BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Malnutrisi
adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan
protein energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh 1 . Secara umum malnutrisi terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan overnutrisi. Undernutrisi atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus, kwashiorkor, serta marasmic – kwashiorkor. Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah marasmikkwashiorkor. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang menderita gizi buruk pada tahun 2000–2002, dan 815 juta diantaranya hidup di negara berkembang. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (balita). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas (Survei Sosial dan Ekonomi Nasional) tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.1,2 Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka kejadian gizi kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan indikator berat badan per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan yang ada dalam profil kesehatan Kota Palembang tahun 2007 dijelaskan bahwa angka gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4% menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka KEP total tahun 2007 adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding dengan tahun 2006 yaitu 4% dan balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12% bila dibanding tahun 2006 terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada tahun 2008 dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang gizi atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil pantauan di 889 posyandu aktif. Hal tersebut
1
menunjukkan bahwa untuk Kota Palembang, angka kurang gizi pada balita juga masih tegolong tinggi. Pada tahun 2010, angka kejadian gizi buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi gizi buruk tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8 kasus (33,3%). Angka kejadian gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Ilir Timur 1 sebanyak 143 kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga.3 Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberculosis (TB), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54% angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19% diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria, dan 32% penyebab lainnya.4 Mengingat banyaknya masalah serta tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak dengan gizi buruk, maka kami menulis referat yang berjudul “Patogenesis, Diagnosis, dan Penatalaksanaan Marasmik-Kwashiorkor pada Anak”.
2
1.2.
Tujuan Penulisan Referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang
patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan marasmik kwashiorkor pada anak.
1.3.
Manfaat Penulisan Melalui penulisan referat ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan marasmik kwashiorkor pada anak.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus,
iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis / kemerahan. Marasmik-kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor.1 Sedangkan menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Departemen Kesehatan RI 2003 marasmik-kwashiorkor adalah gizi buruk dengan gambaran klinik yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus dengan BB/U < 60 % baku median WHO-NHCS disertai edema yang tidak mencolok.5 2.2.
Klasifikasi Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP,
klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut: 2.1.1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS6
Klasifikasi KEP
BB/U
BB/TB
Ringan
70-80%
80-90%
Sedang
60-70%
70-80%
Berat
<60%
<70%
Table 1. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS6
4
2.1.2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI
Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:6 BB/TB
TB/U
(berat menurut tinggi)
(tinggi menurut umur)
Mild
80 – 90 %
90 – 94%
Moderate
70 – 79 %
85 – 89 %
Severe
< 70 %
<85 %
Table 2. Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI6 2.1.3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956)
Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.6 Derajat KEP
Berat badan % dari baku*
0 (normal)
≥90%
1 (ringan)
89-75%
2 (sedang)
74-60%
3 (berat)
<60%
Table 3. Klasifikasi KEP menurut Gomez6 2.1.4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967)
McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Gejala klinis edema disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan
5
pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum.6
Gejala klinis / laboratoris
Angka
Edema
3
Dermatosis
2
Edema disertai dermatosis
6
Perubahan pada rambut
1
Hepatomegali
1
Albumin serum atau protein total serum/g % <1,00
<3,25
7
1,00-1,49
3,25-3,99
6
1,50-1,99
4,00-4,74
5
2,00-2,49
4,75-5,49
4
2,50-2,99
5,50-6,24
3
3,00-3,49
6,25-6,99
2
3,50-3,99
7,00-7,74
1
>4,00
>7,75
0
Tabel 4. Klasifikasi KEP menurut McLaren6 Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita: 0-3 angka
= marasmus
4-8 angka
= marasmic-kwashiorkor
9-15 angka
= kwashiorkor
6
Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan cara Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan laboratorium. 2.1.5. Klasifikasi Menurut Wellcome Trust Party (1970)
Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnose yang salah. Seperti pada penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang lain) yang sudah dirawat selama satu minggu, edema pada tubuh pasien sudah tidak terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus.6 Berat badan %
Edema Tidak ada
Ada
>60%
Gizi kurang
Kwashiorkor
<60%
Marasmus
Marasmik-Kwashiorkor
dari baku
Tabel 5. Klasifikasi KEP menurut Wellcome Trust Party6 2.1.6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)
Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun. Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.6 Gangguan Derajat
Stunting (BB/U)
Wasting(BB/TB)
0
>95%
>90%
1
95-90%
90-80%
7
2
89-85%
80-70%
3
<85%
<70%
Tabel 6. Klasifikasi KEP menurut Waterlow6
2.1.7. Klasifikasi menurut Jelliffe
Jelliffe mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB) menurut umur (U) sebagai berikut:6 Kategori
BB/U (% baku)
KEP I
90 – 80
KEP II
80 – 70
KEP III
70 – 60
KEP IV
<60
Tabel 7. Klasifikasi KEP menurut Jelliffe6 2.3.
Epidemiologi
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang menderita gizi buruk pada tahun 2000 – 2002, dengan 815 juta orang yang hidup di negara berkembang. Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat badan menurut umur), 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi buruk tersebut ada 150.000 menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor,
8
yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif di Puskesmas dan Rumah Sakit. Masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi hampir di semua Kabupaten dan Kota. Pada saat ini masih terdapat 110 Kabupaten / Kota dari 440 Kabupaten / Kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi di atas 30% (berat badan menurut umur). Menurut WHO keadaan ini masih tergolong sangat tinggi. Berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2005, total kasus gizi buruk sebanyak 76.178 balita. Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka kejadian gizi kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan indikator berat badan per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan yang ada dalam profil kesehatan Kota Palembang tahun 2007 dijelaskan bahwa angka gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4% menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka KEP total tahun 2007 adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding dengan tahun 2006 yaitu 4% dan balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12% bila dibanding tahun 2006 terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada tahun 2008 dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang gizi atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil pantauan di 889 posyandu aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk Kota Palembang, angka kurang gizi pada balita juga masih tegolong tinggi. Pada tahun 2010, angka kejadian gizi buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi gizi buruk tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8 kasus (33,3%). Angka kejadian gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Ilir Timur 1 sebanyak 143 kasus.
9
2.4.
Etiologi Penyebab KEP berdasarkan / bagan sederhana yang disebut sebagai “model
hirarki” yang akan terjadi setelah melalui lima level seperti yang tertera sebagai berikut:7
10
Bagan 1. Model Hirarki penyebab KEP7 UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro (Bagan 2) sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh:7
1. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering 11
menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit. 2. Penyebab tidak langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu : •
Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
•
Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.
•
Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan. 3. Pokok masalah di masyarakat
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya
masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak
langsung. 4. Akar Masalah
Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997. Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.
12
Bagan 2. Etiologi Gizi Buruk Hasil penelitian Erledis Simanjuntak menunjukkan bahwa banyak faktor resiko terjadinya KEP pada balita diantaranya: penyakit infeksi, jenis kelamin, umur, berat badan lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, imunisasi tidak lengkap, nomor urut anak, pekerjaan ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang
13
rendah, ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar dan lain- lain.8 Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai berikut: •
Penyakit Infeksi
•
Tingkat Pendapatan Orang Tua yang rendah
•
Konsumsi Energi yang kurang
•
Perolehan Imunisasi yang kurang
•
Konsumsi Protein yang kurang
•
Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu. Selain itu besarnya masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu lekatnya tradisi dan kebiasaan yang mengakar di masyarakat khususnya dibidang makanan, cara pengolahan makanan, dan cara penyajian serta menu masyarakat kita dengan segala tabu-tabunya. Salah satu penyebab malnutrisi (kurang gizi) diantaranya karena faktor ekonomi yaitu daya beli yang rendah dari para keluarga yang kurang mampu. Nampaknya ada hubungan yang erat antara pendapatan keluarga dan status gizi anak-anaknya. Pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor terjadinya kurang gizi
pada balita, karena masih banyak orang yang
beranggapan bahwa bila anaknya sudah kenyang berarti kebutuhan mereka terhadap gizi sudah terpenuhi.9 2.5.
Patogenesis Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan
makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD-3SD),
maka
terjadilah
kwashiorkor
(malnutrisi
akut
/
”decompensated
malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah
14
marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik / compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.10 Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.11,12 Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Ha ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak edema.11,12
15
Bagan 3. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor
16
2.6.
Manifestasi Klinis Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak mencolok. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Penampilan muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seperti orang tua. Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya, iga gambang, bokong baggy pant, perut cekung, wajah bulat sembab.Perubahan mental adalah anak mudah menangis, walapun setelah mendapat makan karena anak masih merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat. Kelainan pada kulit tubuh yaitu kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkankehilangan banyak lemak di bawah kulit serta otot-ototnya. Kelainan pada rambut kepala walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas. Pada saluran pencernaan, penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. Tidak jarang terdapat bradikardi, dan pada umumnya tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak sehat seumur. Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang dan ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. Selain itu anak mudah terjangkit infeksi yang umumnya kronis berulang akibat defisiensi imunologik.6 Gejala klinis kwashiorkor yaitu penampilannya seperti anak yang gemuk (sugar baby) bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya atrofi. Pertumbuhan terganggu, berat badan dibawah 80% dari baku Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika KEP sudah berlangsung lama.Perubahan mental sangat mencolok. Pada umumnya mereka banyak menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis. Perbaikan kelainan
17
mental tersebut menandakan suksesnya pengobatan. Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita kwashiorkor. Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema. Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring terusmenerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat berjalan-jalan. Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat penderita menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair dan mengandung banyak asam laktat karena mengurangnya produksi laktase dan enzim disaharidase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula oleh cacing dan parasit lain.Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture) maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor ialah rambut yang mudah dicabut. Misalnya tarikan ringan di daerah temporal menghasilkan tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si penderita. Pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam, kering, halus, jarang, dan berubah warnanya. Warna rambut yang hitam menjadi merah, coklat kelabu, maupun putih. Rambut aslipun menunjukkan perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian dengan rambut matanya yang justru memanjang. Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi namacrazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah menyerupai petehia, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam. Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagianbagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas yang masih hitam. Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy pavement dermatosis, seperti di punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainpun dapat ditemui, seperti kulit yang kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petehia tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita.6 Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadangkadangbatas hati terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar denganmudah dapat
18
dirabah dan terasa kenyal pada rabahan dengan permukaanyang licin dan pinggir yang tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat terutama di segi tiga Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak sel hatiyang terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat perlemakanterdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya fibrinosis dan nekrosis hati. Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita demikian.
Bilamana
kwashiorkor
disertai
oleh
penyakit
lain,
terutama
ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada kwashiorkor
bermacam-macam,
seperti
normositik
normokrom,
mikrositik
hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya. Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein, seperti zat besi, asam folik, vitamin B12, vitamin C, tembaga, insufisiensi hormon, dan sebagainya. Macam anemiayang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan. Pada pemeriksaan sumsum tulang sering-sering ditemukan mengurangnya sel sistem eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun.6 Tabel 7. Manifestasi klinis pada Marasmus-kwashiorkor Marasmus
Kwshiorkor Pertumb
•
Obesitas Perubah
•
wajah
•
uhan berkurang
an mental sampai
bulat dengan pipi
atau berhenti
apatis
tembem dan dagu
Terlihat
•
sangat kurus
•
Anemia
•
Perubah
Penampil
•
rangkap •
leher relatif pendek
an warna dan
dada
an wajah seperti
tekstur rambut,
orangtua
mudah dicabut /
membusung dengan
rontok
payudara membesar
Perubah
•
an mental
Ganggua
•
19
•
- perut membuncit dan
•
Cengeng
•
Kulit kering, dingin,
n sistem gastrointestinal
Lemak
Perubah
•
an kulit
menghilang hingga turgor kulit
Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas
Edema
•
simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh.
Vena
•
superfisialis tampak jelas Ubun –
•
ubun besar cekung tulang
•
pipi dan dagu kelihatan menonjol mata
•
tampak besar dan dalam •
Kadang terdapat bradikardi
•
Burried penis,
- pubertas dini
berbentuk X) dengan kedua pangkal paha
otot
berkurang
pada anak laki-laki :
- genu valgum (tungkai Atrofi
•
-
gynaecomastia
ran hati
subkutan
•
Pembesa
•
mengendor, keriput •
striae abdomen
Tekanan darah lebih rendah 20
bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang dapat menyebabkan laserasi kulit
dibandingkan anak sebaya *Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala marasmus dan kwashiorkor
a. Marasmus4
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut: -
Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak.
-
Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai hubungan orang tua – anak terganggu.
-
Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.
-
Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.
b. Kwashiorkor5
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor antara lain. 1. Pola makan Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
21
2. Faktor sosial Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor. 3. Faktor ekonomi Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya. 4. Faktor infeksi dan penyakit lain Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. c.
Marasmic – kwashiorkor6 Penyebab marasmic – kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh.
22
Gambar 1. Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor 2.7.
Diagnosis Diagnosis
untuk
marasmus-kwashiorkor
dapat
ditegakkan
berdasarkan
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan antropometrik.13,14 1. Manifestasi klinis: anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang,
serta penyakit yang pernah diderita) dan pemeriksaan fisik. Manifestasi yang umumnya timbul adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula satu atau lebih manifestasi klinis marasmus dan kwashiorkor lainnya. 2. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah tepi yaitu Hb
memperlihatkan anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hepar, kadar
albumin serum sedikit menurun.Kadar elektrolit seperti Kalium dan
Magnesium rendah, bahkan K mungkin sangat rendah, sedangkan kadar Natrium, Zinc, dan Cuprum bisa normal atau menurun. Kadar glukosa darah umumnya rendah, asam lemak bebas normal atau meninggi, nilai β-lipoprotein 23
dapat rendah ataupun tinggi, dan kolesterol serum rendah. Kadar asam amino esensial plasma menurun. Kadar hormon insulin umumnya menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapar normal, rendah, maupun tinggi. Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai kasus dengan perlemakan yang berat. Pada pemeriksaan radiologi tulang tampak pertumbuhan tulang yang terlambat dan terdapat osteoporosis ringan. 3. Antropometrik: ukuran yang sering dipakai adalah berat badan, panjang / tinggi
badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipaan kulit. Diagnosis ditegakkan dengan adanya data antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). Dari pemeriksaan antropometrik dapat diklasifikasikan menurut Wellcome Trust Party, klasifikasi menurut Waterlow, klasifikasi Jelliffe, dan klasifikasi berdasarkan WHO dan Depkes RI.
2.8.
Penatalaksanaan Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:4
24
25
Bagan 4. Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk4 Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang dikelompokkan menjadi 5, yaitu:4 Kondisi I Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:4 1. Pasang O2 1-2L/menit 2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%) 3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan 4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:4
26
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB 2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml 3. 2 jam pertama •
berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB setiap pemberian
•
catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi III Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III, dengan tindakan segera, yaitu:4 1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT) 2. 2 Jam pertama •
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap pemberian
•
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:4 1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB 2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml 3. 2 jam pertama •
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan (NGT)
•
catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:4 1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral 2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran
Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 faseyang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14),
27
faserehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Dimana tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:4
*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1 minggu/kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit Bagan 5. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk A. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor (10 Langkah
utama) Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia
28
( suhu ketiak <36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut.4,15 Bila kadar gula darah dibawah 50 mg/dl, berikan: 1. 50 ml “bolus” (pemberian sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa 10%
(1 sdt gula dalam 5 sdm air) secara oral atau pipa naso-gastrik. 2. Selanjutnya berikan larutan tsb. setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali
berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam). 3. Berikan antibiotika (lihat langkah 5). 4. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah 6).
Pemantauan: •
Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam.
•
Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit
•
Bila gula darah turun lagi sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml (bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit sampai stabil.
•
Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36C dan/atau kesadaran menurun.
Pencegahan : •
Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi yang ada dikoreksi.
•
Selalu memberikan makanan sepanjang malam.
Catatan : Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP berat/gizi buruk menderita hipoglikemia dan atasi segera dengan ditatalaksana seperti tersebut di atas. Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia Bila suhu ketiak <36C :
29
Periksalah suhu dubur dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia.4,15 Bila suhu dubur <36C : •
Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu)
•
Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala, letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau peluk anak di dada ibu, selimuti (metoda kanguru).
•
Berikan antibiotika (lihat langkah 5).
Pemantauan: •
Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit
•
Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam hari
•
Raba suhu anak
•
Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.
Pencegahan: •
Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).
•
Sepanjang malam selalu beri makan
•
Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat tidur)
•
Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu lama).
Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi Jangan menggunakan “jalur intravena / i.v.” untuk rehidrasi kecuali pada keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. (Lihat penanganan kegawatan).4,15 Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium dan kurang kalium untuk digunakan pada penderita KEP berat/gizi buruk. Sebagai pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus yaitu Resomal. Tidaklah mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat/gizi buruk dengan
30
menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat/gizi buruk dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi:4,15 •
Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit selama 2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik.
•
Selanjutnya beri 5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
•
Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.
•
Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).
•
Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan anak mulai kencing.
Pemantauan Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2 jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan memantau: denyut nadi, pernafasan, frekwensi kencing, frekwensi diare / muntah. Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung, tetapi pada KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan.4,15 Tanda kelebihan cairan: frekwensi pernafasan dan nadi meningkat, edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam. Pencegahan: •
Bila diare encer berlanjut:Teruskan pemberian formula khusus (langkah 6)
•
Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama)
•
Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml setiap kali buang air besar cair
•
Bila masih mendapat ASI, teruskan.
31
Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati edema dengan pemberian diuretikum). 4,15 Berikan : •
Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
•
Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari)
•
Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
•
Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam. Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan). Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi Pada KEP berat / gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.Karenanya pada semua KEP berat/gizi buruk beri secara rutin:4,15 •
Antibiotik spektrum luas
•
Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak menjadi baik.
Catatan: Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus. Pilihan antibiotik spektrum luas: 1. Bila tanpa komplikasi:Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2
x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg),Atau
32
2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri : •
Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari. Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam secara oral.Dan
•
Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.
3. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol
25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari. 4. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria positif. 5. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari. 6. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap, termasuk
lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar. Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal.4,15 Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah : •
Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.
•
Berikan secara oral/nasogastrik
•
Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari
•
Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari
•
Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
•
Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.
33
Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.4,15 Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.4,15 Pantau dan catat:Jumlah yang diberikan dan sisanya, Muntah, Frekwensi buang air besar dan konsistensi tinja, BB (harian). Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik, tetapi pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik. Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah berhati-hati, lihat bab diare persisten. Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan 50g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.4,15 Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan :4,15 •
Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
34
•
Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200 ml/kgBB/hari). Pemantauan pada masa transisi: frekwensi nafas, frekwensi denyut nadi. Bila
terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas. Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi: •
Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
•
Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
•
Protein 4-6 gram/kgBB/hari
•
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar. Pemantauan setelah periode transisi : kemajuan dinilai berdasarkan
kecepatan pertambahan berat badan : timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan, evaluasi kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB: •
kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh : cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.
•
baik ( 50 g/minggu ), lanjutkan pemberian makanan
Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya. Berikan setiap hari:4,15 •
Suplementasi multivitamin
•
Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
•
Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
•
Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
•
Bila BB mulai naik : Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10 mg/kgBB/hari 35
•
Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda / gejala defisiensi vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.
Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenanya berikan:4,15 •
Kasih sayang
•
Lingkungan yang ceria
•
Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
•
Aktifitas fisik segera setelah sembuh
•
Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).
Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita dipulangkan.Peragakan kepada orangtua tentang pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat dan terapi bermain terstruktur.4,15 Nasehatkan kepada orang tua untuk : •
Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di Puskesmas
•
Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMTPemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran 5) dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di posyandu / puskesmas.
•
pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat
•
penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu
•
Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal
36
Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000 SI ) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.
B. Pengobatan Penyakit Penyerta 1. Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan14 atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis diberikan vitamin A dengan dosis:4,15 •
umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali
•
umur 6 - 12 bulan : 100.000 SI/kali
•
umur 0 - 5 bulan : 50.000 SI/kali Bila ada ulkus dimata diberikan : tetes mata khloramfenikol atau salep
matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faal.4,15 2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya: hipo / hiperpigmentasi, deskuamasi (kulit mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksisekunder, antara lain oleh Candida.4,15 Tatalaksana : a. kompres
bagian
kulit
yang
terkena
dengan
larutan
KmnO4
(Kpermanganat) 1% selama 10 menit b. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor) c. usahakan agar daerah perineum tetap kering d. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral 3. Parasit / Cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat antihelmintik lain.4,15 4. Diare Melanjut
37
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula bebas / rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.4,15 5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin / Mantoux (sering kali anergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB.4,15 C. Kegagalan Pengobatan
Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat badan:4,15 1. Tingginya angka kematian. Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi
kematian •
dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis yang terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi kurang tepat.
•
dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau pemilihan formula tidak tepat
•
malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu cepat.
2. Kenaikan berat-badan tidak adekuat pada fase rehabilitasi. Penilaian
kenaikan BB: Baik Kurang
: 50 gram/kgBB/minggu : <50 gram/kgBB/minggu.
Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara lain: •
pemberian makanan tidak adekuat
•
defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral
•
infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.
•
masalah psikologik.
38
D. Penanganan Pasien Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas
Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis sudah menghilang, BB/U mencapai minimal 70% atau BB/TB mencapai minimal 80%.4,15 Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, di rumah harus diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6 gram/kgBB/hari): •
beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling sedikit 5 kali sehari
•
beri makanan selingan di antara makanan utama
•
upayakan makanan selalu dihabiskan
•
beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
•
teruskan ASI.
E. Tindakan Kegawatan 1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairanintravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.4,15 Pedoman pemberian cairan : a. Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer
dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam pertama. Evaluasi setelah 1 jam. b. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan)
dan status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal / pengganti, peroral / nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula khusus (F-75 / pengganti).
39
c. Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam
hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75 / pengganti)
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila:Hb < 4 g/dl, atau Hb 4-6 g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal jantung. Transfusi darah : •
Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
•
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan packed red cells untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
•
Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai. Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.
2.9.
Pencegahan KEP
Prevalensi KEP ringan seperti pendek dan kurus kering adalah 40-50 % sementara KEP berat mencapai 5-10 % pada negara yang sedang berkembang. Jika kasus KEP ini bisa dideteksi awal dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan serta langkah yang tepat maka KEP berat dapat dicegah dengan mudah. Tidaklah bijaksana jika hanya mengobati malnutrisi berat yang datang ke sarana layanan kesehatan. Seolah-olah seperti fenomena gunung es. Oleh karena itu diperulkan pendekatan kepada masyarakat terutama masyarakat level ekonomi menengah ke bawah. Di bawah ini adalah beberapa pendekatan penanganan nutrisi yang bisa dilakukan di masyatakat : 2.9.1. Penganekaragaman makanan dan pendidikan gizi
Pendekatan ini difokuskan kepada pendidikan ibu / pengasuh terhadap pentingnya makanan seimbang melalui penganekaragaman makanan. Ini juga
40
ditujukan agar ibu bisa mengolah bahan makanan dari kebun dan hasil pertanian. Pendidikan gizi ini berfokus pada : •
Mengubah pola pikir ibu yang salah tentang pemberian makan dan proses menyusui, serta paparan sinar matahari, yang sering dipengaruhi oleh budaya dan kepercayaan yang keliru.
•
Memperbaiki
kesalahan
pembagian
jatah
makanan
di
rumah
antaranggota keluarga yang dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. •
Menumbuhkan kesadaran terhadap status gizi anak serta penanganan praktis dan tepat jika terjadi gangguang status gizi pada anak.
•
Pentingnya ASI eksklusif.
•
Meningkatkan higiene (hygiene personal, makanan, dan lingkungan).
•
Pentingnya imunisasi.
•
Pentingnya menanam buah-buahan dan sayur-sayuran yang bisa dikonsumsi oleh anggota kelarga di pekarangan rumah.
•
Pentingnya memantau pertumbuhan anak dengan membawanya ke pusat pelayanan kesehatan.
2.9.2. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan komunitas target sebagai solusi terhadap masalah gizi mereka. Beberapa metode yang bisa digunakan adalah : •
Food for work Menawarkan sejumlah pekerjaan kepada masyarakat miskin atau yang membutuhkan dan membayarnya dengan makanan.
•
Food subsidy Metode ini berupa pemberian makanan jadi atau bahan makanan oleh pemerintah.
•
Income generating project Metode ini telah dipraktikkan di beberapa daerah di Ethiopia dengan menggunakan cara mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dibelikan makanan.
Metode
ini
melibatkan
masyarakat.
41
lembaga-lembaga
swadaya
2.10. Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain : •
Masalah pada mata
•
Anemia berat
•
Lesi kulit pada kwashiorkor
•
Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa, diare osmotik)
Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain: -
Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
-
Diabetes Mellitus tipe-2
-
Obstruktive sleep apnea
-
Gangguan ortopedik
-
Pseudotumor serebri
2.11. Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh akibat under nutrition maupun overnutrition.
42
BAB III PENUTUP 3.1.
Kesimpulan Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi. Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain hambatan pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot, perubahan tekstur dan warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam, pembesaran hati, anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain. Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan laboratorium yang memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa, gangguan keseimbangan elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien yang penting bagi tubuh. 3.2.
Saran Diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan marasmik-kwashiorkor secara optimal. Penanganan penyakit ini harus dilakukan dengan tepat dalam waktu sedini mungkin untuk mencegah komplikasi yang menurunkan kualitas hidup bahkan kematian.
43
DAFTAR PUSTAKA 1.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLBGizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2008.
2.
Muller O, Krawinkel M. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ 173:279-86
3.
Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk Di Indonesia Tahun 2005. Diakses dari http://www.gizi.net/busung-apar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005Final.pdf tanggal 3 Maret 2011.
4.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2007.
5.
Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Glosarium Data dan Informasi Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.
6.
Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi 4 2000. Hal 97-190.
7.
Admin.Program
Perbaikan
Gizi
Makro.
Diakses
dari
http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc, 2004. 8.
Simanjuntak,E. Faktor Resiko Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kota Medan. Diakses
dari
http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?
option=com_journalreview&id=3197&task=view, 2008. 9.
Marizza, Nofelia.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kurang Energi Protein (KEP)
Pada
Balita
Di
URJ
RSU
Dr.
Soetomo
Surabaya.
Diakses
dari
http://ojs.lib.unair.ac.id/index. php/bprsuds/article/view/1439/1438. 10. Boerhan
H,
Roedi.
Kurang
Energi
Protein
(KEP).
Diakses
dari:http://www.pediatrik.com/isi03.php? page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110rswg255.htm. 11. Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook of
Pediatrics, 19th ed. P. 167-73. Philadelphia: Sauders Elsevier. 12. Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition. Medicine, 2006. 34:524-29. 13. Gulden, MHN. Malnutrition. In Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition.
2004. USA: Taylor and Franchis. P.489-523. 44
14. Braun TV, McComb J, et al. Urban Food Inseconts and Malnutrition in Developing
Countries. 1993. USA: International Food Policy Research Institute. P. 12-16. 15. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak
di Rumah Sakit. 2009. Hal 193-222.
45
46
47