32
Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta: Puspa Swara.
Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The Vicenza Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network (AKIN): Report of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney Injury. Critical Care 2007;11:R31.
Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. 2008: New York: McGraw-Hill.
Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute Kidney Injury: A Comprehensive Population-based Study. J Am Soc Nephrol 2007;18:1292-1298
Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of the RIFLE Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot Care Med 2006;34:1913-1917
Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med 2007;357:797-805.
Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury and Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int 2002;62:1539-49.
Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J Am Soc Nephrol. 2006;17 :1503-20.
Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal Failure. Dalam: Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic Strategies. New York. Churcill Livingstone.1995;l-23.
Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-1325.
Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In: Greenberg A, Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed. Philadelphia, Pa.: National Kidney Foundation; 2009.
Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute Renal Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207
Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest 2007;131:300-308.
Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med J. 2006;82:106-116.
Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal Replacement Therapy in the Intensive Care Unit. Kidney Int 198;53(66):S106-S109.
Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv Chronic Kidney Dis. 2008;15(3):297-307.
Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of mortality and other adverse outcomes after acute kidney injury: a systematic review and meta-analysis. Am J Kidney Dis. 2009;53(6):961-973.
BAB I
PENDAHULUAN
Insindensi gangguan ginjal akut (GGA) atau Acute Kidney Injury (AKI) semakin meningkat beberapa tahun terakhir, baik di masyarakat secara umum maupun di dalam unit perawatan rumah sakit. Insidensi kejadian GGA kurang lebih 2-3 per 1000 orang. Tujuh persen dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit mendapatkan GGA, yang biasanya merupakan bagian dari sindorm disfungsi organ multiple. 1,2,3
Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikansebagai penurunan cepat dan tibatiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatankonsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin. Selain itu, peningkatan nilai BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid, pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang teliti dan hati-hati dalam menentukan apakah seseorang mengamalami kerusakan ginjal atau tidak.4
Angka kematian dari GGA berkisar antara 25 sampai dengan 80 persen tergantung penyebab dan keadaan klinis dari pasien. Dilaporkan, bahwa angka kematian akibat gagal ginjal akut di Amerika Serikat berkisar antara 20-90%., dimana yang terjadi di rumah sakit sebesar 40-50% dan di ICU sebesar 70-89%. Maka dari itu, pengenalan dan diagnosis GGA dini serta penanganan yang baik perlu dilakukan untuk menghindari dan menurunkan angka kejadian dan kematian akibat GGA.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum 50% (1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam. Kriteria untuk diagnosis dan klasifikasi AKI sesuai rekomendasi Acute Dialysis Quantitative Initiative (ADQI) yang pada tahun 2002 memperkenalkan istilah 'acute kidney injury' serta memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit AKI, dan untuk pertama kalinya dipresentasikan pada International Conference on Continuous Renal Replacement Therapies di San Diego pada tahun 2003.
Tabel 2.l Kriteria RIFLE Menurut ADQI
Kriteria LFG
Kriteria Urine Output (UO)
Risk
Kenaikan SCr 1,5 ×
atau penurunan LFG > 25%
UO < 0,5 ml/kg/jam
(selama 6 jam)
Injury
Kenaikan SCr 2 ×
atau penurunan LFG > 50%
UO < 0,5 ml/kg/jam
(selama 12 jam)
Failure
Kenaikan SCr 3 ×
atau penurunan LFG > 75%
atau SCr 4 mg/dL
UO < 0,3 ml/kg/jam
(selama 24 jam)
atau anuria dalam 12 jam
Loss
Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4 minggu)
ESRD
End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan
*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN) menggunakan istilah AKI untuk menggambarkan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikan sebagai peningkatan kreatinin serum ( 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau penurunan produksi urin (keadaan oliguria < 0,5 ml/kg/jam lebih dari 6 jam). Kriteria AKI menurut AKIN dibagi atas beberapa tahapan seperti pada Tabel 2 dibawah ini.,
Tabel 2.2 Kriteria AKI Menurut AKIN9
Tahap
Kriteria Klinis
Kriteria Jumlah Urine
1 (RIFLE – R)
Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL atau
peningkatan kreatinin serum 1,5 sampai 2 kali dari keadaan normal
< 0,5 ml/kg/jam selama 6 jam
2 (RIFLE – I)
Peningkatan kreatinin serum 2 sampai 3 kali dari keadaan normal
< 0,5 ml/kg/jam
selama 12 jam
3 (RIFLE – F)
Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari normal atau
kreatinin serum > 4 mg/dL dengan peningkatan akut > 0,5 mg/dL
< 0,3 mL/kg/jam selama 24 jam atau
anuria selama 12 jam
Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria RIFLE. Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l, 2 dan 3. Pada kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena dianggap sebagai prognosis, bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan pada kriteria laju filtrasi glomerulus (LFG) dilakukan berdasarkan penelitian terbaru bahwa kenaikan serum kreatinin sebesar 0,3 mg/dl sudah meningkatkan angka kematian 4 kali lebih banyak, serta sulitnya penggunaan LFG sebagai parameter penurunan fungsi ginjal, terutama jika pasien berada dalam keadaan kritis atau dirawat di ruang intensif.9
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat kita menggunakan kriteria tersebut, yaitu :9
Tidak ada perbedaan dalam umur dan jenis kelamin
Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali dalam 48 jam
Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan normal dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai kriteria RIFLE atau kriteria AKIN.
Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau perburukan fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi mengenai AKI sulit ditemukan, antara lain dikarenakan tidak adanya keseragaman mengenai definisi dan variasi gejala klinik yang luas sehingga sulit untuk membuat review kepusatakaan atau meta analisis. Dengan digunakannya kriteria RIFLE sebagai dasar diagnosis, ternyata ditemukan angka kejadiannya jauh meningkat. Angka kejadian AKI dapat dikelompokkan menjadi yang terjadi di populasi umum (community based) dan yang terjadi di rumah sakit (hospital based).7
Tergantung kepada definisi yang digunakan, AKI merupakan komplikasi yang terjadi pada 5-7% pasien yang masuk ke rumah sakit serta 30% pasien yang dirawat di ICU. Dari seluruh kasus AKI, AKI pre renal mencakup sekitar 55%, AKI intrinsik sekitar 40%, sedangkan AKI post renal mencakup 5% kasus.10
Pada sebuah penelitian di Inggris, dengan kriteria RIFLE dilaporkan angka kejadian AKI di populasi umum yang cukup tinggi, yaitu 1.811 kasus/juta penduduk dan acute on CKD sebesar 336 kasus/juta penduduk. Angka kejadian AKI yang terjadi di rumah sakit juga dilaporkan mencapai 180 kasus dari 1000 pasien yang dirawat.
2.3 ETIOLOGI
Etiolog i AKI dibagi berdasarkan lokasi terjadinya kelainan dan gambaran AKI yang ditimbulkan, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal seperti terlihat pada Tabel 3. Angka kejadian etiologi prerenal mencapai 70% dari seluruh AKI yang terjadi di luar rumah sakit dan 40% yang terjadi di dalam rumah sakit. Etiologi AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit biasanya disebabkan oleh diare, muntah-muntah, demam, dan kekurangan cairan (cth: perdarahan). Pada AKI prerenal yang terjadi di dalam rumah sakit paling sering disebabkan oleh sepsis dan gagal jantung.7
Etiologi intra renal dapat disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi intra renal, yaitu di tubulus, parenkim, glomerulus, dan di pembuluh darah renal. Etiologi intra renal dapat terjadi pada penderita di dalam rumah sakit atau merupakan kelanjutan proses AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit dikarenakan keterlambatan mendapatkan terapi sehingga berlanjut menjadi tubular nekrosis akut (ATN). Penyebab tersering ATN adalah sepsis (50%), nefrotoksik (35%) dan keadaan iskemia (15%).7
Etiologi post renal dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran kemih yang terjadi di ureter, pelvis renal, uretra, dan vesika urinaria. Pada keadaan obstruksi terjadi peningkatan tekanan dalam kapsula bowman dan penurunan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Kejadian AKI post renal lebih sering terjadi pada laki-laki dengan usia lanjut, dengan adanya pembesaran prostat, atau dengan riwayat batu saluran kemih. Pada wanita, obstruksi sering terjadi karena adanya keganasan yang menimbulkan obstruksi pada saluran kemih.7
Tabel 2.3 Klasifikasi dan Penyebab Utama AKI
AKI Pre Renal :
Hipovolemia
Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM), hipoadrenalisme.
Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
Penurunan cadiac output:
Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, tacrolimus, amfoterisin
Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase inhibitor, ACE inhibitor
Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia
AKI Intrinsik :
Obstruksi vaskular renal (bilateral atau unilateral)
Obstruksi arteri renal: plak arteriosklerotik, trombosis, emboli, aneurisma, vaskulitis
Obstruksi vena renal: trombosis, kompresi
Penyakit glomerulus atau mikrovaskular renal
Glomerulonefritis dan vaskulitis
Sindrom hemolitik uremik, TTP, DlC, kehamilan toksik, hipertensi, nefritis radiasi, SLE dan skleroderma
Nekrosis tubular akut
lskemik akibat AKI pre renal (hipovolemik, penurunan cardiac output, vasokonstriksi renal, vasodilatasi sistemik), komplikasi obstetri (ruptur plasenta, perdarahan post partum)
Toksin
Eksogen: kontras, siklosporin, antibiotik (misalnya aminoglikosida), kemoterapi (misalnya cisplatin), bahan organik (misalnya etilen glikol), asetaminofen.
Endogen: rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, diskrasia sel plasma (misalnya mieloma)
Nefritis interstitial
Alergi antibiotik (misalnya β laktam, sulfonamida, trimetoprim, rifampisin), anti inflamasi non steroid, diuretik, kaptopril
lnfeksi bakteri (misalnya pielonefritis akut, leptospirosis), cytomegalovirus, jamur kandida
lnfiltrasi: limfoma, leukemia, sarkoidosis
ldiopatik
Obstruksi tubulus: protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamid
Renal allograft rejection
AKI Post Renal :
Ureter : Kalkuli, bekuan darah, sumbatan pada papilla, keganasan, kompresi ekstemal (misalnya fibrosis retroperitoneal)
Bladder neck : neurogenic bladder, hipertropi prostat, kalkuli, keganasan, bekuan darah
Uretra : striktur, katup kongenital, fimosis
2.4 PATOFISIOLOGI
Gangguan ginjal akut adalah suatu proses multifaktor yang meliputi gangguan pada sistem hemodinamik renal, obstruksi tubulus renalis, gangguan sel, dan metabolik. Patofisiologi terjadinya AKI terdiri dari kumpulan kejadian yang sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada etiologi penyebab AKI. Patofisiologi AKI memiliki gambaran yang berbeda pada setiap klasifikasi penyebab AKI, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal.13
2.4.1 Patofisiologi AKI Prerenal
Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi ginjal terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan pada struktur ginjal. Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih terpelihara dengan adanya mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya perfusi ginjal akan menyebabkan perangsangan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) yang mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal. Angiotensin II juga berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan meningkatkan hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya kontraregulasi. Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk mempertahankan tekanan kapiler intra glomerulus serta LFG agar tetap normal.13
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan Penurunan Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG
Gangguan hemodinamik juga merangsang sistem saraf simpatis sehingga terjadi perangsangan sekresi dari hormon-hormon aldosteron dan vasopressin yang berakibat pada peningkatan reabsorbsi natrium, urea, dan air pada segmen distal nefron sehingga terjadi retensi urine dan natrium. Mekanisme autoregulasi ini dapat terganggu atau tidak dapat dipertahankan apabila gangguan hipoperfusi ginjal menjadi lebih berat atau berlangsung lama.13
2.4.2 Patofisiologi AKI Intra Renal
Penyebab utama AKI intra renal adalah terjadinya ATN akibat proses iskemia atau toksik. Nekrosis tubular akut sering diakibatkan oleh etiologi multifaktorial dan biasa terjadi pada penyakit akut yang disertai sepsis, hipotensi, atau penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik. Sepsis merupakan penyebab utama ATN pada pasien-pasien yang dirawat di ICU (35-50%) dan setelah tindakan operasi (20-25%). Berbeda dengan AKI prerenal, pada AKI intra renal telah terjadi gangguan pada struktural ginjal Proses kerusakan diawali dengan keadaan oliguria yang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah terjadi gangguan (injury). Fase oliguria dapat berlangsung selama l-2 minggu diikuti oleh fase diuresis yang menandakan terjadinya perbaikan fungsi.7
Proses penyebab AKI intra renal dapat merupakan kelanjutan AKI prerenal (azotemia prerenal) akibat hipoperfusi yang bertambah berat atau berlanjut sehingga terjadi gangguan pada sel-sel tubulus ginjal disertai gangguan pada fungsi ginjal. Proses iskemia ini terjadi melalui beberapa tahapan seperti terlihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Beberapa Tahapan Terjadinya AKI 15
Pada Gambar 2 di atas, tahapan AKI prerenal akan berlanjut pada tahap inisiasi yang ditandai dengan kerusakan pada sel-sel epitel dan endotel. Proses kerusakan pada sel-sel epitel diawali dengan terjadinya perenggangan dan hilangnya brush border tubulus proksimal disertai penurunan polaritas sel. Perbaikan gangguan ginjal pada tahap ini akan menyebabkan penyembuhan secara sempurna. Tetapi bila berlanjut pada tahap ekstensi, akan terjadi apoptosis dan nekrosis sel-sel epitel, proses deskuamasi yang akan menyebabkan sumbatan pada lumen tubulus, dan terjadinya proses inflamasi seperti terlihat pada Gambar 3 berikut.15
Gambar 3 Gangguan yang Terjadi pada Struktur Sel Tubuli Setelah Terjadinya Iskemia
Apoptosis merupakan mekanisme utama penyebab kematian sel-sel tubulus setelah iskemia yang berhubungan dengan berkurangnya ukuran sel secara progresif dan keutuhan fungsi maupun struktur plasma membran. Berkurangnya ukuran sel ini menyebabkan hilangnya volume sitosol dan berkurangnya ukuran nukleus sel. Gambaran spesifik pada apoptosis adalah terjadinya kondensasi kromatin inti dan fragmentasi DNA intranukleus. Pada nekrosis terjadi pembengkakan dan pembesaran sel sehingga terjadi gangguan pada mitokondria. Integritas plasma sel akan menghilang diikuti dengan hilangnya komponen sitosol termasuk lisosom protease yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada jaringan sekitar. Kematian sel terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis sel-sel epitel.
Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan stress oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan penurunan prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS). Kerusakan vaskular secara langsung dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi intra renal. Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor utama penyebab gangguan hemodinamik renal pada AKI. Kelainan pada vaskular dapat juga terjadi akibat peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-I dan p-selectin dari sel endotel sehingga terjadi perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil yang menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.7,13
Kerusakan tubulus merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan sitoskeleton karena peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A2, dan kerusakan actin karena peningkatan Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini menyebabkan gangguan pada basolateral Na+K+ATP-ase sehingga terjadi penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal. Obstruksi tubulus akibat sumbatan mikrovili yang terlepas bersama sel-sel debris juga akan diikuti pembentukan silinder cast dari matriks ekstraseluler. Kerusakan pada sel tubulus berakibat terjadinya kebocoran kembali (backleak) cairan intra tubular ke dalam sirkulasi peritubular. Keseluruhan mekanisme di atas secara keseluruhan akan menyebabkan penurunan LFG dan terjadinya oliguria. Keseluruhan proses tersebut dapat terlihat pada Gambar 4 berikut.7,13
Gambar 4 Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia 14
2.4.3 Patofisiologi AKI post renal
Penyebab terjadinya AKI post renal dapat terjadi akibat sumbatan dari sistem traktus urogenital seperti ureter, pelvis renal, vesika urinaria, dan uretra. Penyebab sumbatan dapat bermacam-macam seperti adanya striktur, pembesaran prostat, dan keganasan. Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana salah satu ginjal tidak berfungsi. 7,
2.5 Manifestasi Klinis
Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI, dan penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai sedang tidak menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan pemeriksaan laboratorium. Pasien dengan severe AKImungkin dapat menunjukan gejala, berupa lesu, rasa bingung, fatique, anoreksia, mual, muntah, penambahan berat badan, atau edema. Selain itu oliguria (urine output kurang dari 400 ml per hari), anuria (urin output kurang dari 100 ml per hari), atau dengan urin output normal (non-oligouric AKI) juga dapat ditemukan pada pasien severe AKI. 5,
Tabel 2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik GGA berdasarkan Etiologi
Tipe AKI
Hasil Anamnesis
Hasil Pemeriksaan Fisik
Pre-Renal
Riwayat kehilangan cairan (cth: riwayat muntah, diare, penggunaan diuretik berlebih, perdarahan, luka bakar)
Penurunan BB, hipotensi ortostatik, dan takikardi
Rasa haus dan penurunan intake cairan
Turgor kulit buruk
Kelainan Jantung
S3 jantung, edema perifer, dll
Kelainan Hepar
Asites, caput medusae, spider nevi
Renalis
Glomerurlar
Lupus, sistemik sklerosis, ruam, artritis, uveitis, penurunan BB, fatigue, HIV, hematuria, batuk, sinusitis
Edema peri-orbital, sacral, dan ekstremita bawah; ruam; ulkus di daerah oral/nasal
Interstisial
Riwayat penggunaan obat-obatan (cth: antibiotik, PPI), ruam, arthralgia, demam, penyakit infeksi
Demam, ruam akibat penggunaan obat-obatan
Vascular
Sindroma Nefrotik, riwayat trauma, flank pain, riwayat oprasi vaskular
Pemeriksaan funduskopi (ditemukan hipertensi maligna), abdominal bruits
Post- Renal
Urgency atau Hesistancy, gross Hematuria, poliuri, batu, riwayat obat-obatan, kanker
Distensi vesica urinaria, pembesaran prostat
2.6 Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal, dan GGA post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut perlu dilakukan pemeriksaan6 :
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab GGA seperti misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, ISK), riwayat bengkak, riwayat kencing batu
Membedakan GGA dan GGK, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan GGK
Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis GGA, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal, ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
Penilaian pasien GGA:
Kadar kreatinin Serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh ginjal.
Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator GGA tahap awal yang cukup dapat dipercaya
Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan dengan perubahan pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang lebih 50-60% dari seluruh etiologi AKI adalah non-oligourik. Namun, mengidentifikasi anuria, oliguria, ataupun non-oliguria mungkin dapat berguna untuk mengetahui diferensial diagnosis dari AKI, seperti:
Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical necrosis
Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis akut, Partial Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced AKI.
Kelainan analisis urin.5
Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk membedakan pre-renal dengan GGA renal yang menyebabkan GGA. FENa dapat dijelaskan dengan hasil sebagai berikut: Nilai kurang dari 1 persen menunjukkan GGA akibat pre-renal, dimana FNEa > 2% menunjukkan GGA akibat gangguan renal. Pada pasien yang menjalani terapi diuretik, FNEa> 1% dapat disebabkan oleh proses natriuresis yang disebabkan oleh diuretik, sehingga kurang dapat diandalakn sebagai GGA akibat pre-renal. Di beberapa kasus, fractional excretion of urea (FE urea) dapat membantu, dengan hasil kurang dari 35% yang menunjukkan GGA akibat pre-renal. FENa kurang dari 1 persen tidak spesifik untuk GGA pre-renal karena hasil tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lainnya, seperti contrast nephropathy, rhabdomyolisis, acute glomerulonephritis, dan infeksi saluran kemih.
Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksanya. Biomarkers diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari pertanda utnuk membuat diagnosis seawal mungin. Beberapa biomarkers mungkin bisa dikembangkan. Biomarkers ini merupakan zat-zat yang dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang rusak, seperti IL-18, enzim tubular, dll.
2.7 Tatalaksana dan Komplikasi
2.7.1 Terapi Konservatif (Suportif)
Terapi konservatif (suportif) adalah penggunaan obat-obatan atau cairan dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi progresivitas, morbiditas, dan mortalitas penyakit akibat komplikasi AKI. Bilamana terapi konservatif tidak dapat memperbaiki kondisi klinik pasien, maka harus diputuskan untuk melakukan Terapi Pengganti Ginjal (TPG).
Tujuan terapi konservatif adalah :
Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal.
Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
Memelihara keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.
Beberapa prinsip terapi konservatif adalah sebagai berikut :22
Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
Hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi
Hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolic
Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi medis yang kuat
Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular.
Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeki saluran kemih (lSK).
Diet protein yang proporsional.
Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI
Pada dasarnya terapi konservatif (suportif) adalah untuk menjaga homeostasis tubuh dengan rnengurangi efek buruk akibat komplikasi AKI. Beberapa terapi suportif beserta dosis obat yang dianjurkan dapat terlihat pada tabel di bawah.22
Tabel 2.5 Terapi Konservatif (Suportif) pada AKI22
Komplikasi
Terapi
Kelebihan cairan
Batasi garam (l-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)
Intravaskuler
Diuretik (biasanya furosemide/thiazide)
Hiponatremia
Batasi cairan (<1 liter/hari)
Hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk dekstrosa 5%)
Hiperkalemia
Batasi asupan kalium (<40 mmol/hari)
Hindari suplemen kalium dan diuretik hemat kalium
Beri resin potassium-binding ion exchange (kayexalate)
Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc + insulin 10 unit
Beri natrium bikarbonat (50-100 mmol)
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-l mg lV
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)
Asidosis metabolik
Batasi asupan protein (0,8-1,0 g/kgBB/hari)
Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum bikarbonat plasma > 15 mmol/l dan pH arteri > 7,2)
Hiperfosfatemia
Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)
Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat, alumunium HCl, sevalamer)
Hipokalsemia
Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10% (10-20 cc)
Hiperurisemia
Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl
Komplikasi AKI yang esensial dapat menyebabkan kematian dengan segera. Mengingat bahwa AKI dapat disebabkan oleh etiologi yang berbeda, maka sukar mencari patofisiologi yang seragam terhadap komplikasi yang terjadi. Sebagian kasus AKI terjadi akibat hipoperfusi, sebagian lain terjadi akibat iskemia, dan tidak jarang keduanya terjadi secara bersamaan. Pada pasien AKI dengan penyakit kritis harus pula diperhatikan kegagalan multi-organ akibat penyakit etiologinya. Dapat dimengerti bahwa tidak dapat dibuat suatu panduan yang seragam mengenai pengelolaan komplikasi AKI, bahkan sering terjadi kontroversi mengenai cara pengelolaannya.
Berikut dibahas mengenai beberapa kornplikasi AKI yang dapat menyebabkan kematian dengan segera dan memerlukan pengelolaan dengan cepat dan tepat, antara lain:7
Kelebihan cairan intravaskuler (volume overload)
Pada pasien AKI terutama yang disertai oliguri atau anuria sering sekali terjadi kelebihan cairan intravaskuler (volume overload), sehingga tindakan yang harus dilakukan adalah :
Membatasi intake garam menjadi 1-2 gram/hari
Membatasi intake cairan dengan menyesuaikan dengan jumlah urine dan IWL (insensible water loss). Contoh rumus yang dapat digunakan adalah :
Jumlah intake/jam = jumlah urine jam sebelumnya + 25 cc.
Bila terjadi anuria atau oligouria, sebaiknya jumlah intake dibatasi menjadi < 1000 cc/hari, kecuali jika ada pengeluaran cairan lain seperti muntah atau diare.24
Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan salah satu komplikasi esensial AKI yang dapat menimbulkan kematian dengan segera. Pengelolaan hiperkalemia pada AKI secara bertahap dibagi atas hiperkalemia sedang dan hiperkalemia dengan kelainan EKG.7
Hiperkalemia sedang (5,5 – 6,5 mmol/liter) tanpa kelainan gambaran EKG dapat dikelola secara konservatif dengan cara :7
Mengurangi intake kalium dalam diet
Menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar kalium (antagonis aldosteron, ACE inhibitor, heparin, β blocker non selektif)
Pemberian resin ion-exchange, misalnya Kayexalate dengan dosis 15-30 gram (3-4 kali per hari) atau digabung dengan pemberian sorbitol 20% per oral.
Untuk mempercepat ekskresi kalium melalui ginjal, dapat diberikan furosemide oral/IV jika pasien masih responsif terhadap diuretik.
Hiperkalemia dengan kelainan EKG membutuhkan penanganan emergensi yang perlu dilakukan segera untuk menghindari terjadinya gangguan irama jantung atau henti jantung (cardiac arrest) Pengelolaan yang dapat dilakukan adalah :7
Kalsium glukonat 10% 5-10 cc secara IV perlahan (> 5 menit), dapat diulang setelah 15 menit jika gambaran EKG belum membaik. Obat ini onset kerjanya cepat (3-5 menit), tetapi hanya bertahan sekitar 30-60 menit. Fungsinya menstabilkan sel jantung (miosit membran jantung), tetapi tidak menurunkan kadar kalium darah.
Berikan obat-obat yang dapat menyebabkan translokasi K+ dari ekstraseluler ke intraseluler, seperti insulin, bikarbonat, dan β agonis.
Insulin
Pemberian insulin akan meningkatkan Na+/K+-ATPase, sehingga translokasi K+ dari ekstraseluler ke intraseluler meningkat, tetapi tidak menyebabkan ekskresi kalium keluar tubuh. Onset obat ini 15-30 menit dan berlangsung selama 4-6 jam. Untuk menghindari hipoglikemia, insulin biasanya diberikan dalam infus glukosa dengan dosis 10-20 unit insulin reaksi cepat (Actrapid atau Humulin) diberikan dalam 50 cc glukosa 50% selama 10-20 menit. Bila pasien menderita hiperglikemia (GDS > 360 mg), insulin dapat diberikan tanpa dekstrosa, tetapi dengan monitoring gula darah.
Bikarbonat
Bikarbonat dapat diberikan secara bolus 1 ampul (50% mEq natrium bikarbonat) atau diberikan secara infus. Pengaruh bikarbonat dalam penurunan kadar kalium darah baru bermakna jika pasien juga mengalami asidosis metabolik
β-agonis
Salbutamol dapat diberikan secara infus (0,5 mg) atau nebulisasi (10-20 mg dalam 4 cc NaCl 0,9%). Onset obat ini 1-2 menit dan berlangsung selama 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah takikardia, rasa cemas, dan flushing. Harus diberikan secara hati-hati jika pasien menderita komplikasi jantung. Lebih sering digunakan pada anak-anak.
Memberikan obat-obatan yang dapat mengekskresi K+ ke luar tubuh
Ekskresi kalium dapat melalui urine, dan bila pasien masih responsif terhadap diuretik, dapat diberikan furosemide oral atau intravena yang akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urine. Ekskresi kalium melalui feses dapat dilakukan dengan pemberian resin penukar kation (Kayaxalate) yang akan mengikat kalium dalam saluran cerna dan menukarnya dengan natrium (sodium polystyrene) atau kalsium (calcium polystyrene) kemudian diekskresi lewat feses. Dosis yang diberikan 15-30 gram per oral, untuk meningkatkan ekskresi lewat feses dapat diberikan bersamaan dengan sorbitol 20% (50-100 cc). Onset obat ini lambat (> 2 jam) dan berlangsung selama 4-6 jam
Bila semua usaha di atas tidak berhasil, atau keadaan hiperkalemia mengancam nyawa maka kadar kalium harus diturunkan dengan melakukan terapi pengganti ginjal.7
Asidosis metabolik
Penurunan kadar bikarbonat serum < 24 mEq/liter (normal = 24-28 mEq/liter) dengan diikuti penurunan pH darah (normal = 7,35-7,45) merupakan salah satu komplikasi esensial AKI. Seringkali komplikasi ini disertai dengan hiperkalemía. Keadaan asidosis metabolik berat (pH < 7,2 dan kadar bikarbonat < 13 mEq/liter) merupakan kondisi gawat darurat karena dapat menimbulkan komplikasi pada sistem saraf, sistem gastrointestinal, gagal napas, dan gagal jantung.7
Pada asidosis metabolik ringan, pengobatan ditujukan untuk menghilangkan penyebab terjadinya komplikasi ini dan pemberian cairan isotonis (NaCl 0,9%) untuk rehidrasi. Pada asidosis metabolik berat atau mengancam nyawa dapat diberikan natrium bikarbonat (NaHCO3), dengan cara sebagai berikut :7
Bila pH darah < 7,1 diberikan dengan cepat (l -3 jam) sampai dicapai pH > 7,2 dengan dosis 1 - 2 mEq/kg BB (100-200 mEq) dengan infus lambat.
Selanjutnya diberikan dengan lebih lambat dengan dosis :
Kebutuhan bikarbonat (mEq/L) = (kadar bikarbonat diharapkan kadar bikarbonat terukur) × 40% BB (kg)
atau berdasarkan SBE (standard base excess) : Kebutuhan bikarbonat (mEq/L) = 0,3 × BB(kg) × SBE.
Efek samping pengobatan natrium bikarbonat adalah alkalosis metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, gangguan gastrointestinal, volume overload, atau edema paru.7
Beberapa komplikasi AKI lain berikut perlu diperhatikan, dan walaupun tidak segera menimbulkan kematian, tetapi dapat memengaruhi prognosis pasien.7
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Hiperfosfatemia sering terjadi pada AKI, terutama pada pasien dengan hiperkatabolik. Untuk mengatasi hal ini, intake fosfat harus dibatasi dan diberikan obat pengikat fosfat (fosfobinder), misalnya kalsium karbonat 3 × 500 mg/oral. Bila dengan diet dan terapi konservatif tidak berhasil, dapat dipikirkan untuk melakukan dialisis. Hipokalsemia, hipermagnesemia, dan hiperurisemia sering terjadi pada AKI, tetapi biasanya tidak memerlukan pengobatan kecuali jika ada gejala-gejala klinik seperti kejang-kejang (pada hipokalsemia), hiporefleksia, dan depresi pernapasan (pada hipermagnesemia).7
Komplikasi hematologi
Pada AKI biasanya terjadi anemia ringan akibat proses inflamasi. Transfusi hanya diperlukan jika terjadi perdarahan aktif atau anemia menimbulkan gangguan hemodinamik. Pada kasus AKI pemberian eritropoieitin tidak bermanfaat. Pada AKI yang berat terutama yang disertai dengan sepsis dapat terjadi gangguan perdarahan. Pada kasus semacam ini dapat diberikan desmopresin, terapi estrogen, atau segera dilakukan dialisis.7
Komplikasi gastro-intestinal
Akibat azotemia dapat terjadi perdarahan gastrointestinal karena ulkus uremik atau ulkus stress. Untuk pengobatan atau pencegahan dapat diberikan H2 antagonis atau inhibitor pompa proton. Jangan diberikan antasida yang berbasis magnesium atau alumunium karena dapat berakumulasi dan menjadi toksik.7
lnfeksi
Akibat berbagai sebab sering terjadi infeksi pada AKI. Harus dimonitor kemungkinan terjadinya infeksi, termasuk perawatan aseptik yang baik terhadap saluran infus kateter, saluran CVP, saluran nasogastrik, dll. Bila dicurigai adanya infeksi segera diatasi dengan pemberian antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur.7
2.7.2 Terapi Pengganti Ginjal pada AKI
Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Therapy (RRT) adalah usaha untuk menggambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan menggunakan ginjal buatan (dializer) dengan teknik dialisis atau hemofiltrasi. Pada TPG seperti dialisis atau hemofiltrasi, yang dapat digantikan hanya fungsi ekskresi, yaitu fungsi pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi pengaturan tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal, maupun integritas tulang tidak dapat digantikan oleh terapi jenis ini.
Pasien AKI dalam kondisi kritis (critically ill) yang dirawat di ruang rawat intensif (lCU) sangat bervariasi. Mereka merupakan kelompok pasien yang heterogen, baík dalam diagnosis penyakit etiologi, umur, penyakit lain yang menyertai (komorbid), atau derajat gangguan fisiologis pada saat masuk. Kondisi klinik pasien dapat berubah-ubah setiap saat. Tahapan penyakit dapat berganti dengan cepat, yang tidak hanya disebabkan oleh satu mekanisme patofisiologis tubuh yang tunggal, melainkan berbagai faktor yang saling memperburuk dan terkait. Seringkali pasien AKI disertai dengan berbagai gangguan organ (multiple organ failure) di mana keadaan hemodinamiknya sangat tidak stabil. Oleh karena itu, strategi TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis diharapkan dapat mencapai tujuan berikut :25
Mencegah perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.
Membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit dan pemulihan fungsi ginjal dan fungsi organ lain yang terganggu.
Memungkinkan dilakukan tindakan pengobatan yang banyak memerlukan cairan, misalnya resusitasi cairan, pemberian nutrisi, dan obat-obatan.
Tujuan TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis adalah untuk memberi bantuan kepada ginjal (renal support) dan kepada berbagai organ tubuh lainnya supaya kembali berfungsi. Pasien AKI dalam kondisi kritis membutuhkan cairan, obat-obatan, maupun nutrisi dalarn jumlah besar. Dengan melakukan TPG, dapat dilakukan ultrafiltrasi sehingga dapat diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Jadi, diciptakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada tubuh untuk pulih dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya. Tujuan tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan TPG pada pasien gagal ginjal terminal (chronic kidney disease) di mana tujuan utamanya adalah mengambil alih fungsi ginjal (renal replacement) secara rutin seumur hidup untuk memperbaiki keadaan azotemia sehingga yang menjadi patokan keberhasilan adalah survival dan kualitas hidup.25
Pada pasien AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari kondisi klinik yang dihadapi. Saat ini kriteria yang biasa dipakai menjadi dasar untuk inisiasi dialisis pada AKI adalah gejala klinik kelebihan (overload) cairan dan penanda biokimia tentang terjadinya ketidak-seimbangan elektrolit, misal hiperkalemia, azotemia, atau asidosis metabolik. Berikut adalah kriteria praktis yang sangat bermanfaat sebagai indikasi inisiasi TPG, sehingga memungkinkan bagi pasien untuk mendapatkan TPG yang lebih tepat waktu, lebih aman, dan lebih fisiologis.25
Berikut adalah indikasi dan kriteria untuk inisiasi dialisis pada AKI di ICU :25
Oliguria (output urine < 200 cc/12 jam)
Anuria/oliguria berat (output urine < 50 cc/ l2 jam)
Hiperkalemia (K+> 6,5 mmol/L)
Asidosis berat (pH < 7,1)
Azotemia (urea > 30 mmol/liter)
Gejala klinik berat (terutama edema paru)
Ensefalopati uremik
Perikarditis uremik
Neuropati/miopati uremik
Disnatremia berat (Na > 160 atau < 115 mmol/L)
Hipertermia/hipotermia
Overdosis obat -obatan yang terdialisis jika kadar asam urat <15 mg/dl
Bila didapatkan satu gejala di atas sudah dapat merupakan indikasi untuk inisiasi dialisis, dua gejala di atas merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis, dan lebih dari dua merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis walaupun kadarnya belum mencapai yang tertulis.
2.8 Prognosis
Pasien dengan AKI memiliki resiko yang cukup besar untuk selanjutnya berkembang menjadi gangguan ginjal kronis. Pasien dengan AKi juga memiliki resiko tinggi menjadi end-stage renal disease dan kematian prematur. Sehingga, pasien AKI harus terus di monitor terutama terhadap perkembangan penyakitnya atau perburukan menjadi gangguan ginjal kronis.,
BAB III
KESIMPULAN
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikans ebagai peningkatan kreatinin serum >= 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau penurunan produksi urin berdasarkan kriteria AKIN. Penyebab dari AKI dapat dikelompokkan menjadi pre-renal, renalis, dan post-renal, dimana untuk membedakannya diperlukan langkah diagnosis yang baik.
Anamnesis dapat dilakukan untuk mendapatkan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi perfusi ginjal atau langsung merusak ginjal, atau apakah terdapat tanda-tanda obstruski, dan sebagainya. Pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan untuk menilai kelainan yang juga berfungsi untuk menegakkan diagnosis penyebab AKI.
Pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju filtrasi glomerulus harus dilakukan untuk memastikan tingkat keparahan dan kemungkinan komplikasi dari AKI. Selain itu, analisis urin dan biomarkers juga dapat dilakukan jika dibutuhkan diagnosis segera. Tatalaksana dari AKI dapat berupa terapi konservatif dan juga terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan juga pasien sudah memenuhi kriteria untuk dilakukan terapi dialisis segera. Beberapa komplikasi dari AKI ada yang bersifat emergency sehingga dibutuhkan pengelolaan yang cepat dan tepat, seperti volume overload, hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Tindakan yang dilakukan untuk dapat mendiagnosis AKI secara dini sangat dibutuhkan, sehingga tatalaksana yang diberikan juga dapat memperbaiki prognosis pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Hsu CY, McCulloch CE, Fan D, Ordoñez JD,Chertow GM, Go AS. Community-based incidence of acute renal failure. Kidney Int. 2007;72(2):208-212.
Nash K,Hafeez A,Hou S. Hospital-acquired renal insufficiency. Am J Kidney Dis. 2002;39(5):930-936.
Hoste EA,Schurgers M. Epidemiology of acute kidney injury: how big is the problem? Crit Care Med. 2008;36(4 suppl):S146-S151.
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis, and therapy. J Clin Invest. 2004 Jul. 114(1):5-14
R Mahboob, S Fariha, CS Michael. Acute Kidney Injury: A Guide to Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):631-639.
Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta: Puspa Swara.
Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The Vicenza Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network (AKIN): Report of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney Injury. Critical Care 2007;11:R31.
Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. 2008: New York: McGraw-Hill.
Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute Kidney Injury: A Comprehensive Population-based Study. J Am Soc Nephrol 2007;18:1292-1298
Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of the RIFLE Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot Care Med 2006;34:1913-1917
Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med 2007;357:797-805.
Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury and Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int 2002;62:1539-49.
Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J Am Soc Nephrol. 2006;17 :1503-20.
Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal Failure. Dalam: Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic Strategies. New York. Churcill Livingstone.1995;l-23.
Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-1325.
Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In: Greenberg A, Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed. Philadelphia, Pa.: National Kidney Foundation; 2009.
Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute Renal Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207
Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest 2007;131:300-308.
Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med J. 2006;82:106-116.
Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal Replacement Therapy in the Intensive Care Unit. Kidney Int 198;53(66):S106-S109.
Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv Chronic Kidney Dis. 2008;15(3):297-307.
Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of mortality and other adverse outcomes after acute kidney injury: a systematic review and meta-analysis. Am J Kidney Dis. 2009;53(6):961-973.