PERCOBAAN 5 RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT-2 (ANTAGONISME)
I. TUJUAN
1.
Mengenal da dan me menjelaskan me mengenai an antagonisme pa pada re reseptor
histamin. 2.
Mengenal, mempraktekkan, dan melaksanakan percobaan yang
melibatkan agonis dan antagonis reseptor histamin. 3.
Menentukan ni n ilai pD p D2 agon agonis is dan dan
anta antago goni niss
(his (hista tami min n
dan dan
difenhidramin).
II. II. DASA DASAR R TEO TEORI RI
Rese Resept ptor or adal adalah ah suat suatu u makr makrom omol olek ekul ul selu selule lerr yang yang secar secaraa spes spesif ifik ik dan dan langsung langsung berikatan berikatan dengan dengan agonis/lig agonis/ligan an (obat, faktor autokrin/p autokrin/parakrin arakrin,, hormon, hormon, sitokin, neurotransmiter) untuk memicu signaling kimia antara dan dalam sel sehingga menimbulkan efek. Reseptor berfungsi untuk mengenal dan mengikat suatu ligan dengan dengan spesi spesifit fitas as tinggi tinggi,, dan meneru meneruska skan n sinyal sinyal terseb tersebut ut ke dalam dalam sel melalu melaluii per perub ubah ahan an
perm permeab eabili ilita tass
memb membra ran, n,
pemb pemben entu tuka kan n secon second d
, dan messen messenger ger
mempengaruhi transkripsi gen. Antagonisme merupakan peristiwa manakala suatu senyawa atau obat mampu meniadakan aksi suatu agonis atau ligan dalam menghasilkan efek. Senyawa tersebut dinamakan sebagai antagonis. Antagonis memiliki afinitas terhadap reseptornya akan tetapi tidak memiliki efikasi.
Reseptor Histamin
Histamin menduduki atau berikatan dengan reseptor melalui dua kutub yaitu gugus gugus imino imino cincin cincin imidaz imidazol ol dan gugus gugus amino amino bebas bebas rantai rantai sampin samping. g. Interak Interaksi si pertam pertamaa yaitu yaitu gugus gugus imino imino cincin cincin imidaz imidazol ol memben membentuk tuk ikatan ikatan reversi reversible ble dengan dengan gugus karbonil terpolarisasi dasri peptide reseptor dan interaksi kedua melibatkan gugus imino bebas rantai samping membentuk ikatan hydrogen dengan residu protein histidin atau arginin. Interaksi lain dapat melibatkan ikatan hidrofobik. Macam reseptor histamin yang telah diketahui adalah sebagia berikut :: 1. Reseptor H1
Reseptor H1 tersebar pada otot polos, endotel dan otak. Interaksi dengan reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot polos usus dan bronki, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan meningkatkan sekresi mucus, yang dihubungkan dengan peningkatan cGMP dalam sel. Interaksi dengan reseptor H1 juga menyebabkan vasodilatasi arteri sehingga permeable terhadap cairan dan plasma protein, yang menyebabkan sembab, pruritik, dermatitis, dan urikaria. Efek ini diblok oleh antagonis H 1. 2. Reseptor H2 Reseptor H2 tersebar pada mukosa lambung, otot jantung dan sel mast juga otak. Interaksi histamine dengan reseptor H 2 dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan kecepatan kerja jantung. Produksi asam lambung disebabkan oleh penurunan cGMP dan peningkatan cAMP. Peningkatan sekresi asam lambung dapat menyebabkan tukak lambung. Efek tersebut diblok oleh antagonis H 2. 3. Reseptor H3 Reseptor H3 tersebar pada presinaptik otak, pleksus, mienterik, dan saraf lainnya. Reseptor H3 tepatnya terletak pada ujung saraf histamine jaringan otak dan jaringan perifer, yang mengontrol sintesis dan pelepasan histamine, mediator alergi lain dan peradangan. Efek tersebut diblok oleh antagonis H 3. 4. Reseptor H4
Anti Histamin
Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Dulu, antihistamin-H 1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H 1. Namun, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist daripada antagonis reseptor histamin H1. Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist , suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik. Penemuan antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan perkembangan
untuk
pemberian
identifikasi
serta
obat secara
tepat. Demikian juga dengan
pengelompokkan
antihistamin.
Sebelumnya,
antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine
dan fexofenadine)
dan enansiomer (levocetirizine).
Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia
jantung
yang lebih
rendah
dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine. (Santoso, dkk. 2008)
Berdasarkan mekanisme terhadap makromolekul reseptor agonis, antagonisme dibagi dua yaitu antagonisme tanpa melibatkan makromolekul reseptor agonis dan antagonisme yang melibatkan makromolekul reseptor agonis. Yang termasuk antagonisme tanpa melibatkan makromolekul reseptor agonis adalah antagonis kimiawi, antagonis farmakokinetik, antagonis fungsional, dan antagonis fisiologi ; sedangkan jenis antagonisme yang melibatkan makromolekul reseptor agonis adalah antagonis kompetitif reversibel, antagonis kompetitif irreversibel, dan antagonis nonkompetitif.
Mekanisme Antagonisme yang Tidak Melibatkan Makromolekul Reseptor
1. Antagonisme kimiawi
Antagonisme yang terjadi pada dua senyawa mengalami reaksi kimia pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan efek obat berkurang. Contoh: chelating agent dimerkaprol atau EDTA untuk mengikat logam. 2. Antagonisme farmakokinetika Antagonisme ini terjadi jika suatu senyawa secara efektif menurunkan konsentrasi obat dalam bentuk aktif pada sisi reseptor. Contoh: fenobarbital menyebabkan konsentrasi warfarin dalam darah berkurang sehingga efek warfarin menurun. 3. Antagonisme fungsional atau fisiologi Antagonisme akibat dua agonis bekerja pada dua macam reseptor yang berbeda dan menghasilkan efek saling berlawanan pada fungsi fisiologis yang sama. Antagonisme fungsional terjadi jika dua macam reseptor yang berbeda tersebut berada dalam sistem sel yang sama, sedangkan antagonisme fisiologi terjadi jikadua macam reseptor tersebut berada pada sistem sel yang berbeda. Contoh antagonisme fungsional: antagonisme antara senyawa histamine dengan
obat
α1-adrenergik
(fenilefrin)
pada
pembuluh
darah
yang
menyebabkan vasodilatasi vs vasokonstriksi. Contoh antagonisme fisiologi: antagonisme glikosida jantung menyebabkan kenaikan tekanan darah dengan dihidralazin menyebabkan penurunan tekanan darah. Kurva pendudukan (interaksi obat dengan reseptor) akan bergeser ke kanan setelah reseptor mengalami antagonisme.
Mekanisme Antagonisme yang Melibatkan Makromolekul Reseptor
1.
Antagonisme kompetitif •
agonis dan antagonis memperebutkan kedudukannya pada reseptor pada sisi ikatan yang sama dengan agonis, atau
•
sisi agonis dan antagonis pada reseptor berdekatan, ikatan anatgonis pada sisi aktifnya mengganggu secara fisik interaksi agonis dengan sisi aktifnya
Tipe antagonisme ini ada dua yaitu: o
antagonis kompetitif terbalikkan
o
antagonis kompetitif tak-terbalikkan : antagonis yang dapat mengikat reseptor secara kuat dan bersifat irreversibel yang
ditandai dengan tidak bisa diatasi dengan penambahan agonis.
2.
Antagonisme non-kompetitif •
suatu agonis yang dapat mengurangi efektifitas suatu agonis melalui mekanisme selain berikatan dengan tempat ikatan agonis pada reseptor (pada allosteric site )
•
sisi agonis dan antagonis berbeda, namun ikatan antagonis pada sisi aktifnya mempengaruhi reseptor agonis sehingga memungkinkan agonis dan antagonis tidak dapat secara bersamaan berinteraksi dengan reseptor
•
sebagian proses antagonisme non-kompetitif bersifat tak-terbalikkan oleh agonis, meskipun beberapa ada yang bersifat terbalikkan
•
contoh : aksi papaverin terhadap histamine pada reseptor histamine-1 otot polos trakea
•
Isomerisasi Reseptor
Isomerisasi reseptor didefinisikan sebagai proses perubahan reseptor dari bentuk R menjadi R* atau AR menjadi AR*. Isomerisasi reseptor adalah proses unutk menguatkan sinyal yang terbentuk sehingga dapat menghasilkan respon fisiologi yang nyata. Kurva pendudukan (interaksi obat dengan reseptor) akan bergeser ke kiri setelah reseptor mengalami isomerisasi.
III.
ALAT DAN BAHAN
Alat
:
Organ bath
Amplifier dan rekorder
Thermostat dan heater
Transduser isotonic
Pipet ukur 0,07-0,2 ml dan 20 ml
Bahan :
Larutan buffer Krebs
Larutan agonis histamin dengan berbagai kadar 2x10-6 ; 2x10-5 ; 2x10-4 ; 2x103
; 2x10-2 ; 2x10-1 M
Untuk antagonis reseptor histamin dapat digunakan difenhidramin konsentrasi 2x10-4 M dan 2x10 -3 M
IV.
Organ trakea marmut
Gas Karbogen
Kertas grafik
CARA KERJA Preparasi Organ Trakhea
Marmut dikorbankan dengan cara dislokasi tulang belakang kepala (cervix)
Letakkan marmot pada papan fiksasi
Bedah bagian dada atas sampai bagian leher
Ambil trakhea, bersihkan dari lemak dan jaringan yang menempel
Setelah bersih, trakea dipotong tulang rawannya sedemikian rupa sehingga didapat pita trakea
Ikat organ pada organbath yang telah diisi larutan buffer krebs hingga terendam sempurna, aliri dengan karbogen
Atur kedudukan tuas pencatat sesuai posisi yang seharusnya
Uji Farmakologi
Setelah preparasi organ, lakukan ekuilibrasi trakea selama 60 menit dengan penggantian larutan dapar Krebs tiap 15 menit
Lakukan pengukuran kontraksi otot polos trakea terhadap berbagai peringkat dosis agonis histamin
(pemberian volume dosis agonis histamin dapat dilihat pada tabel)
Organ dicuci selama 60 menit dengan penggantian larutan dapar Krebs tiap 10 menit
Untuk percobaan antagonisme, ditambahkan dulu selama 10 menit antagonisnya
Lakukan pengukuran kontraksi histamin
Analisis Data
Data respon yang timbul diubah ke nilai persen dari respon maksimal
Hitung pD2 dan ED50
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI MOLEKULER
RESEPTOR SEBAGAI TARGET AKSI OBAT-2 (ANTAGONISME)
Nama Praktikan
: Navista Sri Octa U.
(FA/7687)
Mega Hayu Sasfitri
(FA/7692)
Ayu Dwi Utami
(FA/7697)
Fenny
(FA/7701)
Golongan
: IV
Kelas
: FSI 2006
Tanggal Praktikum
: 13 November 2008
Dosen jaga
:
Asisten jaga
: Ari
Asisten koreksi
:
LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2008