Refarat DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA RESTLESS LEGS SYNDROME
Oleh : Henry Crosby
15014101273
Milary Wuisan
15014101305
Tazy A.P. Mashanafi 15014101340
Masa KKM : 11 September – September – 08 08 Oktober 2017
Supervisor Pembimbing Dr. dr. Herlyani Khosama, SpS (K)
BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI BLU RSUP PROF DR R. D KANDOU MANADO 2017
BAB I PENDAHULUAN
Restless Legs Sydrome (RLS) merupakan kelainan neurologis yang dikarakteristikkan
dengan
adanya
dorongan
yang
tidak
tertahankan
menggerakkan ekstremitas, yang terjadi pada sebagian atau seluruh kaki, yang dapat berkurang dengan pergerakan, dan yang biasanya terjadi saat istirahat atau pada malam hari, yang nantinya dapat menyebabkan timbulnya gangguan tidur. RLS sering disamakan dengan “anxiety “anxiety”” atau kecemasan karena sebagian besar pasien mengeluhkan rasa gelisah ketika mau tidur. Diagnosis dari RLS juga sering keliru oleh karena cara penggambaran yang berbeda dari setiap penderitanya.1 Penjelasan mengenai hubungan RLS dengan gangguan tidur terjadi pada tahun 1672. Karl Axel Ekbom adalah orang yang pertama kali memberikan penjelasan rinci mengenai ciri dari kelainan ini, dan menamainya dengan
“asthenia “asthenia
crurum
paraesthetica”. paraesthetica”.
Pada
tahun
1945
Ekbom
memberikan istilah baru, yaitu “ Restless Legs Syndrome” Syndrome” atau disebut juga dengan “ Ekbom Syndrome”. Syndrome”.2,3 Prevalensi RLS berkisar antara 2,5 sampai 15% populasi umum, meningkat seiring bertambahnya usia dan dengan kecenderungan wanita. Diagnosisnya berdasarkan klinis dan dapat dilakukan polisomnografi yang bermanfaat untuk mengetahui dampaknya
terhadap
tidur dan untuk
membuktikan gerakan kaki periodik saat tidur dan bangun. RLS umumnya idiopatik, dengan asosiasi dalam keluarga 40-60% kasus, namun dapat juga merupakan gejala dari kondisi terkait (bentuk sekunder) sepertii neuropati perifer, uremia, kekurangan zat besi, diabetes, penyakit Parkinson dan kehamilan. Respon terhadap obat dopaminergik menunjukkan bahwa reseptor dopamin terlibat, dan walaupun banyak kemajuan telah dicapai dalam diagnosis dan pengobatan dalam dekade terakhir, lebih banyak diperlukan penjelasan lengkap mengenai RLS. 2,3
BAB II ISI
A. Definisi
Restless legs syndrome (RLS) adalah gangguan neurologis pada anggota gerak tubuh yang sering dikaitkan dengan keluhan tidur. Pasien dengan RLS mengeluhkan sensasi seperti dorongan yang hampir tak tertahankan untuk menggerakkan kaki, yang tidak menyakitkan namun sangat mengganggu. RLS dapat menyebabkan kecacatan fisik dan emosional yang signifikan.4
B. Etiologi
Penyebab RLS dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Dalam kebanyakan kasus, RLS primer merupakan gangguan sistem saraf pusat yang idiopatik. Penyakit idiopatik merupakan familial pada 25-75% kasus. Dalam kasus familial, RLS mengikuti pola warisan autosomal dominan atau resesif. Pasien dengan RLS familial cenderung memiliki usia yang lebih dini (<45 tahun) dan perkembangan penyakit yang lebih lambat. Faktor psikiatri, stres, dan kelelahan bisa memperburuk gejala RLS. RLS sekunder dapat berkembang sebagai akibat dari kondisi atau faktor tertentu, terutama kekurangan zat besi dan neuropati perifer. 5,6 Penyebab lain dari RLS adalah sebagai berikut: -
Defisiensi folat atau magnesium
-
Amiloidosis
-
Diabetes mellitus
-
Radikulopati lumbosakral
-
Penyakit Lyme
-
Gammopati monoklonal signifikansi yang belum ditentukan
-
Radang sendi
-
Sindrom Sjögren
-
Uremia
-
Kekurangan vitamin B12 RLS terjadi pada 25-50% pasien penyakit ginjal stadium akhir yang
mengeluhkan gejala yang menggangu selama hemodialisis. Satu studi menemukan bahwa hiperfosfatemia, kegelisahan, dan tingkat emosi yang tinggi dalam mengatasi stres terkait dengan munculnya gejala RLS pada pasien dengan uremia yang menjalani hemodialisis. RLS dapat membaik setelah transplantasi ginjal. Obat berikut telah diketahui menyebabkan atau memperparah gejala RLS: -
Obat antidopaminergik (misalnya neuroleptik)
-
Diphenhydramine
-
Antidepresan trisiklik
-
Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
-
Serotonin-norepinepherine reuptake inhibitor (SNRI)
-
Alkohol
-
Kafein
-
Lithium
-
Penghambat beta
Fisiologi Tidur
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, kebutuhan tidur untuk semua umur berbeda. Tidur merupakan keadaan berkurangnya tanggapan dan interaksi dengan lingkungan yang bersifat reversibel dan berlangsung cepat.35 Rekaman electroencephalography (EEG) dan rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur mendefinisikan dua tahap tidur yang nyata, yaitu : rapid eye movement (REM) dan non-rapid eye movement (NREM). 36 Tidur NREM dibagi atas 4 stadium : stadium 1 (tidur ringan), stadium 2 (tidur konsolidasi), dan stadium 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat). Pembagian tingkat tidur ini mengacu kepada 3 variabel fisiologis, yaitu : electroencephalography (EEG), electromyography (EMG), electroocculography (EOG).36 Stadium 1 adalah keadaan mengantuk, tidur ringan, pupil mata kontriksi dan dilatasi secara lambat, bola mata bergerak pelan bolak-balik, kelopak mata tertutup
sebagian atau semuanya. Bila pada saat stadium 1 ini diukur terhadap rangsangan, terlihat melamban dan ketajaman intelektual menurun.Terdapat penurunan respon secara objektif. Di tempat tidur, orang dengan stadium 1, tidur ringan dan bergerak atau menggeliat ringan.36 Stadium 2 adalah individu merasa tertidur bila individu tersebut dibangunkan. Namun, sebagaimana dengan stadium 1, ada individu yang merasa bahwa ia cukup sadar terhadap sekelilingnya, tetapi ia tidak menyadari seberapa jauh kesadarannya menumpul. Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan ambang bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih tinggi dan juga terhadap rangsang pergerakan badan. Tiga pola utama gambaran EEG menandakan mulanya stadium 2 ini, yaitu adanya sleep spindle ( yaitu kelompok gelombang 40100 muV dengan frekuensi 10-16Hz, berlangsung selama 0,5-3 detik, kadang lebih lama). Juga terdapat gelombang panjang vertex atau gelombang V dan K- kompleks. K-kompleks dan gelombang vertex dapat bersamaan atau mendahului sleep spindle. 36 Stadium 3 dan 4 adalah slow wave sleep (SWS), tidur gelombang lambat. Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh imobilitas dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat pada rekaman EEG. Fase tidur ini sering disebut juga sebagai tidur gelombang delta atau tidur dalam. Transisi dari stadium 2 ke stadium tidur gelombang lambat sulit ditentukan. Spindles dapat berlanjut walaupun tidur gelombang lambat sudah muncul, dan K- kompleks (yang juga merupakan gelombang lambat voltase tinggi) bergabung menjadi gelombang lambat. Stadium tidur gelombang lambat ini bervariasi berkaitan dengan usia. Orang yang berusia lebih dari 60 tahun dapat tanpa tidur gelombang lambat, dan anak yang sangat muda dapat mempunyai banyak gelombang lambat voltase tinggi walaupun ia masih tidur ringan. Stadium 3 ditandai oleh gambaran EEG dengan jumlah gelombang lambat 20 % dan tidak melebihi 50 %, terdiri dari gelombang ≤ 2 Hz dengan amplitudo > 75 muV. Stadium 4, pada rekaman EEG didapatkan 50 % atau lebih gelombang lambat (≤ 2 Hz dengan amplitudo > 75 muV). Stadium 3 dan 4 umumnya dianggap satu, sebagai stadium tidur gelombang lambat.36 Waktu tidur normal, stadium ini cenderung terjadi berurutan. Umumnya, dari keadaan bangun seseorang jatuh ke tingkat 1 tidur, diikuti tingkat 2, 3 dan 4 dan tidur REM. Urutan stadium tidur, yang berakhir pada tidur REM, membentuk satu “siklus
tidur”. Lama serta isi siklus tidur (sleep cycle) berubah sepanjang malam dan usia. Persentase tidur-dalam paling tinggi pada siklus-tidur pertama dan kemudian mengurang dengan melanjutnya malam dan lamanya tidur. REM meningkat sepanjang malam. Bila dijumlahkan stadium tidur pada dewasa muda yang normal, tingkat 1 mengambil 5 % dari malam, tingkat 2 mengambil 50 % dari malam dan tidur REM juga tidur gelombang lambat masing masing 20-25 %. Persentase relatif ini berubah dengan usia, demikian juga lamanya siklus. Pada bayi, satu siklus normal berlangsung kira-kira satu jam, dan pada dewasa selama kira-kira 1,5 jam. Gerak badan yang singkat, yang menemani bangun (arousal) menandai transisi ke dan dari tidur REM. Persentase tidur gelombang lambat (SWS) paling tinggi pada permulaan tidur dan tidur REM meningkat di pagi hari. Bagian REM pada siklus tidur meningkat dengan melanjutnya malam.36
C. Patofisiologi
Patogenesis RLS saat ini masih belum jelas. Mekanisme yang paling banyak diterima melibatkan komponen genetik, bersamaan dengan kelainan pada jalur dopamin subkortikal sentral dan gangguan homeostasis besi.8,9 Saat antagonis reseptor dopamin yang bekerja sentral diberikan pada pasien dengan RLS, maka gejala akan direaktivasi. Hasil dari single-photon emission computed tomography (SPECT) menunjukkan defisiensi reseptor dopamin D2. Kelainan homeostasis besi juga telah didapatkan melalui pengukuran profil besi cairan serebrospinal.8,9 Selain itu, para peneliti telah menunjukkan peningkatan keparahan RLS dengan berkurangnya kemampuan transporter serotonin di batang otak, yang mendukung hipotesis bahwa peningkatan transmisi serotonin di otak dapat memperburuk RLS.10 RLS dapat disebabkan faktor genetik atau familial. Berbagai kromosom yang terlibat yaitu 12q, 14q, 9p, 20p, 4q, dan 17p, secara autosomal dominan dan resesif.8,11
Beberapa bukti lainnya juga menghubungkan patofisiologi RLS dengan sistem opioid, mekanisme batang otak, hormon steroid, neuropati perifer, atau kelainan vaskular. 1. Defisiensi zat besi Ada bukti yang menyatakan peranan besi dalam RLS, kebanyakan karena terdapatnya defisit besi pada kasus RLS sekunder (contohnya penyakit ginjal stadium akhir , kehamilan, dan anemia defisiensi besi). 2,3 Konsentrasi besi dalam darah mengikuti ritme sirkardian , konsenterasi besi dalam darah akan menjadi lebih rendah 50-60% pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Kadar besi yang rendah pada waktu malam ini berhubungan dengan munculnya atau memburuknya gejala RLS pada waktu malam. Saat kadar besi dalam darah mencapai kadar terendah, disinilah terjadi gejala RLS yang paling maksimal.3 Penelitian yang menggunakan pengukuran cairan serebrospinal, MRI, dan otopsi untuk menentukan status besi pada orang dengan RLS menyimpulkan adanya kekurangan zat besi pada otak pasien dengan RLS. Besi adalah kofaktor dari tyrosine hydroxylase, yang merupakan enzim yang digunakan untuk sintesis dopamin. Oleh karena itu, besi diperlukan untuk sintesis dopamin dan defisiensi dari besi dapat menyebabkan gangguan dari produksi dopamin.2,3 2. Defisiensi dopamin Respon positif dari pengobatan dengan mengunakan dopamin dosis rendah
dan
memburuknya
gejala
dengan dopamine release blocker
(metoclopramide dan pimozise) menegaskan adanya peran penting dopamin dalam patofisiologi dari RLS. Akan tetapi peranan dopamin ini juga diragukan karena
pada
pemeriksaan functional
neuroimaging
of
nigrostriatal
dopaminergic dysfunction pada pasien dengan RLS idiopatik ditemukan bahwa secara keseluruhan pasien dengan RLS tidak memiliki defisiensi dopamin. Fakta ini juga didukung dengan hasil pemeriksaan patologi yang menyatakan bahwa tidak ditemukan sel dopaminergik yang hilang pada bagian tersebut.2,3
Sistem dari dopamin merupakan ekspresi sirkardian. Kadar dari dopamin akan meningkat pada pagi hari dan mencapai kadar yang terendah pada tengah malam. Ini menjelaskan mengapa gejala dari RLS muncul atau lebih memburuk pada malam hari dan respon neuroendrokrin orang dengan RLS terhadap pemberian levodopa lebih bermakna jika diberikan pada malam hari dibandingan pagi hari.2,3 3. Sistem opioid Terlibatnya sistem opioid dalam RLS dikemukan berdasarkan bukti adanya efektifitas pengobatan opioid pada pasien dengan RLS. Pemberian naloxone pada pasien yang diterapi dengan opioid akan mengakibatkan reaktifitas dari gejala RLS. Akan tetapi efek ini tidak konsisten terjadi pada pasien yang diobati dengan menggunakan agen dopaminergik. Pemberian naloxone pada pasien yang tidak diterapi dengan opioid juga tidak menunjukkan adanya perburukan dari gejala RLS.2 4. Sistem medula spinalis Keterlibatan medula spinalis pada patofisiologi RLS dikemukan adanya gejala sensoris dan motoris yang terjadi secara bilateral dan terlokalisasi secara segmental pada kebanyakan kasus. Ada dugaan bahwa impuls sensorik dari perifer ke korteks sensorik dipengaruhi oleh ketinggian dari medula spinalis yang terkena. Ada beberapa laporan kasus yang menyatakan adanya
hubungan antara RLS dengan kelainan pada spinal
seperti radikulopati lumbosakral, mielitis akibat borrelia, mielitis tranversa, cedera vaskular di batang otak , lesi traumatik atau mielopati spondilosis servikal. Kebanyakan penyakit kelainan spinal ini juga memberikan respon positif pada terapi dopamin. Akan tetapi, belum ada bukti adanya hubungan ini karena kelainan spinal lebih berhubungan dengan timbulnya PLM. Pada kelainan spinal yang murni seperti syringomyleia atau syringobulbia ditemukan bahwa 62% pasien memiliki gejala PLM namun tidak satupun dari mereka memiliki gejala RLS.2 5. RLS pada wanita hamil
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa RLS lebih sering terjadi pada perempuan dan risiko ini akan meningkat sesuai dengan jumlah kehamilan yang dialaminya. Kira-kira 25% dari wanita yang hamil pernah mengalami RLS dengan prevalensi paling tinggi pada trimester akhir.1,3 Etiologi dari RLS pada wanita hamil diduga karena adanya defisiensi dari besi dan asam folat dan perubahan hormonal yang terjadi pada waktu kehamilan.2 Pada wanita hamil, kebutuhan besi meningkat menjadi 3-4 kali lipat dan kebutuhan asam folat meningkat menjadi 8-10 kali lipat. Defisiensi dari kadar besi dan asam folat ditemukan pada wanita hamil dengan RLS dan gejala ini membaik pada saat kadar besi dan asam folat kembali normal yaitu setelah melahirkan.3 Pada wanita hamil, kadar hormon estrogen, progesteron, dan prolaktin juga akan meningkat dalam plasma darah. Diketahui juga bahwa pada kehamilan minggu ke-35 sampai minggu ke-12 post partum terjadi peningkatan estradiol pada wanita hamil dengan RLS. Pada saat inilah wanita hamil tersebut mengalami gejala RLS. Setelah melahirkan, kadar estradiol akan kembali normal dalam darah yang diikuti dengan menghilangnya gejala RLS.2 Pengaruh hormonal ini juga diteliti pada kelompok transeksual yang diterapi dengan terapi hormonal. Pada kelompok transeksual laki-laki menjadi perempuan yang diterapi dengan estrogen dilaporkan memiliki prevalensi timbulnya gejala RLS yang tinggi dibandingkan dengan kelompok transeksual perempuan menjadi laki-laki yang diterapi dengan hormon testorsteron.2
6. Sistem saraf Neuropati perifer juga dikaitkan sebagai penyebab sekunder dari RLS. Akan tetapi, hubungan antara neuropati perifer dan RLS sangatlah kompleks dan masih dalam penelitian. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah karena terganggunya tingkat persepsi dasar sensorik dapat mengakibatkan terjadinya hipersensitisasi dari jalur sensoris menimbulkan terjadinya RLS. 2 7. Sistem vaskularisasi Pembuluh darah dilibatkan dalam terjadinya RLS karena kebanyakan orang dengan RLS akan memberikan respon yang positif terhadap terapi dengan agen vasodilatasi seperti carbachol dan tolazoline. Akan tetapi, penelitian dengan duplex utrasonography menyatakan bahwa gejala RLS tidak berhubungan dengan refluks vena dan gangguan vaskular. Seperti neuropati
perifer,
gangguan
dari
vaskular
juga
dapat
menyebabkan
terganggunya sistem-sistem lain termasuk kerusakan sistem saraf perifer. PLMS dan RLS juga dihipotesiskan berhubungan dengan terjadinya penyakit jantung, hipertensi, dan stroke.2 8. Genetik RLS dinyatakan diturunkan secara autosomal dominan. Beberapa lokus yang berhubungan dengan RLS ditemukan pada kromosom 12q, 14q, 9p, 2q,16p, dan 20p. Lima puluh persen orang dengan riwayat keluarga RLS memiliki kecenderungan menderita RLS juga.9
D. Tanda dan Gejala
Kriteria diagnostik berdasarkan International RLS Study Group (IRLSSG). Sekitar 85% pasien dengan RLS memiliki pergerakan tidur secara periodik, biasanya melibatkan kaki (gerakan kaki periodik saat tidur [PLMS]). PLMS ditandai dengan dorsofleksi otot yang tidak disengaja dan kuat yang berlangsung 0,5-5 detik dan terjadi setiap 20-40 detik selama tidur. Sering timbul pada fase NREM atau saat onset tidur sehingga menyebabkan gangguan tidur.7 RLS ditandai dengan keinginan yang amat sangat untuk menggerakkan kaki karena adanya sensasi yang tidak nyaman, yang dapat berkurang dengan pergerakan
dan biasanya terjadi pada saat istirahat atau malam hari. Kebanyakan orang dengan RLS dapat menjelaskan gejala-gejala ini dengan sangat terperinci. Keluhan tipikal yang umum dan membuat pasien dengan RLS datang mencari pengobatan adalah adanya gangguan tidur atau insomnia.2,3 Gejala lain yang umumnya terkait dengan RLS namun tidak diperlukan untuk diagnosis meliputi: -
Gangguan tidur
-
Kelelahan siang hari
-
Gerakan anggota badan tanpa disengaja, berulang, berkala, dan menyentak baik saat tidur atau saat bangun dan saat istirahat.7
E. Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik berdasarkan International RLS Study Group (IRLSSG) adalah sebagai berikut:7 1. Dorongan untuk menggerakkan kaki biasanya dirasakan tapi tidak selalu disertai atau disebabkan oleh sensasi yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan di kaki. 2. Dorongan untuk menggerakkan kaki dan sensasi tidak menyenangkan lainnya mulai atau memburuk selama periode istirahat atau tidak aktif seperti berbaring atau duduk. 3. Dorongan untuk menggerakkan kaki dan sensasi tidak menyenangkan lainnya baik sebagian atau seluruhnya memberi kelegaan dengan gerakan, seperti berjalan atau peregangan, setidaknya selama aktivitas berlanjut. 4. Dorongan untuk menggerakkan kaki dan sensasi tidak menyenangkan yang menyertainya saat istirahat atau tidak aktif hanya terjadi atau lebih buruk pada sore hari atau malam hari daripada siang hari. 5. Terjadinya gejala sebelumnya tidak dianggap sebagai gejala utama pada kondisi medis atau perilaku lainnya seperti mialgia, stasis vena, edema kaki, artritis, kram kaki, ketidaknyamanan posisi, dan kebiasaan menyentakkan kaki.
Dalam American Psychiatric Association’s Diagnostic an d Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi ke-5 (DSM-5), kriteria spesifik untuk RLS adalah sebagai berikut.12 1. Dorongan untuk menggerakkan kaki yang biasanya disertai atau terjadi sebagai respons terhadap sensasi tidak nyaman dan tidak menyenangkan di kaki, ditandai oleh semua hal berikut: (1) dorongan untuk menggerakkan kaki dimulai atau memburuk selama periode istirahat atau tidak aktif; (2) dorongan sebagian atau sepenuhnya lega dengan gerakan; dan (3) dorongan untuk menggerakkan kaki lebih buruk pada sore hari atau pada malam hari daripada siang hari atau hanya terjadi pada sore atau malam hari. 2. Gejala terjadi minimal 3 kali per minggu dan bertahan paling lama 3 bulan 3. Gejala menyebabkan gangguan signifikan pada area kerja sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku atau area lainnya 4. Gejalanya tidak dapat dikaitkan dengan gangguan mental atau kondisi medis lainnya (misalnya edema kaki, artritis, kram kaki) atau kondisi perilaku (misalnya ketidaknyamanan posisi, kebiasaan mengetuk kaki) 5. Gangguan ini tidak bisa dijelaskan oleh efek penyalahgunaan narkoba atau pengobatan.
F. Diagnosis Banding
RLS dapat didiagnosis banding dengan gangguan dari sistem saraf perifer seperti neuropati perifer, sindroma cedera akar saraf atau kompresi dari nervus perifer, gangguan sistem vaskular seperti penyakit arteri perifer , gangguan psikiatri, seperti gangguan cemas , gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH), gangguan tidur, seperti periodic limb movements in sleep (PLMS), pengeruh obat seperti ataksia akibat antipsikotik, anti depresan dan antipsikotik menyebabkan RLS.2,3
Tabel 1. Diagnosis Banding RLS dengan Penyakit Lainnya.9 No
Diagnosis Banding
1.
Neuropati Perifer
2.
3.
Karakteristik
Akathisia
Penyakit
vaskular
-
Tidak ada perubahan pada pola tidur
-
Tidak terdapat PLMS
-
Konduksi saraf normal
-
Tidak ada perbaikan dengan pergerakan
-
Tidak mengikuti pola tidur
-
Tidak terdapat parestesia
-
Membaik dengan pengunaan penghambat dopamin
-
Memburuk
perifer
dengan
pergerakan
dan
membaik
dengan istirahat -
Pada pemeriksaan fisik terdapat perubahan pada pembuluh darah dan kulit
4.
Nocturnal leg cramps
-
Unilateral, fokal, terdapat onset yang parah secara mendadak
5.
Painful Legs and moving
-
toes
Tidak
ada
keinginan
yang
sangat
untuk
menggerakkan kaki -
Gejalanya tidak memburuk saat istirahat dan tidak membaik dengan adanya pergerakan
-
Tidak ada perubahan pola tidur
G. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Diagnosis sindrom kaki gelisah (RLS) didasarkan terutama pada riwayat klinis pasien. Seringkali, pasien tidak memberikan gejala RLS. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan mengenai tidur dapat membantu sebagai tinjauan satu sistem. Pasien RLS biasanya melaporkan sensasi disestesi yang digambarkan sebagai pin dan jarum, kram, atau sensasi merayap. Sebagian besar pasien (85%) dengan RLS kesulitan tidur di malam hari sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut, dan mereka mungkin mengalami rasa kantuk yang berlebihan di siang hari karena kualitas tidur yang buruk akibat beberapa
dorongan yang disebabkan oleh PLMS. PLMS yang tercatat di polysomnography (PSG) saja tidak menjamin perawatan. Dokter harus mempertimbangkan untuk merawat PLMS jika sering menimbulkan gejala. Hal lain yang umumnya terkait dengan RLS tapi tidak diperlukan untuk diagnosis termasuk gangguan tidur, kelelahan siang hari, dan pergerakan anggota badan yang tidak disengaja, berulang, berkala, menyentak (baik saat pasien sedang tidur atau saat ia sedang bangun dan saat istirahat). Riwayat keluarga yang positif juga membantu diagnosis RLS, terutama pada anak-anak. RLS biasa sulit didiagnosis pada anak-anak, terutama yang lebih muda. Untuk diagnosis
yang
pasti,
pasien
harus
sesuai
kriteria
diagnosis
dan
dapat
menggambarkan gejala kaki dalam bahasa mereka sendiri. Sebagai alternatif, RLS pada anak harus memiliki kriteria diagnostik dengan gangguan tidur, saudara kandung atau orang tua dengan RLS, dan indeks PLMS lebih tinggi dari 5 pada PSG. Untuk diagnosis yang mungkin, indeks PLMS lebih dari 5 pada PSG dan ada anggota keluarga yang menderita RLS. Kriteria ketat ini dimaksudkan untuk mencegah overdiagnosis RLS pada anak-anak. Pemeriksaan fisik biasanya normal pada pasien dengan RLS. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab sekunder dan untuk menyingkirkan gangguan lainnya. Secara khusus, pasien harus dievaluasi untuk neuropati, radikulopati, dan parkinsonisme. 13,14
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Semua pasien dengan gejala RLS harus melakukan pemeriksaan zat besi. Minimal, kadar feritin harus diperoleh. Komponen besi lengkap, termasuk kadar besi, feritin, saturasi transferrin, dan kapasitas pengikatan besi total lebih baik karena ferritin dapat meningkat palsu pada keadaan inflamasi akut. Pasien yang RLS-nya terkontrol dengan baik tetapi terjadi kekambuhan atau adanya gejala tambahan harus menjalani evaluasi ulang status zat besi mereka. Gejala tambahan yang dimaksudkan yaitu 1 atau lebih dari yang berikut: -
Gejala awal pada malam hari atau saat istirahat
-
Meningkatnya intensitas gejala di pagi hari
-
Perpanjangan gejala ke bagian atas tubuh Jika penyebab sekunder RLS dicurigai berdasarkan riwayat, temuan
abnormal pada pemeriksaan neurologis, atau respons yang buruk terhadap pengobatan, pemeriksaan laboratorium lain harus dilakukan, termasuk jumlah darah lengkap dan pengukuran kadar berikut ini:15,16 -
Nitrogen urea darah
-
Kreatinin
-
Gula darah puasa
-
Magnesium
-
Thyroid-stimulating hormone
-
Vitamin B12
-
Folat
2. Pemeriksaan lain Pemeriksaan Needle electromyography (EMG) dan konduksi saraf harus dipertimbangkan jika polineuropati atau radikulopati dicurigai berdasarkan klinis, walaupun hasil pemeriksaan neurologisnya ternyata normal. Polisomnografi (PSG) mungkin diperlukan untuk mengukur PLMS atau untuk menggambarkan pola tidur, terutama pada anak-anak dan pada pasien yang terus mengalami gangguan tidur yang signifikan walaupun ada gejala RLS yang membaik dengan pengobatan. PSG adalah pencatatan poligrafik selama tidur dengan variabel fisiologis multiple, baik langsung maupun tak langsung yang berhubungan dengan stadium dan kedalaman tidur, untuk menilai penyebab biologis yang mungkin pada gangguan tidur. Dari data hasil pemeriksaan polisomnografi akan didapatkan jumlah pergerakan tungkai pasien yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat keparahan RLS/PLMS, yaitu dengan mengunakan indeks PLMS. Indeks PLMS atau juga disebut PLMI (Periodic Limb Movement Index) biasanya dihitung sebagai jumlah total PLMS selama tidur dibagi dengan waktu tidur total dalam jam (total sleep time). PLMI ≥ 5 dinyatakan signifikan.
Derajat beratnya PLMS ini juga berbanding lurus dengan tingkat keparahan RLS yang diderita pasien. Berdasarkan data pemeriksaan PSG dapat ditentukan derajat keparahan PLMS yang diderita masing-masing pasien sebagai berikut.
-
PLMS ringan mempunyai nilai PLMI 5 hingga 25 per jamnya,
-
PLMS sedang mempunyai nilai PLMI 25 hingga 50 per jamnya,
-
PLMS berat mempunyai nilai PLMI lebih dari 50 per jamnya.17
I. Terapi
1. Farmakologi Terapi obat untuk RLS primer sebagian besar simptomatik; penyembuhan hanya mungkin untuk RLS sekunder. Pada beberapa pasien, gejala RLS muncul secara sporadis, dengan remisi spontan yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pengobatan RLS bukan untuk menyembuhkan tetapi hanya menghilangkan gejala dalam jangka waktu lama. Terapi saat ini yang sering diberikan adalah levodopa, opioid, dan benzodiazepin dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi berdasarkan penelitian dan pedoman klinik menempatkan agonis dopamin sebagai lini pertama pengobatan dari gejala RLS yang terjadi seharihari.25,26 Pedoman tatalaksana RLS terdapat menurut Restless Legs Syndrome Task Force of the Standards of Practice Committe og the American Academy Sleep Medicine (AASM) pada tahun 2008.
25,26
Pasien dengan RLS dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu; (1) Pasien dengan gejala yang intermiten. (2) Pasien dengan gejala yang berlangsung setiap hari. (3) Pasien dengan gejala refrakter yang sulit diatasi dengan pengobatan standar.26 1.1. Pasien dengan gejala intermiten Pasien yang gejalanya terjadi secara interminten dapat di atasi dengan obat-obat yang hanya diminum ketika gejala RLS muncul. Obat-obatan yang dianjurkan adalah carbidopa atau levodopa 25-100 mg diminum sebelum tidur, opioid potensi rendah atau agonis reseptor opioid seperti codein 30-60
mg, propoxyphene hydrochloride 65-130 mg, tramadol, dosis: 50-100mg, dan benzodiazephin, misalnya triazolam 0,125-0,5 mg.25,26
1.2. Pasien dengan gejala yang berlangsung setiap hari Pasien dengan gejala RLS yang terjadi setiap hari harus meminum obat secara rutin. Terapi lini pertama adalah agonis dopamin. Agonis dopamin yang sering digunakan adalah pramipexole 0,125-2 mg/hari atau ropinirole 0,125-4mg/hari. Obat alternatif lainnya yang dapat digunakan adalah anti konvulsan seperti gabapentin dan opioid potensi rendah. 26
1.3. Pasien dengan gejala refrakter Pasien
dengan
gejala
yang
refrakter
memerlukan
pergantian
pengobatan. Bisa digunakan agonis dopamin jenis lain, opioid, atau anti konvulsan. Bisa juga digunakan tambahan obat kedua seperti benzodiazepin, atau gabapentin. Pada RLS derajat berat dapat digunakan opioid kuat seperti methadone 5-40 mg/hari. 1,26
Terapi untuk RLS sekunder berdasarkan penyebab yaitu : 1.4. Terapi RLS pada penyakit ginjal stadium akhir Pedoman terapi RLS pada penyekit ginjal stadium akhir yaitu menangani anemia dengan pemberian erythropoietin.27 Untuk untuk pasien dengan kadar feritin rendah harus mendapat terapi zat besi tambahan, dapat diberikan sulfat ferosus 325 mg dan vitamin C 250 mg.28 Untuk terapi awal dapat diberikan obat benzodiazepin (clonazepam 0.5-2.0 mg /hari, temazepam 7.5-3.0 mg /hari, triazolam 0.125-0.5 mg /hari).25 Jika pemberian benzodiazepin tidak efektif dalam menangani gejala, dapat diberikan agen dopaminergik seperti carbidopa atau levodopa. Pemberian gabapentin dan clonidine juga direkomendasikan. 29,30
1.5 Terapi RLS pada kehamilan Terapi non farmakologi lebih dianjurkan selama kehamilan untuk mengobati
gejala RLS ringan sampai sedang. Terapi yang dianjurkan
meliputi olahraga ringan dan menghindari minuman berkafein dan beralkohol. Terapi farmakologi selama kehamilan belum direkomendasikan karena penelitian mengenai kemanan dan kemanjuran pengobatan masih diragukan. Namun untuk menangani gejala RLS yang persisten dapat diberikan suplemen besi oral.31 Jika gejala terus berlanjut, dan manfaat ibu melebihi risiko pada janin, pengobatan lain dapat dipertimbangkan yaitu obat dopaminergik, benzodiazepin, opioid, atau agen anti konvulsan.32,33 1.6 Terapi RLS pada pasien dengan anemia defisiensi besi Semua pasien dengan kadar zat besi rendah (feritin <50 ng / mL) harus mendapat terapi zat besi tambahan. Pada defisiensi zat besi, dapat diberikan sulfat ferosus 325 mg dan vitamin C 250 mg. Absorbsi obat ini meningkat pada waktu lambung kosong atau 60 menit sebelum makan. Besi parenteral juga memiliki peran dalam pengobatan RLS sekunder akibat anemia defisiensi besi.23
2. Non farmakologi Sleep Hygiene harus direkomendasikan pada semua penderita. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatkan kualitas tidur penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur, meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau panas, pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik, menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita, hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur, elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur , lakukan
senam secara teratur (3-4x/minggu), serta hindari melakukan aktivitas yang berat sebelum tidur.24 Prognosis RLS umumnya merupakan kondisi yang terjadi seumur hidup. Terapi yang dilakukan saat ini dapat menghilangkan atau mengurangi gejala yang dirasakan dan meningkatkan efektifitas dari tidur. Simptom ini biasanya memburuk seiring dengan bertambahnya usia. Ada beberapa individu yang dapat mengalami fase remisi. Akan tetapi, gejala ini akan kembali setelah selama beberapa hari, minggu, atau bulan. Prognosis dari RLS dapat diklasifikasikan menurut etiologinya:
-
RLS primer Keparahan dan frekuensi dari gejala biasanya akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Pada individu yang onset terjadinya RLS setelah 45 tahun, progesivitas yang terjadi akan lebih cepat. Pada individu yang onset terjadinya RLS kurang dari 45 tahun progesivitasnya lebih tersembunyi.
-
RLS sekunder Gejala yang dialami biasanya akan menghilang jika faktor penyebabnya dihilangkan. Pada wanita hamil, RLS biasanya akan menghilang beberapa minggu setelah dia melahirkan.11
BAB III PENUTUP
RLS adalah kelainan neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya dorongan yang sangat untuk menggerakkan ekstremitas yang berhubungan dengan parestesia, yang terjadi pada sebagian atau seluruh kaki, yang dapat berkurang dengan pergerakan, dan yang biasanya terjadi saat istirahat atau pada malam hari, yang nantinya dapat menyebabkan timbulnya gangguan tidur. RLS merupakan penyakit yang sering dijumpai dan memiliki angka morbiditas sekitar 1-10% dari populasi umumnya, lebih sering terjadi pada wanita, dan risikonya akan meningkat seiring bertambahnya usia. Populasi yang berisiko menderita RLS adalah wanita hamil, pasien dengan defisiensi besi atau asam folat, pasien dengan gagal ginjal stadium akhir , GPPH. Penyebab dari RLS masih belum diketahui dengan pasti. Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa RLS berhubungan dengan defisiensi besi atau asam folat, defisiensi dopamin, meningkatnya hormon kortisol, gangguan di sistem opiate, saraf, dan pembuluh darah. RLS sering salah didiagnosiskan dengan penyakit lainnya padahal RLS memiliki manifestasi klinis yang sangat khas. RLS dapat diobati secara non-farmakologi dan farmakologi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fulda
S.
Restless
Legs
Syndrome:
Diagnosis,
Treatment
and
Pathophysiology. 2010. 2. Sommer, David B and Mark Stacy. Epidemiology and Pathophysiology of Restless Legs Syndrome. US Neurological Disease. 2007. 3. Restless Legs Stndrome: Pathophysiology and the Role of Iron Folate. Alternative Medicine Review. 2007;12(2):101-10. 4. Gamaldo CE, Earley CJ. Restless legs syndrome: a clinical update. Chest . 2006 Nov. 130(5):1596-604. Hening WA. Restless Legs Syndrome. Curr Treat Options Neurol . 1999 Sep. 1(4):309-319. 5. Evidente VG, Adler CH. How to help patients with restless legs syndrome. Discerning the indescribable and relaxing the restless. Postgrad Med . 1999 Mar. 105(3):59-61, 65-6, 73-4. 6. Silber MH. Restless legs syndrome. Mayo Clin Proc. 1997 Mar. 72(3):261-4. 7. 2012 Revised IRLSSG Diagnostic Criteria for RLS. International Restless Legs
Syndrome
Study
Group
(IRLSSG).
Tersedia
di http://irlssg.org/diagnostic-criteria/. Disitasi: September 17, 2017. 8. Allen RP, Earley CJ. Restless legs syndrome: a review of clinical and pathophysiologic features. J Clin Neurophysiol . 2001;18(2):128-47. 9. Jhoo JH, Yoon IY, Kim YK, Chung S, Kim JM, Lee SB. Availability of brain serotonin transporters in patients with restless legs syndrome. Neurology. 2010;74(6):513-8. 10. Trenkwalder C, Hogl B, Winkelmann J. Recent advances in the diagnosis, genetics and treatment of restless legs syndrome. J Neurol . 2009 Apr. 256(4):539-53. 11. Cesnik E, Casetta I, Turri M, Govoni V, Granieri E, Strambi LF, et al. Transient RLS during pregnancy is a risk factor for the chronic idiopathic form. Neurology. 2010 Dec 7. 75(23):2117-20.
12. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition. 5th. Arlington, VA: American Psychiatric Association; 2013. 410-3. 13. Kotagal S, Silber MH. Childhood-onset restless legs syndrome. Ann Neurol . 2004;56(6):803-7. 14. Hattan E, Chalk C, Postuma RB. Is there a higher risk of restless legs syndrome in peripheral neuropathy?. Neurology. 2009;72(11):955-60. 15. Gamaldo CE, Earley CJ. Restless legs syndrome: a clinical update. Chest . 2006 Nov. 130(5):1596-604. Hening WA. Restless Legs Syndrome. Curr Treat Options Neurol . 1999 Sep. 1(4):309-319. 16. Ferreri F, Rossini PM. Neurophysiological investigations in restless legs syndrome and other disorders of movement during sleep. Sleep Med . 2004 Jul. 5(4):397-9. 17. Restless legs syndrome. detection and management in primary care. National Heart, Lung, and Blood Institute Working Group on Restless Legs Syndrome. Am Fam Phys. 2000 Jul 1. 62(1):108-14 18. Baldwin CM, Keating GM. Rotigotine transdermal patch: in restless legs syndrome. CNS Drugs. 2008. 22(10):797-806. 19. Garcia-Borreguero D, Kohnen R, Silber MH, Winkelman JW, Earley CJ, Högl B, et al. The long-term treatment of restless legs syndrome/WillisEkbom disease: evidence-based guidelines and clinical consensus best practice guidance: a report from the International Restless Legs Syndrome Study Group. Sleep Med . 2013 Jul. 14(7):675-84. 20. Grote L, Leissner L, Hedner J, Ulfberg J. A randomized, double-blind, placebo controlled, multi-center study of intravenous iron sucrose and placebo in the treatment of restless legs syndrome. Mov Disord . 2009 Jul 30. 24(10):1445-52. 21. Shinno H, Yamanaka M, Ishikawa I, Danjo S, Nakamura Y, Inami Y. Successful treatment of restless legs syndrome with the herbal prescription
Yokukansan. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2010 Feb 1. 34(1):252-3 22. Garcia-Borreguero D, Kohnen R, Silber MH, Winkelman JW, Earley CJ, Högl B, et al. The long-term treatment of restless legs syndrome/WillisEkbom disease: evidence-based guidelines and clinical consensus best practice guidance: a report from the International Restless Legs Syndrome Study Group. Sleep Med . 2013;14(7):675-84. 23. Anderson P. Restless Legs Syndrome Linked to Higher Mortality. Tersedia di http://www.medscape.com/viewarticle/805712. Disitasi: September 17, 2017. 24. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management on Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700 25. Ondo WG, Restless Legs Syndrome.In: Jankovic J, Tolosa E (eds), Parkinson’s Disease and Movement Disorder, 5th edition, Philadelphia: Lippincott, Williams, and Wilkins, 2007; 409-20. 26. Symvoulakis E, Dimitrios Anyfantakis, Christos Lionis. Restless Legs Syndrome: Literature Review. Sao Paulo Med. 2010; 128 (3): 167-170 27. Harris, DC, Chapman, JR, Stewart, KH, et al. Low dose erythropoietin in maintenance hemodialysis: Improvement in quality of life and reduction in true cost of hemodialysis. Aust N Z J Med. 2 011; 21:693. 4. 28. Roger, SD, Harris, DCH, & Stewart, JH. Possible relation between restless legs and anaemia in renal dialysis patients. Lancet. 2010; 337: 1551. 29. Allen, RP, & Earley, CJ, Augmentation of the restless leg syndrome with carbidopa/levodopa. Sleep 2012; 19: 205. 11. 30. Von Scheele, C, Kempe, V. Long-term effect of dopaminergic drugs in restless legs: A 2-year follow-up. Arch Neurol 2010; 47:1223. 31. Picchietti DL, Hensley JG, Bainbridge JL, et al. Consensus clinical practice guidelines for the diagnosis and treatment of restless legs syndrome/ WillisEkbom disease during pregnancy and lactation. Sleep Med Rev. 2015;22:64 – 77.
32. Gupta R, Dhyani M, Kendzerska T, et al. Restless legs syndrome and pregnancy:
prevalence,
possible
pathophysiological
mechanisms
and
treatment. Acta Neurol Scand. 2016;133(5):320 – 329. 33. Srivanitchapoom P, Pandey S, Hallett M. Restless legs syndrome and pregnancy: a review. Parkinsonism Relat Disord. 2014;20(7):716 – 722. 34. National institute of neurological disorder and stroke. Restless Legs Syndrome Fact Sheet. 2010 35. Chen T, Wu Z, Shen Z, Zhang J, Shen X, Li S. Sleep duration in Chinese adolescents: biological, environmental, and behavioral predictors. Sleep medicine 2014;15(11):1345-1353. 36. Lumbantobing S. Gangguan Tidur. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008:6-12.