1
RUANG KETIGA, KONTER HEGEMONI DALAM PENGEMBANGAN FASILITAS RUANG PUBLIK PERKOTAAN. (Studi Kasus Desain Halte Bus Transjakarta) Andi Setiawan (
[email protected])
ABSTRACT Urban public spaces were created as a facilities for increasing the quality of its inhabitants. Its presence have been realized by the city's government as a service which they have to provide, then the design process of urban public space become important to concern. Urban designers try to create the design which can solve all of the urban space problems, although in every space productions process, it will always following by reproduction process by its users. The reproduction process of public space, furthermore named as a third space phenomena. This research tries to find the presence of third space in the design development of Transjakarta Bus stop, and then giving a recommendation for the design development of urban public spaces. Keyword : urban public space, third space, Transjakarta Bus stop PENDAHULUAN Konsep perencanaan ruang, mulai dari skala makro (perencanaan wilayah) hingga perencanaan ruang interior selalu dibingkai oleh idealisme perancangnya. Hasil rancangan seringkali dipaparkan sebagai formula yang ampuh dan final untuk menyelesaiakan masalah keruangan hasil identifikasi sang perancang . Akan tetapi dalam perkembangannya, ternyata hasil rancangan
tersebut seringkali
menyisakan permasalahan-permasalahan keruangan (spasial). Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa ruang yang tercipta tersebut pada prosesnya merupakan produk sosial. Sebagai produk sosial maka ruangan-ruangan tersebut mempunyai kompleksitas tersendiri dalam kelangsungan hidupnya. 2
Levebre (1991) mengungkapkan bahwa ruangan kita ciptakan menurut bagaimana kita hidup dalam lingkungan sosial. Praktik hidup dalam lingkungan tersebut (lived space) terus menerus akan mengasilkan tanggapan spasial bagi penghuninya. Spasialitas ini lah yang dipersepsi oleh desainer sebagai perceived space, yang selanjutnya dijadikan dasar kajian untuk menghadirkan sebuah konsep spasial baru dalam level kognisi (conceived space). Seringkali setelah hasil rancangan tersebut di formalisasi menjadi sebuah teori, kenyataan praktik spasial di lapangan sudah bergeser, sehingga menimbulkan kesenjangan antara idealisasi perancang, dengan realitas tanggapan atas hasil rancangannya. Situasi diatas sangat terlihat dalam konteks perancangan ruang publik di perkotaan, dimana fenomena urbanitas sangat kuat dalam memberikan perubahanperubahan atas perilaku, tanggapan, dan pemakmanaan warga kota terhadap fasilitas-fasilitas publik kota. Salah satu kasus yang menarik untuk diamati adalah keberadaan halte Transjakarta, sebagai bagian dari sistem BRT (Bus Rapit Transit) Transjakarta yang diharapkan dapat mengurangi kemacetan lalu-lintas jalan raya di Jakarta. Perbaikan
permasalahan
transportasi massal
memang terus di gaungkan oleh pemerintah kota Jakarta. Berdasarkan rencana Pola Transportasi Makro Jakarta (PTM) sampai dengan 2015, transportasi massal akan mengintegrasikan 4 sistem transportasi publik, yaitu : 1. Bus Rapid Transit (BRT) / Bus priority (Busway) 2. Light Rail Transit (LRT) / Monorel 3. Mass Rapid Transit (MRT) / KRL 4. Waterway / Angkutan Sungai Dari keempat moda diatas baru BRT yang saat ini sudah beroperasi, sedangkan yang lainnya belum bisa dipastikan kapan akan beroperasi. Sehingga sampai saat ini transportasi massal di Jakarta masih dilayani oleh angkutan bus reguler, KRL, dan BRT atau busway. Sistem BRT Transjakarta yang dibangun di Jakarta merupakan adopsi dari sistem sejenis yang telah berhasil dijalankan di Curitiba (Brazil) dan Bogota ( Columbia). Pemerintah DKI Jakarta yakin bahwa keberhasilan di kedua kota tersebut akan 3
berlanjut di Jakarta, sehingga pada awal pelaksanaannya, desain sistem BRT tersebut diadopsi penuh dan dijalankan di Jakarta.
Mulai dari desain jalur
busway, desain halte, hingga desain armada busnya, semuanya mempunyai kesamaan dengan yang diterapkan di Brazil dan Kolombia. Pemerintah DKI Jakarta yakin bahwa moda transportasi yang baru tersebut akan dengan cepat diterima oleh warga Jakarta, dan diharapkan menjadi pilihan moda transportasi massal utama , sehingga mampu mengurangi kemacetan lalu-lintas. Segera setelah busway dioperasikan, terlihat bahwa antusiasme masyarakat untuk menggunakan
moda transportasi ini cukup tinggi. Hal ini terlihat dari
penumpukan antrian penumpang pada saat jam sibuk di hampir semua halte di setiap koridor busway Transjakarta. Penumpukan yang terjadi disebabkan jarak kedatangan armada yang tidak konstan sesuai jadwal. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya laju bus Transjakarta di beberapa titik, walaupun sejatinya moda transportasi ini mempunyai jalur khusus. Penumpukan penumpang yang luar biasa pada saat jam-jam sibuk ini menghasilkan berbagai masalah keruangan yang menarik untuk diamati. Sebagai sebuah sarana pelayanan publik keberadaan halte haruslah mampu memberikan layanan yang optimal kepada para penggunanya. Berbagai kasus yang berkaitan dengan kualitas desain ruang publik telah banyak menarik perhatian para peneliti. Dalam kasus halte Transjakarta diatas, menarik untuk diamati bagaimana pengguna halte, baik penumpang, petugas Transjakarta, maupun masyarakat di sekitar halte, secara langsung memberikan respon terhadap hasil bentukan desain, yang pada gilirannya memunculkan adanya fenomena gejala ruang ketiga di sekitar halte. Penelitian yang mendalam layak untuk dilakukan terkait dengan fenomena diatas.. Penelitian ini secara garis besar bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi munculnya gejala ruang ketiga di ruang publik perkotaan, dalam hal ini studi kasus di halte bis Transjakarta koridor 1.
4
2. Menyusun rekomendasi dalam konteks desain terkait munculnya ruang ketiga terhadap proses pengembangan desain ruang publik perkotaan. Penelitian keruangan ini selanjutnya diharapkan mampu memberikan masukan bagi peningkatan kualitas layanan ruang publik perkotaan di Indonesia METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan
metode studi kasus
deskriptif. Metode ini sesuai untuk melakukan penelitian tentang bagaimana mengamati gejala aktifitas manusia serta hubungannya dengan lingkungannya. Studi kasus merupakan penelitian dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi atau kelompok sosial) serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu. 1. Lokasi Penelitian Studi kasus penelitian ini adalah 3 halte yang berada di rute koridor 1 Transjakarta, yaitu halte Kota, Halte Harmoni, dan Halte Blok M. Koridor satu dipilih karena tingkat kepadatannya yang paling tinggi. Selain itu koridor ini juga melewati beberapa pusat-pusat keramaian di Jakarta, mulai dari aktifitas perkantoran, hiburan, perdagangan, hingga aktifitas olah raga. Hal ini akan memperkuat karakter urban yang sesuai dengan latar penelitian. 2. Sumber Data Studi literatur, dataini untuk memberikan pandangan serta kerangka dasar yang spesifik menyangkut isu , metodologi, serta langkah langkah penelitian. Tahapan ini juga berguna untuk mengembangkan teori awal yang berhubungan dengan isu seputar masalah perencanaan ruang publik. Walaupun teori ini tidak dimaksudkan untuk menjawab penelitian, akan tetapi sebagai teori latar yang akan memberikan panduan dalam
menentukan langkah pengumpulan data, interpretasi, serta
menganalisa temuan temuan selama penelitian.
5
Data lapangan, berupa fakta empiris serta data-data yang menunjang kesesuaian rancangan penelitian yang sudah disusun. Data yang diambil dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu data aspek aktivitas, berupa serangkaian aktifitas yang dilakukan masyarakat yang bersinggungan dengan halte bus. Berikutnya adalah data aspek kognisi, berupa respon dan tanggapan masyarakat atas permasalahan kondisi halte bus, serta tingkat keberterimaan terhadap halte bus. Selanjutnya keseluruhan temuan tersebut diorgansasi dan diklasifikasi menjadi unit unit yang bisa dikelola. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara,
pertama adalah
wawancara, yang dilakukan dalam dua model, yaitu : 1. Wawancara tidak terstruktur, dilakukan kepada subyek penelitian yaitu para pengguna halte. Wawancara tidak tersrtuktur disini tetap berpedoman kepada pertanyaan kunci untuk menjawab pertanyaan penelitian agar wawancara tidak keluar dari rancangan penelitian. Forum online seperti Forum Suara Transjakarta, bisa dimanfaatkan untuk mengadakan wawancara secara online, atau kemungkinan menyebarkan questioner jika dipelukan. 2. Wawancara khusus, dilakukan terhadap narasumber tertentu yang dipandang mempunyai kompetensi dalam permasalahan halte. Cara yang kedua adalah pengamatan, dilakukan terhadap segala macam aktifitas para pengguna di dalam halte. Pengguna di sini meliputi penumpang dan petugas halte Transjakarta. Aktifitas yang diamati meliputi aktifitas antara pengguna halte dengan pengguna lainnya, serta antara pengguna halte dengan fasilitas yang ada di dalam halte. Pengamatan dilakukan baik secara tidak langsung dengan membuat rekaman gambar maupun video, maupun pengamatan langsung, di mana penulis akan terlibat dalam aktifitas yang dilakukan oleh para pelaku. 4. Teknik Analisis data Teknik analisis yang akan dilakukan melalui dua tahapan, yang pertama domain Analysis (Teknik Analisis Domain). Analisis domain ini digunakan untuk
6
menganalisis gambaran objek penelitian secara umum atau ditingkat permukaan, namun relatif utuh tentang objek penelitian tersebut Analisis ini gunakan untuk mengelompokkan data hasil observasi dan wawancara.
Pengelompokan
berdasarkan domain yang telah disusun, misalnya aspek dimensi , aspek fisika bangunan, aspek material, dan lain-lain. Selanjutnya, Compentional Analysis (Teknik Analisis Kompensional). Analisis ini digunakan untuk melihat kecenderungan data yang kontras dari masing masing domain yang sudah dikelompokkan. Kontras yang didapatkan tersebut nantinya akan diinterpretasi sehingga menghasilkan kesimpulan atas kondisi halte. PEMBAHASAN Sebagai sebuah artefak desain, halte bus merupakan bagian dari fenomena perkotaan. Kota merupakan sebuah ruang besar yang sarat dengan permasalahan. Berbicara masalah kota tentunya tidak bisa dilepaskan dari penghuninya. Kota yang baik semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi penduduknya untuk tinggal dan beraktifitas. Menurut John Shute, sebagaimana dikatakan Moughtin (2003, hal 11-15), tentang hubungan kota dan manusia, sebuah kota seharusnya ibarat tubuh manusia, oleh sebab itu kota seharusnya dipenuhi dengan segala sesuatu yang memberi kehidupan bagi manusia. Kondisi perkotaan saat ini, dimana kepentingan modal mendominasi ruang kota, memunculkan tesis dari Soja (1996) tentang ruang ketiga (thirdspace). Ruang ketiga merupakan alternatif pemikiran atas oposisi biner ruang pertama dan ruang ketiga. Ruang pertama, sebagaimana ruang praktis Lefvebre, merupakan rung material yang secara empiris terukur, sedangkan ruang kedua merupakan ruang dalam dataran mental atau kognitif (imajinasi menurut Lefebvre), merupakan ruang yang dominan yang merupakan cerminan kekuasaan dan ideologi. Selanjutnya Soja (1996) dalam studi kasusnya di kota Los Angeles menemukan apa yang dia sebut sebagai ruang ketiga. Ruang ketiga merupakan ruang sosial, dimana aktivitas sehari hari berlangsung. Ruang ini merupakan paduan ruang fisik
7
dan ruang mental. Ruang yang tidak “resmi” direncanakan, tetapi secara nyata berlangsung aktivitasnya. Shane seperti diungkapkan oleh Damayani (2008), memberikan tujuh poin utama dalam memahami permasalahan perkotaan dewasa ini, yaitu : 1. Hilangnya masterplan, artinya bahwa saat ini masterplan sudah tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya pedoman pengembangan kota sebagaimana era modern. Perancang kota harus mampu bekerjasama dan berpikir dengan berbagai macam disiplin ilmu. 2. Memahami irrasionalitas
perkotaan,
perkembangan
kota
postmodern
menghadirkan hal-hal irasional yang mau tidak mau harus difikirkan oleh para perancang kota saat ini. 3. Kota merupakan sistem yang kacau. Saat ini dengan kondisi kota yang makin heterogen membuatnya selalu dalam kondisi tidak seimbang. 4. Kota merupakan sistem yang heterogen 5. Kota terdiri dari banyak fragmen yang heterogen 6. Ruang heteropia kota merupakan sesuatu yang unik, sehingga untuk memecahkan permasalahan kota sudah tidak lagi digunakan skala yang menyeluruh, tetapi lebih efektif melakukan pemecahan pada tiap segmen ruang yang spesifik. 7. Kota terdiri dari berbagai lapisan struktur, sehingga diperlukan perekat antar lapisan tersebut untuk mendapatkan keteraturan.
Sehingga saat ini untuk memahami perkotaan tidak berhenti pada pengamatan artefak semata, tetapi harus pula memperhatikan aspek sosial dan humanisme penghuninya. Pendekatan struktural, sistemik, dan formal ala para perencana kota sudah tidak layak untuk dipertahankan. Penumpang merupakan pihak yang paling merasakan kondisi halte. Halte dibangun tidak lain untuk memberikan pelayanan terhadap penumpang. Sebagai sebuah artefak desain seharusnya halte dibangun dengan mempertimbangkan
8
penumpang sebagai pemakainya. Menurut pendapat Grava (2004, hal 55-62), tentang kelompok masyarakat yang dilayani oleh transportasi kota, maka sasaran Busway Transjakarta adalah kelompok kelas menengah (the middle class), kelompok kurang mampu (the surviving cohort), dan kelompok miskin (the disadvantaged class). Dua kelompok terakhir merupakan kelompok masyarakat dengan penghasilan ekonomi rendah, kurang berperan dalam penentuan kebijakan publik, sering abai terhadap peraturan. Karakteristik kelompok penumpang tersebut mengakibatkan munculnya praktik pelanggaran oleh penumpang terhadap sistem busway yang dijalankan. Sebagai bagaian dari sebuah sistem transportasi Busway Transjakarta, halte busway tentunya juga mengikuti sistem transportasi yang sudah direncanakan. Bagaimana penumpang masuk, mengantri tiket, membeli tiket, menunggu armada bus, hingga masuk ke dalam bus, harus mengikuti sistem yang ada. Halte busway sendiri di desain dalam kerangka menerapkan sistem tersebut. Akan tetapi pada praktiknya penumpang sering melakukan pelanggaran terhadap sistem yang sudah direncanakan. Pelanggaran yang terjadi ini menarik untuk diamati, apakah semata karena keinginan masyarakat untuk melanggar, atau akibat dari ketidak optimalan desain dari halte, sehingga masyarakat merasa perlu membuat respon dalam bentuk pelanggaran atas sistem yang seharusnya berjalan. Dari hasil pengamatan terhadap ketiga halte yang dipilih terdapat beberapa fenomena keruangan yang menarik untuk diamati dan bisa dikatakan menjadi contoh terbentuknya “ruang ketiga”. 1. Penumpang masuk ke halte tidak melalui akses yang disediakan. Hal ini sangat umum terjadi di berbagai fasilitas publik di Jakarta. Seperti halnya ketika menyeberang jalan, banyak yang tidak memanfaatkan fasilitas jembatan penyeberangan. Demikian juga dengan halte busway, akses yang disediakan melalui jembatan atau terowongan atau koridor, sering tidak dipakai
9
Gambar 1. Penumpang melompati pagar pembatas koridor penghubung halte Kota (Sumber : Dokumentasi penulis) Beberapa penumpang dengan alasan lebih dekat, atau ingin memotong jarak tempuh, biasa menerobos akses, dan melompati pagar pembatas agar segera bisa masuk ke dalam halte busway. Kejadian diatas terjadi di halte Stasiun Kota, dimana akses masuk ke dalam halte seharusnya melewati TPO (Terowongan Penyeberangan Orang) dan koridor penghubung , tetapi sering kali penumpang justru melistasi taman di sekitar halte dan langsung melompati pagar koridor untuk masuk ke dalam halte. Hal ini tentunya membuat taman menjadi rusak, dan pada jam sibuk, tindakan ini bisa menghambat arus penumpang yang lewat di sepanjang koridor. Dari pengamatan lebih lanjut, jalan pintas yang sering dilewati oleh penumpang tersebut meninggalkan jejak yang terlihat membelah taman (terlihat jalur diatas rumput). Sedangkan pada bagian pagar yang sering dilompati, sudah sedemikian rusak, atau sengaja dirusak, sehingga memudahkan orang untuk melompatinya. Ruang yang terbentuk dari hasil kebiasaan penumpang menerobos taman tersebut, menciptakan sebuah ruang baru yang tidak terdapat pada rancangan awal halte. Ruang baru ini boleh dikatakan telah bertransformasi menjadi
ruang ketiga, ruang yang tidak
diinginkan oleh pihak yang memproduksi ruang. Mengamati kasus ini, terlihat perancang halte berusaha menerapkan kaidah perancangan yang terstruktur, dengan cara mengatur akses bagi pejalan kaki
10
dengan ketat, mengikuti pola tarikan garis arsitektural bangunan. Sedangkan prinsip aksesibilitas dalam sarana transportasi, dimana kecepatan sirkulasi penumpang seharusnya diutamakan , menjadi seakan diabaikan. Sehingga penumpang memberikan perlawanan terhadap bentukan desain tersebut, dengan mencari akses yang dirasa lebih dekat. Solusi yang dilihat adalah dengan menyeberang langsung melewati tengah taman, dibanding harus memutar melewati koridor yang sudah disediakan. 2. Pedagang yang menggelar dagangannnya di sepanjang lorong dari TPO menuju halte Kota. Para pedagang ini menempati sepanjang tepian akses lorong menuju ke halte dan sepanjang koridor penghubung halte Kota. Keberadaannya pada saat jam sibuk bisa membuat arus sirkulasi penumpang menjadi terhambat. Walaupun begitu keberadaannya cukup dibutuhkan oleh para penumpang busway. Para pedagang minuman dan makanan ringan cukup membantu para penumpang, apalagi ketika jam sibuk, dan harus menunggu kedatangan armada bus untuk waktu yang cukup lama. Idealisasi desain hate Kota ini sejatinya mensyaratkan halte yang bersih dari aktifitas perdagangan. Perancang merasa yakin bahwa aktifitas penumpang pada saat di halte akan sangat cepat, sehingga tidak memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi apapun. Memang sejatinya halte haruslah menjadi tempat persinggahan singkat bagi penumpang sebelum masuk ke armada bus, tetapi hasil pengamatan di halte bus Transjakarta menunjukkan bahwa pada jam sibuk penumpang bisa menunggu hingga satu jam lamanya. Adanya durasi waktu menunggu bis yang cukup lama tersebut menyebabkan timbulnya permintaan akan berbagai kebutuhan dasar. Peluang ini yang direspon para pedagang kaki lima dengan menggelar dagangannya di sekitar area menuju kedalam halte. Awalnya hanya berupa mainuman dan sekedar makanan ringan, akan tetapi selanjutnya mulai muncul pula pedagang buku, asesoris pakaian, asesoris telepon genggam, hingga kerajinan tangan.
11
Keberadaan para pedagang kaki lima ini jelas telah menciptakan zonasi baru di sekitar area halte. Zonasi perdagangan yang unik yang tercipta akibat tidak berjalannya standar sistem operasional halte. Sebuah bentuk respon atas munculnya kebutuhan mengisi waktu menunggu bis yang ternyata lebih lama dari yang diperkiraan. Sekali lagi gejala munculnya ruang ketiga bisa kita lihat dalam terbentuknya ruang komersial yang seharusnya tidak ada dalam rancangan awal halte.
Gambar 2. Pedagang menggelar dagangannya di sekitar halte Kota. (Sumber : Dokumentasi penulis) 3. Penumpang berebut masuk ke dalam bus.Saat jam sibuk, dengan waktu tunggu bus yang cukup lama (data peneliti, bisa mencapai 15 menit), penumpang cenderung menjadi sangat tergesa-gesa untuk masuk ke dalam bus. Sehingga sering kali kurang memperhatikan kondisi penumang lain. Apalagi desakan dari penumpang di belakang mereka juga cukup kuat. Situasi ini bisa menimbulkan peluang terjadinya kecelakaan, yaitu penumpang tergencet atau jatuh ke kolong halte busway. Rancangan awal halte tidak dengan jelas memberikan panduan ruang untuk antrian pada setiap jurusan. Area yang tersedia untuk antrian akhirnya di bentuk dengan spontanitas petugas halte dengan menghadirkan kerucut penanda serta bentangan tali sebagai pembatas area antrian di setiap pintu dermaga bis.
12
Sekali lagi kemunculan ruang yang awalnya tidak pernah diperkirakan oleh perancang halte, menandakan munculnya gejala ruang ketiga. Keberadaan area antrian yang secara spontanitas dibuat oleh petugas halte, setelah mengamati kondisi keseharian halte tersebut, menegaskan bahwa ruang interior halte yang di desain secara ideal sebagai ruang sirkulasi dengan pergerakan cepat oleh para penumpang, pada kenyataannya berubah menjadi zona-zona kecil yang berisi kerumunan orang yang berdiri diam selama hampir 15-30 menit. Sebuah kontras antara perencanaan dan hasilnya.
Gambar 3.
Penumpang berebut memasuki bus, tercipta zonasi antrean baru. (Sumber : Dokumentasi penulis)
Situasi dimana terjadi penyimpangan terhadap fungsi fasilitas publik seperti contoh diatas cenderung disukai oleh masyarakat. Sering kali jalan pintas, dengan cara melompat pagar, akan mendapat banyak pengikut, dan bahkan suatu saat menjadi kewajaran. Pada titik inilah sejatinya telah terbentuk ruang ketiga. Kondisi dimana masyarakat mereproduksi ulang ruang ideal yang dihasilkan oleh para perancang, kedalam rancangan ruang mereka sendiri. Hal ini semakin membenarkan tesis Gramsci, sebagaimana dikutip Heath dan Potter, bahwa kapitalisme (dalam hal ini melalui tangan para desainer) mampu memciptakan kesadaran palsu yang dipercaya secara mutlak, dengan menanamkan hegemoni budaya melalui produk-produknya (buku, musik, arsitektur, dll), sehingga sistem kapitalis tersebut semakin kuat (Heath, dan Potter. 2014, hal 27). Dalam kasus desain halte Transjakarta ini, perancang dengan kekuatan idealisasi rancangannya merasa berhak menentukan rancangan halte yang paling tepat bagi 13
penggunanya. Masyarakat hanya dilihat sebagai pemakai yang harus patuh pada prinsip-prinsip desain yang dihadirkan oleh si perancang. Kesimpulan Ruang publik dan segenap fasilitasnya merupakan salah satu indikator kualitas hidup di perkotaan. Keberadaannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Akan tetapi fakta yang diperoleh dari pengembangan ruang publik di perkotaan, seringkali ditemukan bahwa keberadaannya justru diabaikan, digunakan tidak sesuai peruntukan, bahkan mendapatkan dampak dari aktivitas vandalisme oleh warga di sekitarnya. Kasus halte Transjakarta semakin menegaskan bahwa warga masyarakat sebagai pengguna fasilitas publik sering kali mempunyai respon yang berbeda, dan bahkan tidak diharapkan oleh para perancang dan pemerintah kota selaku pihak yang menyediakan ruang publik tersebut. Respon masyarakat tersebut pada akhirnya menghasilkan fenomena keruangan baru dalam wujud ruang ketiga. Sebuah respon yang menegaskan bahwa publik berhak dan memang harus dijadikan titik tolak perancangan fasilitas publik. Oleh karena itu, sudah saatnya para perancang dan penentu kebijakan yang terlibat dalam pengembangan ruang publik di perkotaan mulai menerapkan metode desain yang lebih partisipatif. Melalui metode participatory design atau co-design, pengguna akan dilibatkan secara aktif dalam tahap eksplorasi awal perancangan. Pelibatan masyarakat dalam proses desain ruang publik diyakini akan mengurangi kesenjangan antara idealisasi desain dengan hasilnya. Walaupun metode pelibatan pengguna ini memerlukan waktu dan tahapan yang lebih panjang, akan tetapi hasil yang nantinya akn di dapat sangatlah sebanding. Kedepan sangat dibutuhkan penelitian lebih lanjut menyangkut model yang tepat atas pelibatan masyarakat dalam pengembangan desain fasilitas publik perkotaan.
14
Penelitian tersebut diharapkan akan menjawab permasalahan bagaimana masyarakat bisa dilibatkan dalam mengembangkan lingkungan di sekitar mereka guna mendapatkan kualitas ruang publik yang sesuai bagi mereka.
DAFTAR PUSTAKA Damayani, D.R.R. (2008) : Gejala Ruang Ketiga (Thirdspace)Di Kota Bandung : Paradoks Dalam Ruang Publik Urban Kontemporer. Disertasi Program Doktor. Institut Teknologi Bandung. Grava, S. (2004): Urban Transportation System, Choices For Communities, Mc Graw Hill, London. Lefebvre, Henry. (1991) : The Production of Space translated by Donald Nicholson-Smith, Blackwell, Oxford. Heath, Joseph, dan Potter, Andrew. (2004) : Radikal itu Menjual, Budaya Perlawanan atau Budaya Pemasaran, Antipasti, Jakarta Moughtin, C. (2003): Urban Design: Street And Square Third Edition, Architectural Press, Amsterdam. Soja, E.W.(1996): Thirdspace: Journeys To Los Angeles And Other Real-AndImagined Places, Basil Blackwell,Oxford
15