BAB I PENDAHULUAN Kandidiasis adalah infeksi jamur tersering pada manusia. Di Amerika Serikat, 80 juta penduduk menderita gangguan kesehatan yang disebabkan Candida. Kandidiasis terjadi di seluruh dunia dan menyerang segala usia, baik laki-laki maupun wanita, tetapi data menunjukkan 70% penderitanya adalah wanita. Di Indonesia, dialaporkan 84%penderita AIDS yang dirawat di RSCM juga menderita kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur oportunistik candida albicans (Kuswadji, 2006). Candida merupakan jamur komensal yang antara lain hidup dalam rongga mulut, saluran pencernaan, dan vagina. Akan tetapi, jika keseimbangan flora normal seseorang terganggu atatupun pertahanan imunnya menurun, maka sifat komensal candida ini d ini dapat berubah menjadi pathogen. Beberpaa spesies antara lain C. albicans, C. stellatoidea, dan C. tropicalis yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Dari beberapa spesies tersebut, C. albicans dianggap sebagai spesies paling pathogen dan menjadi penyebab utama terjadinya kandidiasis (Kuswadji, 2006; Madgalena, 2009). Meningkatnya prevalensi kendidiasis juga disebabkan oleh berbagai faktor predisposisi, seperti rendahnya daya tahan tubuh hospes; pasien menjalani pengobatan dengan antibiotik spectrum luas dalam jangka lama; iritasi kronik akibat pemakaian protesa yang tidak sesuai (Kuswadji, 2006).
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kandidiasis adalah penyakit infeksi primer atau sekunder yang menyerang kulit, kuku, selaput lendir dan alat dalam yang disebabkan oleh berbagai spesies Candida (Sutanto, 2008). B. Etiologi Penyebab yang tersering ialah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina. Genus Candida merupakan sel ragi uniseluler yang termasuk ke dalam Fungi imperfecti atau Deuteromycota, kelas Blastomycetes yang memperbanyak diri dengan cara bertunas, famili Cryptococcaceae. Genus ini terdiri lebih dari 80 spesies, yang paling patogen adalah C. albicans selain itu adalah C. Glabrata, C. tropicalis, C. parapsilosis, C. guillermondii dan C. Krusei. C.albicans merupakan penyebab tersering (60-75%) berbagai manifestasi klinis (Syarifuddin, 2002). Candida adalah penyebab tersering ruam bokong pada bayi, dimana daerah tersebut sangat lembab. Infeksi kandida umumnya terjadi terutama pada penderita diabetes dan obesitas. Antibiotik dan kontrasepsi oral meningkatkan risiko terjadinya kandidiasis kutaneus (Scott, 2009). C. Epidemiologi Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Hubungan ras dengan penyakit ini tidak jelas tetapi insidensi diduga lebih tinggi di negara berkembang. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada daerah tropis dengan kelembaban udara yang tinggi (Kuswadji, 2008; Siregar, 2004). Infeksi superfisialis pada umumnya disebabkan oleh Candida albicans, sedangkan infeksi sistemik lebih bervariasi, kurang dari 50 % disebabkan oleh Candida non Candida albicans (Sutanto, 2008).
2
D. Faktor Risiko Faktor risiko yang berperan dalam perubahan sifat Candida dari komensal menjadi patogen meliputi faktor endogen dan faktor eksogen. Pada faktor endogen dipengaruhi oleh keadaan fisiologik, faktor yang berpengaruh antara lain kehamilan, usia pasien yang sangat muda atau sangat tua serta siklus menstruasi pada pasien wanita, selain itu beberapa faktor yang turut mempengaruhi perubahan tersebut diantaranya adalah keadaan malnutrisi (defisiensi riboflavin) penyakit endokrin seperti diabetes melitus serta penyakit keganasan. Di samping itu pengobatan dengan antibiotik, kortikosteroid, sitostatik maupun imunosupresan juga dapat meningkatkan prevalensi kandidiasis. Sementara faktor eksogen yang berpengaruh terhadap terjadinya kandidiasis antara lain adalah iklim panas dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat, kebersihan kulit, kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, ontak dengan penderita (misal pada trush atau balanopositis) (Kuswadji, 2008). Faktor risiko berperan dalam meningkatkan pertumbuhan Candida albicans serta memudahkan invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia karena adanya perubahan dalam sistem pertahanan tubuh. (Sutanto, 2008).
E. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang muncul dapat berupa gatal yang mungkin sangat hebat. Terdapat lesi kulit yang kemerahan atau terjadi peradangan semakin meluas, makula atau papul, mungkin terdapat lesi satelit (lesi yang lebih kecil yang kemudian menjadi lebih besar). Lesi terlokalisasi di daerah lipatan kulit, genital, bokong, di bawah payudara atau di daerah kulit yang lain. Infeksi folikel rambut (folikulitis) mungkin seperti “pimple like appearance” (Scott, 2009). Berdasarkan tempat yang terkena Conant dkk. (1971), membaginya menjadi kandidiasis selaput lendir, kandidiasis kutis, kandidiasis sistemik, dan reaksi id. (kandidid). 3
1. Kandidiasis selaput lendir a. Kandidiasis oral (thrush), b. Perleche c. Vulvovaginitis d. Balanitis atau balanopostitis e. Kandidiasis mukokutan kronik f. Kandidiasis bronkopulmonar dan paru. 2. Kandidiasis kutis meliputi a. Lokalisata yaitu daerah intertriginosa dan daerah perianal b. Generalisata c. Paronikia dan onikomikosis d. Kandidiasis kutis granulomatosa. 3. Kandidiasis sistemik meliputi a. Endokarditis b. Meningitis c. Pielonefritis d. Septikemia 4. Reaksi id. (kandidid) 1) Kandidiasis selaput lendir a.
Trush Merupakan Pseudomembranous candidiasis atau biasa disebut
thrush merupakan jenis oral candidiasis yang paling sering dijumpai. Jenis ini biasanya dijumpai pada bayi dan orang yang sangat lemah. Thrush pada dewasa bisa merupakan pertanda adanya gangguan kekebalan, kemungkinan akibat diabetes atau AIDS. Jenis ini juga dijumpai pada orang yang melakukan terapi kortikosteroid dan yang mengalami penurunan sistem imun seperti HIV. Jenis ini dapat dikenali dengan adanya lesi berwarna putih menyerupai gumpalan keju atau susu pada mukosa bukal mulut. Lesi putih tersebut tersusun atas kumpulan hype kusut, ragi, sel-sel epitel, sel api, fibrin dan debris (Neville, 2002). Lesi ini umumnya tidak nyeri dan dapat dilepaskan dengan mudah akan 4
tetapi meninggalkan permukaan yang berdarah. Pada orang dewasa lebih sering terjadi inflamasi, eritema, dan terkikisnya bagian mulut yang menimbulkan rasa menyakitkan (Kuswadji, 2008). Gejala
lain
yang
dialami
pasien
yang
timbul
akibat
pseudomembranous candidiasis ini yaitu rasa makanan buruk dan terkadang tidak berasa serta sensasi terbakar pada mulut dan kerongkongan. Selain itu, lesi putih tersebut sering hilang secara spontan sebagai akibat dari meningkatnya kondisi pasien (Brooks, 2007). Pada glositis kronik, lidah tampak halus dengan papila yang atrofik atau lesi berwarna putih di tepi atau di bawah permukaan lidah. Bercak putih tidak tampak jelas bila penderita sering merokok.
Gambar 2.1. Trush b.
Perleche Perleche merupakan suatu infeksi Candida di sudut mulut yang
menyebabkan retakan dan sayatan kecil. Bisa berasal dari gigi palsu yang letaknya bergeser dan menyebabkan kelembaban di sudut mulut sehingga tumbuh jamur. Lesi berupa fisur pada sudut mulut, lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah dan dasarnya eritematosa. Faktor predisposisinya adalah defisiensi riboflavin (Kuswadji, 2006).
5
Gambar 2.2. Perleche c. Kandidiasis vulvovagina Radang pada vulva dan vagina biasanya sering terdapat pada penderita diabetes melitus (kencing manis) karena kadar gula di dalam darah dan air seni yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam epitel vagina. Keluhan utama ialah gatal di daerah vulva. Pada yang berat terdapat pula rasa panas, nyeri sesudah BAK, dan nyeri saat senggama. Pada pemeriksaan yang ringan, tampak kemerahan di bibir vagina dan vagina terutama 1/3 bagian bawah. Sering pula terdapat kelainan yang khas ialah bercak-bercak putih kekuningan. Pada kelainan yang berat juga terdapat bengkak pada bibir vagina dan luka yang dangkal pada bibir vagina dan sekitar vagina. Keputihan pada kandidosis vagina berwarna kekuningan. Tanda yang khas ialah disertai gumpalan-gumpalan seperti kepala susu berwarna putih kekuningan. Gumpalan tersebut berasal dari bagian yang terlepas dari dinding vagina terdiri atas sel-sel yang mati, sel-sel epitel, dan jamur (Kuwadji, 2008).
Gambar 2.3. Kandidiasis Vulvovagina d. Balanitis Sering terjadi pada penderita diabetes atau pria yang pasangannya menderita infeksi vagina. Biasanya infeksi menyebabkan ruam bersisik pada bagian bawah penis, dan menimbulkan nyeri, gatal, timbulnya bercak putih pada glans penis, dan mudah berdarah. (Kuswadji, 2008)
6
Gambar 2.4. Balanitis e. Kandidiasis mukokutan kronik Penyakit ini timbul karena adanya kekurangan fungsi leukosit atau sistem hormonal, biasanya terdapat pada penderita dengan bermacammacam defisiensi yan bersifat genetik, umumnya terdapat pada anakanak. Gambaran klinisnya mirip penderita dengan defek poliendokrin. 2) Kandidiasis kutis a. Kandidiasis intertriginosa Terjadi di lipatan ketiak, lipat paha, lipat payudara, antara jari tangan dan kaki dan umbilikalis. Biasanya terjadi pada orang-orang gemuk. Gejalanya berupa bercak kemerahan berbatas tegas, bersisik, basah, dan dikelilingi lesi-lesi satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer (Kuswadji, 2008).
Gambar 2.5. Kandidiasis Intertriginosa b. Kandidiasis perianal Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit ini menimbulkan pruritus ani.
7
Gambar 2.6. Kandidiasis Perianal c. Kandidiasis kutis generalisata Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga pada lipat payudara, intergluteal dan umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis dan paronikia. Lesi berupa ekzematoid dengan vesikelvesikel dan pustul-pustul. Penyakit ini sering terdapat pada bayi karena
ibunya
menderita
kandidiasis
vagina
atau
gangguan
imunologik (Kuswadji, 2008). d. Paronikia dan onikomikosis (jamur pada kuku) Infeksi jamur pada kuku dan jaringan sekitarnya ini menyebabkan rasa nyeri dan peradangan sekitar kuku. Kadang-kadang kuku rusak dan menebal. Sering diderita oleh orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan air, bentuk ini tersering didapat. Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah, kuku menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang berwarna kecoklatan, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat sisa jaringan di bawah kuku seperti pada tinea unguium.
Gambar 2.7. Paronikia Dan Onikomikosis
8
e. Diaper-rash Sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti sehingga dapat menimbulkan dermatitis iritan (perdadangan kulit karena kontak dengan bahan yang menyebabkan iritasi), juga sering diderita bayi sebagai gejala sisa peradangan kulit di mulut atau sekitar anus.
Gambar 2.8. Diaper-rash f. Kandidiasis granulomatosa Kelainan ini merupakan bentuk yang jarang dijumpai. Manifestasi kulit berupa pembentukan granuloma yang terjadi akibat penumpukan krusta serta hipertrofi setempat. Houser dan Rothman melaporkan bahwa penyakit ini sering menyerang anak-anak, lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbul seperti tanduk sepanjang 2 cm, lokalisasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku, badan, tungkai, dan tenggorokan (Kuswadji, 2008). 3) Kandidiasis sistemik a. Endokarditis (peradangan pada katup jantung) Sering terdapat pada penderita morfinis sebagai akibat komplikasi penyuntikan yang dilakukan sendiri, juga dapat diderita oleh penderita sesudah operasi jantung. b. Meningitis (radang selaput otak) Terjadi karena penyebaran jamur melalui pembuluh darah, gejalanya sama dengan meningitis tuberkulosis atau karena bakteri lain. 4) Reaksi id (Kandidid) 9
Reaksi yang terjadi akibat adanya metabolit kandida, klinisnya berupa vesikel-vesikel yang bergerombol, terdapat pada sela jari tangan atau bagian badan lainnya, mirip dermatofitoid. Di tempat tersebut tidak ada elemen jamur. Bila lesi kandidosis diobati, kandidid kan menyembuh. Jika dilakukan uji kulit dengan kandidin (antigen kandida) memberi hasil positif. F. Patogenesis Kelainan yang disebabkan oleh spesies kandida ditentukan oleh interaksi yang komplek antara patogenitas fungi dan mekanisme pertahanan pejamu. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan gejala klinis, yaitu: 1. Faktor penentu patogenitas kandida adalah (Madgalena, 2009; Conny, 2006): a) Spesies Genus kandida mempunyai 200 spesies, 15 spesies dilaporkan dapat menyebabkan proses pathogen pada manusia. C. albicans adalah kandida yang paling tinggi patogenitasnya. b) Daya lekat Bentuk hifa dapat melekat lebih kuat daripada germtube, sedang germtube melekat lebih kuat daripada sel ragi. Bagian terpenting untuk
melekat
adalah
suatu
glikoprotein
permukaan
atau
mannoprotein. Daya lekat juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. c) Dimorfisme C. albicans merupakan jamur dimorfik yang mampu tumbuh dalam kultur sebagai blastospora dan sebagai pseudohifa. Dimorfisme terlibat dalam patogenitas kandida. Bentuk blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan dengan mengeluarkan enzim hidrolitik yang merusak jaringan. Setelah terjadi lesi baru terbentuk hifa yang melakukan invasi. d) Toksin Toksin glikoprotein mengandung mannan sebagai komponen toksik. Glikoprotein khususnya mannoprotein berperan sebagai 10
adhesion dalam kolonisasi jamur. Kanditoksin sebagai protein intraseluler diproduksi bila C. albicans dirusak secara mekanik. e) Enzim Enzim diperlukan untuk melakukan invasi. Enzim yang dihasilkan oleh C. albicans ada 2 jenis yaitu proteinase dan fosfolipid. 2. Mekanisme pertahanan pejamu (Kuswadji, 2006) : a. Sawar mekanik : Kulit normal sebagai sawar mekanik terhadap invasi kandida. Kerusakan mekanik pertahanan kulit normal merupakan faktor predisposisi terjadinya kandidiasis. b. Substansi antimikrobial non spesifik : Hampir semua hasil sekresi dan cairan dalam mamalia mengandung substansi yang bekerja secara non spesifik menghambat atau membunuh mikroba. c. Fagositosis dan intracellular killing Peran sel PMN dan makrofag jaringan untuk memakan dan membunuh spesies kandida merupakan mekanisme yang sangat penting untuk menghilangkan atau memusnahkan sel jamur. Sel ragi merupakan bentuk kandida yang siap difagosit oleh granulosit. Sedangkan pseudohifa karena ukurannya, susah difagosit. Granulosit dapat juga membunuh elemen miselium kandida. Makrofag berperan dalam melawan kandida melalui pembunuhan intraseluler melalui system mieloperoksidase (MPO). d. Respon imun spesifik Imunitas seluler memegang peranan dalam pertahanan melawan infeksi kandida. Terbukti dengan ditemukannya defek spesifik imunitas seluler pada penderita kandidiasi mukokutan kronik, pengobatan imunosupresif dan penderita dengan infeksi HIV. Sistem imunitas humoral kurang berperan, bahkan terdapat fakta yang memperlihatkan titer antibodi antikandida yang tinggi dapat menghambat fagositosis. 1) Mekanisme imun seluler dan humoral Tahap pertama timbulnya kandidiasis kulit adalah menempelnya kandida pada sel epitel disebabkan adanya interaksi antara glikoprotein permukaan
kandida
dengan
sel
epitel.
Kemudian
kandida 11
mengeluarkan zat keratinolitik (fosfolipase), yang menghidrolisis fosfolipid membran sel epitel. Bentuk pseudohifa kandida juga mempermudah invasi jamur ke jaringan. Dalam jaringan kandida mengeluarkan faktor kemotaktik neutrofil yang akan menimbulkan reaksi radang akut (Kuswadji, 2006). Lapisan luar kandida mengandung mannoprotein yang bersifat antigenik sehingga akan mengaktifasi
komplemen
dan
merangsang
terbentuknya
imunoglobulin. Imunoglobulin ini akan membentuk kompleks antigenantibodi di permukaan sel kandida, yang dapat melindungi kandida dari fungsi imunitas tuan rumah. Selain itu kandida juga akan mengeluarkan zat toksik terhadap netrofil dan fagosit lain (Kuswadji, 2006). 2) Mekanisme non imun Interaksi antara kandida dengan flora normal kulit lainnya akan mengakibatkan persaingan dalam mendapatkan nutrisi seperti glukosa. Menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel pejamu menjadi syarat mutlak untuk berkembangnya infeksi. Secara umum diketahui bahwa interaksi antara mikroorganisme dan sel pejamu diperantarai oleh komponen spesifik dari dinding sel mikroorganisme, adhesin dan reseptor.
Manan
dan
manoprotein
merupakan
molekul-
molekul Candida albicans yang mempunyai aktifitas adhesif. Khitin, komponen kecil yang terdapat pada dinding sel Candida albicans juga berperan
dalam
aktifitas
adhesif.
Pada
umumnya Candida
albicans berada dalam tubuh manusia sebagai saproba dan infeksi baru terjadi bila terdapat faktor predisposisi pada tubuh pejamu (Kuswadji, 2006). 3. Faktor predisposisi terjadinya infeksi ini meliputi faktor endogen maupun eksogen, antara lain (Kuswadji, 2006; Madgalena, 2009): a. Faktor endogen : 1) Perubahan fisiologik (Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina, kegemukan, karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik,
12
endokrinopati, gangguan gula darah kulit, penyakit kronik : tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk). 2) Umur : orang tua dan bayi lebih sering terkena infeksi karena status imunologiknya tidak sempurna. 3) Imunologik : penyakit genetik. b. Faktor eksogen : 1) Iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat 2) Kebersihan kulit 3) Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur. 4) Kontak dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopostitis. Faktor predisposisi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan Candida albicans serta memudahkan invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia karena adanya perubahan dalam sistem pertahanan tubuh. Blastospora berkembang menjadi hifa semu dan tekanan dari hifa semu tersebut merusak jaringan, sehingga invasi ke dalam jaringan dapat terjadi. Virulensi ditentukan oleh kemampuan jamur tersebut merusak jaringan serta invasi ke dalam jaringan. Enzim-enzim yang berperan sebagai faktor virulensi adalah enzimenzim hidrolitik seperti proteinase, lipase dan fosfolipase (Madgalena, 2009). Pada manusia, Candida albicans sering ditemukan di dalam mulut, feses, kulit dan di bawah kuku orang sehat. Candida albicans dapat membentuk blastospora dan hifa, baik dalam biakan maupun dalam tubuh. Bentuk jamur di dalam tubuh dianggap dapat dihubungkan dengan sifat jamur, yaitu sebagai saproba tanpa menyebabkan kelainan atau sebagai parasit patogen yang menyebabkan kelainan dalam jaringan. Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa sifat patogenitas tidak berhubungan dengan ditemukannya Candida albicans dalam bentuk blastospora atau hifa di dalam jaringan. Terjadinya kedua bentuk tersebut dipengaruhi oleh tersedianya nutrisi, yang dapat ditunjukkan pada suatu percobaan di luar tubuh. Pada keadaan yang menghambat pembentukan tunas dengan bebas, tetapi yang masih memungkinkan jamur tumbuh, maka dibentuk hifa (Madgalena, 2009).
13
Rippon (1974) mengemukakan bahwa bentuk blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan. Sesudah terjadi lesi, dibentuk hifa yang melakukan invasi. Dengan proses tersebut terjadilah reaksi radang. Pada kandidosis akut biasanya hanya terdapat blastospora, sedang pada yang menahun didapatkan miselium. Kandidiasis di permukaan alat dalam biasanya hanya mengandung blastospora yang berjumlah besar, pada stadium lanjut tampak hifa. Hal ini dapat dipergunakan untuk menilai hasil pemeriksaan bahan klinik, misalnya dahak, urin untuk menunjukkan stadium penyakit. Kelainan jaringan yang disebabkan oleh Candida albicans dapat berupa peradangan, abses kecil atau granuloma (Madgalena, 2009). G. Penegakkan Diagnosis Diagnosis
kandidiasis
dapat
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis dapat diketahui faktor predisposisi dan gejala klinis pada pasien. Tergantung dari jenis kandidiasis yang dialami. Dari hasil anamnesis biasanya didapatkan pasien mengeluh gatal-gatal diserati kemerahan. Gatal-gatal yang dirasakan muncul tiba-tiba dan semakin lama semakin meluas. Gatal diikuti dengan adanya rasa perih dan awalnya basah. Karakteristik dari kandidiasis plak eritem batas tegas disertai lesi papul eritem
disekelilingnya
(lesi
satelit),
pseudomembran
(pada
mukosa/intertriginosa/interdigitalis). Efloresensi atau sifat-sifatnya yaitu kulit berupa daerah eritematosa, erosif, kadang-kadang dengan papula dan bersisik. Pada keadaan kronik, daerah-daerah likenifikasi, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan terkadang berfisura. Sedangkan pada kuku berupa kuku tak bercahaya, berwarna hitam coklat, menebal, kadang-kadang bersisik. Sekitar kuku eritematosa, erosif dengan vesikel (Siregar, 2004). Dalam menegakkan diagnosis kandidiasis, maka dapat dibantu dengan adanya pemeriksaan penunjang, antara lain (Kuswadji, 2006): 1. Pemeriksaan langsung
14
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu. 2. Pemeriksaan biakan Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37°C, koloni tumbuh setelah 24-48 jam, berupa yeast like colony. Identifikasi Candida albicans dilakukan dengan membiakkan tumbuhan tersebut pada corn meal agar. 3. Pemeriksaan pH vagina Pada kandidiasis vulvovaginalis pH vagina normal berkisar antara 4,04,5 bila ditemukan pH vagina lebih tinggi dari 4,5 menunjukkan adanya bakterial vaginosis, trikhomoniasis atau adanya infeksi campuran. H. Diagnosis Banding 1. Kandidiasis kutis lokalisata dengan (Kuswadji, 2006): a. Eritrasma b. Dermatitis intertriginosa c. Dermatofitosis ( tinea ) 2. Kandidiasis kuku dengan tinea unguium 3. Kandidiasis vulvovaginitis dengan : a. Trikomonas vaginalis b. Gonore akut c. Leukoplakia d. Liken planus I.
Penatalaksanaan Saat ini telah banyak tersedia obat-obat antimikosis untuk pemakaian secara topikal maupun oral sistemik untuk terapi kandidiasis akut maupun kronik. Kecenderungan saat ini adalah pemakaian regimen antimikosis oral 15
maupun lokal jangka pendek dengan dosis tinggi. Antimikosis untuk pemakaian lokal/topikal tersedia dalam berbagai bentuk, misalnya krim, lotion, vaginal tablet dan suppositoria. Tidak ada indikasi khusus dalam pemilihan bentuk obat topikal. Untuk itu perlu ditawarkan dan dibicarakan dengan penderita sebelum memilih bentuk yang lebih nyaman untuk pasien. Untuk keradangan pada vulva yang ekstensi mungkin lebih baik dipilih aplikasi lokal bentuk krim. Hendaklah mengingatkan pasien untuk menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi (Sandy et al, 2000). Penatalaksanaan untuk kandidiasis antara lain (Kuswadji, 2006): Non Medikamentosa : 1. Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi : a. Pemakaian antibiotik secara hati-hati b. Menghindari obesitas c. Menghindari bekerja pada tempat-tempat yang lembap/banyak air (Siregar, 2004). 2. Higiene sanitasi yang baik : 3. Menghentikan pemakaian obat-obatan yang tidak perlu 4. Mengobati penyakit sistemik yang mendasari Medikamentosa 1. Topikal Obat topikal untuk kandidiasis meliputi: a. Larutan ungu gentian ½-1% untuk selaput lendir, 1-2% untuk kulit, dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari, b. Nistatin: berupa krim, salap, emulsi, c. Amfoterisin B, d. Grup azol antara lain: 1) Mikonazol 2% berupa krim atau bedak 2) Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim 3) Tiokonazol, bufonazol, isokonazol 4) Siklopiroksolamin 1% larutan, krim 5) Antimikotik yang lain yang berspektrum luas (Kuswadji, 2006). 2. Sistemik 16
a. Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna, obat ini tidak diserap oleh usus. b. Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidosis sistemik c. Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500 mg per vaginam dosis tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2 x 200 mg selama 5 hari atau dengan itrakonazol 2 x 200 mg dosis tunggal atau dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal. d. Itrakonazol bila dipakai untuk kandidosis vulvovaginalis dosis untuk orang dewasa 2 x 100 mg sehari selama 3 hari. 3. Khusus: a. Kandidiasis intertriginosa : pengobatan ditujukan untuk menjaga kulit tetap kering dengan penambahan bedak nistatin topikal, klotrimazol atau mikonazol 2 kali sehari. Pasien dengan infeksi yang luas ditambahkan dengan flukonazol oral 100 mg selama 1-2 minggu atau itrokonazol oral 100 mg 1-2 minggu. b. Diaper disease : Mengurangi waktu area diaper terpapar kondisi panas dan lembab. Pengeringan udara, sering mengganti diaper dan selalu menggunakan bedak bayi atau pasta zinc oxide merupakan tindakan pencegahan yang adekuat. Terapi topikal yang efektif yaitu dengan nistatin, amfoterisin B, mikonazol atau klotrimazol. b. Paronikia : pengobatan dengan obat topikal biasanya tidak efektif tetapi dapat dicoba untuk paronikia kandida yang kronis. Solusio kering atau solusio antifungi dapat digunakan.Terapi oral yang dianjurkan dengan itrakonazol atau terbinafin (Lies, 2005). Penggolongan obat antimikotik 1. Polyenes Antimikotik golongan polyenes ditemukan pada awal tahun 1950-an. Golongan polyenes efektif untuk melawan semua spesies ragi karena berikatan dengan membran sel jamur. Efek pengrusakan membran sel tergantung kuatnya ikatan antara polyenes dengan sterol khususnya
17
ergosterol yang banyak dikandung oleh dinding sel jamur, sedangkan dinding sel manusia banyak mengandung kolesterol (Wolfk et al, 2007). Golongan polyenes yang paling banyak dipakai adalah nystatin. Obat ini juga aman diberikan pada wanita hamil. Pemberian peroral tidak dapat diserap oleh usus dan hanya diberikan peroral untuk mengobati kandidiasis gastrointestinal saja. Golongan polyenes yang lain adalah amphoterisin B. Golongan polyenes bekerja dengan cara merusak membran sel eukariota dan menimbulkan efek toksik pada membran jamur. Efek kerusakan membran tersebut karena polyenes mempunyai daya ikat yang tinggi dengan ergosterol yang membentuk membran sel jamur (Wolfk et al, 2007). 2. Azol Golongan azol dikembangkan sekitar akhir tahun 1960-an dan tersedia dalam bentuk sediaan topikal dan sistemik. 3. Imidazol a. Imidazol merupakan generasi pertama kelompok azol. Mikonazol
adalah imidazol yang pertama di pasaran, yang lainnya adalah: klotrimazol,
ekonazol,
ketokonazol,
isokonazol,
omokonazol,
oksikonazol, fentikonazol dan tiokonazol. Dari semua imidazol hanya ketokonazol yang mempunyai bentuk oral dan sistemik (Unair, 2007). b. Cara kerja azol termasuk di sini derivat imidazol maupun triazol adalah
melakukan penghambatan 14a-demethylase, suatu enzim dependent cytochrom p 450 yang sangat diperlukan untuk sintesa ergosterol. Golongan imidazol mempunyai efek penyembuhan klinis dan mikologis sebesar 85-95%. Pemakaian yang hanya satu kali perhari dan lama pemakaian hanya 1 sampai 7 hari yang dirasakan lebih nyaman untuk penderita maka banyak dipakai sehingga menggeser pemakaian nystatin (Conny, 2006). c. Berbagai macam derivat imidazol digunakan secara topikal, berbagai penelitian yang telah dilakukan tidak membuktikan bahwa obat yang satu lebih superior dari yang lainnya. Semuanya menunjukkan 18
efektifitas yang sama bila diberikan secara topikal, serta bebas dari efek samping sistemik (Conny, 2006). d. Sejak imidazol topikal pertama diperkenalkan, klotrimazol 100 mg
selama 6 hari, merupakan terapi jangka panjang. Selanjutnya kecenderungan terapi diarahkan menjadi jangka pendek, klotrimazol 200 mg diberikan selama 3 hari. Akhir-akhir ini dosis tinggi lokal yang diberikan hanya 1 kali menjadi lebih disukai (klotrimazol 500 mg) dibandingkan dengan dosis tunggal peroral dari azol generasi yang berikutnya. Ketokonazol adalah satu-satunya imidazol yang dapat diberikan peroral dan sekarang mulai digeser pemakaiannya dengan azol yang lainnya (Conny, 2006). 4. Triazol a. Azol generasi ketiga adalah goongan triazol yang dikembangkan pada
tahun 1980. Derivat triazol yang pertama adalah itrakonazol, dan yang lainnya adalah flukonazol dan terkonazol (Scott, 2009). b. Efek terapi itrakonazol dosis tunggal yang diteliti pada tikus percobaan
menunjukkan dalam waktu 24 jam obat telah mempengaruhi perubahan ultrastruktur dinding sel dan dalam waktu 3 hari jamur tereradikasi sempurna dari epitel vagina. Penelitian lanjutan terhadap jaringan vagina manusia menunjukkan 200 mg dosis tunggal itrakonazol peroral memberikan efek penghambatan dalam waktu 3 hari. Pemanjangan efek itrakonazol diakibatkan karena adanya kemampuan lipofilik obat tersebut. Akhirnya angka penyembuhan klinis dan mikologis tidak berbeda untuk terapi jangka pendek peroral dari itrakonazol dengan pemakaian topikal golongan imidazol (Scott, 2009). c. Efek samping pemberian obat antimikotik golongan azol umumnya
adalah rasa tidak nyaman pada daerah gastrointestinal, dapat terjadi gejala hepatotoksis pada pemberian ketokonazol (jarang), sedangkan reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi. Flukonazol secara umum dapat ditoleransi dengan baik walaupun mempunyai efek gastro intestinal (mual, muntah) (Scott, 2009).
19
d. Triazol yang ketiga adalah terkonazol. Terkonazol adalah satu-satunya
triazol yang tersedia dalam bentuk topikal, dengan efektifitas yang sama dengan triazol bentuk oral. Di Amerika, terkonazol tersedia dalam bentuk krim 0,4 untuk regimen 7 hari dan 0,8% untuk regimen 3 hari, selain itu tersedia juga bentuk supossitoria vagina 80 mg untuk regimen 3 hari. Derivat triazol ini mempunyai spektrum aktivitas yang luas, awal kerja yang lebih cepat, lebih efektif dan lebih kecil efek sampingnya. Pada saat ini terkonazol belum tersedia di Indonesia (Scott, 2009). J.
Komplikasi Adapun komplikasi kandidiasis yang bisa terjadi, antara lain : 1.
Rekurens atau infeksi berulang kandida pada kulit
2. Infeksi pada kuku yang mungkin berubah menjadi bentuk yang aneh dan mungkin menginfeksi daerah di sekitar kuku 3. Disseminated candidiasis yang mungkin terjadi pada tubuh yang immunocompromised (Scott, 2009). K. Pencegahan Keadaan umum dan higienitas yang baik dapat membantu pencegahan infeksi kandida, yaitu dengan menjaga kulit selalu bersih dan kering. Bedak yang kering mungkin membantu pencegahan infeksi jamur pada orang yang mudah terkena. Penurunan berat badan dan kontrol gula yang baik pada penderita diabetes mungkin membantu pencegahan infeksi tersebut (Scott, 2009). L. Prognosis Prognosis kandidiasis superfisialis pada pasien imunokompeten cukup baik, sedangkan pada penderita HIV/AIDS, penggunaan obat antiretroviral menurunkan angka kandidiasis orofaring secara bermakna. Pada kandidiasis sistemik, diagnosis dini dan pemberian dosis antifungi yang sesuai
20
memberikan prognosis cukup baik, kecuali bila keadaan penyakit sudah lanjut (Kuswadji, 2006).
21
BAB III KESIMPULAN 1. Kandidiasis merupakan penyakit infeksi primer atau sekunder yang menyerang kulit, kuku, selaput lendir dan alat dalam yang disebabkan oleh berbagai spesies Candida 2. Penyebab tersering dari Candida albicans adalah yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina. 3. Faktor risiko yang berperan dalam perubahan sifat Candida dari komensal menjadi patogen meliputi faktor endogen dan faktor eksogen. 4. Gejala klinis yang muncul dapat berupa gatal dan terdapat lesi kulit yang kemerahan atau terjadi peradangan semakin meluas, makula atau papul. Lesi terlokalisasi di daerah lipatan kulit, genital, bokong, di bawah payudara atau di daerah kulit yang lain. 5. Penatalaksanaan terpenting dari kandidiasis adalah menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi yang meliputi pemakaian antibiotik secara hati-hati, menghindari obesitas, dan menghindari bekerja pada tempat-tempat yang lembab atau banyak air.
22
DAFTAR PUSTAKA Conny, Riana. 2006. Karakteristik Candida Albicans. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran, Volume 151. PP 33-5 Kuswadji. 2006. Kandidiasis. Dalam: Djuanda A., Hamzah M., Aishah A., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV, Balai Penerbit Fakulats Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. PP: 103-6 Kuswadji. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta Lies Marlysa Ramali, Sri Wardani. Kandidiasis Kutan dan Mukokutan. Dalam: Dermatomikosis superfisialis. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2005 ; 55-66 Madgalena, Maria. 2009. Candida Albicans. Departemen Mikrobiologi: Fakultas Kedokteran USU Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. 2002. Oral & Maxillofacial Pathology. 2nd ed. Pennsylvania: Saunders. 187-199 Sandy S Suharno. Tantien Nugrohowati, Evita H. F. Kusmarinah. 2000. Mekanisme Pertahanan Pejamu pada Infeksi Kandida. Dalam : Media Dermato-venereologica Indonesiana, Jakarta; 187-92 Scott L F. 2009. Cutaneous Candidiasis. Available from http:// www. emedicine. com/ (2009). Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. ECG. Jakarta SMF Ilmu Kulit Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Airlangga University Press. Pp:86-92 Sutanto, I., Ismid I.S., Sjarifuddin P.K. dan Sungkar S. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi 4. Balai Penerbit FK UI, Jakarta Syarifuddin. 2002. Epidemologi Kandidosis. J Mikol Ked Indon Vol 3, No.1 dan No.2, Desember; 20-3 WolfK, Richard AJ, Dick S. 2007. Candidiasis. Dalam : Fitzpatrick. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Ed 5th. New york. McGraw Hill Company
23