BAB I PENDAHULUAN Syok adalah keadaan tidak adekuatnya aliran darah yang mengarah pada ketidakcukupan penghantaran oksigen ke jaringan-jaringan tubuh (perfusi jaringan tidak adekuat) sehingga terjadi kegagalan sirkulasi, kegagalan sistem kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan dan hipoxia.1 Gejala pada penderita syok cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung kondisi syok. Gejala – gejala umum yang ditemukan pada penderita syok, yaitu kulit dingin dan pucat, takikardi, takipneu, hipotensi dan oligouria. Berdasarkan penyebab terjadinya, syok dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu syok hipovolemik, syok distributif, syok kardiogenik dan syok obstruktif. Syok dapat merusak semua jaringan dan sistem organ dalam tubuh. Keterlambatan dalam mengenali dan menangani syok dapat menyebabkan perubahan yang cepat dari syok reversibel yang terkompensasi menjadi gagal sistem multi organ hingga kematian.1,2,3 Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Syok neurogenik terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh. Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).4,5
1
Penanganan pasien syok memerlukan kerjasama multidisiplin berbagai bidang ilmu kedokteran dan multi sektoral. Langkah awal penatalaksanaan syok adalah mengenal diagnosis klinis secara dini, oleh karena manajemen syok harus memperhatikan “The Golden Period”, yaitu jangka waktu dimana hipoksia sel belum menyebabkan “cummulative oxygen deficit” melebihi 100-125 ml/kg atau kadar aterial laktat mencapai 100 mg/dl. Secara empiris satu jam pertama sejak onset dari syok adalah batas waktu maksimal untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat kembali. Dua manifestasi klinis yang sering muncul pada syok adalah hipotensi dan asidosis metabolik, tetapi penurunan tekanan sistolik bukanlah indikator utama syok, sebab patokan tersebut akan menjadikan keterlambatan diagnosis.6,7 Konsep dasar untuk penatalaksanaan syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitasnya untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut. 5 Kemudian konsep dasar berikutnya adalah dengan penggunaan prinsip A(airway) - B(breathing) - C(circulation) dan untuk selanjutnya dapat diikuti dengan beberapa tindakan yang dapat membantu untuk menjaga keadaan tetap baik (life support).2
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi
hipotensi
dan
penimbunan
darah
pada
pembuluh
tampung
(capacitance vessels). Syok neurogenik terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh. Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemikyang diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).4,5 Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal yang berlebihan yang mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh diregio splanknikus sehingga pendarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, kaget, atau nyeri. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.2 Syok neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya sympathetic tone, misalnya pada cedera tulang belakang atau, yang sangat jarang, cedera pada batang otak.4,5
3
2.2 Etiologi Penyebabnya antara lain :2 1.
Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
2.
Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
3.
Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
4.
Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
5.
Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut
Tabel 1. Penyebab Syok Neurogenik8
2.3 Patofisiologi Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan dalam efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard
4
primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan penurunan kurva fungsi ventrikel.9 Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit.9,10 Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional.9,10 Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien dengan nyeri hebat, stress, emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop.9
5
Gambar 1. Patofisiologi Syok Neurogenik11
2.4 Gejala Klinis Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.12
6
2.5 Diagnosis Banding Diagnosis banding syok neurogenik adalah sinkop vasovagal. Keduanya sama-sama menyebabkan hipotensi karena kegagalan pusat pengaturan vasomotor tetapi pada sinkop vasovagal hal ini tidak sampai menyebabkan iskemia jaringan menyeluruh dan menimbulkan gejala syok.4,5 Diagnosis banding yang lain adalah syok distributif yang lain seperti syok septik, syok anafilaksis. Untuk syok yang lain biasanya sulit dibedakan tetapi anamnesis yang cermat dapat membantu menegakkan diagnosis. 2.6 Penatalaksanaan Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitanya untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.5 1.
Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
Gambar 2. Posisi Tredelenburg5
7
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distress nafas yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.5,10 3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.5,10 4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :5,10,12
DOPAMIN
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
NOREPINEFRIN Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan
darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika
8
norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
EPINEFRIN Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
DOBUTAMIN Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh
menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
9
Tabel 2. Obat-obat Vasoaktif.5
2.7 Komplikasi Syok neurogenik dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut:13 a. Hipoksia jaringan, kematian sel, dan kegagalan multiorgan akibat penurunan aliran darah yang berkepanjangan. b. Sindrom distres pernapasan pada orang dewasa akibat destruksi pembatasan alveolus-kapiler karena hipoksia. c. Kebanyakan pasien yang meninggal karena syok, disebabkan koagulasi intravascular diseminata akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi stimulus berlebihan kaskade koagulasi.
10
BAB III KESIMPULAN
Syok adalah keadaan tidak adekuatnya aliran darah yang mengarah pada ketidakcukupan penghantaran oksigen ke jaringan-jaringan tubuh (perfusi jaringan tidak adekuat) sehingga terjadi kegagalan sirkulasi, kegagalan sistem kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan dan hipoxia. Sedangkan syok neurogenik disebut juga syok spinal yang merupakan bentuk dari syok distributif, syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh, sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung. Syok neurogenik bisa disebabkan oleh trauma kepala, cedera spinal, atau general anestesi yang terlalu dalam). Gejala syok neurogenik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia. Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasopressor seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut. Kemudian konsep dasar berikutnya adalah dengan penggunaan prinsip A(airway) - B(breathing) - C(circulation) dan untuk selanjutnya dapat diikuti dengan beberapa tindakan berikut yang dapat membantu untuk menjaga keadaan tetap baik (life support).
11
DAFTAR PUSTAKA 1. Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R. Current Diagnosis and Treatment Critical Care. Third Edition. McGraw Hill. 2008; p 312-325. 2. Price, Sylvia A., dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit ; alih bahasa, Brahm U. Pendit, dkk. ; editor edisi bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, dkk. – Ed. 6 – Jakarta : EGC. 2005. 3. Brenner M., Safani M. Critical Care and Cardiac Medicine. Current Clinical Strategies Publishing. 2005; p 257-268. 4. Purwadianto A. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta : Binarupa Aksara, 2000, 47-57 5. Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997. 6. Candido K.D., 2006, Physiologic and P h a r m a c o l o g i c B a s e s o f Anesthesia,Edited by Williams & Wilkins, Pennsylvania, p.255267 7. Sudoyo, AW et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 8. Brunicardi C. Andersen, et al. Schwartz’s Principles of Surgery. Edisi 9. AS : McGraw-Hill; 2010. 9. Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Dikutip dari (http://books.google.co.id/books?idpatofisiologi+syok+neurogenik)
pada
tanggal 20 Juli 2013 10. Atkinson R. S., Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku : Hand Book of Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981: 18-29 11. Urden LD, Stacy KM, Lough ME : Thelan’s critical care nursing : diagnosis and management, ed 4, St Louis, 2002, Mosby.
12. Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar : Balai Penerbit FK UNUD; 2007. 13. Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta. EGC.
12