PRURIGO Khumaisiyah, S.Ked Bagian/Departemen Dermatovenereologi RSUP Dr. Moh. Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2015 PENDAHULUAN Istilah prurigo mendeskripsikan kelompok penyakit kulit yang ditandai dengan gejala papul atau nodul dengan pruritus hebat. Definisi prurigo sendiri masih diperdebatkan oleh para ahli, ada yang menyatakan bahwa prurigo ditandai dengan pruritus yang hebat, ahli lain menekankan pada ekskoriasi yang terbentuk, dan lainnya menyatakan bahwa tidak terjadi secara lokal karena lesi yang tergores (Burns, T, et.al, 2010). Prurigo merupakan erupsi papular kronik dan bersifat rekurens. Penyakit ini biasanya dianggap sebagai salah satu penyakit kulit yang paling gatal dan lesinya dapat diikuti dengan timbulnya penebalan dan hiperpigmentasi pada kulit tersebut (Wiryadi, BE, 2007). KOCSARD pada tahun 1962 mendefinisikan prurigo papul sebagai papul yang berbentuk kubah dengan vesikel pada puncaknya. Vesikel hanya terdapat dalam waktu yang singkat saja, karena segera menghilang akibat garukan, sehingga yang tertinggal hanya papul yang berkrusta. Papul berkrusta lebih sering terlihat dibandingkan papul primer dengan puncak vesikel. Likenifikasi hanya terjadi sekunder akibat proses kronik (Wiryadi, BE, 2007). Prurigo juga menyerupai keadaan dermatitis atopi, karena dari beberapa kasus pasien yang mengalami prurigo mempunyai riwayat atopi. Di Indonesia angka dermatitis menjadi urutan tertinggi pada penyakit kulit dan prurigo termasuk dalam kriteria dermatitis. Di London, berdasarkan studi penelitian didapatkan prevalensi prurigo dan kondisi pruritus serupa sebanyak 8,2%. Sebuah survey dermatologi di Prancis menyatakan, dari berbagai 76 uji penelitian multipel ditemukan prevalensi pasien dengan pruritus kronik sebanyak 16,5% dari 199 pasien yang menjadi subjek penelitian (Cowan, Alan, 2015). Prurigo merupakan salah satu penyakit kulit yang mampu mengurangi kualitas hidup manusia. Oleh karena itu, penulis membuat sebuah referat yang memaparkan tentang prurigo dalam beberapa klasifikasi prurigo terdiri dari epidemiologi, perideleksi, etiopatogenensis, manifestasi klinis, histopatologi, pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan, prognosis, komplikasi, agar pembaca bisa mengetahui dan memahami serta menangani penyakit kulit berupa prurigo dengan baik dan benar.
1
PEMBAHASAN DEFINISI Prurigo merupakan erupsi papular kronik dan bersifat rekurens. Penyakit ini biasanya dianggap sebagai salah satu penyakit kulit yang paling gatal dan lesinya dapat diikuti dengan timbulnya penebalan dan hiperpigmentasi pada kulit tersebut (Wiryadi, BE, 2007). KOCSARD pada tahun 1962 mendefinisikan prurigo papul sebagai papul yang berbentuk kubah dengan vesikel pada puncaknya. Vesikel hanya terdapat dalam waktu yang singkat saja, karena segera menghilang akibat garukan, sehingga yang tertinggal hanya papul yang berkrusta. Papul berkrusta lebih sering terlihat dibandingkan papul primer dengan puncak vesikel. Likenifikasi hanya terjadi sekunder akibat proses kronik (Wiryadi, BE, 2007).
KLASIFIKASI KOCSARD (1962) membagi prurigo menjadi 2 kelompok: yaitu prurigo simpleks dan dermatosis pruriginosa. Namun terdapat juga bentuk prurigo lain yang juga terdeteksi secara klinis, yaitu prurigo nodularis (tergolong dalam neurodermatitis), prurigo pigmentosa, dan prurigo aktinik. Pada referat ini akan dibahas prurigo nodularis, prurigo pigmentosa dan prurigo simpleks (Wiryadi, BE, 2007). PRURIGO NODULARIS SINONIM Hyde prurigo nodularis, nodul picker, liken simpleks kronis, neurodermatitis sirkumskripta bentuk nodular atipik, Liken Corneus Obtusus (Burns, T, et.al, 2010, James, WD, 2011). DEFINISI Prurigo nodularis merupakan penyakit kulit kronik yang secara klinis ditandai dengan nodul gatal yang hebat dan secara histologis ditandai dengan hiperkeratosis dan akantosis, dengan penonjolan dibawah lapisan epidermis. Prurigo nodularis merupakan bagian dari ekzema (dermatitis). Pada beberapa kasus prurigo nodularis didapatkan adanya riwayat dermatitis atopi atau bentuk lain dari dermatitis (Burns, T, et al, 2010).
2
EPIDEMIOLOGI Prurigo nodularis muncul pada semua usia, terutama pada usia antara 20 sampai 60 tahun. Prevalensi pria dan wanita sama. Namun, pada beberapa penelitian menyatakan bahwa prevalensi prurigo nodularis pada perempuan lebih sering terjadi daripada laki-laki, dan pada laki-laki akan mengalami keadaan yang berat (Fostini, AT, et al, 2013). Pasien dengan riwayat dermatitis atopi (prurigo nodularis atopi) akan memiliki onset yang lebih cepat terkena pada usia lebih muda dibandingkan yang tidak memiliki riwayat dermatitis atopi (prurigo nodularis non atopi) (Goldsmith, LA, 2012). Prurigo nodularis atopi menunjukkan keadaan hipersensitivitas pada alergen yang merupakan pemicu timbulnya prurigo. Sedangkan prurigo nodularis non atopi terjadi pada usia tua dan karena kurangnya respon kutaneus terhadap alergen. Prurigo nodularis tidak menyebabkan peningkatan mortalitas, namun mengurangi kualitas hidup karena morbiditas psikososial yang bersifat kronik, terus-menerus, dan gejala gatal yang hebat (Vaidya, DC, 2011). PREDILEKSI Prurigo nodularis terjadi di seluruh bagian tubuh, namun yang terbanyak pada kulit kepala, leher belakang (pada wanita), ekstermitas bagian ekstensor (lengan atau tungkai), pada permukaan anterior paha, dan region anogenital. Selain itu, pada abdomen dan sakrum juga bisa terjadi prurigo nodularis dengan sedikit kemungkinan (Goldsmith, LA, 2012). Sedangkan menurut Tony Burns (2010), biasanya terdapat pada distal ekstremitas, dan sering pada permukaan ekstensor. Kemudian pada area badan, wajah, dan telapak tangan juga bisa terdapat prurigo nodularis. ETIOPATOGENESIS Penyebab prurigo nodularis masih belum diketahui. Stress dan kondisi emosional menjadi faktor yang berpengaruh pada beberapa kasus, oleh karena itu sulit untuk memastikan diagnosis prurigo nodularis. Sebagian pasien prurigo nodularis mempunyai riwayat dermatitis atopi (Goldsmith, LA, 2012). Sekitar 65-80% pasien memiliki riwayat atopi. Pada pasien ini terjadi pada usia yang lebih muda, meskipun tidak terdapat erupsi eczematosa. Pada 20% kondisi lain diawali setelah gigitan serangga (Burns, T, et.al, 2010). Pada pasien prurigo nodularis non atopik sering disertai riwayat penyakit sistemik sebelumnya, termasuk insufisiensi ginjal, hipertiroidisme, hipotiroidisme, gagal hati, HIV, infeksi parasit atau dengan 3
penyakit keganasan lainnya (Goldsmith, LA, 2012). Prurigo nodularis sering dipicu karena garukan dan gerakan mengelupas, keadaan ini hanya saat timbul respon gatal (Burns, T, et.al, 2010). Faktor lingkungan sangat mempengaruhi respon gatal, seperti panas, berkeringat, dan kondisi iritasi. Selain itu, berdasarkan suatu penelitian bahwa faktor emosional atau psikologi terjadi pada setengah dari 46 pasien prurigo nodularis, dengan riwayat depresi, cemas, dan gangguan psikologi (Goldsmith, LA, 2012). Kondisi yang berhubungan dengan prurigo nodularis Reaksi gigitan serangga Vena statis Follikulitis Gangguan psikosomatik Depresi Ansietas Anxiety Hipertiroidisme Anemia defisiensi besi Gagal ginjal kronik Gangguan hati kronik (hepatitis B and C, ɑ-1 defisiensi amitripsin, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosis primer, sirosis) Human immunideficiency virus Manifesasi penyakit atau keganasan ginjal, hepar, dan gastrointestinal. Mycobacterial infekction Leukemia Limfoma Tabel 1. Kondisi yang berhubungan dengan prurigo nodularis Rasa gatal yang bersifat kronik dipicu oleh keadaan neuropati. Gatal neuropati merupakan sensasi pruritus yang disebabkan lesi primer atau disfungsi jalur aferen sistem saraf dan dengan beberapa kondisi, antara lain neuropati posthepatic, pruritus brakhioradial, dan notalgia parastesi. Terjadi peningkatan protein gene product 9.5 (PGP 9.5), p75 nerve growth factor (NGF) positif dan serabut saraf cacitonin generelated peptide (CGRP) di papilla dermis pasien dengan prurigo nodularis. Selain itu terdapat persamaan pada peningkatan serabut saraf substansi P pada kulit yang terdapat lesi pada pasien prurigo nodularis dan pasien pruritus kronik. Substansi P merupakan mediator yang menginduksi 4
gatal dan peningkatan substansi P juga terjadi pada pasien dengan dermatitis atopi. Beberapa sitokin yang mempengaruhi patogenesis prurigo nodularis termasuk respon Th2-mediated inflammatory yang menyebabkan peningkatan ekspresi faktor STAT6 di laipsan epidermis, dan menginduksi IL-4 dan IL-13. Pada pasien prurigo nodularis dengan riwayat dermatitis atopi terdapat peningkatan level plasma IL-31 dan berhubungan dengan ekspresi IL-4 dan IL13 (Fostini, AT, et.al, 2013). Selain ditemukan adanya peningkatan jumlah calcitonin generelated peptide dan serabut saraf imunoreaktif substansi P di kulit yang mengalami lesi nodular, dan neuropeptida yang menyebabkan gatal hebat. Pada 75% kasus juga ditemukan adanya peningkatan jumlah sel Merkel (Burns, T, et.al, 2010). MANIFESTASI KLINIS Prurigo nodularis ditandai dengan adanya hiperkeratosis, ekskoriasi, papul atau nodul pruritus dengan distribusi simetris di seluruh permukaan ekstremitas bagian ekstensor (Vaidya, DC, 2011). Ukuran lesi tunggal pada prurigo nodularis terbentuk dari papul kecil sampai nodul globular keras dengan diamer 1-3cm (Burns, T, et.al, 2010) atau 0,5 cm sampai 3 cm dan keras pada palpasi dengan hiperkeratosis atau krateriform di permukaan lesi (Goldsmith, LA, 2012). Lesi awal berupa kemerahan dan dengan keadaan serupa urtikaria. Krusta dan sisik menutupi lesi dengan bentuk ekskoriasi. Pada permukaan kulit sering terlihat sedikit kering dan dengan cincin hiperpigmentasi ireguler di sekitar nodul. Jumlah lesi bervariasi dengan ukuran yang besar dan bisa sangat luas, nodul berkelompok (Burns, T, et.al, 2010). Bila perkembangannya sudah lengkap, maka lesi tersebut akan berubah menjadi verukosa atau mengalami fisurasi. Nodul dapat sembuh dengan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pasca inflamasi, baik disertai skar ataupun tidak (Goldsmith, LA, 2012).
Gambar 1. Ekskoriasi, multipel, dan nodul hiperkeratosis dengan area hiperpigmentasi post inflamasi. 5
Gambar 2. Prurigo nodularis (Goldsmith, LA, 2012).
Gambar 3. Nodular prurigo di lengan. (Burns, T, et.al, 2010) Pada pasien dengan riwayat dermatitis atopi, permukaan kulit terlihat adanya likenifikasi dan xerosis. Sedangkan pada pasien tanpa riwayat atopi timbul gejala dari penyakit sistemik yaitu limfadenopati atau limfoma signifikan. (Goldsmith, LA, 2012) HISTOPATOLOGI Perubahan yang terjadi pada prurigo nodularis menyerupai likensimpleks, tetapi hiperkeratosis yang terbentuk lebih besar, dan penonjolan dibawah epidermis ditandai dengan adanya hiperplasia pseudoepiteliomatosa. Infiltrasi padat terjadi pada lapisan dermis, dan terjadi hiperplasia neural dan vaskular. Hal tersebut timbul karena reaksi non spesifik atau adanya garukan yang berulang. Pada beberapa kasus, gambaran histologi menyerupai eczema kronik. Pada penonjolan sel mast, akan terlihat deposit ekstraseluler dari protein eosinofil
6
yang mengalami granulasi seperti protein dasar utama dan neurotoxin eosinofil, sehingga sel mast dan eosinofil sangat berpengaruh pada prurigo nodularis (Burns, T, et.al, 2010).
Gambar 4. Nodular prurigo. Gambar ini menunjukkan penebalan besar yang menjadi likenifikasi. Pertumbuhan lapisan bawah epidermis disebut. Terdapat inflamasi campuran dari infiltrasi sel di dermis dan beberapa sklerosis koladen dermis (Fostini, AT, et.al, 2013). Penebalan epidermis, sehingga tampak hiperkeratosis, hipergranulosis, akantosis yang tak teratur atau disebut juga sebagai hiperplasia psoriasiformis yang tak teratur. Penebalan stratum papilaris dermis, yang terdiri atas kumpulan serat kolagen kasar, yang arahnya tegak lurus terhadap permukaan kulit (disebut sebagai collagen in vertical streaks). Sebukan sel-sel radang di sekitar pembuluh darah yang melebar di dermis bagian atas. Sel-sel tersebut terutama terdiri atas limfosit dan histiosit. Penemuan histologis prurigo nodularis berupa hiperkeratosis padat, ireguler akantolisis, dan infiltrasi mononuklear di dermis. Kolagen dermal dapat meningkat, terutama pada palilodermal dan fibrin subepidermal dapat terlihat. Kedua keadaan tersebut merupakan bukti adanya ekskoriasi. Pada kasus-kasus yang beruhungan dengan gagal ginjal, eliminasi degenerasi kolagen transepidermal dapat ditemukan (James, WD, 2011). PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit sistemik yang dicurigai menyebabkan pruritus, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap, fungsi ginjal, hati, dan tiroid. Pemeriksaan X-ray untuk menyingkirkan diagnosis limfoma. Pemeriksaan HIV dilakukan jika dicurigai pasien memiliki penyakit HIV (James, WD, 2011). Biopsi lesi disarankan untuk eksklusi penyakit lain seperti, karsinoma sel skuamosa, infeksi mikrobakterial, infeksi jamur, dan limfoma kutaneus. Biopsi juga akan 7
memperlihatkan peningkatan jumlah eosinofil untuk prurigo nodularis. Biakan kultur lesi untuk mengeliminasi penyebab sekunder karena infeksi staphylococcus. Tes patch perlu dilakukan untuk tes sensitivitas dan menunjukkan adanya riwayat kontak alergi (Wiryadi, BE, 2007). DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding prurigo nodularis Sering Penyakit perforasi Liken planus hipertrofi Pemfigoid nodularis Prurigo aktinik Keratoakantomas multipel Kadang Skabies nodular Dermatitis herpetiformis Tabel 2. Diagnosis Banding Prurigo Nodularis (Goldsmith, LA, 2012). PENATALAKSANAAN Terapi prurigo nodularis bertujuan membatasi siklus gatal-garuk. Secara umum, untuk menurunkan terjadinya ekskoriasi pasien bisa melakukan beberapa cara, yaitu memotong kuku sangat pendek, menggunakan sarung tangan di malam hari dan menutup bagian lesi agar tidak tergaruk (Burns, T, et al, 2010). Lini pertama untuk mengontrol gatal yaitu dengan pemberian topikal steroid poten dengan hasil yang sama pada pemberian sediaan antipruritus nonsteroid seperti mentol, fenol, atau pramoksin (Goldsmith, LA, 2012). Biasanya, dibutuhkan topikal yang bersifat superpoten, namun pada beberapa kondisi tertentu, dosis yang lebih ringan dapat digunakan dan lebih menguntungkan. (James, WD, 2011). Pemberian steroid intralesi, seperti asetonid triamsinolon dengan berbagai konsentrasi berdasarkan ketebalan plak atau nodul. Steroid intralesi biasanya akan mengeradikasi lesi tunggal, tetapi sayangnya, banyak pasien dengan penyakit yang bersifat komplikasi sehingga lesi yang ditimbulkan tidak dapat diukur (James, WD, 2011). Selain itu, pemberian topikal takrolimus juga sebanding dengan agen steroid. Antihistamin sedatif, seperti hidroksizin, atau antidepresan trisiklik, seperti doksapin digunakan untuk mengurangi rasa gatal di malam hari. Sedangkan untuk gatal yang terjadi terus menerus setiap hari dan atau pada pasien dengan OCD diberikan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Capsaicin, calcipotriene, dan cryotherapy dengan atau injeksi 8
steroid intralesi sangat berguna pada pengobatan pasien prurigo nodularis (Goldsmith, LA, 2012). Ointment Vitamin D3, kalsipotren, takrolimus, yang digunakan secara topikal 2 kali sehari dapat memberikan efek terapi. Isotretinoin 1mg/kgBB/hari untuk 2-5 bulan, dapat menguntungkan bagi beberapa pasien. Pada psien dengan kulit kering dapat menggunakan emolien dan menghindari sabun, dengan penggunaan anihistamin, antidepresan, atau ansiolitik memiliki keuntungan yang sedang dalam mengurangi gejala. Hasil yang memuaskan didapatkan dari talidomid, lenalidomid, poregabalin, dan siklosporin. Penggunaan talidomid memiliki onset yang cepat atau lambat dan terdapat efek sedasi. Dosis inisial 100 mg/hari, dititrasi hingga dosis terendah yang diperlukan. Pasien yang diterapi dengan talidomid memiliki resiko berkembangnya neuropati dose dependent pada dosis kumulatif berkisar 40-50 mg. Lenalidomid merupakan suatu analog dari talidomid, memiliki resiko yang lebih rendah terhadap neuropati tetapi dapat menyebabkan mielosupresi, trombosis vena, dan sindroma steven johson. Prgabalin, 75mg/hari untuk 3 bulan, menunjukkan suatu keberhasilan pada 23 dari 30 pasien pada suatu penelitian, siklosporin pada dosis 3 hingga 4,5 mg/hari juga telah menunjukkan suatu efektivitas dalam mengobati suatu penyakit prurigo yang sulit disembuhkan. Penggunaan terapi PUVA, NB UVB, dan UVA, masing-masing telah menunjukkan efektivitas pada beberapa pasien (James, WD, 2011). PROGNOSIS Prognosis prurigo nodularis bersifat kronis dengan lesi persisten atau lesi yang mengalami rekurensi. Keadaan eksaserbasi muncul ketika adanya respon stres dan emosi meningkat (Goldsmith, LA, 2012). KOMPLIKASI Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pada pasien dengan prurigo nodularis terjadi gangguan siklus tidur yang sama terjadi pada likensimpleks kronis (Goldsmith, LA, 2012). PRURIGO PIGMENTOSA DEFINISI Prurigo pigmentosa adalah dermatosis yang jarang ditemukan dan tidak diketahui penyebabnya, ditandai dengan onset yang mendadak berupa papul-papul eritem atau vesikel9
vesikel yang meninggalkan hiperpigmentasi dengan retikulasi ketika sembuh. (James, WD, 2011) EPIDEMIOLOGI Prevalensi frekuensi pada wanita dua kali lipat dibanding pria. Kondisi ini banyak terjadi pada orang-orang Jepang. Hanya beberapa kasus yang telah dilaporkan terdapat pada orang kulit putih. Rata-rata terjadi pada usia 25 tahun (James, WD, 2011). PREDILEKSI Lesi terdistribusi simetris dan biasanya muncul pada punggung bagian atas, tengkuk, area klavikula, dan dada. Membran mukus tersebar (James, WD, 2011). Prurigo pigmentosa adalah prurigo simpleks atau prurigo mitis dengan warna yang lebih gelap.
Gambar 5. prurigo pimentosa di leher yang menunjukkan papul urtikaria, dan dengan pigmentasi seperti sarang. ETIOPATOGENESIS Penyebab prurigo pigmentosa sama seperti keadaan prurigo lain, belum diketahui. Beberapa penulis menduga bahwa kontak beberapa alergen dapat menjadi patogen atau faktor pemicu. Faktor lingkungan dan metabolik juga diduga sebagai agen kausatif. Akan tetapi patogenesisnya masih belum diketahui. Penyakit ini berhubungan dengan penurunan berat badan, diet, anoreksia, diabetes, ketonuria, dan gangguan metabolik (Burns, T, etc, 2010). Penyakit ini dicetuskan oleh kondisi panas, keringat, dan gesekan. Hal-hal tersebut banyak terjadi pada musim dingin dan semi (James, WD, 2011). MANIFESTASI KLINIS
10
Gambar 6. prurigo pigmentosa di badan baian belakang (Burns, T, etc, 2010). Lesi tunggal berupa makula eritem, papul urtikaria, dan plak urtikaria pawal awal terjadinya erupsi, lalu berkembang menjadi bentuk papul kemerahan dan papulovesikel.
Gambar 7. Prurigo pigmentosa (James, WD, 2011). Kemudian lesi yang matang akan berubah menjadi bentuk krusta dan papul merah bersisik dan terdapat pigmentasi halus pada permukaan makula. Lesi cenderung berkelompok atau konfluen dengan bentuk arkuata dan retikuler. Wujudnya dapat berupa papul, vesikel, dan papulovesikel dengan pola retikuler berwarna kemerahan yang sangat gatal, dan normalnya dalam beberapa hari akan berubah menjadi hiperpigmentasi retikular dan akan sembuh sendiri (Burns, T, 2010). Dalam kasus yang berat dapat berbentuk edema plak infiltrat, tanpa adanya vesikel atau bula. Dapat terjadi eksaserbasi dan rekurensi. HISTOPATOLOGI Histologi pada lesi awal menunjukkan neutrofil pada papiladermal dan terdapat hiperplasia psoriasiform (James, WD, 2011). Pada imunofluoresensi didapatkan hasil yang 11
negatif dan adanya eosinofil dalam darah (Burns, T, etc, 2010). Lesi awal pada prurigo pigmentosa memberikan gambaran infiltrasi yang tersebar di perivaskular dan dermatitis interstisial yang sering terjadi, namun jarang terdapat di lapisan superfisial, melainkan pada lapisan mid-dermal atau lebih dalam lagi. Perubahan secara histopatologi pada perkembangan lesi prurigo pigmentosa berasal dari neutrofil yang tersebar di lapisan epidermis, kemudian menjadi bentuk mikroabses dengan jumlah yang sedikit dan kumpulan neutrofil di bawah lapisan yang megalami kornifikasi. Dengan tingkat spongiosis yang tipis hingga tebal. Spongiosis leih jelas terlihat pada lesi yang mengalami perkembangan (diawal) daripada yang megalami proses penyembuhan. Keratinosit yang mengalami nekrotik kadang dapat ditemukan diantara neutrofil yang tersebar dan spongiosis di lapisan epidermis.
Gambar 8. A-D histopatologi pada lesi awal prurigo pigmentosa, dermatitis perivaskuler bagian supeerfisial dengan spongiosis neutrofil (A dan B) dan abses neutrofil subkornea (C dan D). Pada lesi dengan perkembangan sempurna, terdapat infiltrasi dengan likenifikasi dan limfosit di lapisan dermis (gambar). Keratinosis yang mengalami nekrosis cenderung dalam bentuk soliter atau dalam kelompok kecil.
12
Gambar 9. histopatologi pada lesi sempurna prurigo pigmentosa. Perubahan retikulr dengan keratinosit yang mengalami nektrotis dan neutrofil yang tersebar. Pada lesi tahap penyembuhan, terlihat infiltrasi limfosit yang tersebar di bagian atas lapisan retikular dermis dan papilla dermis. Keratinosit yang mengalami nekrosis ditemukan di lapisan basal. Lapisan kornifikasi menunjukkan adanya parakeratosis dan krusta bersisik. Melanofag pada lapisan papilla dermis dan bagian atas retikular dermis dapat ditemukan dengan jumlah yang sedikit hingga banyak. Lesi juga memperlihatkan tanda bekas gosokan dan garukan yang keras.
Gambar 10. Pada pasien, wanita, 19 tahun, dengan lesi sempurna prurigo pigmentosa. Terdapat makulopapul retikulasi, eritem dengan krusta di bagian belakang (A). Secara histopatologi didapatkan makula eritem dengan beberapa spongiosis, degenrasi lapisan basal, dan infiltasi limfositik perivaskular (JEADV 2012, 26, 1149–1153 Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology a 2011 European Academy of Dermatology and Venereology). PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium digunakan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit lain. Selain itu tes patch dilakukan untuk menyingkikan diagnosis dermatitis kontak alergi. Biopsi spesimen juga bisa dilakukan untuk menyingirkan diagnosis urtikaria, namun lesi yang diambil tidak dalam keadaan scratch marks karena lesi ekskoriasi tidak bisa didiagnosis dengan tepat (James, WD, 2011). DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding pada prurigo pigmentosa dibagi berdasarkan tahap pekembangan lesi. Diagnosis banding pada tahap lesi awal, antara lain urtikaria, vaskulitis leukositoklastik yang berkembang, dermatitis herpetiformis, dermatitis IgA linier, lupus eritematous akut, erupsi psoriasis atau dermatofitosis. Pada lesi tahap perkembangan sempurna, antara lain 13
eritema multiformis dan penyakit Mucha Haberman. Sedangkan pada lesi tahap penyembuhan, kondisi lesi sangat berbeda dari penyakit lain, namun hampir sama dengan hiperpigmentasi postinflamasi. PENATALAKSANAAN Minosiklin, 100-200 mg perhari merupakan terapi pilihan.(andrew dan rooks) Pemberian dapson dengan perubahan pola makan juga efektif, namun steroid topikal tidak efektif (James, WD, 2011). Kira-kira 1-3 pasien memberikan respon yang baik terhadap pemberian dapson (Burns, T, etc, 2010). Selain itu, didapatkan respon yang cepat pada pemberian antibiotik makrolid. Namun tidak didapatkan reespon yang baik terhadap lesi dan gatal pada pemberian antihistamin oral dan stteroid topikal (Burns, T, etc, 2010). Rekurensi dan eksaserbasi biasa terjadi (James, WD, 2011). Beberapa terapi medikamentosa terbukti efektif mengatasi keluhan, seperti Dapson, Minosiklin dan Doksisiklin. Dapson dan Minosiklin dapat menghambat migrasi dan/atau fungsi dari netrofil. Akan tetapi pigmentasi yang ditimbulkan tidak berespon terhadap terapi tersebut. Pemberian sulfamethoxazole disebutkan juga memberikan respon baik. Efek dari sulfamethoxazole pada produksi dari Oxygen Intermediates (Ois) dalam sistem mediasi sel dan sistem oksidase xanthine-xanthine. Ditemukan bahwa dosis terapeutik secara signifikan dapat menurunkan level hidroksil radikal, salah satu oksidan terkuat yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Penemuan ini memberikan kemungkinan bahwa produksi OIs oleh sel-sel infiltrat terlibat dalam proses inflamasi dari prurigo pigmentosa dan penggunaan sulfonamide sebagai anti-inflamasi berefek pada pembentukan OIs dimana hasilnya berupa proteksi melawan reaksi jaringan seperti bentuk liken. PRURIGO SIMPLEKS SINONIM Nama lain dari prurigo simpleks adalah prurigo mitis. Jika warnanya lebih gelap, dapat disebut prurigo pigmentosa. Prurigo kronik mempunyai sinonim dengan dermatitis papular, prurigo subakut, penyakit dengan “itchy red bump”, dan Erupsi Papular Rosan pada laki-laki berkulit gelap yang merupakan variasi dari prurigo simpleks (James, WD, 2011 and Burns, T, et. al, 2010). EPIDEMIOLOGI 14
Prurigo simpleks bisa mengenai anak-anak maupun dewasa. Prurigo papul tampak dalam macam-macam tingkat perkembangan dan ditemukan paling sering pada orang dengan usia pertengahan (James, WD, 2011). PREDILEKSI Tempat yang sering terkena ialah badan dan bagian ekstensor ekstremitas, terbanyak pada tungkai dan bokong. Muka dan bagian kepala yang berambut juga dapat terkena tersendiri atau bersama-sama dengan tempat lainnya. 1 Badan dan permukaan ekstremitas bagian ekstensor yang paling banyak dijumpai dengan distribusi simetris, area lain yang dijumpai pada leher, wajah, tubuh bagian bawah dan pantat (James, WD, 2011). ETIOPATOGENESIS Prurigo simpleks adalah pruritus kronik dengan penyebab idiopatik. (andrew) prurigo simpleks juga hampir menyerupai dermatitis secara alami namun beberapa kasus disebutkan menyerupai prurigo nodular, dengan gambaran klinis yang hampir sama yaitu terjadi pada pasien yang memiliki riwayat penyakit sistemik sehingga menyebabkan pruritus. Keadaan lain yang sama dengan purigo nodularis yaitu bahwa prurigo simpleks juga berhubungan dengan adanya keadaan stress dan faktor psikologi lain pada beberapa kasus (Burns, T, et. al, 2010).
MANIFESTASI KLINIS Prurigo ditandai dengan lesi papul prurigo menyerupai bentuk kubah dengan vesikel kecil di permukaannya. Vesikel biasanya bersifat sementara karena vesikel akan pecah dengan garukan, sehingga krusta dari papul lebih sering terihat (James, WD, 2011). Lesi biasanya muncul dalam kelompok-kelompok sehingga papul-papul, vesikel-vesikel dan jaringanjaringan parut sebagai tingkat perkembangan penyakit terakhir dapat terlihat pada saat yang bersamaan. Tampak lesi yang terdistribusi simetris, kecil, gatal yang terus menerus, dan terlihat sebagai papul beratap seperti kubah dan kadang terdapat lepuh. Gatal yang hebat dapat membuat pasien terus menerus menggaruk sehingga memberikan gambaran papul ekskoriasi disertai likenifikasi atau penebalan pada kulit.
15
Gambar 11. Prurigo simpleks di regio cruris antero-medial dextra. HISTOPATOLOGI Histopatologi prurigo simpleks tidak spesifik, tetapi sering diduga sebagai suatu reaksi arthropod. Spongiosis disertai dengan infiltrat mononuklear perivaskular dengan beberapa eosinofil sering ditemukan. Banyak kondisi yang bisa menyebabkan papul eritem prutitus, yaitu: skabies, dermatitis atopik, reaksi gigitan serangga, urtikaria papular, herpetiformis dermatitis, dermatitis kontak, likenoideas pitiriasis et varioliformis akut (pleva), transient akantolisis dematitic, ovuji papuloeritoderma, dermatografisme, dan urtikaria fisik (James, WD, 2011). PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis dan mencari penyebab penyakit sistemik pada prurigo simpleks. Biopsi pada lesi juga menunjukkan keadaan dermatitis non spesifik (Burns, T, etc, 2010). Biopsi dapat digunakan untuk membedakan herpetiformis dermaitiis, pleva, transient skantolisis Ddermatitis, dan pada kondisi tertentu pada skabies yang tidak terdeteksi (James, WD, 2011). DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding prurigo simpleks antara lain, dermatitis herpetiformis, dermatitis eczematosa subakut, pemfigus bullosa urtikaria, dermatografism/urtikaria fisik. PENATALAKSANAAN 16
Penngobatan pada terapi awal prurigo simpleks dan varaiannya berupa kortikoksteroid topikal dan antihistamin oral. Pada proses awal penyakit, steroid potensi sedang hingga kuat; jika tidak respon dengan pengobatan tersebut, maka diberikan pengobatan dengan potensi kuat berdasarkan indikasi pemberian, karena fenomena rebound bisa terjadi. Injeksi intralesi triamsinolon dapat mengeradikasi lesi tunggal. Untuk lesi yang sulit dihilangkan, terapi UVB atau PUVA dapat dilakukan (James, WD, 2011). Pengobatan secara simptomatik, diberikan obat untuk mengurangi gatal seperti antihistamin, baik sistemik (sedatif) maupun topikal. Lesi juga berespon terhadap pemberian kortikosteroid topikal, dan terapi UVA dan UVB untuk kasus tertentu. Terdapat penelitian pada kasus prurigo simpleks subakut diterapi dengan ‘foil bath PUVA’ pada konsentrasi 0.5 mg 8-methoxypsoralen. Terapi tersebut dinyatakan aman dan dapat ditoleransi dengan baik untuk prurigo simpleks subakut. Pada dasarnya, pengobatan pada prurigo simpleks sama dengan pada prurigo nodularis dan cenderung lebih sulit. Pemberian topikal seperti crotamiton atau 0,5% mentol dalam krim aqueous sering digunakan. Selain itu, beberapa pasien memberikan hasil yang baik pada pengobatan dengan UVB atau PUVA (Burns, T, et al, 2010). KOMPLIKASI Prurigo simpleks juga dapat menyebabkan stres karena rasa sangat gatal hebat hingga sering membuat sulit tidur (Burns, T, et al, 2010).
KESIMPULAN Prurigo merupakan erupsi papular kronik dan bersifat rekurens. Penyakit ini biasanya dianggap sebagai salah satu penyakit kulit yang paling gatal dan lesinya dapat diikuti dengan timbulnya penebalan dan hiperpigmentasi pada kulit tersebut. Prurigo terdiri dari prurigo nodularis, prurigo pigmentosa, dan prurigo simpleks. Secara epidemiologi, semua jenis purigo bisa pada semua usia, dan hampir sama perbandingan pada wanita dan pria. Etiologi prurigo sendiri masih belum diketahui dan banyak faktor yang mempengaruhi. Predileksi yang terkena bisa hampir seluruh tubuh, terutama ektremitas bagian ekstensor. Manifestasi klinis 17
pada semua jenis prurigo hampir samaberupa infiltrasi perivaskular dan dermatitis interstisial. Penatalaksanaan yang diberikan berbeda pada masing-masing klasifikasi prurigo, namun pada dasarnya mengurangi intensitas respon gatal. Komplikasi pada semua jenis prurigo sama yaitu adanya gangguan sulit tidur dan keadaan stress karena rasa gatal yang hebat dan bisa terus menerus.
REFERENSI Akar, HH, F. Tahan, S. Balkanli, S. Sadet Ozcan. 2014. Prurigo Simplex subacute or prurigo simplex acuta?. Keayseri: Erciyes University School of Medicine. Boer, A, et al. 2003. Prurigo Pigmentosa: A Distinctive Inflammatory Disease of the Skin. Hamburg: Am J Dermatopathol. Bolognia, JL, Joseph L. Jorezzo, Ronald P. Rappini. 2008. Dermatology, Second Edition. Pennysilvania: Elsevier Inc.
18
Burns, Tony, Stephen Breathnach, Neil Cox, Christopher Griffiths. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology. UK: Blackwell Publishing Ltd. Cowan, Alan, Gil Yosipovitch. 2015. Pharmacology of Itch. Berlin: Springer Ltd. Fostini, AC, Giampiero G, Gianpolo T. 2013. Purigo Nodularis: An Update On Etiopathogenesis and Therapy. Verona: J Dermatolog Department of Verona Medicine. Goldsmith, Lowell A., Stephen I. Katz, Barbara A. Grilchrest, et al. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. United States: The McGraw-Hill Companies, Inc. James, WD, Timothy G. Berger, Dirk M. Elston. 2011. Andrew’s Diseases Of The Skin Clinical Dermatology Eleventh Edition. Pennysilvania: Elsevier Inc. Vaidya, DC & Robert A. Scwartz. 2008. Prurigo Nodularis: A Benign Dermatosis Derived From A Persistent Pruritus. New Jersey: Dermatology and Pathology, New Jersey Medical School. Wiryadi, BE. 2007. Prurigo. Dalam: Djuanda, A. Hamzah, M dan Aisah, S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
19