REVIEW PENYAKIT NON MENULAR OSTEOPOROSIS ISU TERKINI PENYAKIT NON MENULAR
Disusun Oleh: Kelompok 5 Haida Meytania Utami
(25010113140281)
Dhita Ayu Fauziah
(25010113130282)
Berta Yurezka
(25010113130283)
Anggika Yelzi Pratiwi
(25010113140285)
Hanifah Iskhia Dilla
(25010113130286)
Riska Triafriyani Putri
(25010113140287)
Nuralmasdini Winnaputri
(25010113140288)
Vinidia Pertiwi
(25010113140290)
Annisa Retno Arum
(25010113140291)
Bhakti Chrisna
(25010113130317) Kelas D 2013
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO 2015
A. PENGERTIAN OSTEOPOROSIS Osteoporosis berasal dari kata Osteo dan Porous. Osteo artinya tulang, dan Porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang ( Tandra, 2009). Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006). Menurut National Institute of Health (NIH), 2001 Osteoporosis adalah kelainan kerangka, ditandai dengan kekuatan tulang yang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007) Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh. Tulang mempunyai struktur, pertumbuhan dan fungsi yang unik. Bukan hanya memberi kekuatan dan membuat kerangka tubuh menjadi stabil, tulang juga terus mengalami perubahan karena berbagai stres mekanik dan terus mengalami pembongkaran, perbaikan dan pergantian sel. Untuk mempertahankan kekuatannya, tulang terus menerus mengalami proses penghancuran dan pembentukan kembali. Tulang yang sudah tua akan dirusak dan digantikan oleh tulang yang baru dan kuat. Proses ini merupakan peremajaan tulang yang akan mengalami kemunduran ketika usia semakin tua. Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balig atau pubertas, ketika tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin tebal, dan makin padat yang akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 25-30 tahun. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin bertambah setelah diatas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan massa tulang yang berakibat pada osteoporosis (Tandra, 2009).
Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu: a. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51- 75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause. b. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause. c. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini. d. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang ( Junaidi, 2007). Ostoporosis pada stadium 1, tulang bertumbuh cepat, yang dibentuk masih lebih banyak dan lebih cepat daripada tulang yang dihancurkan. Ini biasanya terjadi pada usia 30- 35 tahun.
B. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT OSTEOPOROSIS Ada tiga tahapan dalam penyakit Osteoporosis diantaranya adalah tahap peka/ rentan, tahap sub klinis, tahap klinis dan tahap terminal.
a. Tahap Peka/Rentan Osteporosis dapat menyerang orang-orang yang sehat, tetapi memiliki faktor risiko terkena osteoporosis. Berbagai penyebab dapat menimbulkan penyakit ini. Umur dan densitas tulang merupakan faktor resiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan resiko terjadinya fraktur osteoporotik. Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan meningkatnya umur. Pada perempuan, resiko fraktur 2 kali dibandingkan laki-laki pada umur yang sama dan lokasi fraktur tertentu. Karena harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, maka prevalensi fraktur osteoporotik pada perempuan akan menjadi jauh lebih tinggi dari pada laki-laki. Densitas massa tulang juga berhubungan dengan resiko fraktur. Pengukuran densitas tulang harus disertai dengan memperhatikan umur pasien. Seorang wanita yang berumur 80 tahun dengan T-score-I akan memiliki resiko fraktur lebih tinggi dibandingkan dengan wanita berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Tetapi terapi yang diberikan pada wanita yang berumur 50 tahun akan lebih bermanfaat dibandingkan terapi pada wanita yang berusia 80 tahun, karena harapan hidup wanita yang berumur 50 tahun lebih besar dibandingkan wanita yang berumur 80 tahun. Kegiatan pasien juga harus diperhatikan. Wanita umur 80 tahun yang masih aktif dalam berbagai kegiatan akan lebih diprioritaskan untuk diterapi dari pada wanita yang berumur sama, tetapi aktifitas fisiknya sudah minimal. Perbedaan ras dan geografik juga berhubungan dengan resiko osteoporosis. Fraktur panggul lebih tinggi insidennya pada orang kulit hitam di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan, demikian juga pada orang jepang baik yang tinggal di Jepang maupun yang tinggal di Amerika Serikat. Lingkungan dan pola hidup juga dapat memicu penyakit osteoporosis seperti aktifitas fisik dan pembedahan mekanik, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin), mengkonsumsi alkohol lebih dari 2 unit/hari, dan merokok yang merupakan faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen terhadap nilai BMD. Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang terbanyak. Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan menghambat kerjanya, sehingga
formasi tulang menurun. Dengan adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif.
b. Tahap Pra Gejala/ Sub Klinis -
Penurunan densitas tulang karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang).
-
Pada menopouse, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum yang disebabkan oleh menurunnya volume plasma
-
Meningkatnya kadar albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks.
-
Kehilangan massa tulang dan peningkatan resorpsi tulang akibat defisiensi kalsium sehingga dapat menimbulkan hiperparatiroidisme sekunder yang persisten yang akan semakin meningkatkan resorpsi tulang.
c. Tahap Klinis 1. Nyeri tulang 2. Kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia 3. Kelemahan otot 4. Kifosis dorsal 5. Kulit tipis 6. Fraktur 7. Berkurangnya tinggi badan.
d. Tahap Terminal 1. Osteoporosis dapat mengakibatkan kecacatan. Sebagian kasus keadaan ini akan dirasakan sepanjang hayat tetapi pada kasus lain akan membaik. 2. Konsekuensi jangka panjang. Sekitar 15-20% pasien meninggal dunia dalam 6 bulan setelah patah tulang pinggul. Hanya sekitar seperempatnya bisa kembali beraktivitas seperti sebelumnya, sepertiganya perlu dibantu orang lain. Selebihnya perlu dibantu orang untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Jadi patah tulang pinggul membawa konsekuensi parah bagi pasien maupun keluarganya. 3. Pada osteoporosis berkurangnya masa tulang menyebabkan ruas tulang remuk atau memipih dibagian depan, tengah, belakang, atau gabungan ketiganya.
4. Pada penderita patah pergelangan tangan dapat kembali normal secara bertahap, misalnya bisa timbul selama proses penyembuhan. Kadangkala sambungan tidak sempurna sehingga bentuk pergelangan berubah. 5. Setelah patah tulang, sekitar sepertiga wanita , mengalami kondisi yang disebut algodistrofi yang menyebabkan rasa sakit, bengkak dan kekakuan pada tangan. Peredaran darah ke daerah ini juga mungkin terganggu. Pasien seperti ini sering mengalami sakit dan kekakuan selama bertahun–tahun.
C. LEVEL OF PREVENTION PENYAKIT OSTEOPOROSIS Leavell & Clark (1965) dalam bukunya yang berjudul Preventive Medicine for The Doctors in His Community mengemukakan konsep mengenai tindakan preventif untuk semua jenis penyakit yang dinamakan Levels of Prevention, atau tingkatan pencegahan. Tingkatan pencegahan tersebut berkelanjutan. a. Primary Prevention
Health Promotion Promosi kesehatan dan pendidikan dapat mempromosikan kesehatan tulang, mengurangi risiko osteoporosis (primary prevention) dan meningkatkan deteksi dini dan manajemen (secondary prevention). Usaha promosi harus focus pada orang dengan risiko tinggi (contoh : senior dan wanita pasca menopause) dan selama periode kritis pertumbuhan dan perkembangan tulang (contoh : anak-anak dan remaja). (Schrager, 2003)
Specific Protection Yang termasuk spesifik protection antara lain seperti imunisasi, vaksinasi, perhatian terhadap personal hygiene dan safety, serta pemakaian nutrient spesifik. Pada osteoporosis, specific protection dapat berupa memperhatikan konsumsi kalsium pada makanan. The Nationals Institutes of Health merekomendasikan bahwa anak umur 1 sampai 10 tahun harus mengkonsumsi 800 sampai 1.200 mg kalsium setiap hari, sementara remaja dan dewasa umur 11 sampai 24 tahun harus mengkonsumsi 1.200 sampai 1.500 mg kalsium setiap hari. Penyerapan kalsium yang optimal membutuhkan tingkat vitamin D yang memadai, yang secara normal diperoleh dari paparan sinar matahari ( sedikitnya 10 menit per hari).
b. Secondary Prevention
Early Diagnosis and Prompt Treatment Saat ini hanya sebagian kecil orang dengan osteoporosis terdiagnosis sebelum mereka ke rumah sakit unruk menjalani perawatan patah tulang, dan hanya sebagian kecil dari merekan yang patah tulang dirujuk untuk pemeriksaan kepadatan tulang (BMD/ Bone Mineral Density). Apabila pengujian BMD lebih tepat digunakan, maka akan lebih banyak orang dengan risiko tinggi osteoporosis akan teridentifikasi.
Disability Limitation Aktifitas fisik adalah contributor utama untuk meningkatkan massa tulang, aktifitas fisik dapat membantu mencegah osteoporosis dengan meningkatkan massa tulang pada awal kehidupan, mengurangi keropos tulang saat dewasa dan membantu mengurangi kemungkinan fraktur. Partisipasi jangka panjang dalam aktivitas fisik dapat menunda cacat.
c. Tertiary Prevention
Rehabilitation Rehabilitasi sangat penting untuk mengembalikan fungsi. Idealnya mereka harus menerima pelayanan rehabilitasi terpadu yang meliputi terapi fisik dan pekerjaan, konseling psikososial, manajemen nyeri, dan jatuh dan pencegahan osteoporosis. Pelayanan rehabilitasi harus mulus, terkoordinasi, berfokus pada klien dan lintas layanan perawatan.(Notoatmodjo, 2012)
D. PATOGENESIS PENYAKIT OSTEOPOROSIS
Tulang terdiri atas sel dan matriks. Terdapat dua sel yang penting pada pembentukan tulang yaitu osteoclas dan osteoblas. Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi dan meresorpsi tulang yang sebelumnya terbentuk. Osteoklas sekarang dianggap berasal dari stem sel hemopoitik melalui monosit. Sel osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses resorpsi tulang, berasal dari sel hematopoitik/fagosit mononuclear (Ganong, 1983). Sehingga, osteoblas berperan pada
pembentukan tulang dan sebaliknya osteoklas pada proses resorpsi tulang. Pada Osteoporasis penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan baru (Djoko Roeshadi, 2001). Ada beberapa teori yang menyebabkan deferensiasisel osteoklas meningkat dan meningkatkan aktivitasnya yaitu: 1. Defisiensi estrogen Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas.10 Didalam percobaan binatang defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis dan terjadi kehilangan tulang. Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel osteoklas dewasa.
2. Faktor sitokin Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui suatu jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor kolonistimulator. diduga erat hubungannya dengan interaksi dari reseptor estrogen (ER = Estrogen Receptor) dengan faktor transkripsi, modulasi dari aktivitas nitrik-oksid (NO), efek antioksidan, aksi plasma membran, dan perubahan dalam fungsi sel imun. Maka pada studi klinis dan eksperimental ditemukan ada hubungannya antara penurunan massa tulang dengan peningkatan sitokin proinflamasi ini.
3. Pembebanan Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan remodeling akibat respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang terjadi dalam suatu unit yang dikenal dengan bone remodeling unit, yang merupakan keseimbangan dinamik antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan pembentukan tulang oleh osteoblas. Remodeling ini dimulai dari perubahan permukaan tulang yang pasif (quiescent) menjadi perubahan permukaan tulang yang mengalami resorpsi. Disini sebetulnya sel osteosit memegang peranan penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan mengirimkan sinyal local kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di permukaan tulang melalui sistem kanalikuler.
Osteoporosis terjadi secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (Kawiyana, 2009). Osteoporosis merupakan kelainan metabolik tulang yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya kerusakan dari arsitektur tulang sehingga terjadi peningkatan kerapuhan tulang yang dapat menyebabkan mudah terjadi fraktur. Fraktur akibat osteoporosis biasanya dijumpai pada vertebra berupa fraktu-kompresi, panggul, dan radius bagian distal. Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari adanya massa puncak tulang (sekitar umur 30 tahun) yang kemudian menurun sesuai pertambahan umur, massa puncak yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan sampai dewasa muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh tetapi juga menjadi solid. Massa puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor genetik, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses ketuaan, menopause, faktor lain seperi obat obatan atau aktifitas fisik yang kurang serta faktor genetik. Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya fraktur. Massa tulang yang berkurang akan membuat tulang semakin tipis dan rapuh sehingga mudah patah pada trauma yang ringan. (Permana, 2009)
Gambar diatas menunjukan bahwa terjadi percepatan pertumbuhan tulang , yang mencapai massa puncak tulang pada usia berkisar 20-30 tahun, kemudian terjadi perlambatan formasi tulang dan dimulai resorpsi tulang yang lebih dominan. Keadan ini bertahan samapi seorang wanita apabila mengalami menopause akan terjadi percepatan resorpsi tulang, sehingga keadaan ini tulang menjadi sangat rapuh dan mudah terjadi fraktur. Setelah usia 30 tahun, resorpsi tulang secara perlahan dimulai akhirnya akan lebih dominan dibandingkan dengan pembentukan tulang. Kehilangan massa tulang menjadi
cepat pada beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan menetap pada beberapa tahun kemudian pada masa postmenopause. (Permana, 2009) Satu dari dua wanita akan mengalami osteoporosis, sedangkan pada laki-laki hanya 1 kasus osteoporsis dari lebih 50 orang laki-laki. Dengan demikian insidensi osteoporosis pada wanita jauh lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini di duga berhubungan dengan adanya fase masa menopause dan proses kehilangan pada wanita jauh lebih banyak (Permana, 2009). Pada wanita menopause tingkat oksigen turun sehingga siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang dimulai karena salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal, sehingga ketika tingkat estrogen turun, tingkat resorbsi tulang menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Lane, 2001). Selama masih muda, banyaknya tulang yang diserap kembali seimbang dengan banyaknya tulang yang dibentuk. Keseimbangan ini terganggu saat tua khususnya saat menopause dan bertambahnya usia. Sel yang
memecah tulang (osteoklas) dengan cepat melubangi
tulang. Osteoblas tidak bisa mengimbanginya dan di setiap unit mikroskopis pembentukan kembali akan ada sedikit tulang yang keropos. (Cosman, 2009). Pada semua tipe osteoporosis, awalnya terjadi perubahan yang menyolok pada tulang spongiosa, dimana jaringan pengapuran yang normal menjadi tipis dan renggang. Osteoporosis adalah penyakit yang tergolong silent-disease (tidak memiliki gejala yang tampak) sehingga untuk mendeteksi kondisi pasien harus dilakukan diagnosis laboratorium. Kondisi patologis biasanya baru diketahui setelah seseorang mengalami kejadian patah tulang atau terjadi kelainan struktur tulang sehingga penanganan dini sulit dilakukan. Penanganan dini sangat penting dilakukan untuk mencegah resiko yang lebih buruk. Sebelum terjadinya patah tulang ataupun perubahan struktur tulang, kondisi pasien masih dapat kembali seperti semula atau kembali normal.
E. FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS Osteoporosis dapat menyerang setiap orang dengan faktor risiko yang berbeda. Faktor risiko Osteoporosis dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang tidak dapat dikendalikan dan yang dapat dikendalikan. Berikut ini faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat dikendalikan:
1. Jenis kelamin Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. 2. Usia Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia. Osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan menurunnya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium. 3. Ras Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar. Ditambah dengan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika. 4. Pigmentasi dan tempat tinggal Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan Swedia. 5. Riwayat keluarga Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi terkena osteoporosis.
6. Postur tubuh Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena osteoporosis. Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih berisiko terkena osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
7. Menopause Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah. Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa dilakukan disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker, mioma dan lainnya. Menopause dini juga berakibat meningkatnya risiko terkena osteoporosis. Berikut ini faktor – faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan. Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup. Antara lain : 1. Aktivitas fisik Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur.
2. Kurang kalsium Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium harus disertai dengan asupan vitamin D yang didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium tidak mungkin diserap usus (Suryati, 2006).
3. Merokok Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat.
4. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.
5. Minuman soda Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink harus dibarengi dengan minum susu atau mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra, 2009)
6. Stres Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan terjadinya osteoporosis.
7. Bahan kimia Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di sungai dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan membuat pengeroposan tulang (Waluyo, 2009).
F. DAMPAK OSTEOPOROSIS Menurut Hartono (2000) osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang. Akibatnya tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang atau disebut juga penyakit tulang rapuh atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga dengan penyakit silent
epidemic karena sering tidak memberikan gejala hingga akhirnya terjadi fraktur/patah. (Dalimartha, 2001). Lokasi patah tulang yang sering terjadi adalah di daerah bongkol tulang paha atas, tulang belakang dan di daerah tulang lengan bawah. Kondisi ini erat kaitannya dengan posisi beban yang dipikul oleh tulang tersebut. Selain itu sikap tubuh yang salah saat berdiri, berjalan ataupun mengangkat barang akan memberi tekanan yang berlebihan pada struktur tulang yang keropos (Hartono, 2000). Menurut Yatim (2006), pada Osteoporosis Primer , proses terjadinya akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan makin bertambahnya usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan regenerasi sel tulang yang baru. Jika kepadatan berkurang hingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Beberapa kasus yang sering terjadi adalah: 1. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Kolaps secara spontan karena cedera ringan ini biasanya menimbulkan nyeri secara tiba-tiba di bagian tertentu punggung. Nyeri makin berat jika penderita berdiri, berjalan, atau disentuh. Nyeri ini perlahan-lahan menghilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Jika ada beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan abnormal dari tulang belakang, yang menyebabkan ketegangan otot sakit. 2. Patah tulang lain yang serius adalah patah tulang panggul. Ini bisa diakibatkan oleh benturan ringan atau jatuh. Risiko kematian akibat patah tulang pinggul sama dengan kanker payudara. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan di sambungkan dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur colles. (Sarasvati, 2009) G. EPIDEMIOLOGI OSTEOPOROSIS Osteoporosis dikurangi,
adalah
menyebabkan
penyakit
di
kelemahan
mana dari
kepadatan kerangka
dan
kualitas dan
tulang
meningkat
risiko patah tulang, terutama tulang belakang, pergelangan tangan, pinggul, panggul dan upper lengan. Osteoporosis dan patah tulang terkait adalah penyebab penting mortalitas dan morbiditas. Pada wanita lebih dari 45, osteoporosis menyumbang hari lagi dihabiskan di rumah sakit daripada banyak penyakit lainnya, termasuk diabetes, infark miokard dan
kanker payudara. Diperkirakan bahwa hanya satu dari tiga vertebral fraktur menjadi perhatian klinis. Sementara ini diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di atas usia 50 tahun di seluruh dunia mengidap osteoporosis. Ini menambah kejadian jutaan fraktur lainnya pertahunnya yang sebagian besar melibatkan lumbar vertebra, panggul dan pergelangan tangan (wrist). Fragility fracture dari tulang rusuk juga umum terjadi pada pria. a. Fraktur panggul Fraktur panggul paling sering terjadi akibat osteoporosis. Di AS, lebih dari 250.000 fraktur panggul pertahunnya merupakan akibat dari osteoporosis. Ini diperkirakan bahwa seorang wanita kulit putih usia 50 tahun mempunyai waktu hidup 17,5% berisiko fraktur femur proksimal. Insidensi fraktur panggul meningkat setiap dekade dari urutan ke 6 menjadi urutan ke 9 baik untuk wanita maupun pria pada semua populasi. Insidensi tertingi ditemukan pada pria dan wanita usia 80 tahun ke atas. b. Fraktur vertebral Antara 35-50% dari seluruh wanita usia di atas 50 tahun setidaknya satu mengidap fraktur vertebral. Di AS, 700.000 fraktur vertebra terjadi pertahun, tapi hanya sekitar 1/3 yang diketahui. Dalam urutan kejadian 9.704 wanita usia 68,8 tahun pada studi selama 15 tahun, didapatkan 324 wanita sudah menderita fraktur vertebral pada saat mulai dimasukkan ke dalam penelitian; 18.2% berkembang menjadi fraktur vertebra, tapi risiko meningkat hingga 41.4% pada wanita yang sebelumnya telah terjadi fraktur vertebra. c. Fraktur pergelangan tangan Di AS, 250.000 fraktur pergelangan tangan setiap tahunnya merupakan akibat dari osteoporosis. Fraktur pergelangan tangan merupakan tipe fraktur ketiga paling umum dari osteoporosis. Resiko waktu hidup yang ditopang fraktur Colles sekitar 16% untuk wanita kulit putih. Ketika wanita mencapai usia 70 tahun, sekitar 20%-nya setidaknya terdapat satu fraktur pergelangan tangan d. Fraktur tulang rusuk
Fragility fracture dari tulang iga umumnya terjadi pada laki-laki usia muda 25 tahun ke atas. Tanda-tanda osteoporosis pada pria ini sering diabaikan karena sering aktif secara fisik dan menderita fraktur pada saat berlatih aktivitas fisik. Contohnya ketika jatuh saat berski air atau jet ski. Bagaimanapun, tes cepat dari tingkat testosteron individu berikut diagnosis fraktur akan nampak dengan mudah apakah individu kemungkinan berisiko.
H. KEBIJAKAN PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN OSTEOPOROSIS Pengendalian osteoporosis diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1142/Menkes/SK/XII/2008 tentang pedoman pengendalian osteoporosis. Pendekatan dalam pengendalian penyakit tidak menular termasuk osteoporosis dilaksanakan melalui kerangka kerja bertahap dengan pendekatan praktis dan fleksibel (lihat lampiran 2, Bagan 1), terdiri dari 3 (tiga) langkah perencanaan utama dan 3 (tiga) langkah implementasi utama (WHO, 2005) Langkah perencanaan pertama adalah menilai profil faktor risiko dan besaran masalah kasus osteoporosis di populasi. Langkah ini diikuti dengan advokasi kepada penentu kebijakan melalui penyediaan informasi tentang kecenderungan kasus osteoporosis dan faktor risiko serta ketersediaan intervensi yang efesien dan efektif dalam pengendalian osteoporosis. Langkah perencanaan kedua, menyusun dan mengadopsi kebijakan pengendalian penyakit tidak menular yang didasarkan pada prinsip: komprehensif, terintegrasi, sepanjang hayat dengan melibatkan sektor terkait. Langkah perencanaan ketiga adalah identifikasi cara paling efektif untuk mengimplementasi kebijakan. Kombinasi intervensi yang dipilih adalah yang mempunyai daya ungkit paling besar untuk menjadikan kebijakan secara praktis dapat dilaksanakan. Langkah implementasi kebijakan ini meliputi langkah inti (core), langkah ekspansi (expanded) dan langkah yang diinginkan (desirable). Kebijakan kebijakan yang perlu diidentifikasi dan diimplementasi adalah pembiayaan kesehatan,
peraturan-peraturan
(dibidang tembakau/lingkungan),
advokasi
untuk
mendapat dukungan pengendalian, penggerakan peran serta masyarakat, penyelenggaraan dan pengorganisasian pelayanan kesehatan. Kebijakan 1. Pengendalian osteoporosis harus komprehensif, terintegrasi, sepanjang hayat dan bertahap yang melibatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta sesuai dengan kondisi masing-masing daerah (local area spesific) 2. Pengendalian osteoporosis dilaksanakan melalui pengembangankemitraan dan jejaring kerja secara multidisiplin dan lintas sektor. 3. Pengendalian osteoporosis dikelola secara profesional, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat serta didukung oleh sumber daya yang memadai.
Strategi 1. Menggerakkan
dan
memberdayakan
masyarakat
dalam
pencegahan
dan
penaggulangan osteoporosis 2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan (penemuan/deteksi dini, dan tatalaksana) osteoporosis yang berkualitas 3. Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi (faktor risiko dan kasus) osteoporosis 4. Meningkatkan sumber daya dalam pengendalian osteoporosis
Program Pengendalian Osteoporosis Dengan memperhatikan bahwa osteporosis adalah suatu penyakit kronik degeneratif yang memiliki faktor risiko baik yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor-faktor risiko tersebut juga merupakan faktor risiko bersama penyakit tidak menular lainnya (jantung, kanker, diabetes, PPOK) maka program pengendaliannya harus bersifat komperhensif, integratif, sepanjang hayat, dan dilaksanakan secara bertahap. Program pengendalian osteoporosis meliputi: 1) Penyuluhan (KIE); 2) Kemitraan; 3) Perlindungan Khusus; 4) Penemuan dan Tatalaksana Kasus (termasuk deteksi dini osteoporosis); 5) Surveilans Epidemiologi (kasus dan faktor risiko); 6) Peningkatan partisipasi (pemberdayaan) masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan osteoporosis; dan 7) Pemantauan dan Penilaian.
1) Penyuluhan (KIE)
a. Tujuan Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan osteoporosis b. Sasaran Masyarakat umum dan kelompok masyarakat khusus (kelompok masyarakat berisiko osteoporosis).
Melaksanakan penyuluhan atau KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang osteoporosis melalui berbagai media penyuluhan, seperti leaflet, poster, radio (radio spot), dan televisi (filler TV)
Penyuluhan perorangan atau penyuluhan kelompok yang dilaksanakan oleh kader, petugas puskesmas, dan lain-lain
Penyuluhan bagi Pasien osteoporosis dan keluarganya di puskesmas dan rumah sakit.
c. Kegiatan
Kegiatan KIE pengendalian osteoporosis di puskesmas agar melibatkan peran serta dan sumber daya masyarakat secara aktif.
Kegiatan pos lanjut usia di puskesmas mengintegrasikan pencegahan dan penanggulangan osteoporosis yang didukung oleh tenaga kesehatan dan kader yang terlatih.
2) Kemitraan a. Tujuan
Meningkatnya ketersediaan informasi dan kerjasama aktif seluruh potensi di lingkungan pemerintah dan masyarakat dalam berbagai upaya yang efektif dan efisien untuk menekan kecenderungan peningkatan pajanan faktor risiko dan kejadian osteoporosis
Meningkatnya komitmen pemerintah dan berbagai mitra potensial di masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan osteoporosis.
Adanya sinergi dan keterpaduan dalam berbagai kegiatan pencegahan dan penanggulangan osteoporosis.
Meningkatnya kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan osteoporosis.
b. Sasaran
Lintas Program, Lintas Sektor, Swasta , Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Badan Internasional, dan lain-lain c. Kegiatan
Melaksanakan hubungan/jejaring kerja dengan Dinas/Instansi dan Organisasi Profesi/Lembaga Swadaya Masyarakat (seperti: PEROSI Pehimpunan Osteoporosis Indonesia, PERWATUSI = Perkumpulan Warga Tulang Sehat Indonesia) atau Lembaga lain yang diperlukan. Profil PEROSI dan PERWATUSI sebagai mana bagan 3a.
Kegiatan advokasi sangat diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan mewujudkan komitmen dalam kemitraan
Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana strategis kepada pimpinan wilayah setempat (dukungan pendanaan), menyusun rencana operasional, persiapan pelaksanaan, dan melaksanakan rencana operasional serta komitmen yang telah dibuat , dengan memobilisasi sumber daya yang tersedia bersama mitra kerja.
3) Perlindungan Khusus (specific protection) a. Tujuan Memberikan perlindungan dan menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko osteoporosis. b. Sasaran Masyarakat umum dan kelompok masyarakat khusus (kelompok masyarakat berisiko osteoporosis). c. Kegiatan
Penerapan peraturan perundangan, misalnya Perda tentang Pengendalian Masalah Merokok (perokok aktif dan pasif)
Sosialisasi gaya hidup sehat seperti : menkonsumsi nutrisi dengan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup, terkena sinar matahari pagi dan sore hari, aktivitas fisik yang teratur (olah raga dan kegiatan lainnya), serta tidak merokok dan minum minuman yang beralkohol tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: EGC Cosman, Felicia. 2009. Osteoporosis: Panduan Lengkap agar Tulang Anda Tetap Sehat. Solo: Bintang Pustaka. Dalimartha, S. 2001. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita Osteoporosis. Jakarta, Penebar Swadaya DEPKES (2005). 1 dari 3 wanita dan 1 dari 3 pria memiliki kecenderungan menderita osteoporosis. Dibuka tanggal 12 september 2014. Gomez, J. (2006). Awas pengeroposan tulang! : Bagaimanamenghindari dn menhadapinya. Jakarta : Arcan. Hartono, Mulyadi. 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Jakarta : Puspa Swara. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1142/Menkes/SK/XII/2008 tentang pedoman pengendalian osteoporosis Lane NE. 2001. Osteoporosis, Rapuh Tulang : Petunjuk untuk Penderita dan Langkahlangkah Pengamanan untuk Keluarga. Terjemahan. Jakarta: Raja grafindo Persada Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Osteoporosis Society od Canada . Osteoporosis Action Plan : An Osteoporosis Strategy for Ontario.
Diakses
melalui
http://www.health.gov.on.ca/en/common/ministry/publications/reports/osteo/osteo_02 05.pdf pada 11 September 2015 Pukul 22.58. Permana, Hikmat. 2009. Patogenesis dan Metabolisme Osteoporosis pada Manula. Pustaka UNPAD
Bandung.
Diakses
melalui
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/09/patogenesis_dan_metabolisme_osteoporosis_pada_manula.p df pada 12 September 2015 Sarasvati. 2009. Cara Holistik Dan Praktis Atasi Gangguan Khas Pada Kesehatan Wanita. Jakarta Buana Ilmu Populer; Hal 17- 18
Schrager, Sarina. 2003. Wisconsin Medical Journal : Osteoporosis Prevention in Primary Care.
Diakses
melalui
https://www.wisconsinmedicalsociety.org/_WMS/publications/wmj/pdf/102/3/52.pdf pada 11 September 2015 Pukul 22.48 WIB. Tandra, Hans. 2009. Osteporosis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama The Burden of Osteoporosis in West Virginia : Prevent and Treatment. Diakses melalui http://www.wvdhhr.org/bph/oehp/hp/osteo/report/prevent_treat.pdf
pada
11
September 2015 Pukul 22.45 WIB Wirakusumah, E. 2007. Mencegah Osteoporosis. Yogyakarta: Niaga Swadaya Yatim,
F.
2006.
Osteoporosis
Kerapuhan
Tulang
http://www.litbang.depkes.go.id/.20 05, Jult 2.
pada
Manula.
Available
at