge Islamic banking, pemerintah Malaysia memperkenankan juga sistem Islamic Windowyang memberikan layanan syariah pada bank konvensional.
Sedangkan di negara-negara Barat ternyata bank Islam tidak begitu berkembang, karena tidak didukung dengan legislasi. Pada umumnya mereka lebih percaya dan yakin menanamkan dana kepada bank-bank konvensional, ketimbang pada bank Islam, berhubung bank-bank konvensional memberikan jaminan yang pasti atas imbalan yang akan diterimanya, sebaliknya pada perbankan Islam dengan prinsip profit and loss sharing tidak memberikan kepastian atas imbalan yang akan diterimanya sebagai balas jasa dari bank. Karenanya perbankan Islam tidak begitu disenangi oleh mereka. Selain itu legislasi perbankan di negara-negara Barat masih belum memberikan kemungkinan pendirian bank syariah yang melakukan kegiatan usaha komersial seperti bank-bank konvensional yang ada. Bank Islam pertama di negara Barat didirikan di Luxembourg pada tahun 1978 dengan nama Islamic Finance House. Sedangkan di Australia terdapat Islamic Investment Company yang berpusat di Melbourne.[7]
c. pengawasan Perbankan Syariah Di Sejumlah Negara Anggota: Karakteristik Umum
Secara tematis, karakteristik umum dari kerangka ini adalah sebagai berikut:
1. Kepatuhan dengan Standar Internasional
a) Sebagian besar negara-negara yang disebutkan disini,telah mengadopsi standar internasional,yaitu prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan oleh Basel Committee mengenai ketentuan permodalan minimum berdasarkan risiko-tertimbang(minimum risk-weighted capital requirement), dan standar akuntansi internasional dari IInternational Accounting Standards Committee(IASC)
b) Sebagian besar negara telah menerapkan program untuk mengadopsi standar internasional,namun dilaporkan mereka mengalami kesulitan,terutama dalam hal pembobotan resiko atas aset (risk-weighting of assset) dari modal pembiayaan syariah. Sedangkan sebagian kecil negara lainnya tidak mematuhi standar internasional.
c) Kepatuhan pada standar yang ditentukan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions(AAOIFI) belum sepenuhnya diterapkan;kecuali hanya dua negara (Bahrain dan Sudan) yang secara eksplisit telah mengadopsi standar yang ditentukan.
d) Untuk bank-bank yang masuk kategori kecil,beberapa negara telah mencanangkan program merger dan penguatan permodalan sehingga mereka layak bersaing dengan bank-bank besar.
e) Tiga negara,yaitu Iran,Pakistan dan Sudan,yang telah mentransformasi sistem ekonominya berdasrkan ajaran Islam,telah mencanangkan program restrukturisasi sektor perbankan mereka. Ketiga negara tersebut telah mempunyai rencana untuk memprivatisasi perbankan. Sedangkan Pakistan dan Sudan telah mencanangkan program untuk memperkuat permodalan bank,dan program merger pada level tertentu untuk mencapai maksud tersebut.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan lembaga keuangan islam di mulai dengan berdirinya rural social bank yaitu mit Gamr di Mesir yang dilanjutkan dengan ide pendirian Islamic Development Bank pada sidang OKI lima tahun kemudian, di Jeddah pada tahun 1975. Sidang mentri keuangan Negara OKI tersebut menyetujui pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank dengan modal awal 2 miliar dinar Islam atau ekuivalen dengan 2 miliar SDR (special Drawing Right). Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan sangat pesat.
Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Achmad dan laporan International Assosiation of Islamic Bank, sehingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia maupun Amerika. Saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank,Jurdine Flemming, ANZ,Chasecemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain membuka cabang dan subsidiories yang berdasarkan syariah,bahkan Scharf, mantan direktur utama Bank Islam Denmark yang kristen itu menyatakan bahwa bank islam adalah Partner baru pembangunan. Selanjutnya akan dibahas mengenai sejarah Bank Islam yang menjadikan pioner bank syariah sekarang.
B. Saran
Dalam makalah perbankan syariah"Sejarah Dan Perkembangan Bank Syariah Di Dunia Internasional"ini kami pemakalah mencoba menyajikan dan mengupas pembahasan yang begitu detail, tetapi apabila menurut pembaca makalah kami kurang sempurna harap kritik dan maklumilah makalah hasil kami karena kesempurnaan hanya ditngan Tuhan, sekian dari kami.