TERDESAKNYA PERAN BAHASA INDONESIA DI RUANG PUBLIK
Penggunaan bahasa Indonesia secara nasional merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia. Bangsa ini tidak akan memiliki kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan seluruh suku bangsa yang ada di nusantara. Bahasa indonesia seolah-olah berperan sebagai alat perekat dan pemersatu diantara rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan suatu simbol kebangsaan yang menunjukkan identitas bangsa Indonesia. Pasca tumbangnya Soeharto dari kursi presiden tahun 1998, terjadi perubahan yang luar biasa terhadap bahasa Indonesia.Hal ini terlihat dari penggunaan bahasa daerah dan bahasa asing pada ruang publik. Semasa pemerintahan Orde Baru di Indonesia seperti terdapat pembagian, yaitu hanya bahasa Indonesia yang resmi digunakan untuk bahasa di ruang publik, sedangkan bahasa asing hanya bahasa Inggris. Namun, sekarang di media massa, khususnya televisi, kita bisa mendengar berita dalam bahasa Jawa, Sunda, juga bahasa Mandarin, padahal dulu pada masa Orde Baru bahasa Mandarin tidak diperkenankan digunakan di ruang publik. Sementara untuk bahasa daerah, pada masa Orde Baru penggunaan bahasa daerah terbatas pada wilayah "aman", dalam arti tidak digunakan untuk bidang politik dan ideologi, melainkan hanya pada ranah budaya, seperti untuk pertunjukkan kesenian daerah. Seiring dengan pertumbuhan otonomi daerah, penggunaan bahasa daerah di ruang publik semakin meluas dan seolah-olah menjadi hal yang wajar. Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan seolah mulai surut. Banyak kalangan mulai dari mahasiswa, artis, politisi, pegawai swasta maupun pejabat publik lebih menyukai menggunakan bahasa asing. Menggunakan bahasa atau istilah-istilah asing terasa lebih membanggakan dan terlihat intelektual daripada menggunakan bahasa Indonesia meskipun susah dicerna orang lain. Sejatinya fenomena berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di media massa, dan di tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa. Memang kita tidak menolak perubahan selama tidak mencederai falsafah hidup dan jati diri bangsa kita.Namun pada kenyataannya perilaku berbahasa saat ini diikuti kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam perilaku bertindak dan identifikasi diri bangsa.Kecenderungan mengidentifikasikan diri pada budaya dan pola perilaku asing yang belum tentu membawa kemajuan peradaban telah mengikis perlahan-lahan identitas bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya luhurnya. Kecemasan itu semakin beralasan ketika semua itu menjadi kenyataan yang sebenarnya (realitas aktual atau realitas objektif).Sebab realitas aktual sebuah masyarakat adalah realitas luar (eksternal) yang padanya bahasa dan tanggapan (persepsi) kita merujuk.Ia adalah cerminan asli (otentik) keadaan batin sebuah masyarakat; hasil dari hubungannya dengan nilai-nilai manusiawi yang bersifat batiniah yang telah menjadi pola dasar, standar perbuatan yang harus dilakukan dan telah menjadi keyakinan bersama. Dengan sangat lugas realitas aktual tampil mewakili kondisi batin sebuah masyarakat; sebuah kondisi yang menyangkut keyakinan akan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Oleh sebab itu, kegemaran menggunakan bahasa asing yang begitu menjadi-jadi dan ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk menahan arus penyerbuan budaya, yang ditandai antara lain oleh suramnya masa depan bahasa Indonesia, dapat dikatakan sebagai musibah budaya. Hal itu sekaligus menggambarkan kondisi mental bangsa I ndonesia yang merasa tidak memiliki identitas dan kekayaan budaya yang berharga pada dirinya sehingga perlu mengadopsi milik bangsa lain yang dianggap berharga. Bahkan bangsa ini merasa malu untuk menampilkan kekayaan
budayanya di hadapan bangsa-bangsa lain. Menganggap bahasa sendiri sebagai kampungan, tidak menguntungkan, dan tidak memiliki nilai komersil.Hal demikian jelas menunjukkan kondisi psikologis yang mencerminkan bangsa yang terserang krisis percaya diri dan rendah d iri.
www.bahasakuonline.co.cc/.../terdesaknya-peran-bahasa-indonesia-di.html - Tembolok
Bahasa Asing di Ruang Publik Akan Dilarang Jakarta - Para pelaku usaha siap-siap saja untuk mengganti nama merek dagangnya jika menggunakan bahasa asing. Sebentar lagi, pemerintah akan melarang penggunaan bahasa asing di ruang publik. Baik itu nama kompleks perumahan, iklan, nama gedung atau bangunan, petunjuk penggunaan barang, merek dagang dan lain-lain. Pelarangan ini tertuang dalam draf RUU Bahasa yang kini tengah dibahas oleh Balitbang Depdiknas. Dalam waktu dekat, draf RUU ini akan didiskusikan antardepartemen dan ditargetkan segera dibawa ke DPR dan disahkan tahun 2007 mendatang. Dari draf yang diterima detikcom, Jumat (6/1/2006), RUU ini terdiri dari 10 bab dan 22 pasal. Disebutkan, dalam RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini, pasal-pasal tentang penggunaan bahasa. Termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak pengusaha atau perusahaan jika tetap menggunakan bahasa asing untuk ruang publik. Beberapa pasal yang menarik mengenai penggunaan bahasa mulai pasal 9. Dalam ayat 2 menyebutkan: Pidato kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pasal 11 menyebutkan: Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga film, sinetron, dan pr oduk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. Aturan yang menarik juga terdapat dalam pasal 12. Di pasal ini disebutkan: Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama bangunan/gedung, dan petunjuk pengg unaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia. Nah, jika semua pasal di RUU ini lolos dan diundangkan, maka siap-siap saja para pengusaha untuk segera mengubah berbagai produknya.Demikian juga penyajian film di televisi, wajib dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.Jika melanggar, penjara atau denda. (jon)
ource : http://www.detiknews.com/
s
Bahasa Indonesia pascakepemimpinan Presiden Soeharto mengalami perubahan yang luar biasa.Hal ini terlihat dari pemakaian bahasa daerah dan bahasa asing non-Inggris pada ruang publik. Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, dosen bahasa Indonesia pada Nanzan University di Nagoya, Jepang, mengemukakan pendapat tersebut dalam diskusi ber tajuk "Bahasa Indonesia Pascasoeharto" yang diselenggarakan Newseum Indonesia di Jakarta, Minggu (14/12) sore. Menurut Prof. Moriyama, semasa pemerintahan Orde Baru di Indonesia seperti terdapat pembagian yaitu hanya Bahasa Indonesia yang resmi digunakan untuk bahasa di ruang publik, sedangkan bahasa asing hanya bahasa Inggris. "Tapi sekarang di media massa khususnya televisi, kita bisa mendengar berita dalam bahasa Jawa, Sunda juga bahasa Mandarin, padahal dulu semasa Orba baha sa Mandarin tidak diperkenankan digunakan di ruang publik,"katanya. Untuk bahasa daerah, pada masa Orba pemakaiannya terbatas pada wilayah "aman" dalam arti tidak digunakan untuk pemakaian bahasa politik dan ideologi, melainkan hanya pada ranah budaya, seperti untuk pertunjukkan kesenian daerah. "Pergeseran munculnya bahasa daerah ke ruang publik secara lebih luas juga terjadi seiring dengan pertumbuhan Otonomi Daerah," tegasnya. Prof. Moriyama juga mengemukakan bahwa Bahasa Indonesia bukan saja mendapat tekanan dari daerah dengan menguatnya pemakaian bahasa daerah belaka, tetapi juga menghadapi tekanan globalisasi bahasa yang luar biasa khususnya dari B ahasa Inggris. "Desakan bahasa Inggris ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain sehingga belakangan juga terjadi reaksi dari berbagai negara untuk melawan gejala tersebut," kata Moriyama yang kemudian tergerak melakukan penelitian mengenai apa yang disebutnya sebagai "Imperialisme Bahasa Inggris". Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Newseum Indonesia itu tampil pula Taufik Rahzen dari lembaga tersebut dan TD Asmadi, ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM). Taufik Rahzen mengemukakan bahwa dalam perkembangan mendatang, bangsa Indonesia sebaiknya lebih memperhatikan dan menampung pertumbuhan bahasa dari berbagai kelompok masyarakat, ketimbang sibuk membahas kosa kata lama. "Bahasa adalah sesuatu yang kita sendiri menciptakannya, tumbuh dari berbagai bidang, etnis dan daerah, Pusat Bahasa seharusnya menampung munculnya kosa kata baru untuk memperkaya Bahasa Indonesia,"tegasnya.
Sementara itu TD Asmadi antara lain memperhatikan pergeseran bahasa pascasoeharto yaitu dengan dihapusnya sejumlah nama tempat dan ruang yang tadinya memakai bahasa Sansekerta menjadi bahasa Indonesia. Selain itu juga kerancuan pemakaian bahasa Indonesia dan Inggris.
warungkopi.forumotion.net/t2095-bahasa-indonesia-pascasoeharto-terdesak-bahasa-lain- Tembolok
TALENTA
PEMBELAJARAN UNTUK MEMPERBAIKI BAHASA INDONESIA DI RUANG PUBLIK MENUJU KETAHANAN NASIONAL Oleh : Soleh Amin (Guru Bahasa Indonesia SMA 3 Semarang)
Bahasa tidak hanya diajarkan secara turun temurun agar manusia dapat bertahan hidup, namun lebih dalam dari itu, bahasa diajarkan agar generasi penerusnya mempunyai ciri, n ilai-nilai dan kebijakan sesuai dengan budaya masyarakat yang bersangkutan, sehingga mereka mempunyai identitas jati diri yang jelas dan dapat berkomunikasi untuk menjadi satu warga. Bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya.Bahasa menjadi alat pengikat yang sangat kuat untuk mempertahankan eksistensi suatu budaya masyarakat. Pendidikan yang sukses adalah pendidikan yang mampu mengantarkan anak menjadi: bertaqwa, berkepribadian matang, berilmu mutakhir dan berprestasi juga mempunyai rasa k ebangsaan serta berwawasan global. Sedangkan proses pembelajaran menurut PP No. 19 Tahun 2005 terdefinisi sebagaip proses pembelajaran diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terasa hidup, memotivasi, interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan perke mbangan fisik serta psikologisnya. Dalam proses pembelajaran, pendidik memberikan keteladanan
Pertanyaannya kemudian apa yang harus dimiliki terhadap tuntutan itu. Jawabannya adalah sebagai berikut : Guru harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi akademik adalah kompetensi keilmuan yang dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat keahlian yang relevan. Kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial sesuai Standar Nasional Pendidikan.
Ada hal yang harus diperhatikan oleh guru di luar pembelajaran di kelas seperti kata Harimurti Kridalaksana, bahwa undang-undang bahasa nantinya hanya mengatur penggunaan bahasa dalam
tingkat pemerintahan. Menurutnya, aturan bahasa di masyarakat tak akan berlaku efektif karena masyarakat bisa mengatur sendiri penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini memberi syarat bahwa, bahasa Indo nesia di ruang publik akan kita nikmati apa adanya, jika masyarakat tidak di beri pemahaman tentang begitu pentingnya mempertahankan keutuhan bahasa Indonesia. Tiga jenis bahasa yang ada di Indonesia, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing saling memberi warna. Bahasa daerah mewarnai penggunaan bahasa Indonesia dalam aspek budaya atau nilai rasa, sedangkan bahasa asing mewarnai penggunaan bahasa Indonesia di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta di bidang Ekonomi khususnya Perniagaan. Akan tetapi yang patut dipertegas lagi adalah bagaimana setiap warna yang hadir itu tidak menenggelamkan eksistensi bahasa Indonesia. Keprihatinan kita sebagai guru ketika melihat merek toko, kantor, dan hotel yang lebih cenderung menggunakan bahasa asing, padahal padanannya sudah ada dalam bahasa Indonesia. Istilah bahasa asing tetap dapat digunakan, namun, terjemahan Bahasa Indonesianya harus ditulis dengan ukuran huruf yang lebih besar.Sedangkan istilah bahasa asing ditulis di bawahnya dengan ukuran yang lebih kecil. RUU Kebahasaan dan jika ada RAPERDA Kebahasaan harus memiliki ketegasan dalam pemberian saksi terhadap pelanggaran penggunaan bahasa.Menurut Prof. Dr. Melani Budianta dari segi pengawasan, pengaturan dan pemberian sanksi RUU Bahasa membangun suasana represif. Sebaliknya, ketidakmampuan mengimplementasikan aturan akan membuat sia-sia. Jika RUU Bahasa menjadi pilihan, orientasi sebaiknya pada pengembangan bahasa secara positif dan proaktif (dari pada penekanan pada pemagaran). Pemberlakuan Undang-Undang Bahasa juga perlu dibarengi pendidikan bahasa Indonesia yang lebih baik. Dengan mengambil langkah strategik dalam penyelamatan bahasa, secara langsung kita juga telah membantu meminimalisasi terjadinya pergeseran bahasa.Pergeseran yang d isebabkan oleh mulai ditinggalkannya bahasa oleh para anggota suatu masyarakat. Bukan tidak mungkin bahasa Indonesia akan ditinggalkan penuturnya, jika tidak ada upaya penyelamatan. Bangsa ini adalah bangsa yang cerdas, karena bangsa ini memiliki bahasa pemersatuan yaitu Bahasa Indo nesia. Masalah pemakaian bahasa di ruang public bias disikapi guru dengan mengangkat contoh-contoh yang terjadi di sapnduk, toko, hotel dan sebaginya bahwa penggunaan istilah-istilah asing sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga para siswa bias ikut memopulerkannya. Sesungguhnya bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang akan menjadi salah satu pilar ketahanan nasional kita. Bahasa Indonesia memang bukanlah faktor determinan bagi ketahanan nasional Indonesia karena bahasa Indonesia hanyalah salah satu bagian dari gatra sosial budaya. Sementara itu gatra sosial budaya itu sendiri hanyalah salah satu unsur atau gatra yang bersamasama dengan gatra-gatra lainnya saling hubungan dalam sebuah tatanan yang utuh, menyeluruh, dan terpadu di dalam keseluruhan kehidupan nasional. Namun karena bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa dan menjadi bahasa negara yang sangat penting untuk menyelenggarakan roda pemerintahan dan kegiatan lainnya, maka bahasa Indonesia menjadi kunci bagi terbentuknya ketahanan nasional Indonesia yang
mantap. Hal ini berarti bahasa Indonesia memegang peranan penting sebagai alat penggerak atau operator bagi terwujudnya ketahanan nasional Indonesia yang mantap. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang diikrarkan dalam Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928.Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dapat juga disebut bahasa nasional atau bahasa kebangsaan (Alwi, Hasan dan Dendy Sugono, 2003: 231). Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober 1928 ini sangat menarik perhatian kita, karena bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lebih dahulu ada sebelum negara kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia ada. Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri baru diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, 17 tahun sesudah Sumpah Pemuda 1928. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antarbudaya serta antardaerah (Alwi, Hasan dan Dendy Sugono, 2003: 233). Keempat fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional itu menunjukkan sangat pentingnya bahasa Indonesia sebagai prasyarat keberlangsungan hidupnya bangsa Indonesia. Fungsi kedua menyadarkan kepada kita bahwa keberadaan bangsa Indonesia ditandai oleh adanya bahasa Indonesia.Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa wujud kongkrit ke-Indonesia-an kita adalah dalam bentuk bahasa Indonesia.Sementara itu fungsi yang ketiga, yaitu sebagai alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, sangatlah penting pada saat ini seiring dengan munculnya tuntutan dari beberapa daerah/kelompok etnik untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.Sebagai contoh hingga saat ini masih kita dengan adanya gerakan separatis di Aceh dan Papua yang masih terus menggalang kekuatan untuk memisahkan diri dari negara Kesatuan Republik Indonesia.Kajian yang dilakukan oleh LEMHANNAS (2008) terhadap gerakan separatis di Aceh menunjukkan adanya kekuatan baru yang terus berjuang melalui jalur non-militer (terutama politik) untuk memisahkan diri dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Temuan ini harus menjadi kewaspadaan kita semua, karena bangsa Indonesia telah mengikrarkan diri melalui Sumpah Pemuda 1928 dan kemerdekaan Republik Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita harus bersyukur karena bangsa Indonesia hingga saat ini telah dipersatukan oleh bahasa Indonesia. Kita tidak dapat membayangkan apa jadinya kalau tidak ada bahasa Indonesia sehingga berbagai etnik yang ada di Indonesia tidak dapat saling bertegur sapa atau berkomunikasi karena berbeda bahasa. Memang dalam situasi seperti itu akan muncul bahasa perantara agar berbagai kelompok etnik di Indonesia dapat saling berkomunikasi. Namun bahasa perantara itu tidak dapat menyatukan mereka karena bersifat sementara dan cenderung akan berganti-ganti sesuai kebutuhan dan hasil tawar-menawar berbagai et nik yang berkomunikasi.. Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa telah berlangsung hingga saat ini.Keberhasilan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa ditandai oleh kesedian seluruh bangsa Indonesia berbahasa Indonesia terutama dalam berkomunikasi dengan warga bangsa yang berbeda bahasa daerahnya. Kondisi ini harus terus diupayakan keberlangsungannya karena akan menjadi indikasi keberhasilan kita mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia .Namun fungsi bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa Indonesia ke depan akan menghadapi persoalan dengan kecenderungan semakin banyaknya orang Indonesia berbahasa asing, khususnya Inggris, terutama di kota-kota besar dan di lingkungan tertentu, untuk mendukung kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan mereka. Memang pada aspek tertentu
kecenderungan pemakaian bahasa asing akan mengantar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern melaui penyerapan nilai-nilai universal yang modern, terutama melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dan nilai-nilai modern terutama kaitannya dengan demokrasi dan HAM. Namun pada sisi yang lain kecenderungan ini akan mengendorkan semangat untuk menggunakan bahasa Indonesia terutama dalam komunikasi dengan warga negara yang berbeda bahasa daerahnya. Apabila penggunaan bahasa asing telah meluas dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari, maka bahasa asing itu akan menggeser kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. Memang kecenderungan ini belum akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang mengingat heterogenitas bangsa Indonesia dalam hal pendidikan dan sosial ekonominya sehingga belum memungkinkan bahasa asing dikuasai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun jika kita tidak mengantisipasinya, maka kondisi seperti yang terjadi di Singapura, Malaysia, atau Brunei Darusalam akan terjadi pula di Indonesia. Di beberapa negara ASEAN itu bahasa Inggris telah menjadi ´bahasa nasional baru´ yang siap menggeser bahasa nasional mereka yang sebenarnya. Bahkan di Singapura bahasa Inggris telah menjadi salah satu bahasa resmi mereka (Moe liono, Anton M, 1985: 46).Kita tidak menolak penggunaan bahasa Inggris di Indonesia. Namun bahasa Inggris sebagai bahasa asing harus ditempatkan sebagai bahasa yang berfungsi sebagai (1) alat perhubungan antarbangsa, dan (2) sarana pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional, atau (3) sumber pengembangan bahasa Indonesia terutama tata istilah keilmuan. Sesuai dengan butir ketiga Sumpah Pemuda 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 bahasa asing tidak boleh menggeser kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional dan bahasa negara. Kecenderungan lain yang harus mulai dipikirkan antisipasi dan solusinya adalah kebiasaan sebagian masyarakat kita, khususnya cendekiawan/generasi muda, yang menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Inggris atau mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia dengan ucapan bahasa Inggris. Memang kondisi ini belum dapat dikatakan sebagai gejala yang membahayakan semangat persatuan bangsa. Pemakaian bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Inggris atau pengucapan bahasa Indonesia dengan logat atau ucapan bahasa Inggris adalah gejala kebahasaan yang lazim dalam masyarakat dwibahasa terutama dalam hubungan informal dan akrab. Namun apabila kecenderungan itu berlanjut dan menjadi pola baru dalam berbahasa Indonesia, maka hal itu akan mencerminkan kurangnya rasa tanggung jawab dalam berbahasa Indonesia. Padahal tanggung jawab itu sangat penting karena siapa lagi kalau bukan kita yang harus menjaga agar bahasa Indonesia tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara
solehamin.wordpress.com/tentang-kami/artikel-1/
- Tembolok