REFRAT PSIKOGERIATRI
Disusun oleh: Anindita Putri H.
G99141012
Siska Dewi A.
G99141013
Candra Aji S.
G99141014
Avamira Rosita P.
G99141015
Elizabeth Puji Y.
G99141016
Pembimbing: Istar Yuliadi, dr., M.Si
PENDIDIKAN DOKTER TAHAP PROFESI BAGIAN KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2015
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan refrat yang berjudul: “Psikogeriatri”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan refrat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbinan dan nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K) Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K) Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K) Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K) Yusvick M. Hadim, dr., Sp.KJ Djoko Suwito, dr., Sp.KJ I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ Makmuroch, Dra., MS Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes Istar Yuliardi, dr., M.Si Rochmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes RH Budi M, dr., Sp.KJ (K) Maria Rini I, dr., Sp.KJ Adriesti H, dr., Sp.KJ (K) Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ Penulis menyadari bahwa refrat ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan refrat ini. Semoga refrat ini bermanfaat bagi kita semua. Februari 2015 Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
ii
Daftar isi
iii
BAB I Pendahuluan
1
BAB II Proses Penuaan pada Lanjut Usia
3
A. Batasan Lanjut Usia
3
B. Proses Penuaan
3
C. Proses Penuaan yang Normal
11
D. Proses Penuaan yang Sukses
14
BAB III Faktor Risiko Gangguan Mental
15
A. Faktor Sosial Demografi
15
B. Penyakit Kronis
17
C. Penggunaan Obat dan Alkohol
18
D. Kemandirian Fisik
18
E. Religi
18
F.
18
Dukungan Sosial
G. Status Gizi
19
H. Riwayat Gangguan Jiwa (Skizofrenia)
19
BAB IV Pemeriksaan Psikiatrik pada Pasien Lanjut Usia A. History Taking
20 20
B. Mental Status Examination
22
BAB V Epidemiologi Gangguan Mental pada Pasien Lanjut Usia
28
BAB VI Gangguan Mental pada Lanjut Usia
30
A. Demensia
30
B. Gangguan Depresif
35
C. Gangguan Bipolar
37
3
D. Skizofrenia
38
E. Gangguan Delusional
41
F.
42
Gangguan Kecemasan
G. Gangguan Somatoform
44
H. Gangguan Tidur
45
I.
47
Gangguan Penggunaan Alkohol dan Zat Lain
BAB VII Gejala Perilaku dan Psikologis Demensia
49
BAB VIII Permasalahan Sosial, Ekonomi, dan Psikologi Lansia
55
A. Perubahan Aspek Psikososial
55
B. Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan
56
C. Perubahan dalam Peran Sosial di Masyarakat
58
D. Perubahan Minat
58
E. Perubahan Berkaitan dengan Aspek Psikologis
59
BAB IX Penatalaksanaan Gangguan Psikiatri pada Pasien Lanjut Usia
60
A. Terapi Psikofarmakologis
60
B. Psikoterapi
61
BAB IX Kesimpulan
63
Daftar Pustaka
iv
4
BAB I PENDAHULUAN Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan menangani masalah kesehatan pada usia lanjut. Psikiatri geriatrik atau psikogeriatri adalah psikiatri mengenai orang usia lanjut (Maramis, 2009). Pada psikogeriatri dipelajari mengenai pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologik atau psikiatri pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatri, analog dengan psikiatri anak. Usia lanjut bukanlah sebuah penyakit melainkan sebuah fase dalam siklus kehidupan yang memiliki karakter tersendiri pada setiap fase perkembangan. Usia lanjut terkait dengan matangnya pemikiran yang bijak yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya, salah satu tugas pada usia lanjut yang dikemukakan oleh Erik Erikson tentang usia lanjut yang sehat yaitu integritas dan bukan putus asa. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut Depkes RI pada tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77% dari total penduduk. Beberapa masalah khusus dalam usia lanjut
adalah gangguan fisik
(penyakit) yang berhubungan dengan usia lanjut, kehilangan dalam bidang sosial ekonomi (pensiun dari pekerjaan), masalah seks pada usia lanjut bila terdapat anggapan-anggapan yang keliru, dll (Maramis, 2009). Masalah-masalah tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis pada orang usia lanjut. Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi, namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25% memiliki gejala psikiatri yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.
1
Pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku pada dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis, patogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara patogenesis dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif. Referat ini membahas secara singkat mengenai macam-macam gangguan psikiatri yang mungkin terjadi pada pasien lanjut usia, berhubungan dengan proses penuaan yang terjadi. Pemeriksaan psikiatri yang baik diperlukan untuk dapat mendiagnosis gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia dan pengetahuan akan
proses
penuaan
berpengaruh
terhadap
direncanakan.
2
penatalaksaan
yang
akan
BAB II PROSES PENUAAN PADA LANJUT USIA A. BATASAN LANJUT USIA WHO (1989) telah mencapai konsensus bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia (elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih. Menurut Departemen Kesehatan RI, batasan lanjut usia adalah seseorang dengan usia 60-69 tahun. Sedangkan usia lebih dari 70 tahun dan lanjut usia berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan seperti kecacatan akibat sakit disebut lanjut usia resiko tinggi. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut Depkes RI pada tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai 2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77% dari total penduduk. Diperkirakan pada akhir tahun 2030, populasi penduduk lanjut usia keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun 2050 mencapai 82 juta. B.
PROSES PENUAAN Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Setiati et al., 2007). Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian dunia medis terhadap proses penuaan dan permasalahan yang timbul pada orang usia lanjut meningkat. Banyak penelitian dilakukan untuk lebih memahami proses penuaan baik dari segi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Para peneliti menyadari pentingnya membedakan proses penuaan yang fisiologis dan penuaan yang bersifat patologis. Efek proses penuaan yang fisiologis penting
3
untuk dipahami sebagai dasar respons terhadap pengobatan atau terapi serta komplikasi yang timbul. Variabel-variabel fisiologis seperti kardiovaskuler, sistem imun, endokrin, ginjal, dan paru, menunjukan penurunan fungsi dan perubahan seiring dengan meningkatnya usia. Namun, perubahan pada salah satu organ akibat usia tidak menjadikannya sebagai prediktor atau tolak ukur bahwa akan terjadi perubahan-perubahan pada organ yang lainnya. Sebagai contoh, seseorang yang tampak sehat pada usianya yang ke-60 ternyata ditemukan curah jantungnya menurun. Hasil pemeriksaan tersebut tidak bernilai dalam memprediksikan kapan ginjal, kelenjar tiroid, sistem saraf simpatis, atau organ lain orang tersebut mengalami perubahan. Perubahan fisiologis dengan tidak disertainya suatu penyakit yang terjadi pada individu yang lebih tua merupakan hal yang tidak berbahaya dan bukan merupakan suatu faktor risiko yang signifikan. Perubahan fisiologis pada usia “normal” yang tidak disertai dengan penyakit sangat bervariasi. Akan tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik seperti gaya hidup, diet, aktivitas, nutrisi, paparan lingkungan, dan komposisi tubuh memegang peran yang penting. Perjalanan dari perubahan fisiologis
atau psikologis
dengan
bertambahnya usia pada masing-masing individu dipengaruhi proses penuaan intrinsik dan bermacam faktor ekstrinsik, contohnya genetik, pengaruh lingkungan, gaya hidup, diet, faktor psikososial. Ada perubahan yang terjadi seiring dengan peningkatan usia yang tampak menyerupai
gejala klinis namun sesungguhnya berbeda, hal ini
menyebabkan sulitnya mendiagnosis secara tepat pada orang usia lanjut (Kaplan et al., 2010 dan Busse et al., 1997). Proses penuaan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses normal yang harus dimengerti dengan jelas untuk mendiagnosis secara tepat kemudian memberikan penatalaksanaan yang tepat sehingga beban yang dirasakan akibat penyakit dapat berkurang. Namun, perubahan fungsi beberapa organ patut diperhitungkan dalam pemberian terapi farmasi agar
4
tepat sasaran dan tidak membahayakan. Beberapa teori tentang menua yang dapat diterima saat ini, antara lain : 1. Teori “radikal bebas” menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen penting selular, termasuk protein, DNA dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya. Proses menua normal merupakan akibat kerusakan jaringan oleh radikal bebas. 2. Teori “glikosilasi” yang menyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein dapat menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang ermodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada hewan atau manusia yang menua. 3. Teori DNA repair menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju perbaikan kerusakan DNA yang diinduksi sinar UV pada berbagai fibroblas yang dikultur. Membicarakan fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dari pengenalan
konsep
homeostenosis.
Homeostenosis
yang
merupakan
karakteristik fisiologi penuaan adalah keadaan penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi seiring meningkatnya usia pada setia sistem organ (Setiati et al., 2007).
5
Beberapa perubahan yang terjadi pada berbagai sistem tubuh selama proses penuaan :
Gambar 1. Perubahan Sistem Tubuh Terkait dengan Proses Penuaan (Setiati et al., 2007)
C.
PROSES PENUAAN YANG NORMAL Pertanyaan yang sering muncul dalam kaitannya dengan proses penuaan adalah “Apakah proses penuaan tersebut berlangsung normal ataukah merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh penyakit?” Ketentuan utama dalam mempelajari kondisi psikiatri geriatri adalah bukan hanya karena sesuatu terjadi secara umum maka hal tersebut lantas dianggap merupakan kondisi yang normal. Misalnya penyakit Alzheimer yang banyak terjadi pada hampir 50% individu usia lanjut ketika berusia 80 tahunan bukan merupakan suatu keadaan yang normal dalam kaitannya dengan proses penuaan melainkan merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan. Demikian halnya dengan gangguan atau perubahan perilaku yang terjadi pada geriatri dengan gangguan Alzheimer bukan merupakan hal yang normal walaupun memang hampir 85% penderita Alzheimer mengalami gangguan berperilaku. Menurut Sakauye (2008), proses penuaan yang normal adalah suatu proses yang terdiri atas perubahan-perubahan yang terjadi secara umum, yang seringkali tidak disadari oleh individu tersebut, serta yang tidak menimbulkan disabilitas maupun gangguan fungsi peran. Perubahan-perubahan yang banyak terjadi pada usia lanjut disebutkan dalam tabel berikut, beberapa diantaranya merupakan proses perubahan yang dapat dikatakan normal sebab tidak sampai menimbulkan gangguan/ disabilitas atau tidak membutuhkan pengobatan tertentu. Meskipun demikian perubahan-perubahan tersebut tetap mengakibatkan terjadinya perubahan dalam hal toleransi obat, penurunan kemampuan absorbsi, distribusi, dan metabolisme obat, selain itu dalam kondisi lainnya juga terkadang dapat mempengaruhi haparan/ ekspektasi diri seseorang, fleksibilitasnya, serta cara berperilakunya.
Aspek Biologis Penurunan postur
Aspek Psikologis Penurunan daya
Aspek Sosial Menjadi kakek-
Aspek Kognitif Kemampuan
kognitif dan proses
nenek
meningkatkan
pikir
fungsi intelektual
Penurunan massa
Penurunan
Merasakan
berkurang Disorientasi
otot hingga 80%
kemampuan
kematian dari
mengambil risiko
orang tua atau
Peningkatan +/-
Berusaha
teman Pensiun dari
Lambat dalam
35% dari total
mempertahankan
pekerjaan
mengingat kembali
lemak tubuh
gairah seksual
memori-
meskipun
memorinya
performa sudah Atrofi kulit
Katarak
menurun Rigiditas
Upaya
Mengalami
memperbanyak
kesulitan dalam hal
tabungan Mulai menarik diri
mengingat
Motivasi berubah menjadi kebutuhan
dari aktivitas sosial
akan otonomi dan Presbiakusis Presbiopia
keterlibatan Eksentrik Mulai kenal akan
Penebalan otot
kematian Berbicara lebih
venrikel jantung Penurunan
blak-blakan. Lebih tergangtung
kapasitas vital paru
pada lingkungan
dan kekakuan rambut silia Perubahan irama
Takut untuk
sikardian Aspek Biologis Atrofi sel lambung
tinggal sendirian Aspek Psikologis Mudah cemas dan
Kerusakan
panik Afek labil
selubung mielin Penurunan imunitas tubuh Penurunan kemampuan perfusi ginjal Menopause Penurunan produksi hormon testosteron Penurunan performa seksual
Aspek Sosial
Aspek Kognitif
Tabel 1.
Perubahan yang Banyak Terjadi pada Usia Lanjut (Sakauye, 2008) Berikut merupakan tabel yang menyajikan perbandingan antara perubahan-perubahan yang normal dengan yang tidak normal dalam kaitannya dengan proses penuaan. Normal Berbicara lebih blak-blakan Mengeluhkan perihal kemampuan
Tidak normal Afek labil/ mudah emosi Disorientasi
mengingat Pikiran hipokondriasis ringan Kewaspadaan yang sedikit berlebihan Lambat dalam mengingat kembali
Ketergantungan yang berlebihan Ketakutan untuk hidup sendiri Penarikan diri dari aktivitas dan interaksi
memorinya Pembicaraan yang tampak seperti
sosial di masyarakat (social isolation) Cemas dan mudah panik
penyampaian cerita
Tabel 2. Perubahan Normal dan Tidak Normal pada Lansia (Sakauye, 2008) D.
PROSES PENUAAN YANG SUKSES Penuaan yang berhasil diartikan sebagai kehidupan lansia dengan kepuasan/ kebahagiaan yang positif disertai dengan kondisi fisik dan mental yang sehat. Keberhasilan ini sangat berkaitan dengan banyak faktor, dapat berupa faktor yang bisa dikontrol seperti gaya hidup maupun faktor yang tidak bisa dikontrol seperti genetik, namun dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor yang paling mempengaruhi keberhasilan dalam proses penuaan adalah faktor-faktor yang dapat dikendalikan/ dikontrol. Tabel berikut akan menunjukkan faktor-faktor apa saja yang berperan dalam pencapaian keberhasilan selama penuaan. Faktor yang sangat berpengaruh Tingkat pendidikan Gaya hidup yang sehat Hubungan dekat yang baik Perilaku mental yang positif atau
Faktor yang tidak signifikan Tingginya derajat orang tua Masa kecil yang temperamental Masa kecil yang hangat Genetik yang baik dengan riwayat usia
kepribadian yang dewasa Kemampuan menahan diri untuk tidak
hidup yang panjang
mudah komplain/ mengomel
Tabel 3. Faktor-faktor Kesuksesan selama Penuaan (Sakauye, 2008)
BAB III FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA LANSIA A. Faktor Sosial Demografi 1. Umur Menurut Koenig dan Blazer (2003) menjelaskan bahwa resiko gangguan mental emosional pada pasien seseudah berusia 50 tahun lebih disebabkan faktor biologi yang mungkin disebabkan perubahan pada sistem syaraf pusat. Hal ini yang mungkin menyebabkan terjadinya depresi. Menurut penelitian Marini (2008) umur lansia yang berusia diatas 70 tahun lebih beresiko mengalami gangguan mental emosional. 2. Jenis Kelamin Diagnostik gangguan mental adalah sama untuk semua jenis kelamin, namun wanita lebih rentan terkena gangguan mental emosional karena disebabkan perubahan hormonal dan perbedaan karakteristik antara laki-laki dan perempuan, selain perubahan hormonal, karakteristik wanita yang lebih mengedepankan emosional dibandingkan rasional juga memiliki peranan. Ketika menghadapi suatu masalah wanita cenderung menggunakan perasaan (Marini, 2008). 3. Status Perkawinan Gangguan mental emosional lebih banyak terjadi pada lanjut usia yang hidup sendiri baik karena bercerai atau memang tidak menikah. Menurut Stuart dan Sandra (2001) bahwa orang yang cerai, pisah, janda/duda atau belum kawin cenderung beresiko tinggi melakukan bunuh diri dibanding yang sudah kawin. 4. Tingkat Pendidikan Pendidikan yang makin tinggi dapat menghasilkan keadaan sosial ekonomi yang makin baik dan kemandirian yang makin mantap. Berdasarkan penelitian Darmojo (1992) di Semarang didapatkan bahwa tingkat pendidikan seorang usia lanjut berbanding positif langsung dengan tingkat
kesehatannya (Darmojo, 2004). Pendidikan rendah dihubungkan dengan meningkatnya risiko untuk terjadinya dimensia dan terjadinya depresi pada penelitian-penelitian sebelumnya didapatkan bahwa depresi lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia dengan tingkat pendidikan rendah (< 9 tahun bersekolah). 5.
Status Pekerjaan Pada umumnya setelah orang memasuki lansia, ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara fungsi psikomotor (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak, seperti gerakan, tindakan, dan koordinasi, yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto dan Cokro, 2009). Tuckman dan Lorge (dikutip dari Stieglitz, 1954) menemukan bahwa pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara orang-orang tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan sisanya sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Pensiun setelah bertahun-tahun bekerja dapat membahagiakan dan memenuhi harapan, atau hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental. Setelah pensiun beberapa orang tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami hari
yang
panjang.
Beberapa
lansia
tidak
termotivasi
untuk
mempertahankan penampilan mereka ketika mereka tidak atau hanya sedikit melakukan kontak dengan orang lain diluar rumahnya (Stanley dan Patricia, 2006). Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi orang yang telah pensiun. Identitas biasanya berasal dari peran kerja, sehingga individu harus membangun identitas baru pada saat pensiun. Mereka juga kehilangan struktur pada kehidupan harian saat mereka tidak lagi memiliki jadwal kerja. Interaksi sosial dan interpersonal yang terjadi pada
lingkungan kerja juga telah hilang. Sebagai penyesuaian, lansia harus menyusun jadwal yang bermakna dan jaringan sosial pendukung (Potter dan Perry, 2009). 6. Status Sosial Ekonomi Ketika seseorang sakit maka tidak akan terlalu berdampak buruk pada orang yang berpenghasilan tetapi bagi yang tidak berpenghasilan dapat menimbulkan goncangan ekonomi sehingga dapat menimbulkan stress atau gangguan mental (Depkes, 2004). Menurut beberapa penelitian tingkat sosial ekonomi keluarga juga merupakan salah satu faktor yang menentukan gangguan emosional, semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung stabilitas dan kebahagian keluarga. Apabila status ekonomi pada tahap yang sangat rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi inilah yang akan menimbulkan konflik dalam keluarga yang menyebabkan gangguan mental emosional (Murti, 1997). B. Penyakit Kronis Pengaruh penyakit kronik pada usia lanjut dapat menimbulkan gangguan mental emosional melalui cara yang tidak langsung yaitu karena adanya keterbatasan mobilitas, ketergantungan orang lain, dan nyeri yang terus menerus atau ketidaknyamanan. Pengalaman klinis menyebutkan bahwa bukan keparahan penyakit atau ancaman kematian yang mengganggu kesehatan mental usia lanjut tetapi adanya berbagai kehilangan akibat penyakit tersebut yang mempunyai hubungan erat dengan gangguan mental emosional (Soedjono et al., 2006). Menurut Koenig dan Blazer (2003) yang menjelaskan bahwa satu faktor risiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit fisik (kronis). Perubahan perilaku dalam gangguan mental emosional disebabkan oleh penyakit biologis perilaku yang menyimpang berhubungan dengan toleransi responden terhadap stress (Stuart dan Sandra, 2001).
Penyakit kronik adalah penyakit tidak menular dan menular yang diderita berlangsung lama, beberapa penyakit tidak menular yang beresiko menyebabkan gangguan mental adalah hipertensi, gangguan sendi dan DM. C. Penggunaan Obat dan Alkohol Lansia dengan penyalahgunaan obat memiliki risiko gangguan mental cemas sebesar 13,8 kali dan depresi sebesar 18,8 kali. Etiologi yang berhubungan dengan pengguna alkohol adalah genetika dan psikososial yang meliputi : status sosial ekonomi dan riwayat kesulitan sekolah. D. Kemandirian Fisik Kemandirian pada usia lanjut dinilai dari kemampuannya untuk melakukan aktifitas sehari-hari (Activities of Daily Life = ADL) apakah mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi dan lain sebagainya. Jika terdapat faktor kehilangan fisik yang mengakibatkan hilangnya kemandirian maka akhirnya akan meningkatkan kerentanan lansia terhadap depresi (Soedjono et al., 2006). E. Religi Tingkat spiritualitas/ religiusitas terbukti besar berpengaruh terhadap kesehatan jiwa berbagai penelitian yang dilakukan terhadap usia lanjut antara lain: -
Lansia yang non religius angka kematiannya dua kali lebih besar
-
dibandingkan usia lanjut yang religius. Lansia yang non religius kurang tabah dan kurang mampu mengatasi stres dibandingkan usia lanjut yang religius sehingga lebih sering
mengalami gangguan jiwa. F. Dukungan Sosial Adanya dukungan sosial yang tinggi dilaporkan dapat melindungi diri dari kejadian depresi pada usia lanjut. Pekerjaan, usia, hobi, tingkat kepercayaan diri, pasangan hidup beserta tingkat keakrabannya, dan kejadian kehidupan yang menyedihkan dapat mempercepat terjadinya depresi/ gangguan mental (Goldberg, 2007). G. Status Gizi
Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi pada lansia. Beberapa penelitian yang dilaksanakan menunjukkan bahwa masalah gizi pada lansia sebagian besar merupakan masalah gizi berlebih dan kegemukan yang memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, DM, batu empedu, rematik, ginjal dan kanker (Maryam, 2008). H. Riwayat Gangguan Jiwa (Skizofrenia) Faktor keturunan yang mempengaruhi kesehatan seseorang dimana kasus tertentu seperti retardasi mental. Berdasarkan teori neurologi dan adanya faktor konstitusi menunjukkan bahwa faktor genetik keseluruhan ataupun yang diperolehnya kemudian disebutkan dapat berperan dalam kemungkinan terjadinya gangguan depresi (Maramis, 2009).
BAB IV PEMERIKSAAN PSIKIATRIK PADA PASIEN LANJUT USIA Format pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku pada dewasa muda. Pasien yang lebih tua yang tidak memiliki riwayat kejiwaan sebelumnya mungkin tidak nyaman dengan semacam pemeriksaan psikiatri dan mengharapkan suatu pendekatan yang lebih bersifat medis. Beberapa pasien orang tua kemungkinan justru menyampaikan keluhan fisik daripada psikologis, terutama jika pasien mempunyai kondisi depresi atau cemas. Dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada pasien lanjut usia. Jika pasien mengalami gangguan kognitif, riwayat tersendiri harus didapatkan dari anggota keluarga atau pengasuhnya. Namun, penderita juga tetap harus diperiksa tersendiri (walaupun terlihat adanya gangguan yang jelas) untuk mempertahankan privasi hubungan dokter dan penderita dan untuk menggali adakah pikiran bunuh diri atau gagasan paranoid dari penderita yang mungkin tidak diungkapkan dengan kehadiran sanak saudara atau seorang perawat (Kaplan et al., 2009). A. HISTORY TAKING Prinsip-prinsip dalam history taking serupa dengan pada orang dewasa umumnya: Membangun hubungan, membuat pasien merasa nyaman, dan menjaga privasi serta kerahasiaan. Pendekatan medis sering diharapkan dan disegani oleh pasien yang lebih tua. Banyak pasien lanjut usia yang tidak akan mengungkapkan keluhan yang sebenarnya kecuali jika jelas ditanya (Kaplan et al., 2009). 1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien harus didorong untuk menggambarkan riwayat penyakit dan gejala saat ini dalam sebuah wawancara terbuka, dengan pertanyaanpertanyaan yang lebih terstruktur. Onset dan perjalanan gejala harus dievaluasi dalam kaitannya dengan perubahan lain termasuk kehilangan
orang yang dicintai, perubahan signifikan dalam lingkungan sosial, kegiatan setiap hari, penggunaan obat serta respon yang dicapai dan penyakit medis penyerta. Keluarga dan sumber informasi harus diberi kesempatan untuk memberikan informasi mengenai keadaan pasien menurut penilaian mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan pasien atau secara terpisah, terutama didasarkan pada keinginan pasien. Gejala-gejala yang perlu ditanyakan kepada pasien dengan ganggua kognitif, antara lain: kesulitan dalam mengingat, berpikir, maupun berkonsentrasi, lupa akan peristiwa yang baru, lupa di mana meletakkan benda, masalah dalam menemukan kata yang tepat untuk menyampaikan sesuatu, tersesat di tempat-tempat yang sudah sering dilewati, serta kesulitan dalam mengelola keuangan. Pasien yang berusia di atas 65 tahun sering memiliki keluhan subyektif adanya gangguan daya ingat yang ringan, seperti tidak mengingat nama orang atau keliru meletakkan benda. Masalah kognitif ringan juga dapat terjadi karena kecemasan dalam situasi wawancara. Fenomena
ini
dapat
dijelaskan
dalam
istilah
benign
senescent
forgetfulness. 2. RIWAYAT PSIKIATRI Evaluasi riwayat psikiatri harus mencakup perjalanan penyakit, jenis pengobatan (psikoterapi, obat-obatan, terapi electroconvulsive) dan respon
terhadap
perawatan
tersebut.
Riwayat
depresi,
gangguan
kecemasan, psikosis atau skizofrenia serta pengobatan yang sudah diterima saat episode sebelumnya dan saat ini. 3. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Informasi mengenai riwayat penyakit keluarga sebaiknya ditanyakan kepada pasien terlebih dahulu kemudian keluarganya atau kepada pasien bersamaan dengan keluarganya. Urutan ini sangat penting dalam evaluasi pasien dengan gangguan kognitif. Sebuah genogram sangat membantu dalam menggambarkan hubungan kekeluargaan dan psikiatri, neurologi, serta penyakit medis lainnya dalam generasi yang berbeda.
4. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI Rincian harus diperoleh tentang status perkawinan pasien, situasi hidup, latar belakang pendidikan, riwayat pekerjaan, dan sifat hubungan penting bagi pasien. Kepribadian premorbid tidak terbawa hingga usia tua, namun dampaknya terhadap penyakit pada lansia bervariasi. Kepribadian itu sendiri dapat berubah dengan penuaan. Perubahan ini diduga ditentukan oleh lingkungan, tetapi juga dapat didasarkan pada perubahan neurobiologi. Riwayat penggunaan dan penyalahgunaan alkohol dan zat lain perlu ditanyakan. 5. PEMERIKSAAN MEDIS Setiap orang dewasa yang lebih tua membutuhkan pemeriksaan medis berkala. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan mengingat banyaknya perubahan fisiologis yang terjadi pada proses penuaan. Defisit neurologis, gangguan endokrin, penyakit jantung, keganasan tersembunyi, dan infeksi adalah penyebab potensial gangguan kognitif, agitasi, depresi, dan terkadang psikosis. Infeksi saluran kemih, yang dapat terjadi tanpa demam, adalah penyebab umum dari penurunan kognitif dan delirium. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis dan mendeteksi kondisi yang dapat diobati. Tomografi komputer, pencitraan resonansi magnetik, atau pemeriksaan penunjang lainnya dapat diindikasikan bilamana ditemukan perubahan status mental yang belum jelas. Termasuk medikasi yang saat ini sedang digunakan untuk mengatasi penyakit fisiknya dan mengetahui apakah ada efek samping psikiatriknya (Kaplan et al., 2009). B. MENTAL STATUS EXAMINATION 1. OBSERVASI TINGKAH LAKU Bagian pertama dari pemeriksaan status mental adalah observasi umum penampilan pasien, kebersihan pribadi, aktivitas motorik, setiap perilaku yang tidak biasa, ucapan, sikap terhadap pemeriksa, dan adanya alat bantu pendengaran dan visual. Kebersihan yang buruk menunjukkan
lama gangguan depresi, gangguan psikotik, atau demensia, terutama dengan tidak adanya dukungan sosial. Sebaliknya, pasien sakit jiwa dengan demensia mungkin tampak rapi karena upaya pengasuh. 2. GANGGUAN BAHASA DAN PIKIRAN Bicara dan berbahasa sangat penting untuk dinilai pada orang dewasa yang lebih tua. Kualitas, kuantitas, dan kelancaran berbicara perlu dicatat. Ucapan dapat normal responsif, cepat, dipaksa, keras atau emosional, lambat, monoton, kurang spontanitas, atau tidak jelas. 3. PERSEPSI Gangguan persepsi termasuk halusinasi dan ilusi. Halusinasi dapat sederhana atau kompleks dan terorganisir. Halusinasi sementara terjadi pada demensia dan pada pasien dengan gangguan pendengaran atau defisit visual. Gangguan kemampuan untuk mengidentifikasi bau atau hiposmia adalah fitur dari penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson. Kehilangan memori dan disorientasi membantu mengidentifikasi masalah sebagai sesuatu yang berhubungan dengan demensia. 4. MOOD DAN AFEK Mood adalah keadaan emosi subjektif, dan afek adalah keadaan emosional obyektif. Banyak pasien lanjut usia menggambarkan suasana hati mereka secara akurat sebagai depresi atau cemas, tetapi beberapa cenderung untuk menolak dan menekannya. Sebagai contoh, seorang wanita tua yang menangis mungkin mengatakan bahwa dia tidak tertekan. Somatisasi biasa terjadi pada pasien lansia, terutama gejala gastrointestinal seperti sembelit. Beberapa pasien tidak yakin jika mereka mengalami depresi karena mereka mulai kehilangan minat dalam aktivitas tetapi tidak merasakan mood depresi yang jelas. Depresi biasa terjadi dalam berbagai sindrom neuropsikiatri lainnya, termasuk demensia, stroke, dan penyakit Parkinson. Geriatric Depression Scale adalah instrumen penyaring yang berguna untuk memeriksaan depresi pada pasien lanjut usia, pertama kali dibuat oleh Yesavage et al. (1982).
Gambar 2. Geriatric Depression Scale (Yesavage et al., 1982)
5. KEINGINAN BUNUH DIRI DAN MEMBUNUH Penyelidikan harus dilakukan mengenai keinginan bunuh diri dan membunuh. Keinginan bunuh diri harus diperiksa dengan terlebih dahulu menanyakan apakah pasien berpikir bahwa hidup tidak layak hidup. Sebuah respon positif harus mengarah pada pertanyaan-pertanyaan lanjutan tentang apakah ada rencana bunuh diri atau riwayat percobaan bunuh diri. 6. SENSORIUM DAN KOGNISI Evaluasi sensorium dan kognisi sangat penting dan esensial pada pasien lansia. Setiap kali ada dugaan gangguan kognitif pada riwayat, penting untuk melaksanakan tes skrining seperti Mini-Mental State Examination (MMSE). Keterampilan yang dapat diuji dalam komponen evaluasi ini meliputi perhatian dan konsentrasi, pembelajaran, mengingat, pengenalan kembali setelah penundaan (memori), pemahaman, kefasihan lisan, pengulangan, dan penamaan (bahasa), kemampuan visuospatial, perhitungan, praksis, fungsi eksekutif inisiasi, perseverasi, kontrol respon, sintesis dan integrasi, serta mengubah set mental (fungsi lobus frontal).
Gambar 3. Mini Mental State Examination (Folstein et al., 1975) 7. FUNGSI SEHARI-HARI Penilaian fungsi sehari-hari sangat penting dalam evaluasi pasien lansia. Aktivitas kehidupan sehari-hari/ Activities of Daily Living (ADL) dapat diklasifikasikan ke dalam ADL dasar (misalnya, makan, berpakaian, dan pergi ke toilet), ADL instrumental (misalnya, memasak, belanja, dan binatu), dan fungsi sosial dan kognitif yang lebih kompleks yang
membutuhkan upaya intelektual yang lebih besar. ADL dasar dan instrumental perlu dikaji pada pasien lanjut usia, terutama ketika diagnosis demensia sedang dipertimbangkan. 8. TILIKAN DIRI Tilikan mengacu pada kemampuan pasien untuk memahami gejala mereka sendiri dan penyebab potensialnya. Tilikan terganggu di sebagian besar penyakit mental sedang sampai penyakit mental parah dan dapat hilang dalam demensia berat. Pertimbangan atau judgement dapat dinilai selama wawancara dengan bertanya tentang pendapat pasien. 9. EVALUASI NEUROLOGIS Pemeriksaan kejiwaan, kognitif, dan neurologis tumpang tindih secara bermakna pada orang dewasa tua. Pada pasien yang mengalami gangguan kognitif, gejala atau tanda-tanda neurologis fokal, pemeriksaan neurologis sangat penting. Semua komponen pemeriksaan neurologis pasien lansia yang sebaiknya dilakukan adalah fungsi frontal lobe, fungsi basal ganglia (pemeriksaan untuk tanda-tanda ekstrapiramidal), motorik dan fungsi sensorik, refleks, koordinasi, serta evaluasi penglihatan dan pendengaran.
BAB V EPIDEMIOLOGI GANGGUAN MENTAL PADA PASIEN LANJUT USIA . Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi, namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25% memiliki gejala psikiatri yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional berdasarkan Self Reported Questionnarie secara nasional adalah 6,0% (37.728 orang dari subyek yang dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah (11,6%), sedangkan yang terendah di Lampung (1,2%). Prevalensi gangguan mental emosional menurut umur pada laporan Riskesdas 2007 dan 2013 disajikan dalam grafik berikut.
Gambar 4. Prevalensi Gangguan Mental Emosional menurut Kelompok Umur (Riskesdas, 2013) Prevalensi gangguan mental emosional meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok yang
memiliki pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah, yaitu 21,6%), kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di pedesaan (12,3%), serta pada kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah. Riskesdas 2013 juga mengumpulkan data mengenai gangguan jiwa berat (psikosis). Pada hasil riset, prevalensi psikosis tertinggi adalah di DI Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 permil (Rikesdas, 2013).
BAB VI GANGGUAN MENTAL PADA LANJUT USIA Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institude of Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering pada lanjut usia adalah gangguan depresi, gangguan kognitif, fobia dan gangguan pemakaian alkohol (Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Kaplan et al., 2010b). Hal ini juga diutarakan oleh WHO pada tahun 2013 bahwa masalah neuropsikiatri yang banyak terjadi pada usia lanjut adalah demensia dan depresi dan gangguan kecemasan (WHO, 2013). WHO juga mengutarakan mengenai faktor risiko masalah kesehatan mental pada usia lanjut. Banyak faktor sosial, psikologis, dan biologis yang menentukan kesehatan mental seseorang pada beberapa keadaan tertentu. Perlu diketahui bahwa banyak orang lanjut usia merasa kehilangan kemampuannya untuk hidup secara bebas karena keterbatasan gerak, nyeri kronis, kelemahan atau masalah mental dan fisik lainnya dan membutuhkan beberapa bentuk perhatian dalam jangka panjang (WHO, 2013). Faktor resiko psikososial diantaranya adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi, keterbatasan finansial dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan et al., 2010b). Lanjut usia juga memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri dan gejala psikiatrik akibat obat. Banyak gangguan mental pada lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan atau bahkan dipulihkan namun jika tidak didiagnosis dengan akurat dan diobati tepat waktu, kondisi tersebut dapat berkembang menjadi keadaan ireversibel yang membutuhkan institusionalisasi pasien (Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Kaplan et al., 2010b). A. DEMENSIA Demensia merupakan suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif dan ireversibel, semakin meningkat prevalensinya seiring dengan bertambahnya usia. Sekitar 5% dari penduduk Amerika yang masih berusia kurang dari 65 tahun mengalami demesia yang parah dan sekitar 15% mengalami demensia ringan.
Sekitar 20% dari penduduk Amerika yang berusia lebih dari 80 tahun mengalami demensia yang parah (Goldberg, 2015; Passmore, 2014). Berbeda dengan retardasi mental, gangguan intelektual pada demensia terjadi dengan berjalannya waktu yaitu fungsi mental yang sebelumnya telah tercapai secara bertahap akan hilang. Perubahan karakteristik dari demensia melibatkan fungsi kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, tetapi gangguan perilaku adalah sering. Gangguan perilaku dapat berupa agitasi, kegelisahan, berkelana, penyerangan, kekerasan, berteriak, disinhibisi sosial dan seksual, impulsivitas, gangguan tidur dan waham. Waham dan demensia terjadi selama perjalanan demensia pada hampir 75% dari semua pasien (Goldberg, 2015; Passmore, 2014). Walaupun demensia yang berhubungan dengan lanjut usia biasanya disebabkan oleh penyakit degenerative primer sistem saraf pusat dan penyakit vascular, banyak faktor berperan dalam gangguan kognitif, pada lanjut usia, penyebab campuran dari demensia sering ditemukan (Goldberg, 2015; Passmore, 2014). Demensia telah diklasifikasikan sebagai kortikal dan subkortikal, tergantung pada letak lesi serebral. Suatu demensia subkortikal adalah ditemukan pada penyakit Huntington, penyakit Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, demensia multi-infark, dan penyakit Wilson. Demensia subkortikal adalah disertai dengan gangguan pergerakan, apraksia gaya berjalan, retardasi psikomotor, apati dan mutisme akinetik yang dapat dikacaukan dengan katatonia. Demensia kortikal adalah ditemukan pada demensia tipe Alzheimer dan penyakit Pick, yang sering menunjukkan afasia, agnosia, dan apraksia. Dalam praktek klinis, dua jenis demensia ini tumpang tindih, dan diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan otopsi (Goldberg, 2015; Passmore, 2014). DEMENSIA TIPE ALZHEIMER Dari semua pasien dengan demensia, 50-60% nya memiliki demensia tipe Alzheimer, yang merupakan tipe demensia tersering. Prevalensi demensia tipe Alzheimer adalah lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Demensia tipe Alzheimer ditandai oleh penurunan fungsi kognitif dengan onset yang bertahap dan progresif. Daya ingat mengalami gangguan dan sekurangnya ditemukan satu seperti afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif. Urutan umum defisit adalah daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial. Awalnya pasien mungkin memiliki suatu ketidakmampuan mempelajari dan mengingat informasi baru, selanjutnya gangguan penamaan, selanjutnya ketidakmampuan untuk mencontoh gambar. Penyebab
penyakit Alzheimer
adalah
tidak
diketahui,
walaupun
pemeriksaan neuropatologi dan biokimiawi postmortem telah menemukan kehilangan selektif neuron kolinergik. Temuan anatomik makroskopis adalah penurunan volume girus pada lobus frontalis dan temporalis, dengan relatif terjaganya korteks motorik dan sensorik primer. Demensia tipe Alzheimer dapat dicegah dan diterapi. Terapi Alzheimer bersifat paliatif yang terdiri dari nutrisi yang tepat, latihan dan pengawasan aktifitas sehari-hari. Medikasi mungkin berguna dalam menangani agitasi dan gangguan perilaku. Propanolol, pindolol, buspirone dan valproate semuanya telah dilaporkan membantu menurunkan agitasi dan agresi. Haloperidol berguna untuk mengendalikan gangguan perilaku akut (Goldberg, 2015; Passmore, 2014). DEMENSIA ALZHEIMER 294.1X A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh kedua hal berikut: 1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk belajar informasi baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari sebelumnya) 2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut: a. Afasia (gangguan bahasa) b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik utuh) c. Agnosia (gagal untuk mengenal atau mengidentifikasi bendabenda walaupun fungsi sensorik utuh) d. Gangguan pada fungsi eksekutif (yaitu merencanakan, mengorganisasi, mengurut, abstraksi) B. Defisit kognitif pada kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan
penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya. C. Perjalanan penyakit ditandai oleh onset yang bertahap dan penurunan kognitif yang terus menerus. D. Defisit kognitif pada kriteria A1 dan A2 tidak disebabkan oleh salah satu berikut ini: 1. Kondisi sistim saraf lainnya yang menyebabkan defisit memori dan kognitif progresif (misalnya, penyakit serebrovaskuler, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, hematoma subdural, hidrosefalus tekanan normal, tumor otak) 2. Kondisi sistemik yang diketahui menyebabkan demensia (misalnya, hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin, hiperkalsemia, neurosifilis, infeksi HIV) 3. Kondisi induksi zat E. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu delirium. F. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan Aksis I lainnya (misalnya, Gangguan Depresi Mayor, Skizofrenia). Penulisan kode tambahan yang didasarkan pada ada atau tidaknya 294.10
gangguan perilaku secara klinis yang bermakna: Tanpa Gangguan Perilaku: jika gangguan kognitif tidak disertai oleh
294.11
gangguan perilaku secara klinis yang bermakna. Dengan Gangguan Perilaku: jika gangguan kognitif disertai oleh gangguan perilaku secara klinis yang bermakna (misalnya, keluyuran, agitasi). Subtipe Demensia Alzheimer: Dengan Onset Dini: jika onset pada umur 65 tahun atau kurang Dengan Onset Lambat: jika onset pada umur di atas 65 tahun Tabel 4. Demensia Alzheimer (APA, 2000)
DEMENSIA VASKULAR Demensia vaskular adalah tipe demensia kedua yang tersering. Demensia ini ditandai oleh defisit kognitif yang sama seperti demensia tipe Alzheimer, tetapi demensia ini memiliki tanda gejala neurologis fokal, seperti meningkatnya refleks tendon dalam, respon plantar ekstensor, palsi pseudobulbar, kelainan gaya berjalan, dan kelemahan pada anggota gerak. Dibandingkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskular memiliki onset yang tiba-tiba dan merupakan penyebab pemburukan yang bertahap. Demensia vaskular mungkin dapat dicegah dengan menurunkan factor resiko yang diketahui, seperti hipertensi, diabetes, merokok, dan aritmia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dan pemeriksaan aliran darah serebral (Goldberg, 2015; Passmore, 2014). DEMENSIA VASKULAR 290.4X A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh kedua hal berikut: 1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk belajar informasi baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari sebelumnya) 2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut : a. afasia (gangguan bahasa) b. apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas c.
motorik walaupun fungsi motorik utuh) agnosia (gagal untuk mengenal atau mengidentifikasi benda-
benda walaupun fungsi sensorik utuh) d. gangguan pada fungsi eksekutif (yaitu, merencanakan, B.
mengorganisasi, mengurut, abstraksi) Defisit kognitif pada Kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan
penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya. C. Tanda dan gejala neurologis fokal (misalnya, peningkatan refleks-refleks tendon dalam, respon ekstensor plantar, kelumpuhan pseudobulbar, kelainan gaya melangkah, kelemahan pada satu ekstremitas) atau bukti laboratoris menunjukkan penyakit serebrovaskuler (misalnya, infark multipel yang melibatkan
korteks
dan
substansia
putih
yang
mendasari)
dipertimbangkan berhubungan secara etiologis terhadap gangguan.
yang
D. Defisit tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu delirium. Penulisan kode tambahan didasarkan pada gambaran yang predominan : 290.41
Dengan Delirium: jika delirium bertumpang tindih dengan demensia
290.42
Dengan Waham: jika waham adalah gambaran yang predominan
290.43
Dengan Mood Depresif: jika mood depresif (termasuk gambaran yang memenuhi kriteria gejala lengkap untuk suatu Episode Depresi Mayor) adalah gambaran yang predominan. Suatu pemisahan diagnosis Gangguan Mood yang Disebabkan oleh Kondisi Medis Umum tidak diberikan.
290.40
Tanpa Komplikasi: jika tidak ada satupun di atas yang predominan pada gambaran klinis saat ini
Pada demensia vaskular, kondisi serebrovaskuler dituliskan pada Aksis III Tabel 5. Demensia Vaskuler (APA, 2000) B. GANGGUAN DEPRESIF Gejala depresif ditemukan pada kira-kira 25% dari semua penduduk komunitas lanjut usia dan pasien rumah perawatan. Tanda dan gejala yang sering dari gangguan depresif adalah penurunan energi dan konsentrasi, gangguan tidur (terutama terbangun dini hari dan sering terbangun di malam hari), penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan keluhan somatik. Gejala yang tampak mungkin berbeda dibandingkan dengan pasien dewasa muda, pada pasien lanjut usia terdapat peningkatan pada keluhan somatik (Robinson et al., 2014; Covino, 2006). Lanjut usia rentan terhadap episode depresif berat dengan ciri melankolik, ditandai oleh depresi, hipokondriasis, harga diri yang rendah, perasaan tidak berharga, dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri, dengan ide paranoid dan bunuh diri. Hampir 75% dari semua korban bunuh diri menderita depresi dan penyalahgunaan alkohol. Resiko bunuh diri yang tinggi bila diapatkan perasaan kesepian, tidak berguna, tidak berdaya, putus asa terutama bila hidup sendirian, kematian pasangan yang belum lama terjadi dan nyeri somatik (Robinson et al., 2014; Covino, 2006).
Pada pasien lanjut usia yang mengalami depresi, kadang terdapat gangguan kognitif yang dinamakan sindroma pseudodemensia. Sindrom ini harus dibedakan dengan demensia yang sebenarnya. Pada pseudodemensia, ada defisit konsentrasi dan atensi dan jarang disertai dengan gangguan berbahasa. Depresi juga kemungkinan berhubungan dengan penyakit fisik yang dialami dan medikasi yang digunakan untuk mengobati penyakit tersebut (Robinson et al., 2014; Covino, 2006). EPISODE DEPRESI MAYOR A. Lima (atau lebih) gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu yang sama dan menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling kurang satu gejala dari salah satu (1) mood terdepresi atau (2) kehilangan minat atau kesenangan. 1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subyektif (misalnya, perasaan sedih atau kosong) maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya, tampak sedih). 2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subyektif maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain) 3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5% sebulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan 4. 5.
hampir setiap hari. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain, bukan hanya perasaan subyektif tentang adanya
kegelisahan atau menjadi lamban) 6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari 7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai (yang dapat berupa waham) hampir setiap hari 8.
(bukan hanya menyalahkan diri sendiri atau bersalah karena sakit) Penurunan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari (baik oleh laporan subyektif
9.
maupun yang diamati oleh orang lain) Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan akan kematian), ide bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau percobaan bunuh diri atau rencana khusus untuk
B. C.
melakukan bunuh diri Gejala yang ada tidak memenuhi kriteria Episode Campuran. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau
gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi bidang penting lainnya. D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (misalnya E.
hipotiroidisme). Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih lama dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor. Tabel 5. Episode Depresi Mayor (APA, 2000)
C. GANGGUAN BIPOLAR Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan, walaupun prevalensi seumur hidup sebesar 1% adalah stabil sepanjang hidup. Kerentanan akan rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan bipolar I mungkin datang dengan periode manik di kemudian hari. Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan gejala pada orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi, ekspansif,
atau
mudah
tersinggung;
penurunan
kebutuhan
akan
tidur;
distraktibilitas; impulsivitas; dan, sering kali, asupan alkohol yang berlebihan. Perilaku bermusuhan atau paranoid biasanya ditemukan. Adanya gangguan kognitif,
disorientasi,
atau
tingkat
kesadaran
yang
berfluktuasi
harus
menyebabkan klinisi curiga akan penyebab organik. Lithium tetap merupakan terapi terpilih untuk mania, tetapi pemakaiannya pada pasien lanjut usia harus dimonitor dengan cermat, karena penurunan klirens pada lanjut usia menyebabkan toksisitas lithium adalah resiko yang bermakna.
Efek neurotoksik juga lebih sering pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa yang lebih muda (Robinson et al., 2014). GANGGUAN BIPOLAR I, EPISODE MANIK TUNGGAL 296.0X A. Terdapat hanya satu Episode Manik dan tidak ada Episode Depresi Mayor sebelumnya. Rekurensi didefinisikan sebagai suatu perubahan polaritas dari depresi atau suatu interval paling kurang 2 bulan tanpa gejala manik. B. Episode Manik tidak lebih baik dijelaskan oleh Gangguan Skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan Skizofrenia, Gangguan Skizofreniform, Gangguan Waham, atau Gangguan Psikotik Yang Tidak Ditentukan. Tabel 5. Gangguan Bipolar I, Episode Manik (APA, 2000) D. SKIZOFRENIA Skizofrenia biasanya mulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa muda dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia onset lambat dibandingkan laki-laki. Prevalensi skizofrenia paranoid tinggi pada tipe onset lambat.
Kira-kira 20% penderita skizofrenia tidak menunjukkan gejala aktif pada usia 65 tahun, 80% menunjukkan gangguan dengan berbagai tingkatan. Psikopatologi menjadi kurang jelas saat pasien bertambah tua. Skizofrenia tipe residual terjadi pada kira-kira 30%. Pasien yang tidak mampu merawat dirinya sendiri, dianjurkan dirawat di rumah sakit dalam waktu jangka panjang. Orang lanjut usia dengan skizofrenik adalah berespon baik terhadap obat antipsikotik. Medikasi harus diberikan dengan hati-hati. Dosis yang lebih rendah dari biasanya sering efektif pada lanjut usia (Moran dan Lawlor, 2005). SKIZOFRENIA A. Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) dari yang berikut ini, masing-masing ditemukan pada bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati): 1. waham 2. halusinasi 3. bicara kacau (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren) 4. perilaku kacau atau katatonik yang nyata 5. gejala negatif yaitu; pendataran afek, alogia, avolisi Dibutuhkan hanya satu Kriteria A jika waham bizarre atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran seseorang, atau dua atau lebih suara yang berbincang satu dengan lainnya. B. Fungsi sosial/ pekerjaan: Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi bidang utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, dengan jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau bila onset pada anak-anak atau remaja, gagal mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan). C. Durasi: Tanda yang terus menerus menetap selama paling kurang 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk paling kurang 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati) gejala yang memenuhi Kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan dapat termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual ini, tanda dari gangguan mungkin dimanifestasikan oleh hanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada Kriteria A yang timbul dalam bentuk yang kurang jelas (misalnya, keyakinan aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim). D. Penyingkiran Skizoafektif dan Gangguan Mood: Gangguan Skizoafektif
dan Gangguan Mood Dengan Ciri Psikotik disingkirkan karena salah satu dari (1) tidak ada Episode Depresi Mayor, Manik, atau Campuran yang terjadi secara bersamaan dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif, durasi seluruhnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual. E. Penyingkiran kondisi medis umum/ zat: Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat atau pengobatan) atau suatu kondisi medis umum. F. Hubungan dengan Gangguan Perkembangan Pervasif: Jika terdapat riwayat Gangguan Autistik atau Gangguan Perkembangan Pervasif lainnya, diagnosis tambahan Skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga timbul selama paling kurang satu bulan (atau kurang jika berhasil diobati). 295.30 Skizofrenia Tipe Paranoid Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut: 1. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang berulang kali. 2. Tidak ada yang menonjol berikut ini : bicara kacau, perilaku kacau atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai. 295.10 Skizofrenia Tipe Disorganisasi/ Hebefrenik Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut: 1. bicara kacau 2. perilaku kacau 3. afek datar atau tidak sesuai 295.20 Skizofrenia Tipe Katatonik Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut: 1. imobilitas motorik seperti yang dibuktikan oleh katapleksi (termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor 2. aktivitas motorik yang berlebihan (tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal) 3. negativisme yang ekstrim (suatu resistensi tanpa motif terhadap seluruh instruksi atau mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan upaya untuk digerakkan) atau mutisme 4. gerakan volunter yang aneh seperti yang dibuktikan oleh posturing (dengan sengaja mengambil sikap tubuh yang tidak sesuai atau aneh), gerakan stereotik, mannerisme yang menonjol, atau meringis yang
menonjol 5. ekolalia atau ekopraksia 295.90 Skizofrenia Tipe Tidak Terinci (Undifferentiated) Suatu tipe Skizofrenia dimana gejala yang terjadi memenuhi Kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk Tipe Paranoid, Disorganisasi, atau Katatonik. 295.60 Skizofrenia Tipe Residual 1. Tidak ditemukan waham, halusinasi, bicara kacau yang menonjol, dan perilaku kacau atau katatonik yang nyata. 2. Terdapat bukti yang berlanjut adanya gangguan, seperti yang ditunjukkan oleh adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada Kriteria A yang timbul dalam bentuk yang kurang jelas (misalnya, keyakinan aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim). Tabel 6. Skizofrenia (APA, 2000) E. GANGGUAN DELUSIONAL Usia onset gangguan delusional biasanya antara usia 40 dan 55 tahun; tetapi, gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode geriatrik. Gangguan delusional terjadi dibawah stress fisik dan psikologis pada orang yang rentan dan mungkin dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan, pensiun, isolasi sosial, keadaan finansial yang tidak baik, penyakit medis atau pembedahan yang menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan, dan ketulian. Waham yang tersering adalah waham kejar dan gangguan delusional dengan onset lambat yang ditandai dengan waham kejar, disebut parafrenia. Gangguan ini timbul selama beberapa tahun dan tidak disertai dengan demensia. Sindroma delusional mungkin juga diakibatkan oleh medikasi atau merupakan tanda awal tumor otak. Prognosis cukup baik pada sebagian besar kasus, dengan hasil terbaik dicapai melalui kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi (Kaplan et al., 2010a; Busse dan Blazer, 1997; Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Moran dan Lawlor, 2005). GANGGUAN DELUSIONAL 297.1 A. Waham tidak aneh (yaitu melibatkan situasi yang ada dalam kehidupan nyata, seperti sedang diikuti, diracun, terinfeksi, dicintai dari jarak jauh, atau
dikhianati pasangan atau kekasih, atau menderita penyakit) dengan durasi paling kurang 1 bulan. B. Tidak pernah memenuhi Kriteria A Skizofrenia. C. Catatan: Halusinasi taktil dan pembauan dapat ditemukan pada Gangguan Waham jika berhubungan dengan tema waham. D. Terlepas dari pengaruh waham atau akibatnya, fungsi tidak jelas terganggu dan perilaku aneh dan kacau yang tidak nyata. E. Jika episode mood terjadi secara bersamaan dengan waham, durasi seluruhnya relatif singkat dibandingkan durasi periode waham. F. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum. Tabel 7. Gangguan Delusional (APA, 2000) F. GANGGUAN KECEMASAN Gangguan kecemasan berupa gangguan panik, fobia, gangguan obsesif kompulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, dan gangguan stress paskatraumatik. Menurut ECA, gangguan paling sering adalah fobia sebanyak 4% dan gangguan panik sebanyak 1%. Onset awal gangguan panik adalah jarang tetapi dapat terjadi. Orang lanjut usia telah harus menyiapkan diri menghadapi kematian dan kecemasan dapat timbul akibat pikiran mengenai kematian, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas menurut Erik Erikson. Tanda dan gejala fobia pada lanjut usia kurang parah dibandingkan pada orang yang lebih muda tetapi efeknya sama. Gangguan paskatraumatik sering lebih parah pada lanjut usia dibandingkan pada orang muda karena adanya kecacatan fisik yang menyertai pada lanjut usia (Kaplan et al., 2010b; Busse dan Blazer, 1997). GANGGUAN KECEMASAN UMUM 300.02 A. Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan (harapan yang mengkhawatirkan), terjadi lebih banyak dibandingkan tidak selama paling kurang 6 bulan, tentang sejumlah peristiwa atau aktivitas (seperti pekerjaan atau prestasi sekolah). B. Orang kesulitan untuk mengendalikan kekhawatiran. C. Kecemasan dan kekhawatiran adalah dihubungkan dengan tiga (atau lebih) dari enam gejala berikut (dengan paling kurang beberapa gejala terjadi lebih
banyak dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir). 1. gelisah atau perasaan tegang atau cemas 2. merasa mudah lelah 3. sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong 4. iritabilitas 5. ketegangan otot 6. gangguan tidur (kesulitan untuk mulai atau tetap tertidur, atau tidur yang gelisah dan tidak memuaskan) D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran adalah tidak dibatasi pada gambaran utama gangguan Aksis I, misalnya kecemasan atau ketakutan adalah bukan suatu Serangan Panik (seperti pada Gangguan Panik), merasa malu di depan umum (seperti pada Fobia Sosial), terkontaminasi (seperti pada Gangguan Obsesif-Kompulsif), merasa jauh dari rumah atau kerabat dekat (seperti pada Gangguan Cemas Perpisahan), pertambahan berat badan (seperti pada Anoreksia Nervosa), menderita berbagai keluhan fisik (seperti pada Gangguan Somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada Hipokondriasis), serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi secara eksklusif selama Gangguan Stres Pascatrauma. E. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. F. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (misalnya hipertiroidisme) dan tidak terjadi secara eksklusif selama suatu Gangguan Mood, Gangguan Psikotik, atau Gangguan Perkembangan Pervasif. Tabel 8. Gangguan Kecemasan Umum (APA, 2000) G. GANGGUAN SOMATOFORM Gangguan somatoform, ditandai oleh gejala fisik yang menyerupai penyakit medis, adalah relevan dengan psikiatri geriatrik karena keluhan somatik sering ditemukan pada lanjut usia. Hipokondriasis sering ditemukan pada pasien berusia diatas 60 tahun, walaupun insiden puncak adalah pada kelompok usia 40 sampai 50 tahun. Gangguan biasanya kronis dan pemeriksaan fisik ulang berguna untuk
menentramkan pasien bahwa mereka tidak memiliki penyakit yang mematikan. Tetapi prosedur invasif yang memiliki resiko tinggi, harus dihindari (Kaplan et al., 2010b; Busse dan Blazer, 1997; Sadock BJ dan Sadock VA, 2007). GANGGUAN SOMATOFORM YANG TIDAK DIGOLONGKAN 300.82 A. Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, kehilangan nafsu makan, keluhan gastrointestinal atau saluran kemih). B. Salah satu (1) atau (2): 1. Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau efek langsung dari suatu zat (misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan). 2. Jika terdapat hubungan dengan suatu kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang diakibatkan adalah secara jelas melebihi dari yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium. C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. D. Durasi gangguan paling sedikit 6 bulan. E. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain (misalnya Gangguan Somatoform lainnya, Disfungsi Seksual, Gangguan Mood, Gangguan Kecemasan, Gangguan Tidur, atau Gangguan Psikotik). F. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura). Tabel 9. Gangguan Somatoform (APA, 2000) H. GANGGUAN TIDUR Fenomena yang berhubungan dengan tidur yang lebih sering pada orang usia lanjut adalah gangguan tidur, mengantuk di siang hari, tidur sejenak di siang hari dan pemakaian obat hipnotik. Disamping perubahan fisiologis dan sistem regulasi, penyebab gangguan tidur pada lanjut usia adalah gangguan tidur primer, gangguan mental lain, kondisi medis umum, dan faktor sosial dan lingkungan. Di antara gangguan tidur primer, disomnia adalah yang paling sering, terutama insomnia primer, mioklonus nokturnal, sindroma kaki gelisah (restless leg syndrome) dan apnea tidur. Kondisi
yang sering menggangu tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia, sesak nafas, dan nyeri perut. Alkohol dalam jumlah kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur, melalui fragmentasi tidur dan terbangun saat dini hari. Alkohol juga dapat mencetuskan atau memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak lanjut usia menggunakan alkohol, hipnotik, dan depresan sistem saraf pusat lain untuk membantu tertidur, tetapi data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien lebih banyak mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan dalam tertidur. Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur gerakan mata cepat (rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode REM, penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur gerakan mata lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan amplitudo gelombang delta. Orang lanjut usia juga mengalami bertambahnya terjaga setelah onset tidur (Kaplan et al., 2010b; Sadock BJ dan Sadock VA, 2004). INSOMNIA PRIMER 307.42 A. Keluhan yang predominan adalah kesulitan untuk mulai atau tetap tertidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama paling kurang 1 bulan. B. Gangguan tidur (atau berkaitan dengan kelelahan di siang hari) menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. C. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan Narkolepsi, Gangguan Tidur Berhubungan Pernafasan, Gangguan Tidur Irama Sirkadian, atau Parasomnia. D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu gangguan mental lain (misalnya, Gangguan Depresif Mayor, Gangguan Kecemasan Umum, delirium). E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (APA, 2000). Tabel 10. Insomnia Primer (APA, 2000) I.
GANGGUAN PENGGUNAAN ALKOHOL DAN ZAT LAIN
Pasien lanjut usia dengan ketergantungan alkohol biasanya memberikan riwayat minum berlebihan yang mulai pada masa remaja atau dewasa pertengahan. Mereka biasanya memiliki penyakit medis, terutama dengan penyakit hati, dan mereka adalah bercerai, duda, atau laki-laki yang tidak pernah menikah. Sejumlah besar menderita penyakit demensia yang kronis, seperti ensefalopati Wernicke dan sindrom Korsakoff. Secara keseluruhan, gangguan penggunaan alkohol dan zat lain adalah berjumlah 10% dari semua masalah emosional pada lanjut usia, dan ketergantungan pada zat tertentu seperti hipnotik, ansiolitik, dan narkotik adalah lebih sering pada lanjut usia. Pasien lanjut mungkin menyalahgunakan ansiolitik untuk mengatasi kecemasan kronis atau untuk mempermudah tidur. Onset delirium yang tiba-tiba pada orang lanjut usia yang dirawat untuk penyakit medis paling sering disebabkan oleh putus alkohol (Maramis WF, 2009). PENYALAHGUNAAN ZAT A. Suatu pola penggunaan zat maladaptif yang menyebabkan gangguan atau penderitaan secara klinis yang bermakna, seperti yang dimanifestasikan oleh satu (atau lebih) yang berikut ini, terjadi dalam periode 12 bulan: 1. Penggunaan zat berulang yang menyebabkan kegagalan dalam memenuhi kewajiban peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (misalnya, tidak hadir berulang atau kinerja buruk yang dihubungkan dengan penggunaan zat; membolos, skors, atau dikeluarkan dari sekolah; pengabaian anak dan rumah tangga yang dihubungkan dengan penggunaan zat). 2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang berbahaya secara fisik (misalnya, terganggu oleh penggunaan zat ketika mengemudikan kendaraan atau mengoperasikan mesin). 3. Masalah hukum berhubungan dengan zat yang berulang (misalnya, penahanan karena gangguan tingkah laku yang dihubungkan dengan zat). 4. penggunaan zat berkelanjutan walaupun memiliki masalah sosial atau interpersonal
menetap
atau
berulang
yang
disebabkan
atau
dieksaserbasi oleh efek zat (misalnya, berbeda pendapat dengan
pasangan tentang akibat intoksikasi, perkelahian fisik). B. Gejala tidak pernah memenuhi kriteria Ketergantungan Zat untuk kelas zat ini. 5. Tabel 11. Penyalahgunaan Zat (APA, 2000) 6. 7. DELIRIUM PUTUS ZAT A. Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan)
dengan
penurunan
kemampuan
untuk
memusatkan,
mempertahankan atau mengalihkan perhatian. B. Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau berkembangnya gangguan persepsi yang tidak lebih baik dijelaskan oleh demensia yang ada sebelumnya, yang telah terbukti, atau yang sedang berkembang. C. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang singkat (biasanya beberapa jam hingga beberapa hari) dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari. D. Terdapat bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa gejala dalam kriteria A dan B berkembang selama, atau sesaat setelah, suatu sindrom putus zat. 8. Penulisan Delirium Putus (Zat Spesifik): 9.
291.0 Alkohol
10.
292.81 Sedatif, Hipnotik, atau Anxiolitik
11.
292.81 Zat Lain atau Tidak Diketahui 12. Tabel 12. Delirium Putus Zat (APA, 2000)
13. BAB VIi GEJALA PERILAKU DAN PSIKOLOGIS PADA DEMENSIA 1. Definisi Gejala perilaku dan psikologis pada demensi merujuk pada gejala non-kognitif dari gangguan persepsi, isi pikir, alam perasaan (mood) atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia (international Psychogeriatric Assosiation, 2002). Penyebabnya multifaktor, beberapa perilaku bisa jadi merupakan hasil dari perubahan neurotransmitter dari penyakit itu sendiri, termasuk juga faktor komunikasi dan lingkungan. Gejalanya disebut gejala neuropsikiatri. Yang termasuk GPPD adalah : a. Agresi b. Agitasi c. Teriak-teriak d. Dan aktivitas motorik yang berulang e. Kecemasan f. Depresi g. Psikosis (waham dan halusinasi) h. Pengulangan kata-kata, kutukan, sumpah i. Gangguan tidur j. Shadowing (mengikuti pengasuh kemanapun pergi) k. Sundowning l. Keluyuran m. Hoarding (SIGN, 2008)
2. Identifikasi Target Perilaku Merespon dengan tepat kepada seseorang dengan GPPD, sangat penting untuk menyediakan pelayanan yang berkualitas. Intervensi dan manajemen
awal
yang
tepat
terhadap
gejala
perilaku
ini
adalah
penilaian/pemeriksaan untuk mengidentifikasi faktor penyebab dan pencetus yang mungkin berkontribusi terhadap perilaku pasien. Penting untuk mengetahui informasi acuan dasar, termasuk informasi tambahan lain, untuk dapat dibandingkan dengan perilaku baru yang muncul pada pasien dengan GPPD (Royal Australian and New Zealand College of Psychiatrist). Penilaian bisa menggunakan ABC model (antecedents, behaviours and cosequences). Protokol lain yaitu RAI Clinical Assesment Protocols (CAPS) bisa digunakan untuk mendukung penilaian klinis, pembuatan keputusan dan perencanaan pelayanan (Inter RAI). Sangatlah penting untuk mengidentifikasi penyebab perubahan perilaku melalui penilaian yang komprehensif dan mereview riwayat medis dan psikiatrinya.
Sensory Enhancement/
Social Contact: Real
Relaxation Massage and touch
or Stimulated Individualized
music
Pet therapy
White noise
1:1 social
Controlled
social contact
Individualized
multisensory
Behaviour Therapy Differential reinforcement
Stimulus control
interction
Stimulated
stimulatin
interactions/
(Snoezelen)
family videos
Art therapy
Aroma therapy Structured activities
Environtmental
Training and
modifications Wandering areas
development Staff education
Recreational activities
natural/ enhanced
Staff support
Training
Outdoor walks
Environments
Physical activities
Reduced
program for
stimulation
family
Light therapy farmakologis GPPD
Caregivers
3. Terapi Non-
Tabel 13. Terapi Non-Farmakologis GPPD (Mcgonigal-Kenney et al., 2004)
4. Terapi Farmakologis GPPD Antipsikotik hanya diberikan jika ada gejala agresi, agitasi atau gejala psikotik yang menyebabkan distress berat atau risiko akut yang dapat melukai/ membahayakan diri sendiri atau orang lain. GPPD yang tidak memerlukan terapi antipsikotik: i.
Keluyuran
ii.
Hiding and hoarding
iii.
Aktivitas berulang
iv.
Perilaku yang mengganggu secara vokal
v.
Pakaian yang tidak sesuai/ tidak berpakaian
vi.
Memakan benda yang tidak layak makan
vii.
Tugging at seatbelts
viii.
Inappropriate volding
ix.
Pushing wheel chair bound residents
Contoh antipsikotik yang digunakan untuk lansia: Nama obat Quetiapine Risperidone Olanzapine Loxapine Haloperidol
Dosis awal
Frekuensi
Dosis rata-rata/
hari (mg) 12.5 2-3x/ hari 150 0.25 2x/ hari 1 1.25 2x/ hari 5 2.5 2-3x/ hari 25 0.25 2x/ hari 2 Tabel 14. Terapi Farmakologis GPPD (Ward)
Prnsip terapi: mulai dari dosis rendah, tingkatkan perlahan dan monitor secara teratur respon terapi dan efek sampingnya.
Wawancara caregiver
Esesmen psikometrik
5. Algoritme GPPD (1) Gangguan tidur ALGORITME GPPD Depresi Curiga GPPD Tidur < 5 jam
Esesmen: Tidur > 5 jam Obat
Normal? Diakui dengan CG CG stress
Non-obat
Anti-depresi Aktivitas menyenangkan
Ya
Kurangi obat, terapi fisik Penyebab? Fisik Obat Ya
Antidepresi
Tidak Depresi
Tidak Behavioural approach : Gerak badan Sleep hygiene Kurangi kopi Hindari tidur siang
Bila masih belum teratasi : Respite care Hipnotik (jangka pendek saja), hindari benzodiazepine
Gambar 6. Algoritme penanganan GPPD (Lovestone dan Gauthier, 2001)
Wawancara caregiver
Esesmen psikometrik
Agresivitas, karena psikosis?
Wandering
ALGORITME GPPD (2)
Curiga GPPD Ya
Tidak
Esesmen: Hanya waktu tertentu?
Antipsikotik Ya Dini hari Ya
Tidak
Tidak
Hanya malam
Depresi? Berhubungan dengan perawatan? Terapi penyebab nyeri, delirium, dll Problem fisik? Ya
Terapi sebagai insomnia
Tidak Hanya situasi tertentu
Modifikasi perilaku perawat/ Suport caregiver CG, day care, respite care Ya
Tidak
Aktivitas diubah Tak berpola
Tingkatkan aktivitas, respite care
Gambar 6. Algoritme penanganan GPPD (Lovestone dan Gauthier, 2001)
BAB VIII PERMASALAHAN DALAM ASPEK SOSIAL, EKONOMI, DAN PSIKOLOGI PADA USIA LANJUT Pada lansia umumnya terjadi beberapa hal/ perubahan dalam hidupnya yang berpengaruh dalam kehidupan sosial, ekonomi, serta psikologisnya sebagai seorang lansia, perubahan yang terjadi antara lain; A. Perubahan Aspek Psikososial Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Menurut Kuntjoro (dalam Azizah, 2011) ada enam tipe kepribadian pada lanjut usia sebagai berikut: 1.
Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personality), memiliki integritas baik, dapat menikmati hidupnya, punya toleransi tinggi, humoristik, fleksible dan tahu diri dimana sifat ini sudah dibawanya sejak muda sehingga biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2.
Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
3.
Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personality), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan
menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya. Tipe ini pada saat mengalami pensiun biasanya tidak mempunyai inisiatif, pasif tetapi masih tahu diri dan dapat diterima masyarakat. 4.
Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), Lanjut usia pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang tidak diperhitungkan sehingga menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh dan curiga.
5.
Tipe Kepribadian Defensif, tipe ini selalu menolak bantuan, emosinya tidak terkontrol, bersifat kompulsif aktif. Mereka takut menjadi tua dan tidak menyenangi masa pensiun.
6.
Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu menyalahkan diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan.
B. Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan Umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya. Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-
kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masingmasing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa seorang lansia yang di pensiun akan mengalami kehilangan-kehilangan antara lain sebagai berikut (Budi-Darmojo dan H Martono, 2011) : 1. Kehilangan finansial, pada umumnya dimanapun pemasukan uang seorang lansia akan menurun kecuali orang yang sangat kaya raya dengan tabungan melimpah. 2. Kehilangan status, terutama bila sebelumnya orang tersebut memiliki jabatan dan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan fasilitasnya. 3. Kehilangan teman/ kenalan, mereka akan jarang bertemu dan berkomunikasi dengan teman sejawat yang sebelumnya tiap hari dijumpainya sehingga hubungan sosialnya pun akan hilang/berkurang. 4. Kehilangan kegiatan/ pekerjaan yang teratur dilakukan setiap hari yang berarti rutinitasnya hilang.
C.
Perubahan dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena
jika
keterasingan
terjadi
akan
semakin
menolak
untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil. Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam lingkungan sosial Panti Wreda adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam masyarakat sebagai seorang lansia (Azizah, 2011). D. Perubahan Minat Lanjut usia juga mengalami perubahan pada minat, yang pertama adalah minat terhadap diri makin bertambah, kedua minat terhadap penampilan semakin berkurang, ketiga yaitu minat terhadap uang semakin meningkat dan terakhir
kebutuhan terhadap kegiatan rekreasi tak berubah hanya cenderung menyempit (Azizah, 2011). Hurlock (dalam Azizah, 2011) mengatakan bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia antara lain: 1. Minat sempit terhadap kejadian dilingkungan 2. Penarikan diri kedalam dunia fantasi 3. Selalu mengingat kembali masa lalu 4. Selalu khawatir karena pengangguran 5. Kurang ada motivasi 6. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik 7. Tempat tinggal yang tidak diinginkan Sedangkan ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain: minat yang kuat, ketidak tergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini memiliki kekhawatiran minimal terhadap diri dan orang lain. E. Perubahan Berkaitan dengan Aspek Psikologis Kesepian/ loneliness, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami penurunan status kesehatan,misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran. Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak diantara lansia yang hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas sosial yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terhadap lansia yang walaupun hidup dilingkungan yang beranggotakan cukup banyak, mengalami kesepian. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran penderita, disamping memberikan bantuan dalam pengerjaan pekerjaan dirumah bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
BAB IX PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRI PADA PASIEN LANJUT USIA A. TERAPI PSIKOFARMAKOLOGIS Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah perawatan. Prinsip dasar psikofarmakologi geriatri adalah individualisasi dosis, karena berhubungan dengan perubahan fisiologis pada proses penuaan. Penurunan klirens obat dapat terjadi pada gangguan ginjal, gangguan kardiovaskular dan penurunan curah jantung. Penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme obat.
Penyakit
gastrointestinal
dan
penurunan
sekresi
asam
lambung
mempengaruhi absorpsi obat. Massa tubuh yang tidak berlemak (lean body mass) menurun pada lanjut usia dan lemak tubuh meningkat mempengaruhi distribusi obat. Pada lanjut usia, pedoman tertentu tentang pemakaian semua obat harus diikut. Pemeriksaan medis praterapi adalah penting, termasuk elektrokardiogram (EKG). Seluruh obat-obatan yang sedang diminum penting untuk dievaluasi efek sampingnya dan efek interaksi dengan obat psikotropika yang akan diberikan. Sebagian besar obat psikotropika harus diberikan dalam dosis terbagi yang sama tiga atau empat kali selama periode 24 jam. Pasien lanjut usia mungkin tidak mampu mentoleransi peningkatan kadar obat dalam darah yang tiba-tiba yang disebabkan dari dosis sekali sehari yang besar. Klinisi harus sering memeriksa kembali semua pasien untuk menentukan perlunya medikasi pemeliharaan, perubahan dalam dosis dan perkembangan efek samping. Jika pasien sedang menggunakan obat psikotropika saat pemeriksaan, klinisi harus mengentikan medikasi tersebut jika dimungkinan dan setelah periode pembersihan (washout period), periksa ulang pasien selama keadaan dasar yang bebas dari obat.
B. PSIKOTERAPI Intervensi psikoterapi standar seperti psikoterapi berorientasi tilikan, psikoterapi suportif, terapi kognitif, terapi kelompok dan terapi keluarga harus tersedia bagi pasien lanjut usia. Menurut Freud, orang berusia lebih dari 50 tahun tidak cocok untuk psikoanalisi karena tidak adanya elastisitas pada proses mental mereka. Menurut Gunadi (2001), proses kejiwaan dasar pada orang-orang tua tidak jauh berbeda dengan orang yang lebih muda. Bagaimanapun, proses penuaan dan perubahan
patologi
mengakibatkan
persoalan-persoalan
kejiwaan
yang
berhubungan erat dengan kelompok umur ini. Persoalan-persoalan yang lazim dihadapi pada pengobatan adalah keterlibatan dan berubahnya hubungan antara orang-orang tua dengan anak-anak mereka yang sudah remaja. Sebagai contoh, pada saat sakit, lansia menginginkan kebebasan dan di saat bersamaan yang berhubungan dengan konteks sosial, pengharapan yang tidak masuk akal yang dipaksakan kepada anak-anak mereka. Terapi keluarga dapat memberikan nilai lebih pada orang-orang tua, kadang-kadang bersama dengan psikoterapi kelompok atau individu. Tujuan lain dari pengobatan individu khususnya untuk orang-orang tua termasuk memelihara harga diri, perkawinan dan perubahan status sosial, pemanfaatan waktu luang yang tidak biasanya dan kebebasan dalam menentukan pilihan. Umumnya psikoterapi pada orang-orang tua disesuaikan dengan situasi dan masalah yang muncul dan mencari pemecahannya dengan cara membentuk kerangka kepribadian daripada merubah kepribadian secara menyeluruh. Masalah dalam terapi yang berkaitan dengan usia dan yang sering adalah kebutuhan untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangan hidup, perlunya menerima peran baru (pensiun, lepas dari peran yang sebelumnya) dan kebutuhan untuk menerima kematian diri sendiri. Psikoterapi membantu lanjut usia menghadapi masalah tersebut, meningkatkan hubungan interpersonal, psikoterapi meningkatkan
harga
diri
dan
keyakinan
diri,
menurunkan
perasaan
ketidakberdayaan dan kemarahan dan memperbaiki kualitas hidup. Bentuk
60
psikoterapi yang dilakukan adalah transferensi, terapi kelompok, terapi keluarga dan terapi singkat. Banyak orang-orang tua menanggapi dengan positif atas perubahan menyeluruh dan keadaan yang menyedihkan (misalnya, kesehatan yang menurun, kehilangan pasangan). Sikap khusus diperlukan pada psikoterapi demensia. Pada suatu fenomena yang disebut retrogenesis, yang terjadi pada demensia Alzheimer dan lebih luas pada keadaan-keadaan penuaan, kemampuan kognitif, fungsional, psikologis penderita berubah dari pola perkembangan manusia normal. Sebagai akibatnya, setiap derajat fungsional dari penyakit Alzheimer dapat digambarkan sama dengan perkembangan pada masa kanak-kanak. Usia perkembangan penderita Alzheimer memberikan pengertian yang cepat terhadap manajemen penanganan dan perawatan yang dibutuhkannya. Selanjutnya, penanganan pada penderita dengan Alzheimer berat (stadium 7) membutuhkan sejumlah perawatan yang kira-kira hampir sama dengan perawatan pada bayi. Sama halnya dengan penderita dengan Alzheimer ringan (stadium 4), mereka seperti anak-anak usia 8 – 12 tahun, hanya membutuhkan pengawasan. Usia perkembangan dari penderita Alzheimer ini berguna untuk memahami kebutuhan emosinal, perubahan tingkah laku, dan kebutuhan jasmani mereka.
61
BAB X KESIMPULAN 1. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah meningkatkan populasi penduduk lanjut usia hingga mencapai 9,77% dari total penduduk di Indonesia. 2. Perubahan fisiologis dan psikologis terjadi pada lanjut usia, proses tersebut dipengaruhi oleh faktor penuaan intrinsik dan ekstrinsik. 3. Pemeriksaan psikiatri pada lanjut usia sama dengan yang berlaku pada dewasa muda, namun perlu adanya peningkatan fokus dalam gangguan kognitif karena tingginya prevalensi gangguan kognitif pada lansia. 4. Prevalensi gangguan mental pada lanjut usia menunjukkan peningkatan pada lanjut usia yang berusia lebih dari 75 tahun, berjenis kelamin wanita, berpendidikan rendah, tidak bekerja, dan tinggal di pedesaan. 5. Gangguan mental pada lanjut usia dapat berupa demensia, gangguan depresif, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan delusional, gangguan kecemasan, gangguan somatoform, gangguan tidur, dan gangguan alkohol serta zat lain. 6. Gejala perilaku dan psikologis pada demensia merujuk pada gejala nonkognitif dari gangguan persepsi, isi pikir, alam perasaan (mood) atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia. 7. Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas, dan menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah perawatan. 8. Permasalahan yang dialami lansia meliputi aspek psikogeriatri seperti kesepian, aspek psikososial, perubahan peran sosial di masyarakat, dan perubahan-perubahan yang diakibatkan karena kehilangan pekerjaan. 9. Seluruh stresor pada pasien lanjut usia baik yang bersifat fisik dan psikososial harus dapat dinilai agar penatalaksanaan yang holistik dapat tercapai dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas hidup,
62
mempertahankan mereka dalam komunitas, dan menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.
63
DAFTAR PUSTAKA APA (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition, Text Revision. Washington, DC: Author. Azizah L (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Brocklehurs JC, Allen SC (1987). Sociological and psychological gerontology.In Brocklehurs JC and Allen SC (eds). Geriatric Medicine for Students. Edisi ke-3. Churchill Livingstone. Busse EW, Blazer DG (1997). Textbook of Geriatry Psychology. Edisi ke-2. Washington: The American Psychiatric Press. Hal 155-263. Covino
J
(2006).
Depression
in
Geriatric
Patients.
http://www.medscape.com/viewarticle/520534.
Diunduh
Diakses
tanggal
dari: 10
Februari 2015. Darmojo B, Martono H (2011). Gerontologi Sosial. Dalam: Budi-Darmojo dan Martono, H., Buku Ajar Boedhi-Darmojo: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal 14-33. Darmojo RB (2004). Gerontologi sosial : masalah sosial dan psikologik golongan lanjut usia dalam geriatri (Ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Departemen Kesehatan (2004). Buku pedoman upaya pembinaan kesehatan jiwa usia lanjut. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR (1975). “Mini-mental state” A practical method for grading the cognitive state of patients for the clinician. J Psychiatr Res. 12(3):189-98. Goldberg J (2015). Alzheimer's Disease and Other Forms of Dementia. WebMD. http://www.webmd.com/alzheimers/guide/alzheimers-dementia. Diakses tanggal 10 Februari 2015.
64
Gunadi H (2001). Problematik usia lanjut ditinjau dari sudut kesehatan jiwa. Jiwa. XVII (4): 89-97. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA (2010). Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri. Jilid 1. Alih bahasa: Wijaya Kusuma. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal 116-134. Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. (2010). Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri. Jilid 1. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Hal 867-891. Koenig HG, Blazer DG (2003). Dalam Cassel CK et al. Deppresion, Anxiety and other mood disorders in geriatric medicine an evidence based approach. Fourth edition. New York: Springer. Kolb LC, Brodie HK (1982). Modern clinical psychiatry. Philadelphia: WB Saunders Co. Maramis (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Universitas Airlangga Press. Maramis WF, Maramis A (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press. Hal 576. Maramis WF, Maramis A (2009). Ilmu kedokteran Jiwa Edisi ke 2. Surabaya: Airlangga University Press. Marini (2006). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian depresi pada usia lanjut di Poli Geriatri RSU Ciptomangunkusumo, Tahun 2006-2008. Tesis. UI. Moran M, Lawlor B (2005). Late-life Schizophrenia. Psychiatry. 4:11. The Medicine Publishing Company Ltd. Murti B (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Passmore P (2014). What is vascular dementia?. Alzheimer's Society. http://alzheimers.org.uk/site/scripts/documents_info.php? categoryID=200137&documentID=161&pageNumber=1.
65
Diakses
tanggal 10 Februari 2015. Potter PA, Perry AG (2009). Fundamental Keperawatan Buku 1 Ed. 7. Jakarta: Salemba Medika. Riskesdas (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan
Kementerian
Kesehatan
RI.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas %202013.pdf. Diakses Februari 2015. Robinson L, Smith M, Segal J (2011). Depression in Older Adults and Elderly. http://www.helpguide.org/articles/depression/depression-in-older-adultsand-the-elderly.htm. Diakses tanggal 10 Februari 2015. Sadock BJ, Sadock VA (2007). Synopsis of Psychiatry. Edisi kesepuluh. Philadelphia: The William-Wilkins. Hal 1348-1358. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P (2009). Kaplan-Sadock Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ninth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Setiati S, Harimurti K dan Roosheroe G (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III : Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. Hal 1336-1339. Soedjono CH, Probosuseno, Sari NK (2006). Depresi Pada Pasien Usia Lanjut Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam , Edisi Keempat Jilid III. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UI. Stanley M, Beare PT (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. Stuart GW, Sandra S (2001). Principles and practice of psychiatric nursing, USA, St. Louis. Sutarto JT, Cokro CI (2009). Pensiun Bukan Akhir Segalanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
66
Tamher S, Noorkasiani (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Weinberg J (1995). Genatric psychiatry. Dalam: Freedman AN ,Kaplan HI, Sadock RJ (eds). Comprehensive Textbook of Psychiatry. 6th eds. The William-Wilkins Co. Hal 2507-1527. WHO (2013). Mental health and older adults. World Health Organization. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs381/en/. Diakses 8 Februari 2015. Yesavage JA, Brink TL, Rose TL, Lum O, Huang V, Adey M, Leirer VO (1982). Development and validation of a geriatric depression screening scale: a preliminary report. J Psychiatry Res. 1982-1983;17(1):37-49.
67