1
REFERAT
ECT ( Electroconvulsive Therapy)
Disusun oleh :
Dimas M. Zaeni
Radi Tri hardian
Dyane Vatricia
Henri Aprilio Purnnomo
Nawar Najla Mastura
Pembimbing :
dr. Suponco Eddi W, SpKJ., MARS
SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA RSUD KOTA SUBANG
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS YARSI
DESEMBER 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri.Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai terapi dalam bidang psikiatri. Electro convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.1
Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang paling awal adalah: "Terapi Kejang Listrik" (Electroconvulsive Therapy), terapi yang lebih awal dari pada psikofarmaka. Sebelum itu penderita gangguan jiwa, diisolir oleh masyarakat, dipasung, dirantai diceburkan ke dalam kolam. Phillipe Pinel (1745-1826) mengumpulkan penderita gangguan jiwa di suatu tempat (Rumah Sakit Salpetriere untuk laki-laki dan Bicetre untuk wanita) dan membebaskan mereka dari belenggu/rantai yang mengikat mereka. Pada saat itu masih baru taraf membebaskan dari belenggu dan mengumpulkan penderita gangguan jiwa, belum mengobati. Dengan kemajuan zaman dan berkembangannya penelitian-penilitian yang canggih, khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa, maka ditemukan obat untuk penderita gangguan jiwa. Walaupun sekarang sudah ditemukan berbagai macam obat psikofarmaka/obat untuk penderita gangguan jiwa, tetapi tidak semua obat psikofarmaka dapat mengobati semua penderita gangguan jiwa. Terapi Kejang Listrik masih diperlukan dalam kasus- kasus tertentu yang resisten terhadap obat psikotropik/psikofarmaka yang ada. Walaupun obat-obat psikotropik sekarang sudah berkembang seperti obat psikotropik baru yang digolongkan dalam bentuk, atipikal. Untuk golongan obat chlorpromazine dan haloperidol, disebut golongan tipikal.2
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak. Indikasi utamanya adalah : 3
Gangguan/ episode depresif mayor
Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset pascapartum)
Mania
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizoafektif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik yang merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan psikiatri. Indikasi utama adalah depresi berat.4
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatri dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya.1
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri.5
Sejarah Perkembangan ECT2
Pada 1934 pengobatan yang menggunakan bangkitan kejang, diperkenalkan dan ditulis di London Medical pengidap skizofrenia dan penderita epilepsi yang disertai gangguan jiwa. Bila serangan epilepsi datang maka gangguan jiwanya membaik. Berdasarkan pengamatannya ini maka ia mendapat inspirasi pada penderita skizofenia dibuat kejang untuk menghilang gejala-gejala gangguan jiwanya. Pada mulanya Lasdislas J. Meduna menggunakan kamper dan kemudian digunakan metrazol (cardiazol). Selama 3 tahun metrazol digunakan untuk membangkitkan kejang dan dipergunakan secara luas keseluruh dunia pada saat itu. Pada tahun 1937 diadakan pertemuan internasional terapi kejang di Swiss oleh Muller seorang psikiater, kemudian diterbitkan cara kerjanya di American Journal of Psychiatry. Selama 3 tahun, cardiazol sebagai terapi kejang yang sudah dipakai secara luas dan mendunia. Ugo Cerletti, seorang profesor neuropsikiatri, yang berkebangsaan Itali, juga mengembangkan terapi kejang yang menggunakan listrik dengan uji coba pada binatang. Lucio Bini teman Ugo Cerletti mempunyai ide, bahwa untuk menimbulkan kejang dipakai listrik untuk menggantikan metrazol. Tahun 1937 percobaan pertama pada manusia yaitu, Sherwin B. Nuland dan kemudian baru pada tahun 1970, ia ditetapkan sebagai orang pertama yang menjalani terapi kejang listrik, serta dibuat uraian gambaran deskripsi dari hasil pada orang yang pertama yang menjalani terapi kejang listrik tersebut.2
Terapi kejang listrik adalah bentuk pengobatan shok yang terjadi pada pengobatan medis modern pada saat itu. ECT segera menggantikan metrazol dan berkembang seluruh dunia karena beberapa faktor yaitu:
(1) lebih murah
(2) kurang menakutkan
(3) lebih cepat kerjanya.
Cerletti dan Bini dinominasikan hadiah Nobel tetapi hal ini dibatalkan, sebab pada tahun 1940 cara itu diperkenalkan juga oleh Inggris dan Amerika serikat. Selama tahun 1940 sampai tahun 1950, penggunaan terapi kejang listrik meluas.
Pada permulaan tahun 1940, untuk mengurangi gangguan ingatan dan kebingungan setelah terapi kejang dilakukan diperkenalkan 2 cara modifikasi dari ECT tersebut, yaitu:
Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi pelipis/temporal yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas kepala (verteks); untuk yang kidal temporal kanan dan verteks.
Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik yang dipakai pada pertama kali adalah arus bolak balik yang disebut arus transfersal. Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal.
Friedman dan Wilcox, tahun 1942 melakukan modifikasi secara unilateral dengan arus searah, Lancaster et.al di Inggris tahun 1958, melakukan unilateral dengan menempatkan pada hemisfer non dominan untuk mengurangi efek samping kebinggungan dan gangguan daya ingat sesudah ECT dan hasilnya sama efektif dengan bilateral. Setelah beberapa tahun alat yang memakai arus kejut listrik yang searah berkembang secara luas dan dipakai seluruh dunia. ECT yang unilateral tidak begitu populer bagi para psikiater, karena efek terapeutis kurang memuaskan.
Pada tahun 1940 sampai tahun 1950 ECT masih tidak diperbarui, tidak pernah dipakai obat untuk relaksasi otot, sehingga menghasilkan kejang yang maksimal, yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang panjang. Pada tahun 1940 para psikiater mulai mengadakan penelitihan eksprimental dengan menggunakan curare, disebut racun dari Amerika Selatan yang dapat membuat otot jadi paralise untuk mengurangi akibat kejang yang dihasilkan dari alat ECT tersebut. Kemudian diperkenalkan "suxamethonium" (succinylcholine) zat yang sinthetis penggunaannya lebih aman dari curare. Pada tahun 1951 digunakan secara luas untuk memodifikasi penggunaan dari ECT dengan bantuan anaesthesi ringan biasanya berguna untuk menghindari rasa takut pada pasien dan menghindari tercekik/tersumbatnya pernafasan. Setelah ditemukan obat antidepresi yang dapat menangkal efek negatif ECT dimedia masa, ditandai dengan menurunnya pemakaian ECT selama periode tahun 1950 sampai 1970. Surat kabar, New York Times memberitakan pandangan negatif terhadap ECT dari film yang berjudul "For Big Nurse in One Flew Over the Cuckoo's nest". Ini adalah alat untuk menteror pikiran masyarakat tentang ECT dan hal ini didukung citranya oleh novel Ken Kesey, yang mengatakan bahwa berbahaya pada manusia bila penggunaan yang berlebihan.
Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American Psychiatric Association(APA) bahwa pengobatan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan dalam tahun 1990 sampai tahun 2001. Abrams tahun 1972 dan Taylor tahun 1973 membuktikan bahwa metode unilateral tidak se-efektif dengan cara bilateral dalam hasil terapeutiknya, maka dengan ini sampai sekarang dilakukan secara bilateral.
Pada tahun 1976, Dr Blatchley mendemontrasikan keberhasilannya dengan menggunakan ECT dengan arus listik yang searah yang dapat mengurangi efek samping kognitif yang ditimbulkan, tetapi beberapa klinik di AS masih menggunakan arus listrik yang bolak balik. Sebetulnya mulai tahun 1980 penggunaan ECT berkurang, tetapi penggunaan untuk depresi berat meningkat, karena pemakai obat antidepresi harganya lebih mahal dari pada menggunakan ECT. Pada 1985, National Institute of Mental Health dan National Institutes of Health menetapkan bahwa ECT adalah masih kontroversi pada pengobatan psikiatri karena ada efek samping yang signifikan dan dapat dibuktikan bahwa masih efektif pada kasus gangguan psikiatri yang berat. National Institute of Mental Health menetapkan aturan dari pengobatan yang menggunakan ECT. Namun baru pada tahun 1990
American Psychiatric Association, mengeluarkan pernyataan yang kedua, yang lebih spesifik dan mendetail pada persalinan, pendidikan dan pelatihan ECT yang didokumentasikan. Akhirnya pada tahun 2001, APA , mengeluarkan pernyataan bahwa ECT masuk pada pengobatan modern yang prosedurnya mengharuskan menanda tangani informed consent.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ECT tidak diketahui. Berbagai perubahan selama perjalanan ECT yang mungkin berperan mencakup perubahan reseptor dan neurotransmitter pusat, pelepasan hormon seperti arginine, vasopresin dan oxytocin, dan perubahan ambang kejang.3
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET; Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut.1
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian telah menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam neuron.1
Indikasi
Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan depresif berat atau ganggaun depresi mayor.1,3,4,5
ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien yang gagal dalam uji coba medikasi, mengalami gejala yang parah atau psikotik, mencoba bunuh diri atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi standar dengan obat antidepressan.1,6
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik. Namun, karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT.1
Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah obat antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:
kelelahan fisik yang mengancam jiwa
resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak efektif atau tak tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang relevan.6
Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.1
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
Katatonia
Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
Indikasi lain
Penelitian kecil telah menemukan ECT efektif dalam pengobatan katatonia, gejala terkait dengan gangguan mood, schizophrenia, dan gangguan medis dan neurologis. ECT berguna untuk mengobati episode psikotik, psikosis atypikal, gangguan obesif-kompulsif, dan delirium dan kondisi medis seperti gangguan neuroleptic ganas, hypopituitarism, gangguan kejang dan pada penyakit Parkinson. ECT juga dapat menjadi terapi pilihan untuk depresi bunuh diri wanita hamil yang memerlukan perawatan dan tidak bisa minum obat untuk geriatri dan sakit medis pasien yang tidak bisa menggunakan obat antidepresan aman dan bahkan untuk dan anak-anak dan remaja yang bunuh diri mungkin kurang respon untuk antidepresan daripada orang dewasa. ECT tidak efektif dalam gangguan somatisa, gangguan personaliti, dan gangguan kecemasan.1
Kontraindikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi absolut, hanya situasi di mana seorang pasien pada peningkatan risiko dan memiliki peningkatan kebutuhan pemantauan ketat. Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk ECT, dan pemantauan janin umumnya dianggap tidak perlu kecuali kehamilan risiko tinggi atau rumit. Pasien dengan lesi sistem saraf pusat berada pada peningkatan risiko untuk edema dan herniasi otak setelah ECT. Jika lesi kecil, pengobatan pra dengan dexamethasone (Decadron) diberikan, dan hipertensi dikendalikan selama kejang dan risiko komplikasi serius diminimalkan untuk pasien ini. Pasien yang mengalami peningkatan tekanan intraserebral atau berisiko untuk perdarahan otak (misalnya, orang-orang dengan penyakit serebrovaskular dan aneurisma) berada pada risiko selama ECT karena peningkatan sawar darah otak selama kejang. Risiko ini dapat dikurangi, meskipun tidak dihilangkan, oleh kontrol tekanan darah pasien selama perawatan. Pasien dengan infark miokard adalah kelompok berisiko tinggi lain, meskipun risikonya sangat berkurang 2 minggu setelah infark miokard dan lebih jauh berkurang 3 bulan setelah infark itu. Pasien dengan hipertensi harus distabilkan pada obat antihipertensi mereka sebelum ECT diberikan. Propranolol (Inderal) dan sublingual nitrogliserin juga dapat digunakan untuk melindungi pasien tersebut selama pengobatan.1
Prosedur Kerja
Informed Consent
Pasien dan keluarga mereka sering khawatir tentang ECT. Oleh karena itu, dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam catatan medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan untuk tidak menerima pengobatan. Literatur cetak dan rekaman video tentang ECT mungkin berguna untuk mendapatkan persetujuan. Penggunaan paksa ECT harus disediakan untuk pasien yang sangat membutuhkan pengobatan dan yang memiliki wali hukum yang ditunjuk yang telah setuju untuk penggunaannya. Dokter harus tahu undang-undang federal tentang penggunaan ECT.1
Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi :1,4
Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan otak)
Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan
Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau dengan pemberian premedikasi
Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi kejang.
Persiapan Alat :4
Mesin ECT lengkap
Kasa basah untuk pelapis elektrode
Tabung dan masker oksigen
Penghisap lendir
Obat-obat : coramine, adrenalin
Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
Tempat tidur datar dengan alas papan
Pelaksanaan :4
Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
Bantalan gigi dipasang
Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan dipelipis. Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik dan kemudian akan terjadi fase apneu beberapa saat sebelum akhirnya bernafas kembali seperti biasa. Fase apneu ini sangat penting diperhatikan tidak boleh terlalu lama.
Gambar 2.6 ECT
Pengawasan pasca ECT :4
Penting dilakukan pengawasan karena pasien biasanya masih belum sadar penuh.
Kondisi vital kembali seperti semula, biasanya pasien tertidur. Kadang-kadang dapat juga pasien menjadi gelisah dan bergerak tidak menentu seperti delirium. Pada fase ini sangat perlu diawasi sampai kesadaran pulih kembali.
Setelah sadar, pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi bahkan amnesia. Perlu distimulasi dengan cara mengajak berkomunikasi, membantu memulihkan orientasi dan ingatan secara bertahap. Berikan suasana tenang dan nyaman.
Penempatan Elektrode7
ECT Bilateral
Posisi untuk elektroda pada ECT bilateral diilustrasikan pada Gambar 2.7-1 (A). Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik tengah dari garis antara sudut lateral mata dan meatus auditori eksternal. Satu elektroda diletakkan untuk setiap sisi kepala, dan posisi ini disebut sebagai ECT temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT frontotemporal.) Ini merupakan posisi yang direkomendasikan untuk elektroda ECT bilateral karena ini telah menjadi posisi standar dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya di ECT bilateral . Ada eksperimen lain untuk posisi elektroda di ECT bilateral yaitu ECT frontal, di mana jarak elektroda hanya sekitar 5 cm (2 inci) dan masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung. Sebuah modifikasi lebih baru di mana elektroda diterapkan lebih lanjut selain telah diteliti karena para peneliti menyarankan bahwa berkhasiat sebagai ECT bilateral tradisional, tetapi dengan risiko yang lebih rendah dari efek samping kognitif. Inggris ECT Review Group (2003) tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara ECT tradisional dan ECT bilateral baik dalam kemanjuran klinis atau efek samping kognitif.
Gambar 2.7 Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental / Elia's positioning (B)
ECT Unilateral
Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama seperti dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di atas permukaan parietal dari kulit kepala. Posisi yang tepat pada busur parietal tidak penting, tujuan adalah untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk mengurangi arus listrik dan untuk memilih situs di mana busur elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit kepala. ECT unilateral biasanya diaplikasikan di atas belahan non-dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan orang . Ini adalah posisi yang dianjurkan dalam ECT unilateral karena ini telah menjadi standar, dan tidak dapat diasumsikan bahwa temuan penelitian terbaru dapat diekstrapolasi untuk posisi lainnya.
Telah ditulis bahwa ECT unilateral adalah pengobatan yang lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi jika dokter yang menangani dibiarkan sendirian. Posisi tradisional elektroda di ECT unilateral diilustrasikan pada gambar 2.7-1 (B). Posisi ini biasanya disebut sebagai kepala temporoparietal atau d'ient's head. ECT unilateral dapat lebih efektif bila dilihat sebagai tanggung jawab bersama dari tim klinik ECT. Beberapa dokter anestesi secara rutin meminta pasien untuk mengaktifkan ke sisi kiri sebelum induksi anestesi. Bantuan perawat atau anggota staf anestesi sangat penting untuk melakukan tugas memutar kepala pasien.
Stimulus Listrik dan Kejang1
Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang (tingkat intensitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejang). Stimulus listrik diberikan dalam siklus, dan setiap siklus berisi gelombang positif dan gelombang negatif. Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan kemungkinan sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang anatar 25-60 detik dengan menggunakan jumlah energi listrik terkecil. Sejumlah peralatan ECT memungkinkan penentuan energi stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus dipertahankan serendah mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya.
Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada kejang yang berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus ditingkatkan, dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri.
Karena keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah kejang, maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum mengulangi stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.
2.9 9 Obat-obatan dalam proses ECT1
Antikolinergik Muskarinik
Obat antikolinergik muskarinik diberikan sebelum ECT untuk meminimalkan sekresi oral dan pernapasan dan untuk memblokir bradycardi dan asistole,kecuali denyut jantung istirahat di atas 90 per menit.Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol karena parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi vagal karena ECT. Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung besar alira listrik, dan dapat mengakibatkan bradikardi atau asistol transien. Jika aliran listrik mendekati atau melebihi ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini mengimbangi efek stimulasi vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi subkonvulsi), ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus menjadi besar karena proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak ada.
Indikasi
Pasien yang menjalani estimasi ambang kejang dengan metode titrasi dosis, terutama pada sesi pertama ECT.
Pasien yang menerima agen simpastis blocker
Situasi dengan terjadinya bradikardi vagal harus dihindarkan misalnya adanya penyakit jantung, fungsi jantung hipodinamik.
Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah atropin (0,4-0,8 mg iv atau 0,3-0,6 mg im) dan glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im). Atropine memiliki potensi lebih pada detak jantung. Glycopyrrolate tidak melintasi blood brain barrier (sawar darah otak) dan memiliki efek antisialagogue.
Anasthesia
Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari adanya sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan perasaan tercekik dan gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus, tanpa menghambat kejang. Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis anestesi yang berlebih dapat menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama, memberikan efek antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular,dan meningkatkan amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan, memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi banyak kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi ECT.
Muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah menyediakan relaksasi otot . Secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan ataupun diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang. Sebagai tambahan, intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi dan dimonitor. Paralisis otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga menurunkan penggunaan oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan resiko fraktur tulang patologis. Kecukupan pemberian muscle relaxant harus ditentukan sebelum pemberian stimulus ECT. Proses ini dilakukan dengan tes reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot. Pada pasien yang diberikan succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer harus digunakan.
Efek samping yang biasa muncul pada succinylcholine termasuk aritmia, peningkatan tekanan intraocular dan intraabdominal. Karena suksinilkolin telah dikaitkan dengan hipertermi malignan dan hiperkalemia, telah dikembangkan muscle relaxant non-depolarisasi. Dosis untuk agen ini harus ditentukan berdasarkan klinis dan individual. Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1 mg/kg. atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg, rocuronium 0,4-0,6 mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg, merupakan obat-obat alternative untuk succynilcholine. Obat-obat muscle relaxant non-depolarisasi ini menghasilkan paralisis yang lebih lama, dan baik onset maupun durasi kerja obat harus dimonitor oleh stimulator saraf.
2.10 Efek Samping ECT1
Kematian
Angka kematian dengan ECT adalah sekitar 0,002% per pengobatan dan 0,01 % untuk setiap pasien. Angka-angka ini menguntungkan dibandingkan dengan risiko yang terkait dengan anestesi umum dan persalinan. Kematian akibat ECT biasanya karena komplikasi kardiovaskular.
Efek terhadap Sistem Saraf Pusat
Efek samping umum yang terkait dengan ECT adalah sakit kepala, kebingungan, dan delirium setelah kejang . Kebingungan ditandai dapat terjadi hingga 10 persen dari pasien dalam waktu 30 menit dari kejang dan dapat diobati dengan barbiturat dan benzodiazepin. Delirium biasanya paling menonjol setelah beberapa perawatan pertama pada pasien yang menerima ECT bilateral atau yang mengidap gangguan neurologis. Delirium yang khas terjadi dalam beberapa hari atau paling beberapa minggu.
Memory
Perhatian terbesar tentang ECT adalah hubungan antara ECT dan kehilangan memori. Sekitar 75 persen dari semua pasien yang diberikan ECT mengatakan bahwa gangguan memori adalah efek samping yang terburuk. Meskipun gangguan memori selama pengobatan , tindak lanjut data menunjukkan bahwa hampir semua pasien yang kembali ke baseline kognitif mereka setelah 6 bulan. Beberapa pasien, bagaimanapun, mengeluh kesulitan memori . Contohnya, pasien mungkin tidak ingat peristiwa yang mengarah ke rumah sakit dan ECT, dan kenangan otobiografi tersebut mungkin tidak akan pernah ingat. Tingkat kerusakan kognitif selama perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke dasar terkait, sebagian, dengan jumlah stimulasi listrik digunakan selama pengobatan. Gangguan memori yang paling sering dilaporkan oleh pasien yang telah mengalami sedikit perbaikan dengan ECT. Meskipun gangguan memori, yang biasanya sembuh, tidak ada bukti menunjukkan kerusakan otak yang disebabkan oleh ECT. Mata kuliah ini telah menjadi fokus dari beberapa studi pencitraan otak, menggunakan berbagai modalitas. hampir semua menyimpulkan bahwa kerusakan otak permanen tidak efek buruk dari ECT. Ahli saraf dan epileptologists umumnya sepakat bahwa kejang yang berlangsung kurang dari 30 menit tidak menyebabkan kerusakan saraf permanen.
Efek samping lain dari Electroconvulsive Terapi
Fraktur sering disertai perawatan di hari-hari awal ECT. Dengan penggunaan rutin relaksan otot, patah tulang dari tulang panjang atau vertebra seharusnya tidak terjadi. Beberapa pasien, bisa terjadi pecah gigi atau mengalami sakit punggung karena kontraksi selama prosedur. Nyeri otot dapat terjadi pada beberapa individu, tetapi sering terjadi karena efek depolarisasi otot dengan suksinilkolin . Nyeri ini dapat diobati dengan analgesik ringan, termasuk obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Sebuah minoritas yang signifikan dari pasien mengalami mual, muntah, dan sakit kepala setelah pengobatan ECT.
BAB III
KESIMPULAN
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri.Electroconvulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuropsikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat.1
ECT melibatkan induksi kejang oleh rangsang listrik singkat pada otak. Indikasi utamanya adalah :3
Gangguan/episode depresif mayor
Penyakit depresif masa nifas (episode depresi mayor onset pasca partum)
Mania
Skizofrenia katatonik
Gangguan skizoafektif
Psikiater akan memberitahu pasien tentang manfaat yang diharapkan dari ECT. Ini bervariasi tergantung pada sifat dan keseriusan penyakit pasien, tetapi ECT umumnya akan meningkatkan kemampuan pasien untuk berpikir dan mengembalikan emosi pasien ke keadaan sehat. Semua perawatan memiliki efek dan bahkan memiliki risiko. Risiko dan efek samping ECT termasuk :5
Pasien mungkin memiliki beberapa efek samping dari obat bius, seperti sakit kepala, mual, muntah.
Pasien mungkin mendapatkan nyeri otot akibat relaksan otot atau aktivitas otot yang disebabkan oleh kejang.
Terganggunya memory jangka pendek dan memory jangka panjang.
Ada risiko kurang umum dari komplikasi medis, seperti denyut jantung yang tidak teratur. Mungkin ada kenaikan sementara tekanan darah dan denyut jantung yang diikuti dengan melambatnya denyut jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Elektroconvulsive Therapy. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2015: 982 – 8
Yongki. Pro dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai Terapi Alternatif Medis Pada Pasien Psikotik(2012).317:22-7
Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri (Textbook of Psychiatry) Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2012;43 –4
Elvira SD, Hadisukanto G. Terapi Fisik dan Psikofarmaka di Bidang Psikiatri. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2013;387 – 8.
Mental Health, Drugs And Division Regions. Electroconvulsive Therapy About You Rights. Victoria: Department of Health, 2012. Diakses dari https://www2.health.vic.gov.au/.pdf, pada tanggal 28 Desember 2015.
Anderson I, Barnes R, Benbow S, Duffet R, Easton A, et all. The Place of ECT in Contemporary Psychiatric Practice. London: The Royal Collage of Pschyatrists, 2004:3-8
Scott A. Practical administration of ECT. London: The Royal Collage of Pschyatrists, 2004:144-158.
21