IV PENYAIR, SYAIR DAN PUISI
1. BAHAN TULIS Tak ada suatu penelitian mengenai sastra dalam bahasa apa pun atau dari periode mana pun yang dapat dianggap lengkap, bila itu terbatas pada suatu s uatu ikhtisar mengenai karyakaryakarya yang sudah diterbitkan serta seluk beluk biografis pengarang-pengarang yang bersangkutan. Periode yang kita tinjau terselubung oleh masa silam, terjadi pada suatu jaman dan dalam keadaan yang berminat terhadap sejarah yang berlainan sama sekali dengan keadaan yang kita kenal. Sumber-sumber memang sedikit dan tidak memadai, inilah kesulitan yang harus dihadapi oleh setiap orang yang berminat terhadap sejarah Jawa Kuno. Penulis telah berjumpa dengan kesukaran-kesukaran ketika berusaha menyusun suatu laporan mengenai pengaruh kebudayaan India terhadap sastra dan bahasa Jawa, dan kesukaran ini merupakan rintangan utama dalam menyusun suatu gambar mengenai kedudukan puisi di dalam masyarakat Jawa Kuno. Kuno. Satu-satunya kesimpulan boleh kita tarik dari kenyataan, bahwa bahan epigrafis bungkam bungkam mengenai kegiatan penulisan puisi, ialah bahwa kegiatan ini dikhususkan bagi suatu kelompok sosial di luar lingkungan orang-orang yang disebut dalam prasasti-prasasti atau dengan kata lain bahwa kegiatan ini tidak termasuk kepandaian professional. Pertama, Pertama, penelitian ini membuka kemungkinan supaya kita belajar dari para penyair sendiri apa yang mereka ceritakan tentang dirinya sendiri serta karyanya dalam kata pengantar dan penutup karya itu. Kedua, Kedua, cerita itu sendiri mengandung bagian-bagian yang berurusan dengan puisi dan dengan mereka yang menulis puisi. Akhirnya, secara istimewa perlu disebut kakawin yang kita kenal sebagai Ngarakrtgama
beserta uraian tentang kehidupan kraton
Majapahit. Jadi, keterangan mengenai tema yang sedang kita bicarakan di sini, memang ada juga. Di Bali hampir semua sastra Jawa Kuno diselamatkan dan kami telah melukiskan sampai seluk-beluknya bagaimana naskah-naskah kuno disalin dan karya-karyanya baru ditulis, sebagai bahan tulis orang Bali memakai daun lontar dan sebagai alat tulis memakai sebilah pisau besi kecil ( png ( png utik atau utik atau png png ru p ru pak ak ). ).
Ada dua macam sumber yang dapat kita andalkan untuk melakukan penelitian seperlunya, yaitu yang pertama : seni rupa, khusunya relief-relief yang terdapat pada candicandi Jawa Kuno, dan yang kedua : informasi mengenai metoda penulisan yang diberikan dalam karya sastra itu sendiri. Mengenai data literer, kata yang dewasa ini dipakai di Bali untuk menunjukkan daun-daun palma sebagai bahan tulis ialah ntal atau lontar (suatu bentuk metatetis dari ron tal, yaitu daun pohon tal ; kata ini mungkin berasal dari Jawa). Korawarama adalah sebuah karya prosa, jadi dengan demikian terletak di luar tradisi puisi kakawin. Kali mat-kalimat kitab Korawasrama ini praktis menghapuskan keragu-raguan, bahwa daun-daun palma dipakai sebagai bahan tulis di Jawa maupun di Bali dan bahwa kata lontar sejak cukup lama dikenal di pulau Jawa.
2. TANAH DAN KARAS Dalam H ariwangsa, bagian paling akhir, pengarang yaitu Mpu Panuluh menceritakan bahwa raja nya, raja Jayabahya yang memerintah pada pertengahan abad ke-12 dalam kalangan luas terkenal sebagai pelindung para penyair. Bila penyair yang paling terkemuka (kawindra, raja para penyair) menulis syair-syairnya untuk memuji sang raja, maka majikannya tidak hanya mengganjarinya dengan menerima syair-syair itu dengan senang hati, melainkan juga dengan melimpahkan nyata-nyata anugrahnya dalam bentuk hadiah-hadiah, yaitu tanah dan kara s sesuka hati. T anah ialah alat yang dipakai untuk menulis sedangkan kara s adalah bahan yang ditulisi. Raja bermaksud agar hadiah itu dapat dijadikan perangsang untuk meneruskan karyanya dan sebagai tanda persetujuan raja mengenai cara ia menunaikan tugasnya selaku penyair kraton. Dalam H ariwanga penyair melukiskan sebuah bukit dekat laut, sebuah tempat yang sering didatangi oleh orang-orang yang mencari keindahan sambil menikmati pemandangan yang indah. Ini dapat disimpulkan dari debu tanah yang jatuh pada batu yang rata dan yang dipakai sebagai tempat duduk dan dengan demikian menutupi gambar Kma dan Ratih (dewa dewi asmara) yang digoreskan dalam batu itu. Di lain tempat, dalam sebuah lukisan mengenai adegan asmara sang jejaka mainmain dengan jari kekasihnya dan memakai kukunya seolah-olah jari itu adalah tanah-tanah; dan dalam sebuah teks lain sang jejaka mengatakan, bahwa ia khawatir nanti akan menjelma sebagai tanah kekasihnya, karena dengan demikian kuku kekasihnya akan melukainya. Tak mungkin kita menganggap contoh-contoh itu dapat diselaraskan dengan pengertian tanah sebagai semacam pisau pena tulis.
Dengan demikian kita sekurang-kurangnya mempunyai sebuah indikasi, bahwa orang Bali terbiasa atau dapat membayangkan sejenis papan tulis yang lain daripada daun lontar. Tanah dikatakan meninggalkan goresan atau a lur-alur pada karas. Goresan itu kadangkadang bahkan disebut jurang. Ini mengingatkan kita akan goresan pada daun lontar akibat tulisan pada kulitnya yang keras, dan kemudian diisi dengan tinta kemiri yang hitam. Bahwa huruf-huruf pada karas itu berwarna hitam dapat disimpulkan dari dua kutipan lain. Kita tidak dapat memastikan dengan tepat bagaimana sifat kara s itu. Di satu pihak rupanya dibuat dari bahan yang menyerupai kayu, seperti daun lontar yang telah diolah, tetapi dilain pihak bentuk dan ukurannya tidak cocok dengan daun semacam itu. Kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan kara s itu semacam papan yang dibuat dari bambu yang dibelah atau yang dipukul sehingga menjadi c eper. 3.
PUAK Selain kara s dan tanah masih ada bahan tulis lain yang sering disebut-sebut
berhubungan dengan para penyair dan syair mereka, yaitu puak yang juga dinamakan ketaka atau ketaki dan cinda g a. Yang dimaksud ialah bunga pohon pandan. Pohon pandan sering disebut dalam deskripsi-deskripsi tentang alam. Tanaman ini suka bertumbuh di sepanjang pantai atau sungai dan di atas batu-batu karang yang muncul dari laut, sedikit lepas pantai; bunganya sering bergantungan sehingga hampir menyentuh permukaan air (ang udoda). Beberapa jenis pandan cukup tinggi untuk memberi naungan kepada manusia. Bunganya ( puak ) tersusun menurut lapisan, berwarna kuning, terbungkus dalam semacam bungkus lonjong, yang pada satu ujung meruncing; bunga kelihatan bila pelepah itu mekar. Bunga itu sering diumpamakan dengan betis seorang wanita bila kainnya terbuka sedikit. Daun bunga puak itu yang panjang dan putih dipakai sebagai bahan tulis. Setiap goresan yang dibuat dengan sebuah alat runcing pada daun bunga seketika menjadi hitam. Namun bahan tulis ini jauh daripada awet, tidak hanya karena daun bunga itu menjadi layu, tetapi juga karena latarbelakangnya yang putih atau kuning, dalam waktu singkat juga menjadi hitam, sama seperti tulisan di atas kulitnya. Maka dari itu tidak mengherankan, bahwa cara memakainya juga berbeda dengan kara s. Kara s adalah bahan tulis bagi seorang penyair sungguh-sungguh, dan bagi setiap orang yang ingin menulis sebuah syair yang lebih panjang atau yang diharapkan akan tetap lestari, sedangkan puak itu sesuai sekali bagi penulisan okasional saja, seperti misalnya untuk menulis sepucuk surat (khususnya suatu surat cinta dalam bentuk kakawin singkat dan yang panjangnya tidak lebih banyak dari
beberapa bait saja) atau untuk menggambarkan wajah sang kekasih yang sedang dirindukan. Puak itu sewaktu-waktu dapat dipakai, sambil berimprovisasi ( ang dadak ). Biasanya puak itu tidak perlu dicari jauh-jauh, seperti juga penanya, karena setiap benda yang tajam dapat dipergunakan. Tidak diperlukan tanah; dan dalam hubungan dengan bunga puak , tanah itu jarang disebut, mungkin juga karena mereka yang menulis di atas puak tidak termasuk golongan ³pembawa tanah´ atau kaum penyair profesional. Sebatang tusuk gading ( sadak ), dipakai sebagai hiasan rambut atau telinga dan bahkan duri pohon paan sendiri dapat dipakai. Dalam sastra kakawin sering disebut-sebut mengenai dipakainya selembar puak , karena dalam hampir setiap kakawin terdapat buah kisah asmara dan dalam kisah-kisah asmara itu hampir selalu surat cinta macam itu terbang kian ke mari. Puak itu merupakan bahan tulis bukan bagi para penyair profesional, melainkan bagi para amatir ± menurut arti kata ganda: bukan profesional dan pencinta. Puak itu membuka kesempatan bagi para kekasih untuk mengungkapkan isi hatinya yang terpendam, tanpa meninggalkan tulisan yang tahan lama da n yang di kemudian hari mungkin merepotkan mereka, lagi pula untuk mengatakan isi hatinya dengan (ata u: di atas) bunga. 4.
YAA, MAHANTN, BALE Berkat deskripsi-deskripsi mengenai petualangan asmara dan pertemuan-pertemuan
rahasia yang demikian biasa terdapat dalam kakawin, kita mendapat sebagian besar informasi tentang cara menulis dan mengawetkan sajak. Jelaslah bahwa tidak hanya kara s dan puak yang dipergunakan oleh para kekasih. Sering juga disebut-sebut mengenai adanya pondok pondok atau padepokan, tempat kakawin-kakawin ditemukan. Pondok merupakan salah satu bangunan kecil yang pada berbagai tempat dalam sastra kakawin dan kidung disebut dengan nama yang berbeda-beda; bangunan-bangunan kecil ini merupakan bagian dari pemandangan seperti terpahat dalam banyak relief Jawa Kuno. Bangunan semacam itu kita jumpai di halaman candi-candi, pertapaan atau biara-biara, di halaman-halaman dan taman-taman dekat kraton dan rumah para bangsawan, di hutan dan khusus di atas batu-batu karang dekat pantai. Berbagai nama yang dipakainya itu mungkin disebabkan karena perbedaan dalam bentuk dan gaya, tetapi sukarlah menarik kesimpulan yang pasti berdasarkan informasi yang diberikan oleh teks-teks saja. Untuk mengadakan suatu perbandingan yang efektif antara sedikit data yang kita jumpai dalam teks-teks di satu pihak dan informasi yang dapat disimpulkan setelah mempelajari relief-relief di lain pihak, diperlukan suatu kompetensi yang lebih besar daripada apa yang dimiliki penulis ini. Namun
satu kenyataan muncul dari bahan literer yang t ersedia, yaitu berbagai bagian dari bangunan bangunan itu dihiasi dengan lukisan atau teks-teks tertulis. Mungkin kita tidak jauh dari kebenaran, bila kita membayangkan bahwa bangunan-bangunan itu agak mirip dengan balai Krtagosa di Klungkung, Bali; di sana lukisan dan tulisan menghiasi papan-papan miring pada langit-langit dan dinding-dinding sekitar. Selain itu perlu diperhitungkan pula kemungkinan, bahwa tiang-tiang kayu dapat ditulisi atau dihiasi dengan lukisan. Bangunan macam ini biasanya disebut ya a padan kata bale, sepatah kata Indonesia asli. Sebuah nama lain yang juga dipakai untuk menyebut bangunan semacam ini ialah rang kang yang sukar dibedakan dari bale; yang secara istimewa disebut ialah rang kang emas, mutiara, dan gading. Dalam konteks yang relevan bagi penulisan puisi kata manat n sama sering dipakai dengan ya a; yang biasanya dimaksudkan ialah sebuah bangunan yang dipakai oleh dua kekasih sebagai tempat pertemuan atau tempat sang penyair atau seorang kekasih yang merasa rindu mencari kesunyian. Sebagai penutup penelitian singkat mengenai pondok-pondok perlu kita sebut juga patani yang merupakan sebuah tempat untuk melepaskan lelah, mungkin sebuah bangku yang beratap atau gar du. Di antara perbuatan perbuatan yang ada pahalanya juga disebut menyediakan patani- patani di sepanjang jalan raya atau alun-alun. Istilah patani jamur jelas berhubungan dengan bentuk atapnya. Terdapat suatu hubungan istimewa antara sanjak-sanjak, khususnya sanjak-sanjak cinta, dengan gardugardu atau bangunan-bangunan. Sudah biasa bahwa sebuah sanjak disimpan dalam bangunan macam itu. 5.
TT, WILAH Dalam beberapa teks disinggung mengenai adanya sanjak-sanjak atau ungkapan
perasaan singkat yang ditulis di atas (atau di dalam) sebuah tt . Arti kata ini seperti diberikan oleh Juynboll (³nyanyian´, ³sanjak singkat´) diambil alih oleh berbagai penerjemah lain. Para komentator Bali yang dikutip dalam KBW s.v. tt rupanya membayangkan sesuatu yang berlainan sekali. Mereka menerjemahkan tt dengan berbagai istilah yang semuanya menunjukkan bagian-bagian bale Bali yang dibuat dari kayu atau bambu dan terdapat sepanjang tepi atap sebelah bawah. Pantas kita perhatikan, bahwa di bagian lain dalam KBW kata-kata ini (a pit-a pit, taah ala s , lambang ) diterangkan sebagai bagian-bagian bangunan yang sampai sekarang ini memperlihatkan lukisan-lukisan dalam bentuk mutiara.
T t dapat ditafsirkan sebagai sebuah sifat arsitektonis dalam bale, ya a, mahant n atau patani yang berkaitan dengan bagian bawah atap ± rupanya semacam papan yang melingkari bagian atas tembok, semacam tirai yang dibuat dari kayu atau bambu dan yang bergantungan. Dari kiasan-kiasan dalam teks kita menjadi maklum, bahwa tt itu dapat tertutup oleh pucuk-pucuk tanaman berbunga yang menjalar ( g aung , jangg a ) dan yang melingkari tt itu bagaikan sebuah kalungan. Di atas tt itu ditulis puisi, atau seperti dikatakan dalam teks-teks puisi itu diatur dengan saksama (tinat) sedangkan huruf-huruf tersebar sepanjang tt itu bagaikan butir-butir gandum (inurk n). Kemungkinan tt adalah sebuah papan karena sebuah papan menyediakan lebih banyak tempat untuk menulis sebuah kakawin dan karena lebih selaras dengan satu-satunya teks tempat kata tt dipakai dalam suatu konteks yang sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan sebuah bangunan. Dalam sebuah lukisan mengenai suatu pertempuran dikatakan bahwa para peserta terhanyut oleh lautan darah yang melanda tt kereta-kereta perang yang berserakan di sepanjang medan pertempuran dalam keadaan rusak. Masuk akal bila tt di sini diartikan sebagai papan kayu pada dinding kereta; tetapi arti balok atau kasau tidak dapat dikesampingkan seluruhnya, karena ada indikasi-indikasi, bahwa balok atau kasau pun dapat ditulisi dan dilukisi. Di antara kata-kata yang sering dipakai dalam suatu kontes yang mirip dengan konteks yang menampilkan kata tt adalah pang lari dan pang hrt . Kedua kata tersebut masih dikenal di Bali sampai sekarang ini dan berkaitan dengan seni bangunan; panglari merupakan sebuah papan yang dipasang sepanjang atap (dala m bahasa Jawa Modern: blandar ), sedangkan pang hrt merupakan balok lintang (Jawa Modern: pang rt ). Dalam sastra kakawin kita berjumpa dengan tiga kata lain yang jelas juga menunjukkan sesuatu benda yang dapat dipakai untuk dihiasi dengan bait-bait sebuah kakawin. Seorang dayang-dayang di kraton yang dahulu bersuamikan seorang penyair ( kawi) menceritakan kepada teman-temannya, bagaimana dulu ia dan suaminya pernah mengadakan lomba menulis puisi. Puisi itu mereka tulis pada wilah yang sama, yang nantinya akan dipasang dalam sebuah gardu. Di lain tempat diceritakan, bagaimana seorang kekasih memakai sepotong wilah bertuliskan kakawin yang telah luntur. Biarpun kita tak dapat menyimpulkan dengan tepat bahan apa yang dimaksudkan dengan wilah itu, baik berdasarkan teks-teks ini maupun berdasarkan teks-teks lain yang disajikan dalam KBW , namun jelaslah bahwa wilah itu merupakan bagian dari bangunan. Sangat masuk akal bahwa yang dimaksudkan dengan kata itu adalah sebilah bambu yang dibelah-belah dan yang dapat dirangkaikan sehingga merupakan sebuah dinding.
Rupanya wlah itu belahan-belahan bambu yang diikat dengan tali, sehingga merupakan bagian dari kerangka titian kayu atau bambu, dan yang jelas menyerupai sebuah bangunan beratap. Dapat dibayangkan bahwa wlah itu dipakai sebagai alas lantai dan itulah juga yang dibayangkan oleh komentator Bali yang menerjemahkan wlah dengan g alar . Tetapi juga dapat dibayangkan, bahwa wlah itu merupakan semacam kerai yang menutupi bagian kanan dan kiri jembatan. Teks-teks menghadapkan kita dengan sejumlah teka-teki yang jawabannya juga beranekaragam. Ini juga berlaku bagi istilah terakhir yang akan kita bicarakan, ialah wultan. Mengenai sebuah patani tua dan tak terpelihara diceritakan, bahwa atapnya penuh jamur sedangkan wultan-nya telah pecah karena hujan, tetapi beberapa tulisan di atas wultan itu masih dapat dibaca. Dalam Malat juga sering disebut mengenai sanjak-sanjak yang ditulis di atas sebuah wultan dan yang dibaca dalam sebuah mahant n itu. Rupanya dapat disimpulkan, bahwa wultan itu semacam wilah atau wlah. Semula mungkin dibuat dari bambu atau kayu, tetapi di kemudian hari istilah ini juga dapat dipakai untuk menunjukkan lukisan di atas kanvas seperti masih terdapat di Bali sampai hari ini. Bagaimana sanjak-sanjak itu dituliskan pada papan-papan yang dibuat dari kayu atau bambu? Beberapa teks menggambarkan, bahwa huruf-huruf digoreskan seperti halnya dengan kara s. Juga istilah-istilah yang diturunkan dari cacah, tutu g , dan carik dan yang kita jumpai dalam hubungan ini, menunjukkan kepada alat tulis yang sama. Namun terdapat juga teksteks yang menggambarkan, bahwa cat pun, khususnya sepuh, dipakai juga. 6.
BENTUK-BENTUK PUISI Ketika kita membicarakan berbagai teknik persajakan Jawa Kuno, dibeberkan
dengan cukup panjang lebar perbedaan pokok antara sebuah kategori sanjak-sanjak yang dinamakan kakawin dan sebuah yang lain bernama kidung . Kita tak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa terdapat sanjak-sanjak dan lagu-lagu, atau mungkin juga puisi rakyat, yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah tegas yang harus ditaati dalam sastra kakawin dan kidung. Sanjak-sanjak serupa itu pernah ada di Jawa dan Bali sampai hari ini juga dan rupanya bentuk puisi ini pada masa yang silam pun pernah ada. Namun, sejauh kita tahu, sanjak-sanjak itu tidak diawetkan dalam bentuk naskah tertulis. Pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah istilah kakawin dan kidung pada semua periode sastra jawa kuno selalu dipakai menurut arti teknis, yaitu mengenai sajak-
sajak yang tertulis menurut teknik persajakan tertentu, a tau istilah ini untuk menunjukan puisi atau lagu? Mengenai istilah kakawin jawabannya sudah cukup gamblang, biarpun kata ka kawin tidak disebut dalam prasasti atau dalam teks-teks prosa namun kita tahu bahwa jenis kakawin ditulis semenjak periode jawa tengah seterusnya, karena kita mempunyai contoh-contoh pada jaman itu. Tapi tidak demikian dengan kidung. Dalam bab ini kami mengakui bahwa tidak mungkin menetapkan 1 kidungpun bahwa ia ditulis di Jawa. Kata kidung berasal dari kata mangindung dan sebagainya berarti lagu ³bernyanyi´ dan kata-kata ini muncul dari berbagai prasasti semenjak periode paling awal. Kata-kata ini juga dipakai dalam teks-teks prosa awal dalam dalam kombinasi ang ing el -ang indung (menari dan menyayi). Tetapi terdapat juga bagian-bagian dalam sastra kakawin pra-majapahit yang menyebabkan kita menerima adanya kidung-kidung dalam arti kata teknis pada kurun itu sebagai suatu kemungkinan yang sangat masuk akal. Maka tidak heran jika kita mendengar dalam karya-karyanya di Majapahit kita dengar ditembangkan kidung-kidung dan kakawin. Terdapat juga hasil karya kegiatan puitis yang disebut dengan berbagai nama dan yang mungkin harus digolongkan pada jenis kakawin. Yang dimaksud adalah wila pa, prala plita, bha sa dan palambang. Wila pa merupakan sebuah syair dalam metrum kakawin yang membahas tentang cinta dan keindahan, tetapi tidak perlu merupakan sebuah ratapan. Prala plita yaitu sebuah sajak yang metrum dengan metrum kakawin yang membahas cinta dan keindahan. Bha sa biasanya mengungkapkan daerah asalnya, bahasa lebih bersifat liris daripada epis. Palambang adalah kata lain yang sering digunakan dala m sastra kakawin untuk menunjukkan sebuah sajak. Akar kata ini adalah lambang. Arti lambang adalah sesuatu yang terbentang dengan horisontal. Sukar diputuskan apakah palambang merupakan suatu jenis puisi tertentu di dalam kelompok sastra kakawin. Berbagai kakawin utama yang cukup dipajang juga dinamakan palambang oleh pengarangnya, tetapi istilah ini juga dipakai bagi sebuah sajak cerita pendek atas daun pudak . 4 adalah jumlah baris dalam kakawin, pun pula bila ia merupakan bagian dari sebuah palambang dan rupanya ada perbedaan antara keduanya. Kita akan terbawa terlalu jauh dari bidang sastra dari bidang sastra andaikata persoalan ini ingin kita teliti lebih lanjut. Hanya untuk kata parab baiklah kita membuat perkecualian, karena implikasinya untuk kasusastraan. Parab berarti nama khususnya ³nama samaran´
7.
PARA KAWI Yang lebih penting dari teknik-teknik penulisan dan bentuk-bentuk puisi adalah
orang-orang mempergunakan teknik itu, cita-cita serta tujuan mereka. Di luar keraton tidak dijelaskan sama sekali dan hanya dijelaskan di dalam keraton na g arakrta g ama kita mempunyai suatu deskripsi langsung mengenai kehidupan di keraton dewasa itu menurut kenyataannya. Kakawin-kakawin lainnya merupakan rekaan yang menyajikan cerita-cerita yang sering terjadi di negeri-negeri yang topografinya bersifat India dan tokoh-tokohnya memakai nama-nama India pula. Bagian manggala yang mengawali setiap kakawin serta bagian penutup memberi keterangan sedikit mengenai para penyair sendiri serta sikap mereka terhadap profesinya. Bagian-bagian puisi ini menghubungkan kita dengan mereka yang dapat dianggap kurang lebih profesional dalam kepandaianya sedangkan bagian yang bersifat naratif mengungkapkan bahwa seni puisi beserta perkembanganya bukanlah monopoli kelompok profesional yang terbatas itu. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan bagian dari pendidikan umum yang harus diikuti oleh setiap pegawai istana. Kepandaian dalam hal puisi dianggap sebagai suatu bakat alamiah bagi seorang pangeran. Dengan mengubah cerita dari India itu sedemikian rupa, terbuktilah dengan terang, betapa kepandaian seorang pangeran sebagai seorang penyair sangat dihargai dalam kehidupan di kraton di Jawa pada jaman dahulu. Apabila seorang penyair Jawa-Kuno memuji sang raja-majikannya selaku seorang pangeran diantara para penyair, ia tidak semata-mata diilhami oleh suatu khayalan yang kosong untuk menyanjung-nyanjung sasaran pujaannya. Belajar menggubah sanjak-sanjak dianggap sebagai suatu bagian mutlak dalam pendidikan seorang bangsawan. Pada pokoknya, diantara syair-syair Jawa Kuno yang diselamatkan bagi kita ta k ada satupun yang dapat membanggakan seorang raja atau pangeran sebagai penciptanya, berlaianan dengan sastra Jawa di kemudian hari, yaitu dari periode Surakarta (akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19), yang dapat menunjukkan raja-raja diantara para penyairnya seperti Pakubuwana III dan IV serta Mangkunegara IV. Semua pengarang syair-syair itu sejauh kita ketahui dan rupanya ini juga berlaku bagi semua kawi profesional tinggal di kraton, tetapi mereka sendiri bukanlah anggota keluarga raja atau keluarga bangsawan, dan dari mereka rupanya banyak yang memegang jabatan religius. Dalam kalangan inilah bahasa Sansekerta dipelajari dan sastra dalam arti yang paling luas dikembangkan, takanan pertama diberikan kepada teks-teks religius yang
dipakai dalam melaksanakan upacara-upacara ibadat atau yang merupakan bahan untuk mempelajari dan mengajarkan agama.
Istilah yang umum dipakai untuk seorang yang
bertugas dalam bidang agama ialah wiku. Para rohaniawan yang mengikuti sang raja atau yang secara tetap ada hubungan dengan kraton sebagai perugas ex officio, dinamakan demikian; demikian juga mereka yang telah mengundurkan diri dari kalangan kraton untuk hidup dalam sebuah biara atau menjadi pertapa. Perlu dicatat pula, bahwa pejabat utama diantara para pemuja Siwa, Ki Brahmaja, juga diberi gelar mahakawi. Dalam pelukisan-pelukisan mengenai kehidupan di Kraton, misalnya bila sang raja membagi-bagikan hadiah-hadiah kepada para abdinya, para kawi disebut sebagai kelompok tersendiri, dan Prapanca juga terdapat dalam kelompok itu. Dalam masyarakat kraton yang rumit itu mereka mungkin merupakan semacam ´Jawatan Kebudayaan dan Kesusastraan´, bila kita boleh memakai istilah yang anakronistis itu untuk menunjukkan suatu lembaga pada jaman Majapahit yang agak paralel dengan keadaan di dalam masyarakat Indonesia sekarang ini. Mereka yang termasuk para kawi pasti tidak semuanya merupakan penyair-penyair kreatif, tetapi tari dan musik juga termasuk keahlian mereka. Para kawi mempunyai hubungan erat dengan kaum rohaniawan. Banyak diantara mereka yang diberi gelar kehormatan kawindra (pangeran di antara para kawi) rupanya dibedakan dari para kawi biasa dan termasuk rohaniawan. Di muka beberapa nama pengarang kakawin terkenal kita jumpai gelar M pu. Kata kawi yang menunjukkan entah seluruh kelompok itu maupun perorangan, kadang-kadang didahului oleh partikel ra atau sang , yang katanya menunjukkan suatu kehormatan. Tetapi memang ada gelar-gelar lain yang tidak pantas dipakai oleh penyair bila ia berbicara tentang dirinya sendiri, misalnya kawiwara (kawi yang unggul ), kawi swara, kawindra, atau kawiraja (pangeran diantara para kawi), karena gelar-gelar ini menunjukkan suatu kepandaian yang luar biasa. Berhubung kata raja sinonim dengan indra, maka istilah kawiraja tidak perlu diberi perhatian istimewa, kecuali kalau menimbulkan persoalan yang agak penting untuk memahami kedudukan seorang kawi di tengah masyarakat Jawa. Semangat dunia dan semangat tapa kadang-kadang saling berbentur bila penghuni-penghuni baru membawa serta suasana kraton. Bagi para dayang yang melayani seorang puteri, kepandaian dan pengalaman dalam aneka cabang kesenian sangat dihargai. Bila mereka pandai menabuh gamelan, menyanyi dan menembang, maka kepada setiap orang diberinya sebuah gelang. Kepandaian yang lebih tinggi dihadiahi suatu perhiasan bagi pakaian mereka ( sing hel ) serta sebuah kalung tanda keunggulan mereka. Bila mereka sampai pada tingkat kawi dan mahir dalam
setiap bentuk kegiatan artistik, mereka dihadiahi sebuah cincin (karah). Puteri terakhir yang demikian berbakat itu baru saja memakai nama penuh melankoli, yaitu Jayaluh atau Jayawaspa µyang telah mengatasi ratap tangisnya¶ setelah ia menjadi abdi sang puteri. Seluruh cerita mengenai Kawidosa dan Jayaluh yang merupakan sumber kita untuk segala informasi tentang kehidupan kraton dan yang merupakan sebuah plo sekunder dalam cerita Sumana santaka sama sekali tidak terdapat dalam versi India seperti disajikan oleh Kalisada dalam Ra g huvam san ya. 1. Di puncak gunung di sana kulakukan ibadatku, rindu mencari kontak dengan alam dewata. Batinku terpusat pada turunnya Dewa Wisnu, yang kuhadirkan dalam batinku, bersemayam di atas bunga seroja. 2. Kisah yang akan kuceritakan tiada lain daripada suatu pujaan terhadap dewa Wisnu; cerita ini akan mengungkap-Nya dalam segala keramahan-Nya lewat sebuah Wilapa, tercatat dalam goresan papan tulis (karas). 3. Satu-satunya tujuan usahaku ini ialah meletakkan bunga pada kaki Janardana (wisnu) dalam satu perbuatan bakti. Dalam pupuh-pupuh penutup sang raja disebut selaku Wisnu yang telah menjelma untuk memulihkan kesejahteraan di pulau Jawa dan dibantu dalam tugas oleh Agastya yang bijak itu, yang telah kembali pula ke bumi selaku Brahmin utama serta penasihat sang raja. 53.9 inilah sebabnya mengapa pangeran (atau para pangeran) di antara para penyair istana menulis kakawinnya sebagai pujian terhadap sa ng raja. 3. usahaku yang pertama dalam menulis puisi dan menangkap keindahan diakibatkan oleh pengembaraanku mencari daya tarik ala m. Kutipan ini cukup panjang, namun pantas disajikan di sini karena memang sangat penting. Tak ada karya lain, kecuali Nagarakrtagama yang sifat dan tujuannya memang berlainan, yang pengarangannya demikian banyak menceritakan mengenai dirinya sendiri serta karyanya. Mengenai diri Panuluh sendiri, kita memperoleh pengetahuan sedikit tentang hubungan pribadi dengan gurunya yang rupanya sukar dapat dipuaskan. Juga apa yang diceritakan oleh panuluh usaha-usahanya terdahulu pantas kita perhatikan.
8.
PENYAIR DAN RAJA SEBAGAI PELINDUNGNYA Suatu bagian dalam kata pengantar tadi memberikan kesempatan untuk meneliti
secara lebih dekat sebuah persoalan umum yang penting sekali guna memahami puisi Jawa Kuno, yaitu hubungan antara seorang Kawi di kraton dan majikannya, yaitu sang raja Panuluh mengatakan (Hariwangsa 1.2), bahwa ia terdorong menulis karyanya atas perintah eksplisit sang raja; andaikata tidak demikian, ia tidak berani menanganinya, karena bakatnya tidak memadai. Restu sang raja memberikan dorongan yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya dan menyelesaikannya dengan memuaskan. Restu itu juga meliputi dukungan material berupa hadiah-hadiah yang mungkin lebih daripada ³papan tulis dan tanah´ semata-mata, seperi telah disebut dalam kutipan di atas. Dengan menyebut hubungan antara penyiar dengan pelindungnya, kata pengantar bagi Hariwangsa mengikuti sebuah pola yang umum bagi kebanyakan kakawin Jawa Kuno yang ditulis di Jawa Timur. Bagi seorang penyair kata-kata merupakan alat-alatnya dan sebagai seorang tukang yang pandai ia mahir dalam tehnik menggunakan alat-alat itu, ia tahu rahasia alat-alatnya dan ia pandai memakainya dengan seefektif mungkin, termasuk kesaktiannya. Setiap orang yang mengembangkan, membaca atau mendengarkan kakawin itu akan kebagian kesaktiannya yang menyelamatkan. Dalam ulasan kita mengenai sastra parwa kita telah melihat, bahwa bagian-bagian tertentu dari Mahabarata dianggap mempunyai hasil yang sama. Pertimbangan yang sama mungkin dapat menerangkan, mengapa baik dalam sastra maupun dalam seni rupa (relief-relief pada candi-candi) beberapa cerita demkian popular; itu semua berkaitan dengan kesaktian tapa brata dalam mengatasi hawa nafsu, pelepasan dari penderitaan dan kematian serta kelana untuk mencari air amrta. Berg berpendapat, bahwa tugas seorang penyair keratin dalam masyarakat Jawa Kuno pada dasarnya bersifat religious; tugas utamanya adalah mengabdikan pekerjaaannya kepada raja sebagai suatu sumber kekuatan yang dapat menangkis kekuatan magis yang berbahaya, yang dapat mengurangi akibat buruk dari peristiwa-peristiwa yang silam dengan menampilkannya dalam suatu sorotan yang berlainan serta mempengaruhi arus kejadian di hari depan menurut arah yang diharapkan; tetapi semuanya ini mengandaikan, bahwa kehidupan Jawa Kuno demikian diresapi oleh pandangan dunia yang magi situ, sehingga semua penilaian dan perbuatan terpengaruh olehnya.
Mempelajari hasil-hasil dari suatu kebudayaan kuno selalu melihat usaha untuk menafsirkannya, tetapi usaha itu hanya dapat dilaksanakan selaras dengan semangat kebudayaan itu sendiri. Dalam sastra kakawin penyair sendiri termasuk pelukisan alam, sama dengan pohon aoka yang berbunga, kumbang yang berdengung dan guntur yang gemuruh kejauhan. Pengembaraan seorang penyair sering dilaksanakan sering dilukiskan dengan istilah-istilah yang biasanya dipakai untuk para tapa yang mencari kesucian atau kesaktian, yaitu: awukiran (mengundurkan diri di pegunungan guna melakukan ulah kebatinan), atirtha (mengunjungi tempat-tempat pemandian yang keramat bila sedang berziarah), abrata (melakukan mati raga). Profil penyair yang dengan paling jelas muncul dari semua kutipan tadi iala h sebagai seorang pecinta keindahan alam. Kita dapat mengajukan sebagai bukti kakawin sendiri dengan deskripsi-deskripsinya yang panjang lebar dan banyak jumlahnya. Kita tak ada alasan untuk meragukan kesungguhan Prapanca, ketika ia melukiskan reaksinya terhadap kematian sahabatnya Krtayasa, pejabat agama Buddha itu. Rasa duka yang mendalam karena kehilangan seorang sahabat tercampur dengan rasa kecewa, karena andaikata tidak terhalang oleh kematiannya maka Krtayasa, pecinta buku dan sastra, akan menunjukkan kepada Prapanca tempat-tempat dimana para penyair menulis kakawinnya. Keindahan seorang wanita tak kalah penting dengan keindahan selalu dibandingkan satu dengan yang lainnya; pujian tertinggi dan tanda rasa kagum yang dapat disampaikan seorang wanita yang ca ntik ialah dengan mengatakan bahwa alam pun kalah dengan dia. Kata-kata yang dipakai untuk menunjukkan keadaan ini, bilamana kesadaran menurun dan penyair seolah-olah mengalami suatu ³trance´, pantas diperhatikan juga karena suatu alasan lain. Kata-kata itu seolah-olah mempunyai dua segi; tidak hanya menunjukkan pengalaman itu sendiri, melainkan juga sifat-sifat dalam obyek yang menyebabkan pengalaman itu. Secara obyektif kata langö dapat berarti sifat yang menyebabkan obyek itu menghimbau pada perasaan estetis. Kata langö dapat berarti baik pengalaman estetis maupun keindahan itu sendiri. Dan kata-kata yang dipakai untuk menunjukkan puisi atau sastra indah (kalang wan , kalangön) berasal dari akar yang sama yang juga menurunkan kata yang menunjukkan seorang yang membaktikan diri kepada keindahan itu, yaitu mangö. Ia seorang
abdi keindahan dan dengan setia melakukan ibadatnya. Betapa harfiah hal ini harus kita tafsirkan akan menjadi kentara dari apa yang diuraikan di bawah. 9.
AGAMA SANG KAWI Pembukaan dalam sebuah kakawin biasanya disebut mangg ala ialah segala sesuatu,
setiap kata, perbuatan atau orang yang karena kesaktiannya dapat menjamin sukses sebuah pekerjaan yang akan dimulai; dan itulah maksud bait-bait pengantar itu. Dua kakawin dan kedua-duanya termasuk hasil sastra Jawa Timur yang paling kuno, yaitu Arjunawiwaha dan Bharata yuddha, rupanya mengacu pada raja sebagai pelindung dalam bait pembukaan. Di Jawa Saraswati tidak begitu dijunjung seperti di Bali. Dalam sejumlah kakawin yang berasal dari kedua periode itu, dewa Kama, dewa asmara dan keindahan, rupanya lebih sering dipuja; demikian misalnya dalam karya-karya dari jaman dahulu seperti Smaradhana, Bhomantaka, Abiman yuwiwaha, dan mungkin juga dalam Gatotkaca sra ya; dan dalam karyakarya dari periode Bali; Ramawija ya, Narakawija ya dan Kr snandhaka. Dalam karya terakhir itu dewa Kama disertai isterinya, Ratih. Bila kita membanding-bandingkan berbagai
mangg ala
kita
didorong
pada
kesimpulan, bahwa di sini kita tidak berurusan dengan seorang dewa tertentu yang wilayah kekuasaannya ialah keindahan, sehingga memang pantas bagi seorang penyair untuk memilih dewa itu sebagai tujuan hormat dan ibadatnya. Bagi seorang k satri ya dewa yang sama dapat dipandang sebagai dewa yang sama dapat dipandang sebagai dewa keperkasaan dan kewiraan dalam perang , oleh seorang pujangga atau bijak ia dipandang sebagai dewa kebijaksanaan. Kami ingin mengajukan beberapa contoh untuk menerangkan hal ini. Sumana santaka dimulai sebagai berikut: 1. Sang dewa yang menguasai papan tulis seorang kawi 2. Inilah sebabnya kuletakkan tindak kebaktianku pada kakinya, sambil mengharapkan agar dapat menjadi seorang taruna dalam sarekat para kawi. Lubdhaka diawali oleh bait sebagai berikut : 1. Dalam bentuk yang luput dari segala indera. Dia, dewa di atas segala dewa, tersembunyi di dalam lubuk jiwa seseorang yang telah mencapai kematangan dalam
mencari keindahan. Dalam bentuknya yang dapat diraba indera, ia selalu bersemayam di tengah bunga padma hatiku. H ariwija ya berawal sebagai berikut ini:
1.
Biarpun ia hadir dalam bentuk yang dapat diraba panca indera, bila ia bersemayam di tengah hutan padma, namun ia sebetulnya tak dapat diraba indera, itulah hakekat kodratnya, yaitu bila ia menampilkan diri dalam kesatuan yang terjadi pada lubuk dasar pengalaman estetis. Perbuatan yang dilakukan penyair sambil mendekati seorang dewa sebagai
seorang pemohon hina yang minta bantuanNya; penyair itu sadar akan kekurangannya, ia mengakui kekuasaan seorang dewa dan menaruh kepercayaannya pada kemurahan hati dewa itu. Ia dapat disamakan dengan seorang juru salin di Eropa pada abad pertengahan yang juga memohon berkat Allah untuk karyanya dan menempatkan itu di bawah perlindungan Santa Perawan Maria. Dan kita teringat ucapan bi smillah yang selalu menyertai seorang pengarang Muslim bila memulai karyanya. Bila penyair berbakti pada iadewatanya, dewa pilihannya, ia berusaha untuk mencapai kemanunggalannya itu, dan syair itu sendiri memainkan peranan pokok. Kepercayaan akan kemanunggalannya antara Yang Mutlak dan semesta alam dalam segala bentuk seluk beluknya akan kemungkinan agar kemanunggalan itu dapat diperkuat, atau dihayati dengan lebih mendalam, terdapat dalam sejumlah tulisan religius pada jaman Jawa Kuno. Sang penyair berharap mencapai tujuan yaitu bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa lewat ja lan keindahan. Tuhan hadir melalui skma, tetapi penyair menemukan keindahan Tuhan di mana saja. Kutipan Sumanasntaka berbicara tentang hakekat akara yaitu yang menguasai papan tulis dan dalam keadaan rumit bersembunyi dalam debu papan tulis. Kedatangan dewa didahului dengan menjalankan laku yoga Batin mencapai tingkat konsentrasi (dhyna) sehingga penuh dengan gambaran sang dewa dan segala sesuatu yang lain lenyap dari pandangan (dhraa) sehingga seluruh pribadi sang yogi terserap oleh dewa. Bagi seorang penyair jalan menuju terciptanya sebuah karya yang indah adalah ka kawi. Yoga yang diungkapkan dala m bait-bait pembukaan menjadikan penyair mampu mengeluarkan tunas-tunas keindahan (along lang).
Bentuk ibadat relegius yang diungkapkan dalam sebuah manggala mempunyi sifat khusus dinamakan reli g io poetoe, agama dan praktek merupakan salah satu bentuk yoga trantris, yaitu yoga yang mencari Sang Dewa dengan menghadirkan sang dewa turun. Lingkungan yang khas bagi seorang literer dinamakan yoga literer. Manggala-manggala merupakan bagian yang khas dari kaka win. Ulasan prosa yang secara umum dinamakan tutur. Menurut ajaran yoga tantric, sifat imanensi Illahi dalam semesta alam dan dalam diri manusia selaku bagian dari semesta alam dibedakan menjadi tiga yaitu nikala atau lubuk hati seseorang (material lepas dari sifat kebendaan yang dipakai untuk melukiskan Yang Mutlak dalam keadaan transenden berkaitan dengan bentuknya sebagai hakikat terdalam), sakala-nikala terwujud dalam hati seorang yogi (material-imaterial) dan sakala mencapai puncaknya jika sang dewa menjadi obyek pencerapan panca indra, entah itu lewat renkarnasi atau lewat benda (material). Ada beberapa bagian tubuh manusia, yang bentuknya mirip dengan bunga padma, yang merupakan tempat kediaman atau tahta seorang dewa, khususnya sebuah padma sekitar jantung yang dinamakan anandakaa padma dan sat la g i di bawah teng korak ( saha srra padma). Dari sana sang dewa dapat dipantulkan dari sebuah benda yang dinamakan yantra. Yantra merupakan jalan yang dipakai seorang yogi untuk mencapai tujuan yoganya. Seorang yogi harus bermeditasi melaksanakan dan mengalami kemanunggalan. Yang menjadi tahta dewa keindahan yaitu kakawin. Syair merupakan pusat sentral dalam reli g io poetoe serta dalam yoga seorang kawi. Banyak manggala yang mengawali kakawin dengan memuji sang dewa yang secara tak kelihatan hadir dalam segala sesuatu: ³Hanya satu yang ada dalam lubuk hakekat keindahan«.yang menembus segala sesuatu ke semua arah, inti hidup dari segala sesuatu yang ada. Teks-teks yang berkaitan dengan yoga, yaitu praktek kepandaian dan praktek mencari kemanunggalan kepada sang dewa. Sang penyair bertitik tola k dalam lubuk hatinya dan menghimbau sang dewa untuk menampakkan diri dalam bentuk yang kelihatan, dalam lubuk hatinya ia berharap dapat dipersatukan dengan dewa. Istilah Sansekerta yang berhubungan dengan kemanunggalan tattwa (kenyataan atau hakekak kodrat), jnna (pengetahuan), dan atma (diri pribadi).
Tujuan seorang yogi ialah menghadirkan dewa di dalam tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan konsentrasinya pada dewa itu dengan segala daya kekuatannya. Dalam manggala-manggala sering disebut bahwa bunga padma menunjukkan ke arah itu, karena jantung laksana padma yang merupakan singgasana i s yadewanata. Dalam praktik yoga bersifat tantric cara seorang dewa sedang hadir di dalam anandakandapadma disebut material-immaterial ( sakala-ni skala). Cara dewa bersemayam di atas bunga padma di dalam lubuk hati dan cara ia dapat dipanggil agar masuk ke dalam sebuah patung di sebuah candi, diungkapkan dengan kata yang sama yakni : prati stha. Menurut berbagai aspek
yoga dilakukan oleh seorang penyair guna menurunkan sang dewa menurut
bentuknya yaitu sakala-niskala ke dalam hati, mirip dengan cara menampilkan seorang dewa dalam bentuknya yang material di dalam sebuah patung; kedua jalan itu menguntungkan kemajuan seseorang agar dapat mencapai kemanunggalan dengan dewanya. Seorang yogi mempergunakan sarana-sarana yang dapat disentuh panca-indera, seperti puji-pujian (stuti), persembahan bunga (puspanjali), gerak tangan yang mempunyai arti mistik (mudra), suku kata dan r umus-rumus sacral (mantra) Syair dalam bentuk yang kelihatan dan kedengaran, yang tercatat dalam hurufhuruf pada papan tulis serta dibaca dan dilagukan, dipandang sebagai sebuah wadah bagi dewa keindahan; ia dihimbau agar turun ke dalam wadah itu dan bersemayam disana bagaikan dala m candinya. Syair itu membantu Sang Kawi untuk mencapai tujuan yoga literernya, yaitu kemanunggalan dengan istana dewanatanya. Tetapi kemanunggalan itu hanya bersifat sementara dan hanya berlangsung dalam ektase keindahan itu dirasakan, sambil menyerahkan diri kepada pengalaman estetis yang dasyat. Tetapi dengan demikian sang penyair juga mencicipi dan mempersiapkan diri untuk kemanunggalan dengan dewa yang disebut kalepasan atau pembebasan; inilah pembebasan definitive dari segala jerat yang menahan manusia di dunia ini serta pembebasan pula dari lingkaran kelahiran ulang. Dan inilah tujuan akhir bagi setiap yogi. Bagi seorang penyair pembebasan berarti diserapnya secara total oleh dewa keindahan lewat kemanunggalan tersebut. Sang
penyair
merindukan
saat
pelepasan
terakhir
itu,
ia
mengungkapkan
keinginannya, agar syair yang telah membantunya dalam mencapai kontak dengan sang dewa, dapat juga untuk mencapai kemanunggalan yang abadi. Inilah arti semua teks yang mengungkapkan harapan, agar syair
itu juga dapat merupakan suatu silunglung bagi
penyair, yaitu sesuatu yang menyertainya dan memberi kekuatan kepadanya sambil menopangnya dalam perjalanan terakhir; dari sana ia tak dapat kembali, karena diri pribadi yang terbatas itu diserap oleh dan manunggal dengan Yang Mutlak.