1
RESPON PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP KEBIJAKAN RELOKASI (Kasus Pedagang Kaki Lima Alun-Alun Pasuruan)
(Disarikan dari Tesis Tahun 2005) Oleh: Dr. Taufiq Ramdani, M.Sos BAB I I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa usaha-usaha pembangunan yang selama ini digalakkan pemerintah sudah banyak membawa hasil pada masyarakat. Pembangunan yang selama ini dititikberatkan pada sektor formal seperti pencanangan industrialisasi suatu wilayah di satu sisi telah membawa dampak pada percepatan proses pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan dan budaya masyarakat. Namun, di sini lain pembangunan akan menjadi ironi ketika laju pertumbuhan sektor formal tersebut tidak diimbangi oleh pertumbuhan sektor informal. Ironi karena proses pembangunan itu sendiri akan kian memperlebar kesenjangan kualitas hidup masyarakat. Di kebanyakan negara berkembang seperti Indonesia, sektor formal yang kian berkembang seringkali tidak disertai oleh peningkatan kualitas SDM masyarakat, sementara untuk mendapat tempat di sektor formal, tingkat pendidikan dan keahlian (skill) menjadi syarat kualifikasi yang utama. Dikotomi karakteristik kedua sektor tersebut di atas (formal-informal) menjadi kian jelas di tengah-tengah masyarakat dengan keterbatasan kualitas SDM yang diperparah oleh keterbatasan lapangan kerja.
2
Berangkat dari asumsi tersebut di atas, maka berbagai kebijakan pembangunan kota di berbagai daerah saat ini, seyogyanya sektor informal merupakan pilihan yang perlu turut diperhitungkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi yang berorientasi pada proses pemeratan dari pada sekedar pertumbuhan. (Rachbini & Hamid, 1994). Hal tersebut dirasa perlu dan mendesak karena para pelaku sektor informal sekarang ini semakin tidak mendapat tempat yang tepat dalam konteks totalitas kebijakan pemerintah. Malah dalam kenyataannya, para pelaku sektor informal sepeti PKL sering diposisikan dalam pengertian negatif semata, yaitu sebagai simbol ketertinggalan, kesembrawutan kota, biang kemacetan jalan dan berbagai symbol-simbol negatif lainnya sehingga perlu dimarginalkan tanpa keseimbangan untuk mau memperhitungkan sumbangsih mereka terhadap pembangunan ekonomi perkotaan. Adalah kurang bijak apabila sektor informal dalam sorotan latar belakang kebijakan hanya diamati pada sisi negatifnya semata untuk kemudian disikapi dengan suatu produk kebijakan tanpa perlu diimbangi dengan semangat obyektifitas untuk mau mengakui sisi positifnya. Dari segi estetika,
administrasi
dan
pengalokasian
tata
ruang
kota
bahwa
keberadaan sektor informal dianggap mengganggu ketiga fungsi tersebut adalah kenyataan yang tak terhindarkan (Bromley dalam Manning, 1985). Namun harus diakui pula, bahwa jika dilihat dari segi kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja, maka keberadaan sektor informal ini bisa dianggap sebagai ‘katup penolong’ bagi keterbatasan kualitas SDM dan sempitnya lapangan kerja di sektor formal yakni dengan menyerap sekitar 77 % tenaga kerja (Bappeda, 2004). Dalam fase pembangunan kota Pasuruan sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi mencapai angka 3,94 %. Ada tiga sektor utama
3
yang memiliki sumbangan riel terbesar terhadap pertumbuhan tersebut yaitu, sektor perdagangan, 1,43 %, sektor pengolahan industri 0,70 %, serta sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,60 %
(Bappeda,
2004). Guna lebih memacu pertumbuhan Sektor Perdagangan sebagai sektor penopang utama ekonomi kota Pasuruan, Pemkot Pasuruan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap upaya pengembangan berbagai infrastruktur perdagangan agar lebih produktif dan berdaya saing tinggi seperti melalui upaya pembangunan kembali pasar Poncol menjadi Pasar Poncol Plaza/ Mall Poncol. Sedangkan, sebagai wujud upaya pemerataan dan pengakuan terhadap eksistensi dan nilai positif sektor informal sekaligus penetralisir nilai negatifnya, maka dalam upaya pembangunan
tersebut
juga
tersusun
kebijakan
untuk
merelokasi
Pedagang Kaki Lima ke dalam sistem perdagangan modern tersebut (Pasar Poncol Plaza/ Mall Poncol). Mengacu pada pendapat Bagong & Kamaji (2002), bahwa ketika di kota-kota tumbuh Plaza dan berbagai pusat keramaian, maka pada saat yang bersamaan sektor informal juga berkembang pesat. Perkembangan usaha sektor formal yang tidak diimbangi oleh perkembangan sektor informal dapat menjadi pemicu kesenjangan sosial yang berujung pada kecemburuan sosial. Oleh karena itu, diakomodirnya para PKL ke dalam Pasar
Poncol
Plasa
dapat
dinilai
sebagai
suatu
langkah
untuk
mempersempit kesenjangan yang lahir di antara sektor formal dan informal dalam proses pembangunan sekaligus sebagai bentuk pemberdayaannya. Alun-alun Pasuruan sebagai kawasan lingkar pasar Poncol merupakan area penopang gerak
aktifitas sosial-keagamaan yang
tersentral pada dua tempat utama di kota Pasuruan yaitu Masjid Al-Anwar
4
dan Makam Kiyai Hamid. Funginya yaitu sebagai tempat transaksi jaul beli peziarah kedua tempat tersebut. Keberadaan Masjid Jami’ Al-Anwar dan Makam Kyai Hamid tersebut secara nyata berpengaruh pada tingkat kunjungan wisata riligius ke Kota Pasuruan utamanya di malam-malam adanya pengajian akbar. Gerak transaksi jual beli di alun-alun Pasuruan sangat ditentukan oleh keberadaan kedua tempat penting tersebut. Ibarat “ada gula ada semut “ dalam istilahnya Paripurna (2004), bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat keramaian seperti kondisi di atas, muncullah pedagang-pedagang di sektor informal seperti PKL yang menyongsong tempat-tempat yang menampung calon pembeli menengah ke bawah. Menjadi fenomena umum yang logis, bahwa PKL akan berkumpul pada lokasi-lokasi yang cukup strategis berupa fasilitas umum/ ruang publik dan pusat-pusat keramaian kota, misalnya di sepanjang pinggir-pinggir jalan/ trotoar, atau di seputar pasar-pasar tradisional dan modern. Pesatnya pertumbuhan PKL di kota Pasuruan, utamanya di ruangruang publik baik yang sifatnya tertutup seperti di seputar pasar Poncol, maupun yang sifatnya terbuka seperti di seputar alun-alun Pasuruan (Jl. Alun-alun
Utara-Timur-Selatan)
tidak
dapat
dipungkiri
memberikan
kekhawatiran akan gangguan ketertiban dan alokasi peruntukan lahan, kurang berfungsinya fasilitas umum, terjadinya kemacetan di sepanjang jalur di mana PKL menggelar aktifitasnya, berubahnya fungsi trotoar, lenyapnya keindahan taman dan alun-alun kota, dan juga persoalan kebersihan yang harus diakui fenomena ini turut menjadi penyebab tidak berjalannya secara linier sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat. Dengan alasan tersebut di atas, atas rekomendasi Tim Peneliti Studi Relokasi PKL Kota Pasuruan yang dikoordinir oleh Bappeda Kota
5
Pasuruan, maka demi ketertiban, keamanan, kebersihan, kenyamanan dan keindahan kota Pasuruan, salah satu upaya yang direkomendasikan harus segera dilakukan adalah penataan dan penertiban PKL. Demi suksesnya pelaksanaan upaya tersebut Tim Peneliti Studi Relokasi PKL Kota Pasuruan yang dikoordinir oleh Bappeda merekomendasikan hal-hal berikut: 1. Kepada
Walikota
dan
Pemkot
Pasuruan,
hendaknya
melaksanakan upaya penertiban dan penataan PKL secara terpadu. 2. Kepada Walikota dan Pemkot Pasuruan, hendaknya berupaya untuk memecah keramaian kota Pasuruan yang bertumpu pada satu titik, yakni di sekitar Alun-alun dan Jl. Niaga, dengan membuka pusat-pusat keramaian baru, seperti membuka pusat perdagangan (pasar) dan tempat hiburan. 3. Kepada
Walikota
dan
Pemkot
Pasuruan,
hendaknya
mempersiapkan wilayah Pasar Poncol sebagai lokasi tujuan relokasi PKL, dengan cara tidak mendirikan bangunan baru atau meremajakan bangunan yang sudah ada. Ketiga point rekomendasi tersebut kemudian diakomodir dan direalisasikan dalam rencana pembangunan kembali Pasar Poncol menjadi Pasar Poncol Plaza (Mall Poncol). Harus diakui, bahwa perkembangan PKL dewasa ini diikuti dengan munculnya berbagai problem pelik yang sulit ditemukan solusinya telah menjadi persoalan tersendiri dalam kebijakan di berbagai kota. Upayaupaya penertiban dan pemindahan PKL ke lokasi-lokasi yang sifatnya lebih terkoordinasi secara birokratis telah diupayakan oleh Pemkot Pasuruan, seperti pembangunan Pasar Kebun Agung yang ditujukan untuk tempat
6
pemindahan PKL dari alun-alun dan pasar Poncol. Walaupun telah memakan banyak biaya, namun upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan. Sebab, para PKL tetap bersikukuh untuk berjualan di tempat semula dengan alasan sepinya pembeli di tempat tujuan. Ternyata, kondisi dan situasi lokasi tujuan yang tidak didukung oleh struktur dan infrastruktur sosial ekonomi yang memadai turut menentukan respon PKL. Pada bulan September 2004, Pemerintah Kota Pasuruan memulai tahap awal pembangunan kembali Pasar Poncol menjadi Pasar Poncol Plaza (Mall Poncol) melalui studi kelayakan yang dilakukan oleh Bappeda Kota Pasuruan, dilanjutkan dengan tahap pembangunan yang dimulai pada bulan November 2004. Diharapkan keberadaan Pasar Poncol Plaza nantinya akan dapat menutupi berbagai kekurangan yang dimiliki oleh Pasar Kebun Agung tadinya sehingga menjadi alternatif lahan relokasi dan tempat berusaha yang menarik bagi Pedagang Kaki Lima. Terkait dengan pemasaran stand-stand sederhana di lantai satu dan lantai dua Mall Poncol yang dikelola dalam konsep pasar modern dan tradisional pasca berdirinya semua infrastruktur yang diperlukan, atas insiatif Wali Kota Pasuruan yaitu Bapak H. Aminurrahman sebagai hasil rekomendasi Tim Peneliti Studi Relokasi PKL Kota Pasuruan, maka direncanakan stand-stand/ los-los di lantai satu dan lantai dua tersebut akan dialokasikan bagi pedagang-pedagang lama dan PKL yang selama ini berjualan di seputar Pasar Poncol. Dengan upaya tersebut di atas, yaitu dengan dibangunnya Mall Poncol yang kemudian akan menampung para PKL, tentunya banyak pihak berharap bahwa langkah tersebut akan dapat meminimalkan kompleksitas negatif dari keberadaan PKL.
7
Pedagang Kaki Lima merupakan unit usaha informal yang umumnya memiliki tingkat kemampuan ekonomi dan pendidikan yang relatif rendah, sehingga patut diduga kondisi tersebut akan menjadi kendala dalam pelaksanaan program relokasi PKL ke Mall Poncol ini. Mengacu pada pertimbangan kondisi PKL tersebut, maka menurut Tim Penataan dan Pembangunan Kembali Pasar Poncol, penentuan harga sewa stand oleh Pemkot Pasuruan tidak dilakukan semata-mata dengan pertimbangan komersial murni, sehingga dalam hal ini dimasukkan unsur subsidi atau subsidi silang. Tujuannya yaitu untuk mengakomodir dan memberi kesempatan kepada PKL untuk menempati Pasar Poncol Plaza (Tim Penataan dan Pembangunan Kembali Pasar Poncol Kota Pasuruan, 2004). Hal tersebut tertuang dalam materi sosialisasi relokasi berikut ini: “Penentuan harga sewa dilakukan dengan mempertimbangkan misi pembangunan Plasa Poncol untuk menempatkan para Pedagang Kaki Lima (PKL) di dalam maupun di sekitar lokasi proyek. Oleh karena itu penentuan harga sewa tidak dilakukan semata-mata dengan mempertimbangkan aspek komersial murni. Dalam hal ini perlu dimasukkan unsur-unsur subsidi dan atau subsidi silang sehingga mampu mengakomodasi keberadaan para PKL dan Pedagang Tradisional lainnya di samping para Tenant potensial.” Sementara itu, untuk menjembatani minimnya pengetahuan dan pemahaman PKL tentang relokasi yang dapat bermuara pada respon negatif, maka Tim Penataan dan Pembangunan Kembali Pasar Poncol memiliki tugas berikut ini : Pertama, melakukan sosialisasi kepada para pedagang dan masyarakat sekitarnya terhadap pembangunan kembali Pasar
Poncol
dan
sekitarnya.
Kedua,
melakukan
penataan
dan
pembenahan yang berkaitan dengan penempatan para pedagang dan atau Pedagang Kaki Lima yang berjualan di sekitar lokasi pasar Poncol. Pedagang Kaki Lima sebagai komunitas profesi sektor informal yang terindikasi dengan lebih banyak karakteristik minus adalah profesi
8
yang berada pada ambang batas antara peluang kerja dan kualitas tenaga kerja (katup penolong). Sehingga, fenomena PKL bila dikaji dari aspek kemunculannya untuk kemudian dicari solusi pengantisipasi, maka fenomena PKL seringkali dikaji dalam kapasitasnya sebagai kompleksitas urbanisasi dan kesempatan kerja yang langka di kebanyakan negaranegara berkembang seperti Indonesia. Terkait sebagai kompleksitas urbanisasi, maka meningkatnya arus urbanisasi
pada
akhirnya
secara
langsung
dan
signifikan
akan
meningkatkan jumlah angkatan kerja di daerah perkotaan. Dengan analisis praktis bahwa para pencari kerja yang berasal dari pelaku urbanisasi yang tidak memperoleh perkerjaan di sektor formal, sebagaimana diungkapkan De Soto (1989) maka mereka akan berupaya bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya dan banyak dari mereka kemudian memilih menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL). Dari premis di atas terungkap bahwa munculnya
sektor
informal
seperti
PKL
sebenarnya
imbas
dari
ketidakberdayaan dan keterbatasan sektor formal dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Sehingga, bila diamati secara seksama bahwa sektor informal seperti PKL adalah upaya mencari peluang dengan segala keterbatasan yang ada, maka sebagaimana yang terungkap dalam penelitian De Soto (1991) di Lima, bahwa sektor informal ternyata justru memiliki kekuatan wirausaha yang tinggi, mampu membangun lembaga demokratis dan tatanan ekonomi pasar yang tidak diskriminatif. Terkait sebagai kompleksitas dunia kerja, maka pelaku urbanisasi yang sebagian besar perpegang pada modal dan keterampilan minim, dalam prakteknya, seringkali tidak bisa mewujudkan harapan dan impiannya dalam sektor formal. Akibatnya, karena begitu kuatnya dorongan untuk bisa bertahan hidup di kota, mereka membuka kegiatan ekonomi
9
yang bersifat self actifity di kota yang kemudian dikenal dengan istilah sektor informal dan terpola dalam bentuk Pedagang Kaki Lima. Fenomena ini, yakni muncul dan berkembangnya kegiatan ekonomi sektor informal seperti PKL di kota-kota besar merupakan problema mendasar yang sulit untuk dicarikan pemecahannya. Hal ini lebih disebabkan oleh realitas bahwa sektor informal seperti PKL ini, di samping mengandung unsur negatif di satu sisi, sekaligus memiliki unsur positif di sisi lain. Misalnya, jika dilihat dari sudut pandang Bromley, yakni ditinjau dari segi estetika, administratif dan tata ruang kota, keberadaan PKL dianggap mengganggu stabilitas dan keindahan kota (Bromley dalam Tadjuddin Noer dan Manning, 1985). Sementara jika dilihat dari segi penyerapan tenaga kerja, maka keberadaan sektor informal ini bisa dianggap sebagai primadona yang menarik bagi negara yang sedang berkembang, sebab sektor informal yang bersifat self help ini ternyata memiliki kemampuan untuk menyerap tenaga kerja sekitar 77 % (Bappeda 2004). Terungkap bahwa pada tahun 1999, pekerja laki-laki yang bekerja di sektor informal mencapai 68,49 % dari seluruh pekerja laki-laki. Sedangkan perkerja wanita yang bekerja disektor informal ini mencapai 78, 23 % dari seluruh pekerja wanita di Indonesia (Prospek, 1991). Sebagaimana perkembangan
PKL
telah di
disinggung Kota
di
Pasuruan
atas, dan
bahwa
fenomena
kompleksitas
yang
ditimbulkannya adalah konsekuensi logis dari perkembangan kota dan berbagai infrastruktur penunjuangnya. Lebih-lebih jika kita melihat secara sosiologis, bahwa kota Pasuruan disebut sebagai city area pada masa yang akan datang, sehingga sudah selayaknya jika diberikan posisi yang proporsional terhadap kegiatan ekonomi sektor informal khususnya Pedagang Kaki Lima (Bappeda 2004). Hal tersebut perlu diperhatikan
10
sebab berdasarkan beberapa pengalaman, pada umumnya kebijakan reklasifikasi kota maupun indrustrialisasi yang mengutamakan keberadaan ekonomi sektor formal tidak selalu mampu menampung tenaga kerja unskill yang berpendidikan rendah walaupun dalam kuantitas mereka justru lebih dominan dalam suatu komunitas masyarakat. Mereka inilah yang secara umum memasuki sektor ekonomi informal, khususnya menjadi Pedagang Kaki Lima yang bersifat self help tersebut. Mengingat kondisi kota Pasuruan yang secara geografis merupakan interning City, yang menghubungkan antara beberapa kota kecil dengan kota Surabaya, maka kota Pasuruan sangat cocok untuk dipergunakan sebagai buffer zone area yang bersifungsi untuk membendung arus unbanisasi ke Surabaya. Kemungkinan besar akan banyak tenaga kerja yang tertolak atau tidak terserap di sektor formal yang bersifat mekanistik dan sarat akan tenaga kerja terdidik dengan skill yang cukup akan menjadikan kota Pasuruan sebagai tempat peralihan, sehingga keberadaan sektor informal dalam hal ini Pedagang Kaki Lima perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pihak Permerintah Kota guna menampung limbah tenaga kerja yang tertolak di sektor formal tersebut. Selanjutnya, fokus persoalan dari situasi tersebut di atas adalah, bahwa ketika kebijakan yang terkait dengan rencana relokasi PKL ke Mall Poncol tersebut terlontar ke komunitas PKL bersangkutan, maka bermacam-macam respon yang dapat saja bersifat dikotomis-antagonistik bermunculan. Situasi di lapangan dapat diduga akan sulit terhindar dari berbagai perdebatan dan persilangan pendapat, respon pro dan kontra sebagai akibat dari perbedaan interpretasi mereka terkait kebijakan tersebut atau sebagai dampak dari pertarungan dan konflik kepentingan
11
yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi/ faktor-faktor internal dan eksternal PKL kemudian berhubungan dengan alokasi respon mereka. Kebijakan pemerintah yang mungkin didasarkan atas petimbangan berbagai aspek yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara umum, mencakup pertimbangan pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan sistem dan struktur modern, pengalokasian lahan pembangunan kota yang proporsional (kebijakan tata kota), pertimbangan aspek ketertiban dan keteraturan jalan serta lokasi umum/ publik, penegakan supremasi hukum dan peraturan daerah: Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), ketika berhadapan dengan kepentingan sekelompok orang seperti PKL, maka betapapun kebijakan itu terkait dengan kemaslahatan banyak orang niscaya tetap akan sulit terhindar dari berbagai resistensi dan penolakan. Sudut pandang dan kepentingan PKL dengan sudut pandang birokrat (Pemkot) dimana kebijakan itu dibangun seringkali bertentangan, sehingga terkadang idealnya suatu kebijakan tidak serta merta membuat kebijakan itu direspon secara positif secara seragam oleh semua obyek sasaran kebijakan. Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik atau interaksi antar manusia dalam masyarakat, meliputi interaksi dalam struktur sosial maupun dalam bentuk proses-proses sosial yang terjadi di dalam masyarakat memiliki keterkaitan teoritis terhadap kajian kemunculan fenomena respon dalam suatu komunitas masyarakat.
Dalam bingkai
interaksi sosial, respon yang terkait dengan relokasi PKL dapat diamati sebagai hasil dari proses interaksi yang difokuskan dalam alur kerja stimulus dengan kemunculan respon dalam kapasitasnya sebagai produk interpretasi. Sebagai contoh, respon menerima dapat diduga merupakan hasil dari interpretasi positif tentang kebijakan relokasi karena adanya
12
harapan akan mendapat kesempatan berdagang dalam status legal-formal, tertampung dalam lingkaran usaha perdagangan menengah ke atas (prestice), atau optimisme akan mendapat kesempatan untuk lebih mengembangkan usahanya. Namun, melalui analisis rasional subyektif yang dapat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, tingkat pendidikan serta pengetahuan tertentu, atau faktor-faktor internal dan eksternal lainnya, maka tidak sedikit pula yang akan menginterpretasi kebijakan tersebut dengan apatis, artinya memaknai kebijakan relokasi sebagai ancaman bagi kelangsungan usahanya dengan berbagai alasan. Adanya tekanan-tekanan lingkungan sebagai bentuk rangsangan/ stimulus yang menyebabkan sistem sosial berkontraksi sebagai bentuk respon makro sesungguhnya bermula dari adanya respon-respon individu terhadap suatu stimulus. Respon tersebut dapat lahir sebagai kompleksitas norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan kelembagaan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, status dan peran, interaksi sosial dan sebagainya. Respon dapat muncul dalam bentuk yang beragam bahkan terkadang terpola antagonis di antara individu-individu dalam suatu komunitas dikarenakan berbagai faktor internal dan eksternal yang melingkupi individu-individu tersebut memang beragam. Keragaman faktorfaktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi cara memaknai stimulus oleh
setiap individu sehingga mempengaruhi bentuk responnya. Faktor
internal dapat berupa tingkat pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, kemauan dan harapannya, kemampuan yang dapat terkait dengan persoalan teknis dari obyek yang dihadapi, persoalan ekonomis, serta persoalan sosial seperti usia dan pendidikan.
13
Adapun faktor eskternal yang melingkupi seseorang dapat dipahami sebagai suatu komponen ekstern individu (software-hardware) yang berada di luar diri seseorang yang kemudian mempengaruhi interpertasinya sehingga berujung pada suatu bentuk respon yang diambilnya.
1.2. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah berikut ini: 1. Bagaimana interpretasi PKL terhadap kebijakan relokasi ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi interpretasi PKL terhadap kebijakan relokasi ? 3. Bagaimana respon afektif, kognitif, dan konatif PKL terhadap Kebijakan Relokasi ?
1.3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui interpretasi PKL terhadap kebijakan relokasi. 2. Untuk
menganalisis
dan
mendiskripsikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi interpretasi PKL terahadap kebijakan relokasi. 3. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan respon kognitif, afektif dan konatif Pedagang Kaki Lima Pasuruan terhadap Kebijakan Relokasi.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memenuhi tujuan teoritis dan tujuan praktis berikut ini:
14
1. Kegunaan teoritis: Memperkaya kajian keilmuan yang terkait dengan khasanah Ilmu Pengetahuan Sosial, terutama dalam mengamati dan mengakaji fenomena-fenomena sosial yang berkaitan dengan kebijakan dan respon yang dimunculkannya, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi lanjutan untuk pengembangan penelitian kebijakan. 2. Kegunaan praktis: Sebagai masukan bagi instansi yang terkait dengan kebijakan relokasi dalam hal ini Pemkot Pasuruan; Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Pasuruan, Koperasi dan PKM Kota Pasuruan, Deperindag Kota Pasuruan, Dinas Pasar Kota Pasuruan, Dinas PU Cipta Karya Kota Pasuruan, agar dapat mempertimbangkan hasil penelitian sebagai rujukan untuk penetapan dan penerapan kebijakan.