RETENSIO URIN A. PENDAHULUAN Traktus urinarius memiliki dua fungsi utama, yaitu : sebagai tempat untuk menampung produksi urin dan sebagai fungsi ekskresi. Selama kehamilan saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensio urin satu jam pertama sampai beberapa hari postpartum. Perubahan ini juga dapat
memberikan
gejala
dan
kondisi
patologis
yang
mungkin
memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu. 1 Kehamilan dalam persalinan dapat menyebabkan dasar panggul melemah atau merusak sehingga tidak dapar berfungsi dengan baik. Pada proses persalinan, otot-otot dasar panggul mengalami tekanan langsung dengan bagian terbawah janin, bersamaan dengan tekanan ke bawah yang berasal dari tenaga meneran ibu. Banyak wanita mengalami kebocoran urin yang tidak dapat dikendalikan akibat cedera pada saat melahirkan. 1 Kondisi-kondisi
pada
ibu
post
partum
yang
menganggu
pengontrolan urin meliputi inkotinensia urin stres, inkotinensia urin desakan, trigonitis, sistitis, kondisi patologis pada korda spinalis, dan abnormalitas pada traktus urinarius kongenital. Komplikasi yang lain bisa timbul akibat proses persalinan adalah retensio urin. 1 Retensio urin memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil, pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus, ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung yang merupakan predisposisi terjadinya retensio urin satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. 1,2 Retensio urin merupakan fenomena yang biasa terjadi pada ibu postpartum. Hal ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah
1
penekanan kepala janin ke uretra dan kandung kemih yang menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah melahirkan. 1,2 Retensio urin setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urin ini lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensio urin. Insiden terjadinya retensio urin post partum berkisar 1,7% sampai 17,9%. Secara umum penanganannya diawali dengan kateterisasi. Jika residu urin lebih dari 700 ml, antibiotik profilaksis dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka panjang dan berulang.1,2
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI TRAKTUS URINARIUS
Gambar 1. Anatomi traktus urinarius (dikutip dari kepustakaan 2) Yang dimaksud traktus urinarius atau sistem urinarius adalah suatu sistem
kerjasama
tubuh
yang
memiliki
tujuan
utama
yang
mempertahankan keseimbangan internal atau homeostatis, selain itu dalam
2
sistem ini terjadi proses penyaringan darah sehingga darah bebas dan bersih dari zat-zat yang tidak digunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh.Hasil keluaran sistem urinari berupa urin atau air seni. Sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.2 Ginjal
Ginjal biasa juga disebut dengan renal, kidney, yang terletak dibelakang rongga peritoneum dan berhubungan dengan dinding belakang dari rongga abdomen, dibungkus lapisan lemak yang tebal. Ginjal terdiri dari dua buah yaitu bagian kanan dan bagian kiri. Ginjal kanan lebih rendah dan lebih tebal dari ginjal kiri, hal ini karena adanya tekanan dari hati. Letak ginjal kanan setinggi lumbal I sedangkan letak dari ginjal kiri setinggi thorakal XI dan XII. Bentuknya seperti biji kacang tanah dan margo lateralnya berbentuk konveks dan margo medialnya berbentuk konkav. Panjangnya sekitar 4,5 inchi (11,25 cm), lebarnya 3 inchi (7,5cm), dan tebalnya 1,25 inchi (3,75cm). Bagian luar dari ginjal disebut dengan substansia kortikal sedang bagian dalamnya disebut substansia medularis dan dibungkus oleh lapisan yang tipis dari jaringan fibrosa. 2
Gambar 2. Struktur ginjal (dikutip dari kepustakaan 2,3)
3
Nefron merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal, lengkung hendle, tubulus distal, dan tubulus urinarius (papilla vateri). Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter, arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal. Lubang-lubang yang terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler suatu badan malphigi yang disebut glomerulus. Pembuluh afferent bercabang membentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior. 2,3 Fungsi ginjal antara lain : 1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat toksik atau racun 2. Mempertahankan suasana keseimbangan cairan 3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh 4. Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh 5. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum, kreatinin, dan amoniak. Ureter
Ureter adalah lanjutan dari renal pelvis yang panjangnya antara 10 sampai 12 inchi (25-30 cm), dan diameternya sekitar 1 mm sampai 1 cm. Ureter terdiri atas dinding luar yang fibrus, lapisan tengah yang berotot, dan lapisan mukosa sebelah dalam. Ureter mulai sebagai pelebaran hilum ginjal, dan letaknya menurun dari ginjal sepanjang bagian belakang dari rongga peritoneum dan di depan dari muskulus psoas dan prosesus transversus dari vertebra lumbal dan berjalan menuju ke dalam pelvis dan dengan arah oblik bermuara ke kandung kemih melalui bagian posterior lateral. Pada ureter terdapat 3 daerah penyempitan anatomis, yaitu :
4
1. Ureteropelvico junction, yaitu ureter bagian proksimal mulai dari renal pelvis sampai bagian ureter yang mengecil 2. Pelvic brim, yaitu persilangan antara ureter dengan pembuluh darah arteri iliaka 3. Vesicouretro junction, yaitu ujung ureter yang masuk kedalam vesica urinaria (kandung kemih) Ureter berfungsi untuk menyalurkan urin dari ginjal ke kandung kemih.
Gerakan
peristaltik
mendorong
urin
melalui
ureter
yang
diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui ostium uretralis masuk ke dalam kandung kemih. 2,3
Kandung Kemih
Gambar 3. Kandung kemih (dikutip dari kepustakaan 3) Kandung kemih merupakan muskulus membran yang berbentuk kantong yang merupakan tempat penampungan urin yang dihasilkan ginjal, organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi). Letaknya di dalam panggul besar, sekitar bagian postero superior dari simfisis pubis. Bagian kandung kemih terdiri dari fundus (berhubungan dengan rectal ampula pada laki-laki, serta uterus bagian atas dari kanalis vagina pada wanita),
5
korpus, dan korteks. Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan peritoneum (lapisan sebelah luar), tunika muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). Kandung kemih bervariasi dalam bentuk, ukuran, dan posisinya, tergantung dari volume urin yang ada di dalamnya. Secara umum volume dari vesica urinaria adalah 350-500 ml. 2,3 Kandung kemih berfungsi sebagai tempat penampungan sementara (reservoa) urin, mempunyai selaput mukosa berbentuk lipatan yang disebut rugae (kerutan) dan dinding otot elastis sehingga kandung kencing dapat membesar dan menampung jumlah urin yang banyak. 2,3 Uretra
Uretra adalah saluran sempit yang terdiri dari mukosa membran dengan muskulus yang berbentuk spinkter pada bagian bawah dari kandung kemih. Letaknya agak ke atas orifisium internal dari uretra pada kandung kemih, dan terbentang sepanjang 1,5 inchi (3,75 cm) pada wanita dan 7-8 inchi (18,75 cm) pada pria. Uretra pria dibagi atas pars prostatika, pars membran, dan pars kavernosa.2,3 Fungsi uretra yaitu untuk transport urin dari kandung kencing ke meatus eksterna, uretra merupakan sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kencing ke lubang air. 2,3 Pembentukan Urin
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air (96%) air dan sebagian kecil zat terlarut (4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimpan sementara dalam kandung kemih dan dibuang melalui proses mikturisi.2,3
6
Gambar 4. Proses pembentukan urin (dikutip dari kepustakaan 3)
Urin dihasilkan dari penyaringan darah yang dialirkan melalui cabang aorta abdominalis yaitu arteri renalis oleh nefron-nefron yang ada di ginjal. Nefron-nefron itu melakukan fungsi-fungsi seperti filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi.3 Proses pembentukan urin, yaitu : a. Filtrasi
(penyaringan):
capsula
bowman
dari
badan
malphigi
menyaring darah dalam glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat yang bermolekul besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin primer). Didalam filtrat ini terlarut zat sperti glukosa, asam amino dan garam-garam. b. Reabsorbsi (penyerapan kembali): dalam tubulus kontortus proksimal zat dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan filtrat tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.
7
c. Sekresi (pengeluaran): dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion Na+ dan Cl - dan sekresi H+ DAN K+, selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektifus ke pelvis renalis.
C. DEFINISI RETENSIO URIN Retensio urin merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering ditemukan dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Definisi Retensio urin menurut Stanton adalah ketidakmampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. Pada ibu melahirkan, aktivitas berkemih seyogyanya telah dapat dilakukan enam jam setelah melahirkan (partus). Namun apabila setelah enam jam tidak dapat berkemih, maka dikatakan sebagai retensio urin postpartum. Pendapat dari Psyhyrembel menyatakan, bahwa retensio urin postpartum adalah ketidakmampuan berkemih secara normal 24 jam setelah melahirkan
(ischuria
puerperalis).
Adapun
kepustakaan
lain
mendefinisikan retensio urin postpartum sebagai tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan namun urin sisa lebih dari 150 ml. 4 Retensio urin dapat terjadi akut dan kronik. Pada keadaan akut lebih banyak terjadi kerusakan yang permanen, khususnya gangguan pada otot destrusor, atau ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada kasus retensio urin, perhatian perlu dikhususkan pada peningkatan tekanan intravesika yang menyebabkan refluks ureter sehingga dapat menimbulkan gangguan pada traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal. Kasus retensio urin akut paling sering terjadi pada pasien pasca operasi dan pasca partum. Fenomena ini terjadi karena trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, anestesi epidural, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada
8
pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver valsava. Retensio urin pasca operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat. 4
D. ETIOLOGI Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti dengan kontraksi otot-otot destrusor. Pengosongan kandung kemih secara keseluruhan dikontrol didalam pusat miksi yaitu di otak dan sakral. Terjadinya gangguan dan pengosongan kandung kemih akibat dari adanya gangguan fungsi di susunan saraf pusat dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius bagian bawah.4,5 Pada wanita, retensio urin merupakan penyebab terbanyak inkotinensia yang berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan kronik dari retensio urin. Pada penyebab akut lebih banyak terjadi kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot destrusor, atau ganglion parasimpatis pada didnding kandung kemih. Pada kasus retensio urin yang kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal. 5 Pasien post operasi atau post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensio urin akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan
atau
obstetri,
epidural
anestesi,
obat-obat
narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal khususnya pada pasien yang mengososngkam kandung kemihnya dengan manuver Valsava. Retensio urin post operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat. 5 Secara umum retensio urin dapat disebabkan oleh karena gangguan saraf atau lesi pada medula spinalis. Banyak peristiwa dan kondisi yang dapat merusak saraf dan jaringan saraf. Penyebab lain retensio urin adalah
9
akibat detrusor-sphincter dyssynerrgia voiding pattern dan relaksasi urertra inkomplit akibat nyeri dan edema, 5% dapat mengalami disfungsi yang berat dan berkepanjangan, yang mana jika tidak dideteksi pada awal masa peripartum dapat menyebabkan over distensi kandung kemih dan inkontinesia overflow. Beberapa penyebab yang paling sering mendasari terjadinya retensio urin adalah: Partus per vaginam
5
Kebanyakan kasus retensio urin disebabkan oleh persalinan yang lama. Lamanya penekanan dari kepala bayi pada jaringan lunak pelvis mempengaruhi flexus saraf pelvis dan mengakibatkan disfungsi berkemih. Suatu studi observasional prospektif menunjukkan bahwa 2866 wanita yang melahirkan per vaginam, ditemukan retensio urin pada 114 orang dari seluruh wanita tadi. Hal ini terjadi pada wanita yang hamil cukup bulan, partus per vaginam, dengan fetus letak puncak kepala. Retensio urin terjadi bila wanita yang tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam post partum dan bila urin residu lebih dari 200 ml. Retensio urin dikatakan persisten jika wanita tidak dapat berkemih secara spontan dalam 4 hari post partum. Insiden retensio urin post partum pada populasi yang diteliti sebanyak 4%. Retensio urin pada masa nifas
5,6
Disebabkan oleh: 1. Trauma intra partum Ini adlaah penyebab utama terjadinya retensio urin, di mana terdapat perlukaan pada uretra dan vesika urinaria. Hal ini terjadi karena adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadapa uretra dan vesica urinaria tersebut oleh kepala bayi yang memasuki panggul terhadap tulang panggul ibu sehingga terjadi perlukaan jaringan. Akibatnya terdapat edema selaput lendir pada leher buli-buli serta terjadinya ekstravasaasi darah di dalam buli-buli. Ostium uretra internum tersumbat oleh edema mukosa dan kontraksi vesika jelek
10
akibat ekstravasasi darah ke dalam dinding buli-buli sehingga pasienn menderita retensio urin. 2. Refleks kejang (keram) sfingter uretra Hal ini terjadi apabila pasien postpartum tersebut merasa ketakutan akan timbul perih dan sakit jika urinnya mengenia luka episiotomi saat berkemih. 3. Hipotoni otot selama hamil dan nifas Tonus dinding buli-buli sejak masa kehamilan sampai post partum masih sangat menurun. Banyak ibu-ibu yang tidak dapat berkemih dalam posisi tidudr terlentang. Retensio urin pasca Seksio Sesarea
5,6
Disebabkan oleh: 1. Anestesi baik umum maupun regional 2. Rasa nyeri pada luka insisi dinding abdomen. Nyeri luka insisi di dinding perut secara refleks serung menginduksi spasme otot levator yang menyebabkan konteraksi spastik pada sfingter uretra, dan rasa nyeri ini yang menyebabkan pasien enggan untuk mengkontraksikan otot-otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin. 3. Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea 4. Seksio sesaria pada kasus partus kala II lama sehingga didapatkan adanya iritasi, edema, hematom bahkan kerusakan mukosa dan otot kandung kemih akibat penekanan kepala janin pada dasar panggul. Retensio urin pasca bedah ginekologi
5,6
Disebabkan oleh: 1. Anestesia 2. Rasa nyeri 3. Edema 4. Spasme otot-otot pubokoksigeus. Penyebab retensio urin pada kasus ginekologi dapat disebakan antara lain oleh:
11
1. Obstruksi: prolaps organ pelvis (sistokel, rektokel, prolaps uteri); tumor pelvis (malignansi ginekologi, mioma uteri, kista ovarium); retroverted impacted gravid uterus, dilatasi aneurisma, batu kandung kencing; vesical neoplasma; impaksi fekal; tumor gastrointestinal atau retroperitoneal; striktura uretra; batu uretra; korpus alienum pada uretra; edema uretera. 2. Infeksi dan inflamasi: vulvovaginitis akut; lichen planus vagina; lichen sclerosis vagina; pemfigus vagina; bilharziasis; sistitis; ekinokokosis; guillain barre syndrome;herpes simpleks virus; lyme disease; abses periuretra; mielitis transversus; tuberkular sistitis; uretritis; varicella-zooster virus. 3. Lain-lain: komplikasi post partum; uretral sphincter dysfunction (fowlers syndrome); disrupsi uretra posterior dan bladder neck pada trauma pelvis; komplikasi pasca opertif; psikogenik; obat.
E. PATOFISIOLOGI Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot destrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot destrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesica urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesica urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesica urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki usia 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesica urinaria sehingga menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan, menyebabkan vesica urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesica urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama.6,7
12
F. GEJALA KLINIS Retensio urin memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil, pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus, ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih. Suatu penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling bermakna dalam memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran kencing yang lemah pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna, mengedan saat berkemih, dan nokturia.7
G. DIAGNOSIS Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, pengukuran volume residu urin, sangat dibutuhkan. Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan uroflowmetri, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding cystouretrography. 5,7 Dikatakan normal jika volume residu urin adalah kurang atau sama dengan 50 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 200 ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensio urin. Namun volume residu urin antara 50-200 ml menjadi pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume residu urin normal adalah 25% dari total volume vesika urinaria.2,5,7 Pemeriksaan klinik pada pasien dengan retensio urin akan memberikan informasi dengan adanya massa yang atau tidak keras pada sekitar pelvis pada perkusi yang pekak. Vesica urinaria mungkin dapat teraba transabdominal jika isinya berkisar antara 150-300 cc. Pemeriksaan bimanual biasanya dapat meraba vesica urinaria bila terisi lebih dari 200 cc.3,8
13
Penilaian volume urin sissa (VUS) adalah bagian yang penting dari penanganan pasien-pasien uroginekologi. Volume urin sisa (post void residual) adalah volume urin yang tersisa di kandung kemih setelah selesai berkemih dan secara tidak langsung merupakan refleksi kontraktilitas kandung kemih. Banyak cara untuk melakukan penilaian volume urin sisa. Pemeriksaan bimanual dapat mendeteksi adanya retensio urin yang berat, tetapi cara yang akutat adalah dengan kateterisasi atau ultrasonografi. Metode yang paling sering digunakan adalah dengan kateterisasi (post voiding catheter). Walaupun cara ini adalah yang akurat tetapi bersifat invaasif dan berhubungan dengan resiko terjadinya infeksi (2-3%). Cara ini cukup akurat dalam menilai jumlah urin yang tersisa di kandung kemih, kecuali bila ditemukan adanya divertikula kandung kemih atau refluks vesikouterina. Cara yang terbaru adalah dengan penilaian ultrasonografi (USG). Dari sejumlah penelitian didapatkan bahwa penilaian volume urin sisa dengan menggunakan USG merupakan cara yang sederhana, akurat dan dapat dilakukan berulang-ulang dan tidak invasif tanpa resiko infeksi atau rasa ketidaknyamanan pasien seperti pada kateterisasi.6,7 Pemeriksaan
spesimen
urin
porsi
tengah
dilakukan
secara
mikroskopik, kultur dan sensitivitas, mengingat infeksi traktus urinarius dapat mengakibatkan
retensio urin akut. Infeksi traktus urinarius yang
berulang dapat merupakan komplikasi dari gangguan miksi yang lama dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan manajemen aktif guna menghindari kerusakan lebih lanjut pada traktus urinarius bagian atas. 5,7 Pemeriksaan uroflowmetri merupakan pemeriksaan yang paling simpel untuk melihat adanya gangguan miksi. Pada pasien normal akan terlihat gambaran seperti bel dengan flow rate > 15-20 cc/detik untuk volume urin paling sedikit 150 cc. Pada pasien dengan gangguan miksi terdapat penurunan peak flow rate dan pemanjangan waktu miksi. 7,8 Residu urin adalah sisa volume urin dalam kandung kemih setelah penderita berkemih spontan. Pada pasien post partum spontan dan seksio sesarea, setelah kateter dilepas, bila setelah 4 jam tidak dapat berkemih
14
spontan, dilakukan pengukuran volume residu urin, retensio urin terjadi bila volume >200 cc. Pemeriksaan yang dapat dilakukan cytometri/ video cystouretrography, cystourethroscopy, uretro pressure profilemetry, dan single fibre EMG.7
H. PENATALAKSANAAN Terapi yang tepat untuk pasien dengan retensio urin akut tidak hanya untuk mengurangi gejala tetapi juga untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada fungsi vesica urinaria. Peregangan yang berlebihan pada vesica urinaria dapat menyebabkan dilatasi dari traktus urogenitalia bagian atas yang selanjutnya dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Karena itu tujuan utama kasus ini adalah membuat drainase vesica urinaria. 8,9 Tindakan drainase mungkin dapat diawali dengan pemasangan kateter transurethral. Kateter harus ditinggalkan sampai pasien bisa buang air kecil spontan. Pada beberapa pasien dengan retensio urin akut mungkin hanya membutuhkan pemasangan kateter satu kali, tetapi pada pasien lain (khususnya post operasi) membutuhkan pemasangan kateter dalam jangka waktu yang lama. 9 Untuk menghilangkan gejala overdistensi vesica urinaria biasanya kateter dipasang dan ditinggal selama paling sedikit 24 jam untuk mengosongkan vesica urinaria. Jika kateter sudah dilepas harus segera dinilai apakah pasien sudah buang air kecil secara spontan. Bila pasien tidak bisa buang air kecil secara spontan setelah 4 jam, kateter harus dipasang kembali dan volume residu urin harus diukur. Bila volume residu urin >200 cc atau 100 cc pada post operasi ginekologi kateter harus dipasang kembali.4,7,9 Pada
retensio
urin
digunakan
obat-obatan
yang
dapat
meningkatkan kontraksi kandung kemih dan yang menurunkan resistensi uretra. 1. Obat yang kerjanya disistem saraf parasimpatis
15
Biasanya digunakan obat kolinergik, yaitu obat-obatan yang kerjanya menyerupai asetilkolin. Asetilkolin sendiri tidak digunakan dalam klinik mengingat efeknya difus/ non spesifik dan sangat cepat dimetabolisir sehingga efeknya sangat cepat dimetabolisir sehingga efeknya sangat pendek. Obat kolinergik bekerja diganglion atau di organ akhir (end organ) tetapi lebih banyak disinaps organ akhir, yaitu yang disebut dengan efek muskarinik. Obat-obatan tersebut antara l ain: betenekhol, karbakhol, mutakholin, dan furtretonium. 2. Obat yang bekerja pada sistem saraf simpatis Obat yang menghambat (antagonis) reseptor β diperlukan untuk menimbulkan kontraksi kandung kemih, sedangkan obat antagonis α dipergunakan untuk menimbulkan relaksasi uretra. Yang telah digunakan secara klinis adalah antagonis α, yaitu fenoksibemzamin. Penghambat reseptor ẞ belum tersedia penggunaannya dalam klinik. 3. Obat yang bekerja langsung pada otot polos Beberapa obat yang telah dicoba adalah : barium klorida, histamin, ergotamin, dan polipeptida aktif, akan tetapi belum dapat digunakan secara klinis karena efeknya tidak spesifik. Prostaglandin telah terbukti dapat mempengaruhi kerja otot-otot destrusor. Desmond menyatakan bahwa pengaruh prostaglandin terhadap kandung kemih adalah meningkatkan sensitivitas kandung kemih, meningkatkan tonus dan kontraktilitas otot destrusor, dan juga dapat dipergunakan untuk mengembalikan otot-otot ini jika terganggu kemampuannya dalam menanggapi stimulasi dalam berkemih normal. Penanganan Retensio Urin Post partum:9,10
1. Secara umum, pertama sekali diupayakan dengan segala cara agar pasien tersebut dapat berkemih secara spontan. 2. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke WC untuk berkemih spontan.
16
3. Terapi medikamentosa misalnya dapat diberikan: misoprostol (2 x 1 ml i.m./hari). 4. Diupayakan agar terjadi involusio uteri yang baik, untuk itu diberikan uterotonika agar kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi vesika urinaria. 5. Apabila semua upaya telah dikerjakan akan tetapi tidak juga berhasil untuk mengosongkan buli-buli yang penuh tersebut, barulah terakhir sekali dilakukan kateterisasi, dan jika perlu berulang. Dalan tindakan kateterisasi tersebut, penting sekali dicegah agar kuman tidak ikut terdorong masuk ke dalam buli buli. Hampir semua sistitis terjadi akibat kateterisasi. Penatalaksanaan retensio urin pasca bedah
9,10
1. Penggunaan kateter Pemasangan kateter menetap pasca bedah dipertahankan beberapa lama
untuk
mencegah
peregangan
kandung
kemih
yang
berlebihan, dengan membuat drainase menggunakan trans-uretra kateter nomor 12 sampai 14 f. dari hasil penelitian di Subbagian uroginekologi untuk kasus pasca seksio sesarea, yang terbaik dipertahankan kateter pasca bedah selama 24 jam dan dari kepustakaan ada yang menggunnakan 12 jam dan 24 jam. Setelah 24 jam, kateter harus dilepas dan 4-6 jam kemudian pasien dinilai buang air kecil spontan lalu dilakukan pengukuran sisa urin. Apabila volume sisa urin > 200 ml pada pasca operasi obstetrik (seksio sesarea) atau > 100 ml pasca operasi ginekologi kateter harus dipasang kembali. 2. Obat-obatan 3. Banyak minum 3 liter per 24 jam Gunanya untuk membilas kandung kemih supaya tidak terbentuk endapan yang mana dapat menyebabkan terjadinya infeksi kandung kemih.
17
Gambar 5. Penanganan Retensio Urin (Dikutip dari kepustakaan 6)
I. PENCEGAHAN Pencegahan retensio urin kasus obstetri :
1. Atasi nyeri pada organ pelvis 2. Evaluasi dan ukur urin sisa 6 jam post partum 3. Pemasangan kateter 24 jam untuk partus lama dan distosia partus kala II 4. Pemberian prostaglandin Pencegahan retensio urin kasus ginekologi:
1. Atasi nyeri 2. Pemasangan kateter 24 jam pasca operasi kemudian ukur urin ssisa 6 jam kemudian
18
3. Pemberian prostaglandin
J. KOMPLIKASI Karena terjadinya retensio urin yang berkepanjangan, maka kemampuan elastisitas vesica urinaria menurun dan terjadi peningkatan tekanan intra vesica yang menyebabkan terjadinya reflux sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau dapat juga dilakukan foto BNO-IVP. Komplikasi dapat berupa infeksi saluran kemih, kerusakan kandung kemih dan penyakit ginjal kronik. 10,11
K. KESIMPULAN Wanita dengan inkotinensia dan gejala gangguan kandung kemih yang lain meningkatkan resiko terjadinya kesulitan berkemih dan retensi. Akibat dari retensi adalah timbulnya infeksi traktus urinarius yang rekuren dengan kemungkinan gangguan pada traktus urinarius bagian atas. Pendeteksian terhadap kondisi tersebut merupakan hal yang penting dalam penanganan farmakologi dan pembedahan pada wanita inkotinensia urine yang cenderung menjadi eksaserbasi kesulitan berkemih dan retensi kronik.12
19