Volonte generale merupakan konsep kedaulatan rakyat dalam Teori Kontrak Sosial menurut pandangan J.J. Rosseau yang menyatakan kekuasaan raja berasal sepenuhnya dari mandat yang diberikan oleh rakyat. Dengan demikian kekuasaan raja sepatutnya ditujukan mewakili kepentingan rakyat secara umum. Dan apabila raja tidak melaksanakan kepentingan rakyat, ia dapat dilengserkan setiap waktu. Selanjutnya baca Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 251 -253
Hendra Nurtjahjo, Perwakilan Golongan di Indonesia, (Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI: 2002), hal. 69-70
Ibid, hal. 72
Makmur Amir dan Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal. 21-22
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 186-187
Ibid hal. 187
Joseph Melusky, The American Political System: An Owner's Manual, 3rd Edition, (Salt Lake City, Utah, The Mc Graw-Hill Companies, 2000), hal. 343
Pada awalnya, para senator dipilih oleh badan legislatif dari masing-masing negara bagian. Berdasarkan amandemen ke-17, pada tahun 1913, sistem pemilihan dirubah dimana para senator dipilih secara langsung oleh masyarakat dari masing-masing negara bagian. Selanjutnya baca: Thomas E. Patterson, The American Democracy, 6th Edition, (Salt Lake City, Utah: The Mc Graw-Hill Companies, 2003), hal. 335
Makmur Amir dan Reni Dwi Purnomowati, log cit, hal 37
Berdasarkan amandemen keduapuluh Konstitusi Senat juga diberikan wewenang untuk memilih wakil presiden jika tidak terdapat calon wakil presiden yang menang mutlak dalam pemilihan tersebut. Dalam hal ini, senat harus memilih dari dua calon dengan suara tertinggi. Jika terjadi kebuntuan dalam penentuan wakil presiden, maka yang berhak menyelesaikannya adalah House of Representative
Quo Vadis DPD RI :
Tinjauan Komparasi Politik Antara DPD RI dengan Senat Amerika Serikat
Oleh : Eka Prasetya
NPM : 1506703356
Abstrak
Tulisan ini adalah studi tentang perbandingan politik antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dengan Senat Amerika Serikat. Fokusnya membahas tentang arah kelembagaan DPD RI dalam perbandingannya dengan peran dan wewenang Senat Amerika Serikat. Temuan dalam tulisan ini memaparkan sejumlah kelemahan institusi DPD RI sebagai lembaga yang merepresentasikan perwakilan daerah (regional representative) dalam kerangka kekuasaan legislatif, serta mempertimbangkan kemungkinan penerapan model bikameralisme murni seperti yang dipraktikkan Amerika Serikat sebagai pilihan dalam sistem perwakilan di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini ialah pendekatan institusional yang mengkomparasikan lembaga-lembaga politik berdasarkan konstitusi diantara kedua negara.
Latar Belakang
Penerapan sistem perwakilan rakyat merupakan suatu konsekuensi logis di dalam demokrasi dewasa ini. Penyelenggaraan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat mengharuskan keterlibatan rakyat di dalam menyusun program dan mengawasi jalannya roda pemerintahan sehingga mandat kekuasaan yang diberikan kepada penguasa benar-benar ditujukan untuk kebaikan rakyat dan mencerminkan kehendak umum (volonte generale). Di satu sisi bentuk demokrasi langsung sudah tidak lagi memungkinkan untuk diterapkan mengingat luasnya cakupan wilayah dan besarnya jumlah penduduk. Keterwakilan rakyat dalam kekuasaan kemudian diterjemahkan secara nyata dalam bentuk badan perwakilan yang biasanya disebut parlemen atau kongres yang merupakan unsur kekuasaan legislatif dalam tipologi pembagian kekuasaan secara horizontal disamping kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
Dalam hubungannya dengan kedaulatan rakyat, maka perwakilan itu dipilih melalui sebuah pemilihan umum yang kandidat-kandidatnya ditawarkan oleh partai politik. Dengan demikian perwakilan rakyat yang hendak dibentuk ialah suatu perwakilan berdasarkan politik (political representation) yang mencerminkan pandangan-pandangan ideologi yang ada di dalam masyarakat. Akan tetapi, perwakilan jenis ini dianggap memiliki sejumlah kelemahan, diantaranya yang paling krusial ialah kekuatan mayoritas dipandang sebagai satu-satunya penentu dalam politik. Hal ini akan menjadi persoalan apabila mereka yang terpilih itu adalah orang-orang yang tidak ahli dalam pemerintahan (Goverment by Amateurs) sehingga keputusan politik yang dihasilkan bisa saja bersifat destruktif. Selain itu kekuasaan mayoritas akan menimbulkan masalah bagi kaum minoritas yang merasa tidak terwakili kepentingan-kepentingannya.
Oleh karena itu muncul konsepsi perwakilan dalam hubungannya secara fungsional (functional representation) yang pemilihannya melalui jalan pengangkatan orang-orang tertentu berdasarkan keahlian/ fungsi/jabatannya di dalam masyarakat, serta konsep perwakilan dalam hubungannya secara teritorial (regional representation), dimana wakil-wakil daerah dipilih atau diangkat menjadi anggota dari badan perwakilan rakyat. Suatu negara umumnya menggunakan dua diantara tiga konsep perwakilan tersebut dengan maksud untuk memberikan perimbangan yang relatif konstan untuk menjaga keterwakilan kalangan minoritas serta untuk menjaga agar kekuasaan tidak condong pada kepentingan-kepentingan politik jangka pendek, yang justru bersifat buruk bagi keberlangsungan sistem politik sehingga akan berakibat fatal dalam sejarah.
Dalam konsepsi sistem perwakilan juga dikenal pembagian dua kamar di dalam parlemen (bikameralisme), dimana ada dua badan yang terpisah yakni Majelis Tinggi dan Majelis Rendah atau Kamar Pertama dan Kamar Kedua dengan maksud untuk menjamin semua produk legislasi yang dihasilkan serta tindakan-tindakan pengawasan yang dilakukan melalui dua kali pembahasan (double chek). Majelis Tinggi atau kamar pertama biasanya berorientasi nasional, sedangkan Majelis Rendah atau kamar kedua biasanya mencerminkan hasil pilihan yang berorientasi pada rakyat menurut pemilihan umum.
Di negara-negara yang menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional, anggota Majelis Tinggi umumnya merupakan kalangan bangsawan yang mewakili aspirasi kalangan kerajaan atau aristokrat tradisional yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah bangsa tersebut. Keanggotaannya ditunjuk oleh Raja atau kepala negara dan biasanya berlangsung secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan. Sedangkan di negara-negara yang menganut bentuk pemerintahan republik, anggota-anggota Majelis Tinggi merupakan senator yang mewakili kepentingan kedaerahan serta pengangkatannya dipiih melalui pemilihan umum.
Sistem bikameral itu sendiri dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yakni sistem bikameral murni (strong bicameralism) dan sistem bikameral sederhana atau semi bikameral (soft becameralism). Dalam sistem bikameral murni baik Majelis Tinggi maupun Majelis Rendah dilengkapi dengan kewenangan yang sama kuat dan saling mengimbangi satu dengan yang lainnya. Produk legislasi dapat berasal dari inisiatif kamar pertama ataupun kedua serta harus melalui pembahasan dan pertimbangan forum bersama sebelum bisa disahkan. Sedangkan dalam sistem bikameral sederhana, salah satu kamar memiliki kewenangan yang lebih dominan dari pada kamar lainnya. Artinya perimbangan kekuasaan diantara keduanya tidak seimbang sehingga kamar yang lebih dominan bisa mengesampingkan rancangan perundang-undangan yang diajukan oleh kamar yang kewenangannya sedikit, serta kamar yang lebih dominan tidak perlu mempertimbangkan pandangan kamar lainnya dalam merumuskan suatu produk legislasi.
Berdasarkan UUD 1945 amandemen kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Indonesia menganut sistem bikameral. Hal ini ditandai dengan munculnya suatu badan baru yang diatur di dalam UUD 1945 hasil amandemen, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dalam konteks sistem perwakilan merupakan bentuk representasi berdasarkan kedaerahan (regional representation). Kehadiran DPD merupakan bentuk pemisahan dua kamar di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan representasi politik dengan DPD yang merupakan representasi kedaerahan. Berdasarkan Undang-Undang anggota dari kedua badan ini dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Akan tetapi penerapan bikameral di Indonesia masih menganut bentuk soft-bicameral atau semi-bikameral yang ditandai dengan lemahnya peran DPD dalam perumusan produk perundang-undangan. Berdasarkan konstitusi, peran DPR dalam merancang Undang-Undang jauh lebih besar ketimbang DPD. DPD hanya bisa mengajukan Undang-Undang yang berkaitan dengan daerah, seperti: persoalan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Undang-Undang yang diajukan oleh DPD kemudian dilimpahkan kepada DPR yang secara konstitusional merupakan badan yang memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang.
Praktik bikameralisme di Indonesia berbeda amat jauh dengan bikameralisme yang diterapkan di Amerika Serikat. Jika Indonesia menganut sistem semi-bikameral, maka Amerika menganut sistem bikameral murni (strong bicameralism). Hal ini ditandai dengan perimbangan kekuatan yang sama secara substansial diantara House of Representative (political representative) dengan House of Senate (regional representatative) di dalam tubuh Congress of The United States of America. Senat memiliki kewenangan membuat suatu pengadilan banding untuk merevisi produk legislasi yang dihasilkan sehingga perannya dipandang penting dalam memastikan berjalannya mekanisme chek and balances.
Tulisan ini bermaksud untuk membandingkan praktik bikameralisme di Indonesia dengan Amerika Serikat dengan tujuan untuk mempertimbangkan sejumlah kelebihan dan kelemahan diantara penerapan soft-bicameralism dengan strong-bicameralism. Tulisan ini menggunakan perspektif komparasi politik dengan pendekatan institusional, yaitu dengan membandingkan lembaga-lembaga politik yang dibentuk sesuai dengan konstitusi diantara kedua negara. Sehingga tulisan ini diharapkan memberikan gambaran tentang kemanakah DPD kita hendaknya mengarah, apakah peran itu tetap dipertahankan sebagaimana yang termuat dalam konstitusi, ataukah lembaga ini sama sekali dihapuskan dalam sistem perwakilan politik kita, atau malah peran dan kewenangan DPD secara kelembagaan diperkuat dengan mengambil model perbandingan bikameralisme yang diterapkan di Amerika Serikat?
Pembahasan
B.1. Konstruksi Pemikiran dalam Pembentukan Institusi Perwakilan Daerah
Selama lebih dari 50 tahun berdirinya Republik Indonesia aspirasi yang berasal daerah dianggap sebagai penghambatan pembangunan negara, sehingga aspirasi tersebut kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah pusat. Akibat cara pandang sentralistik itu mengakibatkan kondisi insfrastruktur dan pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan sangat buruk di daerah-daerah. Lebih jauh, kondisi ini menimbulkan kemarahan rakyat yang tak jarang berujung pada gerakan-gerakan separatis bersenjata seperti yang terjadi di Aceh, Maluku Selatan, Papua, dan lain-lain daerah.
Namun, keadaan itu berubah sejak tahun 1998 ketika pintu demokratisasi terbuka melalui angin segar yang dibawa bersamaan dengan reformasi dalam rangka merubah sistem otoritarianisme rezim orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Reformasi telah memunculkan sebuah perspektif baru tentang hubungan antara pusat dan daerah yang dengan segera diterapkan melalui pembentukan institusi-institusi politik yang baru. Negara mengadopsi cara pandang desentralisasi yang kemudian melahirkan konsep otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan. Daerah kini diberikan wewenang yang lebih luas dalam mengelola wilayahnya serta mendapatkan bagi hasil yang cukup berimbang dengan pemerintah pusat dari hasil pendapatannya.
Salah satu wujud pembaharuan dalam bidang kelembagaan politik menyangkut hubungan antara pusat dan daerah ini ialah dibentuknya DPD. DPD lahir 1 Oktober 2004 dengan fondasi hukum yang kuat yaitu, diamandemennya Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang pada masa sebelumnya menjadi dasar terbentuknya fraksi utusan-utusan Golongan dan utusan-utusan daerah. Berdasarkan konstitusi, anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum menggantikan pola pengangkatan seperti yang berlangsung pada masa sebelumnya.
Adanya perwakilan politik berdasarkan kedaerahan sesungguhnya sudah ada dalam mindset pemikiran para pendiri bangsa Indonesia. Keterwakilan daerah merupakan konsekuensi logis dari kondisi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang luas. Indonesia yang terdiri atas 17.508 pulau dan merupakan sebuah bangsa yang heterogen sehingga kiranya sulit bagi pemerintah pusat untuk mengetahui secara tepat/pasti apa yang menjadi aspirasi dan kepentingan masyarakat dan daerah tanpa ada perwakilan orang daerah di pusat. Dengan demikian dibentuknya DPD adalah wujud institusionalisai perwakilan daerah itu dalam sebuah wadah formal yang diatur melalui Undang-Undang sebagai pelengkap lembaga legislatif mendampingi DPR.
DPD RI secara institusi serupa dengan Dewan Senat di Amerika Serikat. Dewan Senat juga merupakan wujud keterwakilan daerah dalam lembaga legislatif yang anggotanya terdiri atas perwakilan atas tiap negara bagian dan dipilih melalui pemilihan umum. Masing-masing negara bagian diwakili oleh dua orang senator didasarkan pada New Jersey Plan yang diusulkan oleh William Patterson pada Konvensi Philadelphia 1787. Sehingga keanggotan senat berdasarkan pada persamaan keterwakilan tanpa memperhitungkan besarnya jumlah penduduk dari masing-masing negara bagian. Dengan demikian jumlah keseluruhan anggota senat yang duduk di kongres sebanyak 100 orang.
Kondisi geografis negara yang luas serta kultur warganya yang heterogen juga menjadi dasar yang mempengaruhi konstruksi parlemen atau yang dikenal dengan sebutan Kongres Amerika Serikat ini. Kongres merupakan parlemen bikameral pada level pemerintahan negara federal. Berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat, dalam pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa, "semua kekuasaan legislatif yang ditetapkan dalam konstitusi ini akan diberikan kepada sebuah Kongres Amerika Serikat yang akan terdiri dari sebuah senat dan Dewan Perwakilan Rakyat."
Lebih jauh, tujuan para pembuat konstitusi menciptakan sistem dua kamar dalam lembaga legislatif adalah agar kedua kamar tersebut dapat saling mengawasi dalam pelaksanaan kekuasaan legislasi. Dengan demikian diadakannya sistem bikameralisme dalam sistem perwakilan di Amerika Serikat merupakan kebutuhan atas mekanisme untuk menjaga chek and balances yang memiliki pandangan bahwa pemusatan kekuasaan pada satu lembaga adalah hal yang berbahaya.
Berbeda dengan bikameralisme model Westminister Inggris, dimana Upper House yang dikenal dengan sebutan House of Lord merupakan aristokrat dari kalangan bangsawan ataupun agamawan yang pengangkatannya berdasarkan garis keturunan dan jabatan tersebut melekat selama batas usianya , anggota senat di Amerika dipilih melalui pemilu (direct popular vote) dengan batas masa jabatan selama 6 tahun. Anggota senat juga berafiliasi dengan partai-partai politik, hal ini berbeda dengan DPD-RI yang anggotanya berasal dari kalangan non-partai meski pada kenyataannya banyak kandidat perseorangan yang sesungguhnya berafiliasi dengan partai politik. Dengan demikian, konstelasi politik yang ada dalam House of Representative tercermin pula secara simetris pada senat.
B.2. Perbandingan Peran dan Kewenangan DPD RI dengan Senat Amerika Serikat
Berdasarkan konstitusi ada tiga tugas pokok dan fungsi DPD yang dimuat dalam UUD 1945 Pasal 22D yakni fungsi legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. DPD berhak mengajukan rancangan Undang-Undang serta diajak dalam pembahasan Undang-Undang oleh DPR yang berkaitan dengan persoalan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama, serta dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tersebut untuk disampaikan hasilnya kepada DPR.
Apa yang disebutkan dalam pasal 22D UUD 1945 di atas menunjukkan bahwa fungsi dan kewenangan DPD sangat terbatas. Hal itu antara lain disebabkan oleh kewenangan DPD di bidang legislasi hanyalah mengusulkan dan membahas perundang-undangan yang berkaitan dengan daerah, akan tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Dalam bidang pengawasan DPD hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan. Selain itu, tidak ada ketentuan yang mengatur hak DPD untuk meminta keterangan dari pejabat negara, pejabat pemerintah dan lainnya seperti hak angket yang diberikan kepada DPR.
Keterbatasan DPD untuk mempengaruhi proses pembentukan perundang-undangan dalam praktiknya sangat terlihat jelas. Pengajuan Rancangan Undang-Undang oleh DPD tentang Otonomi Daerah masuk menjadi salah satu daftar pembahasan dalam Program Legislasi Nasional tanpa adanya dorongan yang berarti kepada DPR untuk segera mengesahkannya. Hal tersebut menempatkan DPD tak ubahnya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengajukan usulan RUU kepada DPR. Karena pengaruh yang dimiliki DPD dalam memuluskan program legislasinya terbatas hanya pada proses pengajuan usulan, sedangkan kekuasaan untuk menentukan apakah RUU tersebut menjadi prioritas pembahasan di DPR sepenuhnya berada di tangan DPR sendiri.
Berbeda dengan DPD RI, Senat di Amerika Serikat memiliki fungsi yang jauh lebih kuat dan dalam banyak perspektif dapat dikatakan bahwa senat mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari House of Representative. Hal tersebut karena Senat secara umum adalah suatu badan legislatif yang kadang-kadang dapat juga menjadi badan-badan yudikatif. Misalnya, mengambil bagian dalam pemerintahan dengan berbagai cara menurut konstitusi dari negara bagian yang berbeda. Hal ini merupakan nominasi dari pejabat-pejabat publik yang secara umum dianggap sebagai kekuasaan yudikatif dalam mengadili pejabat federal dalam perkara kejahatan politik khusus, terkadang juga dalam putusan kasus-kasus sipil yang khusus.
Berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat, Senat memiliki beberapa kekuasaan khusus, antara lain: mempunyai wewenang tunggal untuk mengajukan semua dakwaan pemecatan (impeachment). Bila sedang bersidang untuk tujuan tersebut, mereka yang bertindak di bawah sumpah atau penegasan tugas. Apabila presiden Amerika Serikat yang diadili, maka Hakim Ketua Mahkamah Agung-lah yang berhak mengetuai persidangan itu, dan tak seorang pun akan dinyatakan bersalah tanpa persetujuan dari dua pertiga anggota senat yang hadir.
Demikian besarnya pengaruh senat di Amerika sehingga dewan ini juga dimintai persetujuannya (dengan suara 2/3 dari seluruh anggota) untuk setiap perjanjian yang diadakan oleh negara, sebelum perjanjian itu dapat diratifikasi. Selain itu Senat juga mempunyai hak untuk menyetujui atau tidak pengangkatan duta besar, para menteri kabinet, dan konsul, hakim Mahkamah Agung, dan bahkan memilih Wakil Presiden. Senat juga diberi kewenangan oleh konstitusi untuk melakukan fungsi chek and balances terhadap pejabat-pejabat dalam pemerintah federal. Termasuk dalam fungsi ini ialah memberikan saran dan pertimbangan kepada presiden serta mengajukan pertanyaan terkait dengan kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh kekuasaan eksekutif.
Dalam fungsi legislasi, konstitusi mengatur pembagian kewenangan antara senat dan DPR. RUU yang terkait dengan masalah pendapatan diatur oleh DPR, sehingga senat tidak memiliki kewenangan dalam membahas RUU terkait perpajakan, keuangan, pendapatan dan pengeluaran. Akan tetapi dalam praktiknya, senat memiliki kewenangan untuk merubah peraturan apapun yang dikeluarkan sebagai produk legislasi DPR, termasuk yang menyangkut persoalan keuangan. Senat tidak hanya mampu mengubah jumlah pengeluaran, tetapi juga termasuk objek-objek yang mempengaruhi pengeluaran. Karena itu dalam sistem perwakilan di Amerika Serikat persetujuan baik Senat maupun DPR sama-sama dibutuhkan dalam pengesahan suatu RUU.
B.3. Menimbang Bentuk Bikameral Murni dalam Sistem Perwakilan di Indonesia
Berdasarkan perbandingan peran dan wewenang antara DPD RI dengan Senat Amerika Serikat tampaklah dengan jelas pada kita perbedaan praktik semi bikameral (soft bicameralism) yang dianut dalam sistem perwakilan di Indonesia dengan model bikameral murni (strong bicameralism) yang dianut dalam sistem perwakilan di Amerika Serikat. Lantas, kemanakah hendak kita arahkan DPD kita? Jika peran dan kewenangan DPD tetap dipertahankan sesuai dengan amandemen UUD 1945 terakhir, maka kehadiran DPD ibarat macan yang tak bertaring. DPD tak ubahnya seperti LSM yang diformalisasi secara kelembagaan oleh negara, serta kehadirannya hanya memboroskan keuangan negara yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk program otonomi daerah sehingga menghasilkan pembangunan fisik yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat daerah.
Di satu sisi kita masih memerlukan lembaga yang mewakili aspirasi daerah di tingkat pusat untuk menjembatani kebijakan pembangunan pemerintah pusat dengan keinginan masyarakat daerah. Tentu pengalaman di masa lalu yang telah menimbulkan konflik berdarah di sejumlah daerah tidak kita kehendaki lagi, terutama setelah terbukanya pintu demokratisasi dan adanya paradigma otonomi-desentralistik yang melekat dalam rezim reformasi pada masa ini. Karena itu amandemen terhadap UUD 1945 tentang DPD sesungguhnya bersifat urgen. Pilihan yang dihadapkan kepada kita menurut saya hanya ada dua, membubarkan lembaga tersebut dengan menerapkan sistem perwakilan unikameral serta menempatkan representasi daerah kembali menjadi salah satu fraksi di dalam tubuh DPR, atau sebaliknya memperkuat peran dan wewenang institusi DPD sesuai dengan konsep strong bicameralism yang diterapkan Amerika Serikat.
Baik pilihan pertama ataupun kedua, sama-sama dimaksudkan untuk memperkuat posisi tawar representasi kedaerahan dalam struktur lembaga perwakilan. Dengan masuknya kembali utusan daerah duduk di DPR, maka hak dan wewenang yang dimiliknya sama besar dengan hak dan wewenang anggota dewan lainnya yang dipilih berdasarkan representasi politik. Akan tetapi, jika kita memilih untuk menerapkan pilihan yang pertama berarti kita mundur ke belakang, sehingga hal tersebut tidak perlu untuk dijabarkan lebih jauh. Oleh karena itu mari kita menganalisis kemungkinan penerapan pilihan yang kedua, yakni dengan meningkatkan peran dan wewenang kelembagaan DPD sebagai wujud penerapan konsep bikameral murni seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.
Jika kita hendak menguatkan peran dan wewenang DPD, apakah model Amerika Serikat dapat dijiplak mentah-mentah? Ada setidaknya dua hal yang harus kita pertimbangkan. Yang pertama, bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang berbentuk federasi, dimana kekuasaan negara-negara bagian relatif otonom kepada negara federal. Dengan demikian peran dan wewenang senat yang mewakili kepentingan daerah memang didesain agar mengimbangi DPR sebagai kekuatan dalam lembaga legislatif di tingkat nasional. Hal ini berkaitan erat, mengingat masing-masing daerah ingin memastikan arah pembangunan yang dicanangkan oleh negara federal benar-benar mewakili kepentingan negara-negara bagian. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara dengan bentuk kesatuan yang menganut asas dekonsentrasi kewenangan secara vertikal antara pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu kita juga harus menyadari bahwa anggota senat merupakan orang-orang partai sehingga agregasi kepentingan politiknya juga berjalan linier dengan rekan-rekan mereka yang ada di dalam House of Representative.
Kedua, jika peran DPD dalam hal pembentukan ataupun persetujuan produk legislasi diperkuat, maka kelak akan menjadi penyeimbang DPR dalam memastikan berjalannya mekanisme chek and balances. Hal ini tentunya membutuhkan tingkat kematangan demokrasi yang tinggi. Seperti yang kita ketahui Indonesia pernah memiliki pengalaman menjalankan sistem pemerintahan parlementer yang konon ditujukan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa negara yang baru merdeka ini menjunjung tinggi demokrasi serta membutuhkan dukungan diplomatis melalui pengakuan negara-negara lain sebagai syarat pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Akan tetapi sistem parlementer justru menyebabkan kabinet jatuh bangun dengan cepat sehingga menyebabkan program pembangunan jalan di tempat. Hal ini berujung pada pengambil-alihan kekuasaan eksekutif ke tangan presiden melalui dekrit pada 6 juli 1959. Maka pertanyaannya kini, apakah tingkat kematangan demokrasi Indonesia sudah memungkinkan untuk menjalankan sebuah pola bikameralisme yang akan menimbulkan persaingan ketat antara DPR dengan DPD. Apalagi jika kandidat anggota DPD ialah kandidat perseorangan yang tidak berafiliasi kepada partai, tentunya kepentingan DPR dengan DPD akan sulit untuk bertemu dan dikhawatirkan justru berakibat pada kebuntuan.
Dengan demikian penguatan fungsi kelembagaan DPD haruslah melalui pengkajian yang lebih mendalam. Jika sejumlah variabel menunjukkan ketidaksesuaian pola bikameralisme di Amerika Serikat terhadap kondisi Indonesia, maka hendaknya kita mengelaborasi suatu bentuk model bikameral yang sesuai ala Indonesia sendiri. Akan tetapi, bentuk yang telah ada saat ini masih belum memuaskan dalam rangka memaksimalkan fungsi dan kinerja perwakilan daerah dalam mewarnai kebijakan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah pusat.
Kesimpulan
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang luas dengan struktur masyarakatnya yang kompleks menganut sistem perwakilan politik yang mengakomodir kepentingan daerah. Hal ini dikarenakan luasnya wilayah republik ini akan menyulitkan pemerintah pusat dalam merumuskan program pembangunan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan mencerminkan kehendak rakyat di daerah. Pandangan tentang pentingnya keterwakilan daerah ini telah ada sejak republik ini berdiri, ditandai dengan adanya keharusan di dalam konstitusi untuk menyertakan utusan-utusan daerah dalam badan perwakilan politik. Akan tetapi pola kekuasaan yang demikian sentralistik pada 50 tahun pertama kemerdekaan republik ini menyebabkan pengaruh aspirasi daerah tidak begitu signifikan.
Seiring dengan bergulirnya reformasi politik yang terjadi tahun 1998 paradigma otonomi-desentralistik mulai dianut Indonesia. Salah satu wujud nyata dari diadopsinya paradigma tersebut dalam kelembagaan politik ialah pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai formalisasi keterwakilan daerah dalam sistem perwakilan politik di Indonesia. DPD merupakan kekuasaan legislatif yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan memberikan pertimbangan kepada DPR untuk persoalan-persoalan yang menyangkut isu kedaerahan. Dengan demikian Indonesia menganut sistem perwakilan bikameral, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan legislatif tertinggi terbagi ke dalam dua kamar, yakni DPR dan DPD.
Akan tetapi sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia masih menempatkan peran dan wewenang DPD dalam fungsinya yang minimalis. DPD berdasarkan konstitusi diposisikan sebagai lembaga yang sangat bergantung pada keputusan DPR dalam mengesahkan produk perundang-undangan. Hal ini dikarenakan berdasarkan UUD1945 hasil amandemen terakhir, DPR masih merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang. Selain itu dalam fungsi pengawasan dan pertimbangan pun DPD sangat bergantung kepada DPR, karena pada akhirnya seluruh bentuk pengawasan dan pertimbangan oleh DPD disampaikan kepada DPR.
Peran dan wewenang DPD yang sangat minimalis ini berbanding terbalik dengan praktik bikameral yang berlangsung di Amerika Serikat. Sistem bikameralisme murni yang diterapkan Amerika Serikat menempatkan Senat sebagai lembaga yang seimbang dan bahkan dalam banyak perspektif dipandang lebih tinggi dari House of Representative (DPR). Senat memiliki kekuasaan untuk mengajukan banding atas hasil perundang-undangan yang disahkan oleh DPR, dimintai persetujuannya untuk meratifikasi konvensi yang hendak diadopsi dalam sistem hukum Amerika Serikat, dimintai persetujuannya untuk mengangkat pejabat negara seperti duta besar, menteri kabinet, serta memecahkan persoalan dalam menentukan wakil presiden, apabila tidak ditemukan kandidat yang sampai pada perolehan suara mayoritas. Bahkan senat Amerika Serikat dapat menjatuhkan pejabat negara federal (impeachment) melalui mekanisme persidangan yang diatur dalam konstitusi, termasuk untuk menjatuhkan presiden, dengan ketentuan persidangan tersebut haruslah dipimpin oleh Mahkamah Agung.
Perbedaan praktik penyelenggaraan sistem bikameral di Amerika Serikat ini kemudian dapat dijadikan sebagai gambaran untuk menentukan bagaimanakah sebaiknya bentuk sistem perwakilan bikameral itu dalam rangka memeperkuat fungsi keterwakilan daerah pada sistem politik di negara kita. Setidaknya ada dua pilihan yang dapat ditempuh, yakni dengan mengembalikan keterwakilan daerah di dalam badan legislatif yang menentukan kekuasaan legislasi (DPR) atau memperkuat peran dan wewenang kelembagaan DPD yang telah ada saat ini. Pilihan yang paling mungkin ialah yang kedua, sebab struktur kelembagaan yang telah terbentuk melalui amandemen konstitusi kita tidak terus-menerus berubah dan malah kembali seperti sebelum amandemen. Dalam menerapkan pilihan ini, maka sistem bikameral murni di Amerika dapat dijadikan model dengan tetap mencermati kelebihan dan kekurangan yang ada.
Setidaknya ada dua hal yang harus dicermati sebelum kita memutuskan untuk menggunakan Amerika Serikat sebagai model penerapan bikameralisme. Yang pertama, tak seperti Amerika Serikat yang berbentuk federasi, Indonesia merupakan negara kesatuan yang representasi keterwakilan daerahnya secara konstruksi pemikiran tidak menuntut kekuasaan kelembagaan yang besar seperti halnya di Amerika Serikat dimana kekuasaan negara federal terhadap negara bagian bersifat nominal. Yang kedua, Penguatan fungsi kelembagaan DPD menuntut kematangan demokrasi yang untuk menerapkannya diperlukan kajian yang lebih mendalam terhadap variabel-variabel yang mungkin akan menjadi persoalan dalam sistem politik di Indonesia.
Daftar Pustaka
Amir, Makmur dan Reni Dwi Purnomowati. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2006 Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.
Asshidiqqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi revisi cetekan-9, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Macdris, Roy C. dan Bernard E. Brown.1992. Perbandingan Politik Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Melusky, Joseph. 2000. The American Political System: An Owner's Manual, 3rd Edition, The Mc Graw-Hill Companies, Salt Lake City, Utah.
Nurtjahjo, Hendra. 2002. Perwakilan Golongan di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Depok.
Patterson, Thomas E. 2003. The American Democracy, 6th Edition, The Mc Graw-Hill Companies, Salt Lake City, Utah.
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
The Constitution of the United States of America, 27th Amandement
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat
11