REFERAT
SCROFULODERMA Dokter Pembimbing : dr. Retno Sawitri,Sp.KK dr.Shinta J.B.Toban Rambu,Sp.KK
Disusunoleh : JESSICA. WIRJOSOENJOTO 03009126
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD KOTA BEKASI PERIODE 29 JUNI – 1 AGUSTUS 2015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
I
LEMBAR PERSETUJUAN
Referat dengan Judul “PENYAKIT SCROFULODERMA” SCROFULODERMA ” Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi periode 29 Juni – Juni – 1 1 Agustus 2015
Jakarta, 13 Juli 2015
(dr. Retno Sawitri, Sp.KK)
Jakarta,13 Juli 2015
(dr.Shinta J.B.Toban Rambu,Sp.KK)
II
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, anugerah, dan hikmat Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Scrofuloderma ” sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi periode 29 Juni 2015 – 1 Agustus2015 Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbingdr. Retno Sawitri,Sp.KK dan dr.Shinta J.B.Toban Rambu,Sp.KK yang telah membimbing dalam melaksanakan kepaniteraan dan menyusun referat ini. Saya menyadari dalam referat ini tentu masih terdapat kekurangan, oleh karena itu saya memohon saran dan kritiknya. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat serta menambah wawasan kepada pembaca.
Jakarta, 13 Juli 2015
Penyusun
III
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan
ii
Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penulisan Makalah ...................................................................................... 2 1.3 Manfaat Penulisan Makalah .................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi .................................................................................................................... 3 2.2 Epidemologi ............................................................................................................3 2.3 Etiologi .................................................................................................................... 3 2.4 Patogenesis ..............................................................................................................4 2.5 Gambaran Klinis......................................................................................................5 2.6 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................... 6 2.7 Diagnosa Banding ................................................................................................... 9 2.8 Penatalaksanaan ..................................................................................................... 13 2.9 Prognosa ................................................................................................................ 14 BAB III SCROFULODERMA PADA PENDERITA AIDS
15
BAB IV KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
21
IV
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1................................................................................................................................6 GAMBAR 2................................................................................................................................6 GAMBAR 3..............................................................................................................................10 GAMBAR 4..............................................................................................................................10 GAMBAR 5..............................................................................................................................11 GAMBAR 6..............................................................................................................................12 GAMBAR 7..............................................................................................................................12 LAMPIRAN GAMBAR......................................................................................................19-20
V
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia hinggasaat ini. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru-paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, ususdan organ lainnya. Salah satu dari jenis tuberkulosis ini adalah tuberkulosis kutis. Tuberkulosis kutis adalah tuberkulosis pada kulit yangdisebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal. Kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG). 1,2 Skrofuloderma merupakan bentuk Tuberkulosis Kutis yang tersering di indonesia. Sekitar 84% menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), disusul Tuberkulosis Kutis Verukosa yaitu 13%, sedangkan bentuk tuberkulosis kutis lainnya jarang ditemukan. Lupus Vulgaris merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan. 1,2,3 Meskipun
tuberkulosis
kutis
merupakan
bagian
kecil
dari
tuberkulosis
ekstrapulmoner, namun di negara berkembang termasuk Indonesia masih sering dijumpai, seperti halnya tuberkulosis paru. Manifestasi klinisnya beragam, bergantung pada cara inokulasinya di kulit yang dapat bersifat internal maupun eksternal. 2 Selanjutnya dalam refarat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai skrofuloderma. Skrofuloderma yang juga dikenal dengan istilah tuberculosis colliquativa cutis merupakan tuberkulosis reaktif, berasal dari proses tuberculous pada jaringan subkutan yang membentuk suatu abses dingin (cold abscess) dan kemudian pecah sehingga mengakibatkan kerusakan struktur kulit di atasnya. Selain manifestasi klinis, pemeriksaan histopatologi yaitu FNAB dan biopsi eksisional pada limfadenitis TB memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis penyakit ini. 2
1
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari tentang scrofuloderma, bagaimana gejala klinis, penatalaksanaannya, dan mengatasi penyakit tersebut. 1.3
Manfaat Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini berguna sebagai bahan evaluasi pengetahuan dan terutama sebagai salah satu syarat mengikuti ujian akhir dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik pada stase Kulit dan kelamin di RSUD Kota Bekasi.
2
BAB II SKROFULODERMA
2.1
DEFINISI
Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian membentuk abses dingin yang makin lama makin membesar dan pecah pada kulit diatasnya. 5
2.2
EPIDEMIOLOGI
Insidens tuberkulosis kutis yang tercatat masih rendah. Di negara seperti Cina atau India di mana prevalen tuberkulosis tercatat masih tinggi, manifestasi tuberkulosis pada kulit
kurang
dari
0,1%
individu
yang
berkunjung
ke
klinik-klinik
dermatologi.Skrofuloderma biasanya mengenai anak-anak dan dewasa muda terutama pada pria.Sumber lain menyebutkan bahwa dapat terjadi pada semua umur dan perbedaan banyaknya insidens pada pria dan wanita tidak bermakna.
8
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering terkait dengan faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya penyakit ini sering ditemukan pada pekerjaan seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang yang melakukan autopsi, peternak, juru masak, anatomis, dan pekerja lain yang mungkin berkontak langsung dengan M. tuberculosis ini, seperti contohnya pekerja laboraturium. Pada negara-negara yang belum berkembang, daerah dengan sanitasi yang kurang baik dan gizi kurang, penyakit lebih mudah meluas dan lebih berat. Penyebaran lebih mudah terjadi pada musim penghujan. 9
2.3
ETIOLOGI
Penyebab utama TBC kutis adalah Mycobacterium tuberculosis
yaitu 91,5%
menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sisanya (8,5%) disebabkan oleh mikobakteria atipikal. M.Bovis dan M. Avium belum pernah
3
ditemukan, demikian pula mikobakteria golongan lain. Skrofuloderma disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. 1
M. Tuberculosis merupakan kuman aerob yang patogen pada manusia. Mempunyai sifat sebagai berikut : berbentuk batang, panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/m , tahan asam dan hidupnya intraseluler fakultatif, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan suhu optimal pertumbuhan pada 37 0C.1,3
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 (lima) macam, yaitu :1
1.Sediaan
Mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada pewarnaan dengan Ziehl-Neelsen
atau modifikasinya, jika positif
kuman akan tampak berwarna merah pada dasar yang biru. 2.Kultur
Kultur
dilakukan
pada
media
Lowenstein-
Jensen, pengeraman pada suhu 37 0C. Jika positif koloni akan tumbuh dalam waktu 8 minggu. 3.
Binatang Percobaan Memakai binatang marmot. Percobaan ini membutuhkan waktu 8 minggu.
4.
Tes biokimia Ada beberapa macam, contohnya tes niasin yang dipakai untuk membedakan jenis human dengan yang lain.
5.
2.4
Percobaan Resistensi
PATOGENESIS
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ dibawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari KGB.,juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempattempat yang banyak didapati KGB Superfisialis, yang tersering ialah pada leher, kemudian disusul ketiak dan yang terjarang pada lipat paha. 1,2,3,5
4
Port d’entrée skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak, kemungkinan port d’entrée pada apex pleura, bila dilipat paha pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipat paha, kemungkinan besar terjadi penyebaran hematogen. 1,2
2.5
GAMBARAN KLINIS
Skrofuloderma
biasanya
mulai
sebagai
limfadenitis
tuberkulosis,
berupa
pembesaran kelenjar getah bening, tanpa tanda-tanda radang akut, selain tumor. Mulamula hanya beberapa KGB yang diserang, lalu makin banyak dan sebagian berkonfluensi. Selain limfadenitis juga terdapat periadenitis yang menyebabkan perlekatan KGB tersebut dengan jaringan sekitar. Kemudian kelenjar-kelenjar tersebut mengalami perlunakan tidak serentak, menyebabkan konsistensinya menjadi bermacam – macam, yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan dikeluarkan nanahnya. Abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan, menandakan bahwa isinya cair). Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya dengan demikian membentuk fistel. muara fistel kemudian meluas hingga menjadi ulkus yang mempunyai sifat khas, yakni bentuk memanjang dan tidak teratur, disekitarnya berwarna merah kebiru-biruan (livid), dinding bergaung; jaringan granulasinya tertutup oleh pus seropurulen, jika mengering menjadi krusta berwarna kuning. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh spontan membentuk sikatriks yang memanjang dan tidak teratur dan diatasnya kadang-kadang terdapat jembatan kulit (skin bridge). Basil tahan asam banyak dijumpai pada lesi/jaringan. Tes tuberkulin biasanya positif.1,2
5
Gambar 1.Scrofuloderma. http://www.dermis.net/dermisroot/tr/10554/image.htm
11
Gambar 2.Scrofuloderma. http://www.dermis.net/bilder/CD021/550px/img0098.jpg 12
2.6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis skrofuloderma adalah : 1.
Tes Tuberkulin
Tes ini bergantung dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap tuberculoproteins, yang diperantarai oleh sel limfosit yang tersensitisasi. Bahan tes tuberkulin juga dapat diperoleh dari ekstrak protein yang mengandung basil tuberkel. Purified Protein Derivative (PPD) merupakan campuran protein, 6
karbohidrat dan lemak yang diperoleh dari presipitasi culture supernatant dari M. tuberculosis yang sudah mengalami proses autolisis akibat pemanasan. 2 Sensitivitas terhadap tes ini mulai tampak dalam beberapa minggu sejak onset infeksi M.tuberculosis, dan biasanya bertahan seumur hidup. Jika reaksi yang terjadi sangat kuat, mengindikasikan telah terjadi tuberkulosis yang aktif. 2,5
Teknik tes kulit ini ada 2 (dua) jenis, yaitu :
1.
Tes Mantoux
PPD diinjeksikan secara intradermal pada bagian volar lengan bawah. Tes ini dibaca setelah 48-72 jam dan diperhitungkan diameter area indurasi yang terbentuk, bukan area eritemanya.2 Jika indurasi yang terjadi berdiameter lebih dari 10 mm maka interpretasinya adalah telah atau sedang terjadi infeksi TB.2
2.
Tes Heaf
PPD dipenetrasikan sedalam 1,2 mm pada permukaan kulit lengan bawah bagian fleksor. Interpretasinya adalah sebagai berikut : Grade I: muncul 4-6 papul di kulit Grade II: timbul indurasi berbentuk bulat penuh Grade III : terbentuk plak dengan ukuran 12 mm Grade IV:bila muncul tanda-tanda grade III ditambah adanya vesikulasi dan ulserasi. Grade I dan II dihubungkan dengan adanya riwayat vaksinasi BCG sebelumnya atau ada infeksi mikobakteria jenis lain. Sedangkan Grade III dan IV dihubungkan dengan adanya infeksi TB saat i ni atau yang telah lampau. 2 2.
Pemeriksaan Laboratorium Dasar Hasil pemeriksaan laboratorium dasar mungkin menunjukan hasil yang tidak spesifik, dengan hasil hitung darah (blood count) yang normal. Hanya saja pada sebagian besar penderita TB kutis termasuk skrofuloderma terjadi peningkatan laju endap darah (LED) sampai mencapai >100 mm/jam. 2
7
3.
Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan ini diakukan dengan excision biopsy pada limfonodi yang mengalami pembesaran. Gambaran yang tampak adalah jaringan granulasi, yaitu akumulasi histiosit yang menyerupai epitel (epiteliod) dan sel-sel raksasa Langerhans
diantaranya,
tampak
pula
infiltrat
sel-sel
mononuklear
mengelilinginya. Pada bagian tengahnya dapat dijumpai nekrosis caseosa. Gambaran ini biasanya tampak pada dermis yang lebih dalam. Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN) dapat dijumpai basil tahan asam. Namun karena pada sediaan biopsi kulit, jumlah basil relatif sedikit kadang sulit untuk menentukan basil tahan asan meskipun dengan pewarnaan ZN. Kelemahan lain prosedur ini adalah tindakan yang dilakukan bersifat invasif. 2 4.
Pemeriksaan Sitologi Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC) merupakan salah satu teknik diagnostik yang telah diterima dengan baik dalam rangka penatalaksanaan penderita dengan pembesaran kelenjar limfe, seperti halnya pada penderita skrofuloderma. 2,5 Prosedur pengerjaannya lebih sederhana dan relatif tidak menimbulkan rasa sakit sehingga FNAC dapat menggantikan metode excision biopsy yang lebih traumatik dan invasif. Pewarnaannya adalah dengan Haematoxylin and Eosin (H&E) dan /atau ZN.
2,5
Gambaran yang tampak adalah lesi granulomatous, terdiri dari sel-sel epiteloid dengan atau tanpa nekrosis kaseosa. Sel-sel epiteloid tampak sebagai sel yang memanjang atau semilunar dengan inti kromatin halus atau granuler. Dapat pula dijumpai sel-sel raksasa Langhans bersama sel epiteloid atau yang berdiri sendiri. 2 5.
Kultur Jaringan Kultur jaringan untuk melihat pertunbuhan M. tuberculosis. Media yang digunakan adalah Lowenstein-Jensen. Pertumbuhan M. tuberculosis membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 8 minggu karena pertumbuhannya memang lambat pada media laboratoris.2,5
8
6.
Polymerase Chain Reaction (PCR) Metode PCR yang dikenal adalah Lymph Node PCR (LN-PCR), dimana spesimen diambil dari sisa spesimen yang masih ada dalam syringe pada saat dilakukan tindakan FNAC atau dari jaringan hasil biopsi kelenjar getah bening yang kemudian dihomogenisasikn.
2,5
Keunggulan metode ini adalah sensitivitas dan spesivisitasnya tinggi, hasilnya dapat diperoleh dalam waktu relatif singkat yaitu sekitar 8 jam, dapat membedakan
mikroorganisme
penyebab
yaitu
M.tuberculosis
dengan
mikobakteria lainnya, dan dapat mengetahui adanya mutasi gen M tuberculosis yang dikaitkan dengan resistensi terhadap pengobatan.2 7.
Pemeriksaan Lain Yang
termasuk
disini
adalah
pemeriksaan
radiologi
(foto
thoraks
posteroanterior) dan pemeriksaan bakteriologi dari spesimen sputum pagi hari sebanyak 3 hari berturut-turut. 2
2.7
DIAGNOSA BANDING
Skrofuloderma didaerah leher biasanya memiliki gambaran klinis yang khas, sehingga tidak perlu membuat diagnosis banding. Walaupun demikian aktinomikosis sering dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di leher.
1.Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas atau benjolan dengan beberapa muara fistel produktif. Selain itu skrofuloderma di daerah leher juga harus dibedakan dengan Limfadenitis Bakterial Non Tuberkulosis, limfosarkoma dan limfoma maligna.
9
Gambar3.Actinomycosis.http://history.amedd.army.mil/booksdocs/wwii/communicabl
ediseasesV5/chapter1.htm
Gambar4.Actinomycosis.http://dermatology.cdlib.org/123/case_presentations/lym
phoma/2.jpg
10
2. Lesi pada daerah axilla dibedakan dengan Hidradenitis supurativa, yaitu infeksi bakteri piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut bersifat akut disertai tanda-tanda radang akut yang jelas, dengan gejala konstitusi dan leukositosis.Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang mengakibatkan retraksi ketiak.1,2
(1)
(2)
Gambar 5.Hidraadenitis Supurative.
(1) http://www.ohiohealth.com/mayo/images/image_popup/ans7_hidradenitis.jpg13 (2)http://www.google.co.id/imglanding?q=hidradenitis%20supurativa&imgurl=http://20 8.96.47.3/images/community/dermatlas/Hidradenitis_suppurativa_1_071126.14
3.Lesi di daerah lipat paha kadang mirip seperti limfogranuloma venereum (LGV). Perbedaan yang paling penting di antara keduanya adalah pada LGV terdapat riwayat coitus suspectus, gejala konstitusi (demam, malaise dan artralgia) dan kelima tanda radang akut. Stadium lanjut dari LGV dijumpai bubo yang bertingkat yang berarti terjadi pembesaran kelenjar getah bening inguinal medial dan fossa iliaka, sedang pada skrofuloderma kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral. Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.1,2
11
Gambar6.Limfogranuloma.http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/08/09/limfogra
nuloma-venerium-penyakit-menular-seksual/15
Lesi Skrofuloderma yang supuratif juga harus dibedakan dengan supurative lymphadenitis dengan adanya sinus track misalnya Blastomycosis dan Coccidiomycosis. M. avium- intracellulare lymphadenitis dan M. scrofulaceum lymphadenitis dapat dibedakan dengan limfadenitis skrofuloderma melalui kultur bakteri.
Gambar
7.Blastomycosis.
2
http://images.picturesdepot.com/photo/b/blastomycosis-
12692.jpg16
12
2.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan skrofuloderma adalah sama seperti pengoobatan TB paru yaitu harus secara teratur, menggunakan kombinasi dengan minimal 3 (tiga) macam obat anti-TB dan perbaikan keadaan umum.
8
Obat-obat anti-TB yang antara lain: 2,5,8 1.
Isoniazid Merupakan anti-TB yang bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosidal. Dosis : 5- 10 mg/kg BB/ hari, dosis maksimal 400 mg. Efek samping : demam, erupsi kulit, neuritis perifer, hepatotoksik dan komplikasi
hematologi
(
agranulositosis,
eosinofilia,
anemia
dan
trombositopenia). 2.
Rifampisin Merupakan salah satu obat anti-TB yang paling efektif namun cepat mengalami resistensi. Dosis : 10 mg/ kg BB, dosis maksimal 600 mg/hari. Efek samping : ekskresi saliva dan
urin akan berwarna jingga sampai
kemerahan, gangguan hepar (hepatotoksik).
3.
Pyrazinamid Dosis : 20-35 mg/kg BB, dosis maksimal 2 gram/ hari Efek samping : gangguan hepar (hepatotoksik). 1
4.
Ethambutol Merupakan anti-TB yang bersifat bakteriostatik dan paling sering dikombinasi dengan rifampisin dan isoniazid. Dosis : 15-25 mg/kg BB Efek samping : gangguan nervus II. Sebaiknya tidak diberikan pada penderita berusia dibawah 13 tahun.
5.
Streptomycin Merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal. Dosis : 25 mg / kg BB, intramuskular. Dikombinasi dengan 2 (dua) obat antiTB lainnya.
13
Tidak dapat digunakan dalam jangka panjang oleh karena efek sampingnya yaitu : gangguan vestibular dan gangguan pendengaran, disfingsi nervus optikus, dermatitis eksfoliatif dan diskrasia darah.
Saat ini telah ditetapkan regimen pengobatan tuberkulosis kutis oleh The American Thoracic Society dan Center for Disease Control and Prevention. Regimen ini terdiri dari fase inisial, fase intensif dan fase lanjutan. Pemberian fase inisial dan fase intensif bertujuan untuk membunuh dengan cepat populasi mikobakteria yang sangat besar, terdiri dari isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambutol atau streptomycin (diberikan setiap hari dalam jangka waktu 8 minggu). Pemberian fase lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa-sisa mikobakteria yang mungkin dorman dalam tubuh, dengan obat rifampisin dan isoniazid baik setiap hari, tiga kali seminggu atau dua kali seminggu selama 16 minggu.
2
2.9 PROGNOSA
Prognosa skrofuloderma secara umum adalah baik. 9 Lesi skrofuloderma dapat sembuh secara spontan, namun memakan waktu yang sangat lama, sebelum lesi inflamasi dan ulserasi secara lengkap dapat digantikan dengan jaringan parut. Lupus vulgaris dapat muncul pada bekas lesi skrofuloderma.
2
14
BAB III SKROFULODERMA PADA PENDERITA HIV/AIDS
Acquired
Immune
Deficiensy
Syndrome
(AIDS)
disebabkan
oleh
Human
Immunodeficiensy Virus (HIV), adalah suatu kumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia dengan merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga mudah terkena berbagai jenis infeksi oportunustik. Sampai saat ini dikenal dua jenis HIV, HIV-1 yaitu virus yang pertama diidentifikasi pada tahun 1983 dan HIV-2 ditemukan pada tahun 1986. Baik HIV-1 dan HIV-2 memberikan gambaran klinik yang sama.10 Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering muncul pada penderita AIDS di negara berkembang, dan tuberkulosis kutis relatif jarang. Insidens tuberkulosis ekstra paru adalah 15%, dan pada penderita AIDS menjadi 20% - 40%. Secara individual pada AIDS sttaduim lanjut, maka insidens tuberkulosis ekstra paru meningkat menjadi 70%. 10 Skrofuloderma merupakan salah satu manifestasi klinis dari infeksi oportunistik yang disebabkan M. tuberculosis pada penderita HIV/AIDS. Gambaran klinis hampir sama dengan penderita skrofuloderma non HIV, tetapi karena sistem imun yang terganggu maka episode penyakit menjadi lebih lama. Pada penderita AIDS terdapat kemungkinan infeksi tuberkulosa kutis yang disebabkan oleh MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis), yang merupakan bakteri komensal yang secara luas terdapat di lingkungan. Telah diketahui bahwa MOTT kurang memberikan respon terapi terhadap antituberkulosis namun dapat sensitif terhadap agen kemoterapi lainnya, sehingga apabila suatu lesi merupakan tuberkulosa kutis yang disebabkan oleh MOTT tentunya tidak akan memberikan perbaikan klinis dengan pemberian antituberkulosis. Nodul eritematous subkutan dan ulkus mulai menunjukan fase perbaikan dengan terapi OAT, sehingga kemungkinan adanya MOTT sebagai penyebab dapat disingkirkan. Dan setelah diberikan ARV kondisi penderita semakin membaik secara klinis. 10 Pada penderita HIV/AIDS yang diberikan ARV akan memberikan respon berupa sindroma restorasi imun, yang diukur dengan kadar CD4 dan penurunan level RNA HIV serum. Dengan progresifitas penyakit HIV, maka respon imun didominasi oleh T helper 2 yang menyebabkan berbagai macam kelainan dermatologi. Dengan pemberian ARV, maka respon T helper 1 kembali muncul sehingga kelainan kulit menjadi berkurang. Tetapi pada beberapa infeksi seperti infeksi virus varicella, virus herpes simplex, infeksi mycobacterial 15
akan menjadi lebih buruk. Hal ini seperti respon paradoks sebagai bentuk respon imun yang mengenali adanya infeksi laten/silent infection. Karena itu pemberian OAT didahulukan sebelum pemberian ARV, untuk menghindari respon imun paradoks yang dapat memperburuk infeksi oportunistik.
10
16
BAB IV KESIMPULAN
Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian membentuk abses dingin yang makin lama ma kin membesar dan pecah pada kulit diatasnya. Tempat predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering ialah pada leher, kemudian disusul ketiak dan yang terjarang pada lipat paha. Biasanya mengenai anak-anak dan dewasa muda terutama pada pria. Sumber lain menyebutkan bahwa dapat terjadi pada semua umur dan perbedaan banyaknya insidens pada pria dan wanita tidak bermakna. Pada negara-negara yang belum berkembang, daerah dengan sanitasi yang kurang baik dan gizi kurang akan menyebabkan penyakit lebih mudah meluas dan lebih berat. Biasanya dimulai sebagai limfadenitis tuberkulosis, berupa pembesaran beberapa kelenjar getah bening, tanpa tanda-tanda radang akut, lalu makin banyak dan sebagian berkonfluensi. Terdapat juga periadenitis yang menyebabkan perlekatan kelenjar getah bening dengan jaringan sekitar. Kelenjar-kelenjar tersebut kemudian mengalami perlunakan tidak serentak, dan membentuk abses (abses dingin) yang akan menembus kulit, pecah dan membentuk fistel. Muara fistel meluas hingga menjadi ulkus dengan sifat khas. Ulkus-ulkus tersebut dapat sembuh spontan membentuk sikatriks dan diatasnya kadang-kadang terdapat jembatan kulit (skin bridge). Basil tahan asam banyak dijumpai pada lesi/jaringan dan tes tuberkulin biasanya positif. Skrofuloderma merupakan salah satu manifestasi klinis dari infeksi oportunistik yang disebabkan M. tuberculosis pada penderita HIV/AIDS. Gambaran klinis hampir sama dengan pevderita skrofuloderma non HIV, tetapi karena sistem imun yang terganggu maka episode penyakit menjadi lebih lama. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untk membantu menegakkan diagnosis skrofuloderma adalah : 1.
Tes Tuberkulin
2.
Pemeriksaan laboratorium dasar
3.
Pemeriksaan serologi
4.
Kultur jaringan
5.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
6.
Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan radiologi dan bekteriologi. 17
Prinsip penatalaksanaan skrofuloderma adalah sama seperti pengoobatan TB paru yaitu harus secara teratur, menggunakan kombinasi dengan minimal 3 (tiga) macam obat antituberkulosis dan perbaikan keadaan umum. Untuk penderita skrofuloderma pada HIV/AIDS Oral Antituberkulosa (OAT) diberikan dahulu sebelum ARV untuk menghindari respon imun paradoks yang dapat memperburuk infeksi oportunistik, dan kadar CD4 digunakan sebagai patokan memulai pemberian ARV. Prognosa skrofuloderma secara umum adalah baik.
18
LAMPIRAN GAMBAR
Scrofuloderma — discharging sinuses in the left axilla http://www.ijdvl.com/viewimage.asp?img 1 7 =ijdvl_2008_74_6_700_45143_f1.jpg
http://md4arab.com/albu m/data/media/32/Scrofulo derma.jpg
18
19
http://www.scielo.br/img/revistas/abd/v82n4/a07fig01.gif
19
http://www.ispub.com/ispub/ijs/volum e_14_number_1/isolated_primary_tub erculosis_of_inguinal_lymph_nodes_an 20
_acute_presentation/inguinal-fig1.jpg
http://www.dermnetnz.org/bacterial/img/s 21
crofuloderma2-s.jpg
Long-lasting Scrofuloderma of Hands and Foot
http://adv.medicaljournals.se/ 2 2 files/pdf/87/1/2546.pdf
20
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djuanda, Adhi. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Editor: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Edisi V. cetakan V. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 64-72.
2.
Jawas FA, Martodihadjo Soenarko, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol.
. Surabaya : Airlangga University Press, 2007.
Hal 56-60. 3.
Soebono, Hardyanto. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit. Editor : Marwali Harahap. Cetakan I. Jakarta : Hipokrates, 2000. Hal 27-29.
4.
Fitzpatrick JE, Morelli JG. Mycobacterial Infections. In : Dermatology Secrets in Color. 3th Edition. USA : Elsevier Inc., 2007. Chapter 30.
5.
James WD, Berger TG, Elston DM. Mycobacterial Disease. In : Andrews’ Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10 th Edition. USA : Elsevier Inc., 2006. Chapter 16.
6.
Graham-Brown R, Bourke J. Bacterial Infection. In : Mosby’s Color Atlas and Text of Dermatology. 2th Edition. UK : Elsevier Limited, 2007.
7.
Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolf K, Suurmond D. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology : Common and Serious Disease. 4 th Edition. USA : The McGraw-Hill Companies, 2001. Chapter 664.
8.
Barakbah J, Pohan SS, Sukonto H, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan V. Surabaya : Airlangga University Press, 2007. Hal 23-24.
9.
Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC, 2003. Hal 148149.
10.
Kurniati, Murtiastutik Dwi, Lumintang Hans. Skrofuloderma Pada Penderita AIDS. Dalam : Makalah Lengkap II PIT X PERDOSKI. Benten, 2009. Hal 208-210.
11.
http://www.dermis.net/dermisroot/tr/10554/image.htm
12.
http://www.dermis.net/bilder/CD021/550px/img0098.jpg
13.
http://www.ohiohealth.com/mayo/images/image_popup/ans7_hidradenitis.jpg
14.
http://www.google.co.id/imglanding?q=hidradenitis%20supurativa&imgurl=http://208 .96.47.3/images/community/dermatlas/Hidradenitis_suppurativa_1_071126.
15.
http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/08/09/limfogranuloma-venerium-penyakitmenular-seksual/
16.
http://images.picturesdepot.com/photo/b/blastomycosis-12692.jpg
17.
http://www.ijdvl.com/viewimage.asp?img=ijdvl_2008_74_6_700_45143_f1.jpg
18.
http://md4arab.com/album/data/media/32/Scrofuloderma.jpg 21
19.
http://www.scielo.br/img/revistas/abd/v82n4/a07fig01.gif
20.
http://www.ispub.com/ispub/ijs/volume_14_number_1/isolated_primary_tuberculosis_ of_inguinal_lymph_nodes_an_acute_presentation/inguinal-fig1.jpg
21.
http://www.dermnetnz.org/bacterial/img/scrofuloderma2-s.jpg
22.
http://adv.medicaljournals.se/files/pdf/87/1/2546.pdf
22