TUGAS REFERAT
SYOK NEUROGENIK
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kebumen
Disusun Oleh :
Fahlian Wisnu Al ma'arif, S. Ked
08711074
Dokter Pembimbing :
Dr. H. Imbar Sudarsono, Sp. PD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014
Definisi
Syok adalah suatu keadaan dimana pasokan darah tidak mencukupi untuk kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Syok juga didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah yang bersirkulasi secara efektif. Pada seseorang yang mengalami syok terjadi penurunan perfusi jaringan, terhambatnya pengiriman oksigen, dan kekacauan metabolisme sel sehingga produksi energi oleh sel tidak memadai. Apabila sel tidak dapat menghasilkan energi secara adekuat, maka sel tidak akan berfungsi dengan baik sehingga pada gilirannya akan menimbulkan disfungsi dan kegagalan berbagai organ, akhirnya dapat menimbulkan kematian.
Sedangkan syok neurogenik disebut juga syok spinal yang merupakan bentuk dari syok distributif, syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh, sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cedera spinal, atau general anestesi yang terlalu dalam).
Syok Neurogenik
Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan.
Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.
Ada beberapa macam syok, berikut klasifikasinya:
Gambar 1. Tipe syok.
Etiologi
Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
Patofisiologi
Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan dalam efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan penurunan kurva fungsi ventrikel.
Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit.
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di regio splangnikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri.
Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional.
Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus vasomotor. Pasien dengan nyeri hebat, stres emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop.
Manifestasi Klinis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia.
Gambar 2. Pemeriksaan fisik.
Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.
Gambar 3. Hasil pemeriksaan yang biasa ditemukan.
Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasopressor seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
Kemudian konsep dasar berikutnya adalah dengan penggunaan prinsip A(airway) - B(breathing) - C(circulation) dan untuk selanjutnya dapat diikuti dengan beberapa tindakan berikut yang dapat membantu untuk menjaga keadaan tetap baik (life support), diantaranya:
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik, agonis alfa yang kontraindikasi bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Dan jarang terjadi takikardi.
Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi).
Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung, sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
Gambar 4. Alur syok neurogenik
Pasien-pasien yang diketahui atau diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan.
Kesimpulan
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama pasien mengalami syok.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander R H, Proctor H J. Shock. Dalam buku: Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94
Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.
Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 – 499.
Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002.
Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 – September 1, 1996 ; 1 – 4.
Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.
Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.