BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara tropis dengan sumber tanaman obat yang berlimpah dan juga merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, bahkan dapat menjadi posisi pertama jika keanekaragaman hayati laut juga dipertimbangkan (Handa dkk, 2006). Indonesia memiliki sekitar 25.00030.000 spesies tanaman. Jumlah tanaman yang digunakan masyarakat Indonesia sebagai obat berjumlah 7.000 spesies dan sebanyak 283 spesies tanaman telah terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia (Dewoto H. R., 2007). Salah satu tanaman yang terdapat dihutan tropis Indonesia adalah Kecombrang ( Etlingera Etlingera elatior (Jack.) R. M. SM.) yang di Provinsi Sulawesi Tenggara dikenal dengan nama Wualae. Wualae . Wualae merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang sejak lama dikenal dan dimanfaatkan sebagai bahan obatobatan (Hidayat dan Hutapea, 1991). Tanaman Wualaememiliki Wualae memiliki potensi untuk mengobati penyakit-penyakit yang tergolong berat seperti kanker dan tumor (Chan dkk, 2007). Di daerah Sulawesi Tenggara khususnya di daerah Kolaka Utara, tanaman ini secara empiris dimanfaatkan masyarakat untuk mengatasi penyakit demam tifoid. Selain itu, di daerah Konawe, masyarakatmemanfaatkan tanaman Wualae ini Wualae ini sebagai bahan pangan seperti bahan sayuran. Tanaman Wualae telah banyak digunakan di masyarakat tetapi, tingkat keamanan dari tanaman Wualae belum diketahui sehingga perlu diketahui
1
denganpenelitian ilmiah untuk memberikan bukti keamanan dan kemanjuran dari Wualae.Salah Wualae.Salah satu bagian Wualae yang Wualae yang belum diteliti tingkat keamanannya adalah buahnya. Suatu senyawa dari suatu tanaman dapat dikatakan aman apabila telah melalui uji toksisitas dengan menggunakan hewan coba dan telah terbukti aman secara klinis untuk dikonsumsi, sehingga sangatlah penting mengetahui potensi ketoksikannya melalui LD 50 dan spektrum efek toksiknya (Wahyono (Wah yono dkk, 2007). Uji toksisitas adalahsuatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (BPOM, 2014). Uji toksisitas terbagi menjadi beberapa tipe yang biasa digunakan dalam farmasi untuk mencari senyawa obat baru, yaitu uji toksisitas akut, toksisitas subakut, dan toksisitas toksisitas kronis. Uji toksisitas akut menggunakan menggunakan dosis tunggal yang diberikan kepada masing-masing hewan coba dengan hasil yang menunjukkan perubahan salah satunya adalah perubahan tingkah laku dan nilai LD50yang dilakukan selama 24 jam lalu dilanjutkan selama 7-14 hari. Uji toksisitas kronis dilakukan pada pada dua hewan coba yaitu satu hewan coba rodent dan satu hewan non-rodent dengan dosis yang diberikan setiap hari selama 6 bulan. Uji toksisitas subakut adalah uji yang dilakukan pada hewan (biasanya tikus dan anjing) dengan dosis yang diberikan setiap hari, mulai dari yang
2
denganpenelitian ilmiah untuk memberikan bukti keamanan dan kemanjuran dari Wualae.Salah Wualae.Salah satu bagian Wualae yang Wualae yang belum diteliti tingkat keamanannya adalah buahnya. Suatu senyawa dari suatu tanaman dapat dikatakan aman apabila telah melalui uji toksisitas dengan menggunakan hewan coba dan telah terbukti aman secara klinis untuk dikonsumsi, sehingga sangatlah penting mengetahui potensi ketoksikannya melalui LD 50 dan spektrum efek toksiknya (Wahyono (Wah yono dkk, 2007). Uji toksisitas adalahsuatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (BPOM, 2014). Uji toksisitas terbagi menjadi beberapa tipe yang biasa digunakan dalam farmasi untuk mencari senyawa obat baru, yaitu uji toksisitas akut, toksisitas subakut, dan toksisitas toksisitas kronis. Uji toksisitas akut menggunakan menggunakan dosis tunggal yang diberikan kepada masing-masing hewan coba dengan hasil yang menunjukkan perubahan salah satunya adalah perubahan tingkah laku dan nilai LD50yang dilakukan selama 24 jam lalu dilanjutkan selama 7-14 hari. Uji toksisitas kronis dilakukan pada pada dua hewan coba yaitu satu hewan coba rodent dan satu hewan non-rodent dengan dosis yang diberikan setiap hari selama 6 bulan. Uji toksisitas subakut adalah uji yang dilakukan pada hewan (biasanya tikus dan anjing) dengan dosis yang diberikan setiap hari, mulai dari yang
2
menunjukkan level terapi dan yang bertahap selama dua sampai tiga bulan sampai menunjukkan efek toksik (Gupta, 2012). Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mendeteksi adanya toksisitas suatu zat, menentukan organ sasaran dan kepekaanya, memperoleh data bahayanya setelah pemberian suatu senyawa secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk menetapkan dosis yang diperlukan untuk uji toksisitas selanjutnya (Soeksmanto dkk, 2010). Evaluasi uji toksisitas tidak hanya mengenai LD 50, tetapi juga terhadap kelainan tingkah laku, stimulasi atau depresi sistem syaraf pusat aktivitas motorik dan pernapasan hewan uji untuk mendapatkan gambaran sebab kematian, dapat juga dilengkapi dengan pembuatan preparat histopatologi dari organ yang dianggap memperlihatkan kelainan (Darmansjah, 1995). Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu (Wales, 2010). Beberapa organ yang dapat terpengaruh atau rusak akibat toksisitas suatu zat kimia antara lain jantung, paru-paru dan limpa. Perubahan yang dapat terjadi pada jantung yaitu seperti terjadinya kondensasi dan penggelapan warna nukleus endoter atau formasi ruang jernih inter serat pada otot (Derelanko, 2002). Perubahan yang dapat terjadi pada organ paru-paru adalah akumulasi darah parenkim, pemisahan epitelium bronkiolus dari lamina propria, adanya cairan protein pada ruang alveolar, piknosis dan kerusakan epitelium bronkiolus. Organ lain yang menjadi sas aran zat asing adalah limpa karena limpa merupakan salah satu organ sistem imun.
3
Berbagai zat toksik diketahui dapat menekan fungsi imun. Penekanan ini akan mengakibatkan menurunnya menurunnya resistensi terhadap infeksi in feksi (Lu, 1995). Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai keamanan dari buah Wualaeyaitu Wualaeyaitu dengan dilakukannya uji toksisitas akut dari buah Wualae Wualae dan mengetahui gambaran histopatologi pada organ jantung, paru-paru, dan limpa pada tikus ( Rattus norvegicus). norvegicus). B.
Rumusan Masalah
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang diatas antara lain sebagai berikut : 1.
Bagaimana profil fitokimia yang terdapat dalam buah Wualae ( E. E. elatior (Jack) R.M Smith) ?
2.
Berapakah nilai LD50 dari ekstrak etanol buah Wualae ( E. E. elatior (Jack) R.M. Smith) Smith) yang diberikan peroral pada tikus putih jantan?
3.
Bagaimana pengaruh pemberian dosis tunggal ekstrak etanol buah Wualae ( E. E. elatior (Jack) R.M. Smith) Smith) terhadap perubahan tingkah laku dan gambaran histopatologi histopatologi organ hati, ginjal dan lambung pada tikus putih wistar jantan wistar jantan ( Rattus Rattus norvegicus)? norvegicus)?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui profil fitokimia yang terdapat dalam buah Wualae ( E. E. elatior (Jack) R.M Smith).
2.
Mengetahui nilai LD50 dari ekstrak etanol buah Wualae ( Eelatior Eelatior (Jack) R.M Smith).
4
3.
pengaruh pemberian dosis tunggal ekstrak etanol buah Wualae ( E. elatior (Jack) R.M. Smith) terhadap perubahan tingkah laku dan gambaran histopatologi organ hati, ginjal dan lambung pada tikus putih wistar jantan ( Rattus norvegicus).
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi antara lain sebagai berikut : 1.
Bagi diri sendiri, menambah ilmu pengetahuan dan keahlian mengenai metode dalam penelitian praklinis pada tumbuhan yang berpotensi untuk pengobatan menggunakan hewan uji.
2.
Bagi
ilmu
pengetahuan,
dapat
memberikan
informasi
yang
dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai toksisitas ekstrak etanol buah Wualae ( Etlingeraelatior (Jack) R.M Smith). 3.
Bagi institusi, mewujudkan peranan Universitas Halu Oleo dalam mengkaji permasalahan yang terjadi di masyarakat.
4.
Bagi masyarakat, memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat terhadap keamanan dari buahWualae ( Etlingera elatior (Jack) R.M Smith)
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Tanaman Wualae ( E tlingera elatior (Jack) R.M Smith)
Wualae merupakan tanaman suku Zingeberaceae genus Elatior atau Etlingera yang tersebar di Asia Tenggara sampai ke Asia Selatan dan Australia. Wualae umumnya tersebar secara alami di Malaysia dan Indonesia (Ibrahim dan Setyowati, 1999). Wualae adalah tanaman yang membentuk rumpun yang dapat diperbanyak secara seksual (biji) dan aseksual (rimpang). Bunganya terdiri dari tiga warna yaitu merah, pink, dan putih. Wualae pink biasanya ditemukan didaerah pedesaan dan dipinggir hutan, sedangkan untuk warna merah dan putih susah ditemukan atau langka (Chan dkk., 2011). 1.
Deskripsi
Tanaman Wualae dapat tumbuh mencapai tinggi rerata sekitar 3 m. Bentuk batangnya tegak dan berpelepah. Daun berbentuk tunggal dan batang runcing, diameter batang berkisar antara 2-4 cm (Dwiatmini, 2009). Batang semu bulat, membesar di pangkalnya, tumbuh tegak membentuk rumpun, rimpang tebal. Daun tersusun dalam dua baris, berseling, bentuk jorong lonjong, pangkal membulat atau menjantung. Bunga tumbuh diantara rumpun, tegak di atas batang yang panjangnya 0,8-2,2 m. Buah berjejalan membentuk bongkol hampir membulat berdiameter 10-20 cm, hijau dan menjadi merah ketika masak, berbiji banyak, coklat kehitaman (Hidayat dan Napitupulu, 2015).
6
a
b
Gambar 1. a. Tanaman wualaeb. Buah wualae Sumber : Dokumentasi pribadi
2.
Nama lain
Tanaman ini dikenal dengan berbagai nama daerah, di Sulawesi Tenggara dikenal dengan “wualae”, ”kencong ” atau ”kincung ” di Sumatera Utara, ”kecombrang ” di Jawa, ”honje” di Sunda, ”bongkot ” di Bali, ” sambuang ” di Sumatera Barat dan ”bunga kantan” di Malaysia. Beberapa orang juga menyebutnya dengan nama Philippine waxflower atau porceleion rose mengacu pada keindahan bunganya (Sukandar, dkk., 2010). 3.
Klasifikasi
Klasifikasi tanamanWualae ( E. elatior ) adalah sebagai berikut (Tjitrosoepomo, 2005): Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Etlingera
Spesies
: Etlingera elatior (Jack) R.M Smith
7
4.
Kandungan Kimia
Berbagai senyawa fitokimia yang dikandung buah Wualae, terdiri atas steroid, alkaloid, polifenol, flavonoid, saponin, dan minyak atsiri (Handayani, dkk., 2014). Bunga Wualae ( Etlingera elatior (Jack) R. M Smith) mengandung beberapa senyawa fitokimia seperti flavonoid, tanin, saponin, dan steroid (Maimulyanti, 2015).Batang Wualae mengandung minyak esensial sebesar 0,0029% dan flavonoid. Pada bagian dalam mengandung
flavonoid
Wualae bagian
dalam
dari
pada
mengandung
bagian alkaloid,
batang Wualaelebih banyak luar
batang
saponin,
Wualae.
fenolik,
Batang
flavonoid,
triterpenoid, steroid, dan glikosida (Lingga dkk., 2015). 5.
Aktivitas Farmakologi
Buah Wualaememiliki potensi sebagai antibakteri, antiinflamasi dan antioksidan (Handayani, dkk., 2014).Batang Wualae memiliki potensi sebagai antibakteri(Lingga dkk., 2015). Ekstrak bunga Wualae dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-negatifseperti E scherichiacoli dan Bacillus subtilis(Naufalin dan Herastuti, 2017). Beberapa penelitian lain mengenai aktivitas farmakologi dari tanaman E.elatior menyebutkan ekstrak metanol daun E.elatior memiliki aktivitas penghambatan tirosinase (Chan dan Wong, 2011). Fraksi metanol ekstrak batang E.elatior memiliki efek sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III (Adityo, 2012).
8
B.
Metode Analisis Senyawa Bahan Alam
1.
Ekstraksi
Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat tradisional adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan terlebih dahulu (Sarker dkk., 2006). Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman (Mukhrian, 2014). Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Metode maserasi menghindari rusaknya senyawasenyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014). 2.
Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan pengujian kandungan senyawa-senyawa di dalam tumbuhan.Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit sekunder seperti flavonoid, tanin, alkaloid, terpenoid, steroid, saponin, dan lain-lain. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang
9
umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny, 2006). a.
Identifikasi senyawa fenolik Identifikasi senyawa fenolik dalam suatu cuplikan dapat dilakukan dengan
pereaksi besi (III) klorida (FeCl3) 1% dalam etanol.Adanya senyawa fenolik ditunjukkan oleh timbulnya warna hijau, merah ungu, biru atau hitam kuat. b.
Identifikasi senyawa golongan saponin (steroid dan terpenoid) Saponin adalah suatu glikosida yang larut dalam air dan mempunyai
karakteristik membentuk busa apabila dikocok. Berdasarkan strukturnya, saponin dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu saponin yang mempunyai rangka steroid dan saponin yang mempunyai rangka terpenoid. Berdasarkan strukturnya, saponin akan memberikan reaksi warna yang karakteristik dengan pereaksi Liebermann-Buchard (Harborne, 1987). c.
Identifikasi senyawa golongan alkaloid Alkaloid merupakan senyawa nitrogen yang sering terdapat dalam
tumbuhan.
Salah
satu
pereaksi
untuk
mengidentifikasi
adanya
alkaloid
menggunakan pereaksi dragendorff dan pereaksi mayer. 1.
Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder terbentuk dari metabolit primer melalui berbagai jalur metabolisme yang disesuaikan dengan tujuan dan kondisi lingkungan tumbuhan tersebut tumbuh.Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan sangat bervariasi. Tiap spesies tumbuhan menghasilkan senyawa tertentu. Tanaman
10
dalam satu genus atau satu famili akan memiliki banyak kesamaan senyawa yang diproduksinya yang berfungsi sebagai ciri atau karakter dari famili atau genus tanaman tersebut dari segi kimia. Akan tetapi faktor lingkungan tempat tanaman itu tumbuh sangat memengaruhi produksi metabolit sekunder (Sahidin, 2012). a.
Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Senyawa flavonoid terdistribusi secara luas pada bagian-bagian tanaman, baik pada akar, batang, daun, maupun buah. Senyawa flavonoid untuk obat mula-mula diperkenalkan oleh seorang Amerika bernama Gyorgy (1936) yang sekaligus sebagai pionir (pembuka) penggunaan senyawa tersebut di bidang terapeutik. Gyorgy menemukan senyawa yang disebut sebagai senyawa “bioflavonoids” atau vitamin P yang dinyatakan sebagai antihemorrhage (pendarahan) (Mardisadora, 2010). Senyawa flavonoid adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Golongan flavonoid memiliki kerangka karbon yang terdiri atas dua cincin benzene tersubstitusi yang disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Pengelompokkan flavonoid dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan pada rantai C 3, sesuai struktur kimianya yang termasuk flavonoid yaitu flavanol, flavon, flavanon, katekin, antosianidin dan kalkon (Robinson, 1995).
11
b.
Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan.Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Lenny, 2006). c.
Saponin
Saponin berasal dari bahasa latin sapo yang berarti sabun, karena sifatnya menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, menimbulkan busa jika dikocok dengan air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin dalam larutan yang sangat encer dapat sebagai racun ikan, selain itu saponin juga berpotensi sebagai anti mikroba, dapat digunakan sebagai bahan baku sintesis hormon steroid. Dua jenis saponin yang dikenal yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Aglikonnya disebut sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam asam atau menggunakan enzim (Robinson, 1995). d.
Tanin
Tanin merupakan golongan senyawa fenol yang terdapat pada daun, buah yang belum matang, merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang termasuk golongan flavonoid, mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit.Secara kimia tanin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi atau tanin katekin dan tanin terhidrolisis atau genis galat (Robinson, 1995).
12
C.
Uji Toksisitas
Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya yang telah menjadi bagian esensi untuk dapat dipakai dalam sistem pelayanan kesehatan. Untuk itu harus
sesuai
dengan
kaidah
pelayanan
kesehatan
secara
medis
dan
dipertanggungjawabkan. Guna mencapai hal itu, sesuai dengan standar mutu dari WHO obat tradisional perlu dilakukan pengujian ilmiah tentang khasiat, keamanan, dan standar kualitas (Depkes, 2000). Keamanan adalah syarat penting yang harus dimiliki oleh suatu obat herbal. Obat herbal dikatakan aman apabila telah melalui uji toksisitas dengan menggunakan hewan coba dan telah terbukti aman secara klinis untuk dikonsumsi (BPOM, 2011). Uji toksisitas penting pada perkembangan obat baru sebelum dapat digunakan pada manusia. Uji toksisitas untuk menentukan bahaya atau risiko dari suatu substansi (Arome dkk., 2013). Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksis suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaanya dari keamanan manusia. Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk membuktikan keamanan suatu bahan/sediaan pada manusia, namun dapat memberikan petunjuk adanya
13
toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia (BPOM, 2014). Uji toksisitas terdiri atas dua jenis yaitu : uji toksisitas umum (akut, subakut/subkronis, dan kronis) dan uji toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik, dan karsinogenik) (Depkes, 2000). Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas suatu senyawa yang diberikan dalam dosis tunggal pada hewan percobaan, yang diamati selama 24 jam dan dilanjutkan selama 7-14 hari. Menurut Gupta dkk, (2012), Uji toksisitas akut merupakan uji dimana dosis tunggal zat kimia yang diberikan pada hewan percobaan untuk menentukan LD 50. Hal ini merupakan langkah awal dalam penilaian dan evaluasi sifat toksik dari suatu zat kimia serta merupakan salah satu pemeriksaan awal yang dilakukan pada semua senyawa. Harga LD50 adalah besarnya dosis suatu senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50% jumlah populasi dalam jangka waktu tertentu (Loomis, 1978). Penentuan LD50merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan bahan yang akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal. LD50 bahan obat mutlak harus ditentukan karena nilai ini digunakan dalam penilaian rasio manfaat (khasiat) dan daya racun yang dinyatakan sebagai indeks terapi obat (DL50/DE50). Makin besar indeks terapi, makin aman obat tersebut jika digunakan. Ada berbagai perhitungan LD 50 yang umum digunakan antara lain metode Miller-Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kilber (Soemardji dkk, 2002).
14
Tabel 1. Kriteria Penggolongan Sediaan Uji No.
Kelas
LD50 (mg/KgBB)
1.
Luar biasa toksik
1 atau kurang
2.
Sangat toksik
1 – 50
3.
Cukup toksik
5 – 500
4.
Sedikit toksik
500- 5000
5.
Praktis tidak toksik
5000 – 15000
6.
Relatif kurang berbahaya
Lebih dari 15000
(Loomis, 1978)
Tujuan utama uji ketoksikan akut suatu obat adalah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait, pada suatu hewan uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukkan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme perantara terjadinya kematian hewan uji. Kriteria awal yang sering digunakan untuk eveluasi uji ketoksikan senyawa baru umumnya menggunakan kematian sebagai indeks untuk memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi pada manusia (Loomis, 1978). Uji toksisitas subakut adalah uji toksisitas suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari tiga bulan.Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik tersebut berkaitan dengan takaran dosis.Hasil uji memberikan informasi tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ-organ yang dipengaruhi, efek toksik lambat yang tidak diamati pada uji toksisitas akut, kekerabatan antara dosis dan efek toksis, dan reversibilitas (Donatus, 2001).Uji toksisitas kronis merupakan uji toksisitas suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji selama lebih dari tiga bulan (selama sebagian besar masa hidup hewan uji) (Klaassen, 2001).Uji
15
toksisitas khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas dari suatu senyawa pada semua hewan uji (Donatus, 2001). Efek toksik pada organisme dapat terlihat dapat juga tidak. Bila dosis yang diserap relatif kecil, kerusakan yang ditimbulkan hanya pada beberapa sel saja. Masih cukup banyak sel yang tetap bisa menjalankan fungsi organ. Jika sel banyak mengalami kerusakan maka organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsi dengan normal. Pada saat itu, biasanya keracunan (kerja toksik) akan menampakkan diri, umumnya sebagai proses penyakit yang integral pada individu tersebut (Pohan, 2016). D.
Histopatologi
Evaluasi uji toksisitas tidak hanya mengenai LD 50,
tetapi juga terhadap
kelainan tingkah laku, stimulasi atau depresi sistem syaraf pusat, aktivitas motorik dan pernapasan hewan uji untuk mendapatkan gambaran sebab kematian, dapat juga dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan preparat histopatologi dari organ yang dianggap memperlihatkan kelainan (Darmansjah, 1995). Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan dari bagian ektoparasit (misalnya seperti insang, sirip, kulit dan mata)
16
dan endoparasit (misalnya seperti usus, ginjal, hepatopankreas dan lain-lainnya) atau
dengan
mengamati
jaringan
setelah
kematian
terjadi.
Dengan
membandingkan kondisi jaringan sehat terhadap jaringan sampel dapat diketahui apakah suatu penyakit yang diduga benar-benar menyerang atau tidak (Wales, 2010). Organ yang biasa diamati dalam pemeriksaan histopatologi pada hewan uji setelah pemberian sediaan uji yaitu jantung, paru, limpa, hati, usus, lambung, dan ginjal (Wahyono dkk, 2007). 1.
Jantung
Jantung adalah suatu organ yang vital dalam tubuh. Meskipun jantung bukan organ sasaran biasa, organ ini dapat dirusak oleh berbagai jenis zat kimia. Zat itu bekerja secara langsung pada otot jantung atau secara tak langsung melalui susunan saraf atau pembuluh darah (Lu, 1995). Otot jantung dipilih sebagai organ yang diteliti dengan pertimbangan bahwa pada otot jantung dapat terjadi perubahan-perubahan histologi (Pratama, 2010). Kerusakan histologi otot jantung yang dinilai adalah dengan mengamati secara umum kondisi sel otot jantung, jenis kerusakan sel otot jantung meliputi degenerasi parenkim, degenerasi hidropik nekrosis, serta mengukur tebal dinding jantung ventrikel kiri dan melihat perubahan jantung. a.
Morfologi Jantung
Jantung memiliki empat ruangan utama yaitu atrium kiri dan kanan serta ventrikel kiri dan kanan. Atrium kanan memiliki dinding yang tipis dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah dan sebagai penyalur darah dari vena-vena
17
sirkulasi sistemik ke dalam ventrikel kanan dan kemudian ke paru-paru (Price, 1994). Atrium kiri berfungsi untuk menerima darah yang sudah dioksigenisasi dari paru-paru melalui keempat vena pulmonalis. Tiap ventrikel harus menghasilkan kekuatan yang cukup besar untuk memompakan darah yang diterimanya dari atrium ke sirkulasi pulmonar atau sirkulasi sistemik. Ventrikel kanan berbentuk bulan sabit yang unik, guna menghasilkan kontraksi bertekanan rendah, yang cukup tinggi untuk mengatasi tahanan sirkulasi sistemik, dan mempertahankan aliran darah ke jaringan-jaringan perifer (Eroschenko, 2003). Secara internal kantung dipisahkan oleh sebuah lapisan otot menjadi dua bagian, dari atas ke bawah, menjadi dua pompa. Kedua pompa ini sejak lahir tidak terpisah tersambung. Belahan ini terdiri dari dua rongga yang dipisahkan oleh dinding-dinding. Maka dapat disimpulkan bahwa jantung terdiri dari empat rongga, atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan dan ventrikel kiri (Gyuton, 1997). b.
Histopatologi Jantung
Jantung dapat mengalami kerusakan akibat senyawa toksik.Kerusakan yang terjadi pada jaringan otot jantung akibat senyawa kimia (obat) ditandai dengan banyaknya inti sel piknotik pada jantung yang akan memberikan rangkaian perubahan fungsi dan struktur pada jantung. Perubahan struktur sel otot jantung akibat obat yang dapat tampak pada pemeriksaan mikroskopis antra lain: 1.
Radang
18
Radang bukan suatu penyakit umum namun reaksi pertahanan tubuh melawan berbagai jejas. Dengan mikroskop tampak kumpulan sel-sel fagosit berupa monosir dan polimorfenuklear (Sarjadi, 2003). 2.
Fibrosis Fibrosis terjadi apabila kerusakan sel tanpa disertai regenerasi sel yang
cukup. Kerusakan jantung secara mikroskopis kemungkinan dapat berupa atrifi atau hipertrofi tergantung kerusakan mikroskopis (Sarjadi, 2003). 3.
Degenerasi Degenerasi adalah perubahan morfologi akibat jejas yang non fatal dan
perubahan tersebut masih dapat pulih (reversibel), tetapi apabila berlangsung lama dan derajatnya berlebih akhirnya dapat menyebabkan kematian sel (nekrosis). Degenerasi terjadi akibat jejas sel dan kemudian baru timbul perubahan metabolisme (Boya, 2011). 4.
Nekrosis Nekrosis adalah kematian sel, nekrosis dapat bersifat fatal (sentral,
pertengahan perifer) atau masif. Biasanya nekrosis bersifat akut (Lu, 2010). Ciri nekrosis adalah tampaknya fragmen atau sel otot jantung nekrotik tanpa pulasan inti atau tidak tampaknya sel disertai reaksi radang. Tampak atau tidaknya sisa sel jantung tergantung pada lama dan jenis nekrosis (Boya, 2011). Sel nekrotik merupakan kematian sel yang masih hidup, yang jika ada rangsangan kuat dari senyawa toksik dapat menyebabkan cedera pada sel atau rangsangan yang berkepanjangan. Perubahan inti sel yang mengalami nekrosis, kariolisis, dan karioeksis (Lu, 2010).
19
2.
Gambar 2.
Histologi normal otot jantung potongan melintang (Pengecatan Hemotoksin Eosin, Perbesaran 200x)(1) Kapiler , (2)Inti sel otot jantung(Amaliyah, 2015).
Gambar 3.
Histologi otot jantung potongan membujur (Pengecatan Hematoksilin Eosin, Perbesaran 200x) (1) Fibrosit, (2) Inti sel otot jantung dan (3) Kapiler (Amaliyah, 2015).
Paru-paru
Sistem pernafasan terdiri atas paru dan saluran-saluran napas, dibagi atas bagian konduksi dan bagian respirasi. Bagian konduksi terdiri dari rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronki, bronkioli, dan bronkioli terminalis. Sedangkan bagian respirasi terdiri dari bronkiolus, respiratorius, dukus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli (Eroschenko, 2011). Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan letaknya di dalam rongga dada atau toraks (Price, 1995). Paru-paru merupakan kelenjar tubulo alveolar kompleks dengan permukaannya yang ditutup oleh jaringan ikat longgar yang dilapisi mesotel. Paru dibungkus membran serosa yang disebut pleura. Pleura terdiri atas lapisan jaringan ikat tipis, fibroblas, dan serat elastin (Bloom dan Faweerr, 1994). Pleura yang melapisi rongga dada tersebut pleura
20
parietalis. Pleura yang menyelubungi paru-paru disebut pleura viscrealis. Di antara pleura parietalis dan pada pleura visceralis terdapat suatu lapisan tipis yang berfungsi untuk memudahkan permukaan bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru (Price, 1995). Paru-paru dilindungi oleh proteinase inhibitor. Proitenase inhibitor ini memberi efek protekstif terhadap paru dari proteinase yang dihasilkan oleh fagositosis dan respon inflamasi dalam melawan agen atau benda asing yang masuk ke paru (Simmons, 1991). Paru-paru merupakan salah satu organ yang dapat mengalami gangguan atau kerusakan akibat adanya zat asing yang bersifat toksik. Kerusakan yang dapat terjadi misalnya pada pemberian ekstrak etanolik biji buah pinang pada tikus yang menyebabkan terjadinya radang pada organ paru.Pada organ paru, terlihat adanya warna kemerahan yangmengindikasikan terjadinya radang. Organ paru mengalami infiltrasi sel radangyang ditunjukkan banyaknya sel limfosit (berwarna ungu) (Handayani, 2012).
(A)
(B)
Gambar 4. Histopatologi organ paru perbesaran (A) Histopatologi organ paru tikus normal, (B) Histopatologi organ paru tikus yang mengalami radang (Handayani dkk, 2012)
21
3.
Limpa
Limpa adalah organ limfoid terbesar dengan banyak pembuluh darah. Fungsi utama organ limfoid adalah melindungi organisme terhadap patogen atau antigen (bakteri, parasit, dan virus) yang masuk. Sistem limfoid mencakup semua sel, jaringan dan organ yang mengandung kumpulan sel imun yaitu limfosit (Eroschenko, 2010). Limpa merupakan organ pertahanan terhadap infeksi yang masuk melalui darah, infeksi yang masuk ke dalam darah dapat mengakibatkan terjadinya spesies sampai nekrosis (Budiawan dkk, 2013). Akibat adanya antigen asing yang masuk maka aktivasi dari sistem imun akan terjadi proliferasi dari sel limfosit pada pulpa putih dan dapat mengakibatkan terjadinya pembesaran diameter pulpa putih (Makiyah dkk, 2014). Menurut Dellman dkk, (1989), limpa dibungkus oleh jaringan tebal yang disebut dengan kapsul dan di bagian luar dibalut oleh peritonium. Kapsul memiliki dua lapis jaringan ikat dan otot polos. Trabekula terdiri dari sabut kolagen, sabut elastis dan otot polos mulai dari kepal sampai hilus. Trabekula mengandung arteri, vena, pembuluh limfa dan saraf. Kapsul, trebekula dan sabut retikuler menunjang parenkim limpa terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih. Fungsi limpa yaitu mengakumulasi limfosit dan makrofag, degradasi eritrosit, tempat cadangan darah dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah. Limpa menghasilkan antibodi humoral terhadap antigen yang diangkut melalui darah dalam melakukan fungsi tersebut, selain itu organ ini memiliki banyak sekali makrofag yang berperan dalam
22
dekstruksi sel darah yang sudah masuk. Makrofag juga bertugas melenyapkan debresi yang beredar dan setiap bahan renik yang mungkin dapat terjadi dalam darah (Khasanah, 2009). Organ limpa merupakan organ sasaran zat asing karena limpa merupakan salah satu organ sistem imun. Berbagai toksikan diketahui dapat menekan fungsi imun. Penekanan ini akan mengakibatkan menurunnya resistensi terhadap infeksi dan menurunnya kemampuan mengendalikan neoplasma dan zat asing lain (Lu, 1995) Kerusakan organ limpa salah satunya dapat ditandai dengan terjadinya nekrosis pada pulpa putih. Pada pemberian ekstrak alpukat dengan dosis tunggal menyebabkan terjadinya nekrosis pada pulpa putih yang ditandai dengan adanya kematian sel-sel limfosit pada pulpa putih dan peningkatan sehingga tampak jarang dan warna ungu tidak rata. Limfosit merupakan indikator adanya inflamasi kronik (Wahyuningsih, 2015).
(A) (B) Gambar 5.Struktur histopatologi organ limpa (A) Histopatologi organ limpa normal, (B) Histopatologi organ limpa yang mengalami nekrosis pada pulpa putih (Wahyuningsih, 2015)
23
E.
Tikus (Rattus norvegi cus)
Rodentia seperti tikus (Rattus norvegicus) dan mencit (Mus musculus) seringdijadikan hewan model karena memilikisistem faal yang mirip dengan manusia. Tikus Wistar adalah salah satu hewanuji yang paling banyak digunakan sebagaimodel
dalam
penelitian
biomedik.
Tikus
Wistar
(albino)
dikembangkanpertama kali di Wistar Institut (Philadelphia,PA). Galur ini terus dibiakkanhingga kini karena ideal sebagai hewan modeluntuk berbagai tujuan penelitian (Fitria, dkk., 2014). Pemilihan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstrusasi dan kehamilan seperti pada ti kus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006).
24
Gambar6. Tikus ( Rattus notvegicus)(Akbar, 2010)
1.
Klasifikasi
Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Miomorfa
Familia
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
25
Data biologis dasar dari tikus Wistar Tabel 2. Aktivitas enzim dalam serum tikus putih normal Komponen Nilai Amilase (somogi unit/dl) Alkalin fosfatase (I.U./l) Asam fosfatase (I.U./l) Alanin transaminase (SGPT) (I.U./I) Aspartat transaminase (SGOT) (I.U./I) Kreatin fosfokin (CPK) (I.U./I) Laktik dehidrogenase (LDH) (I.U./I)
Betina
Jantan Rata-rata 245,
S.D 32,0
81,4
14,8
39,0
Rata-rata 196,
Nilai literatur
S.D 34,0
Rentang 128,-313,
33,9
17,3
56,8-128,
4,30
37,5
3,70
28,9-47,6
25,2
2,05
22,5
2,50
17,5-30,2
62,5
8,40
64,0
6,50
45,7-80,8
5,60
1,30
6,80
2,40
0,80-11,6
92,5
13,9
90,0
14,5
61,0-121
Sumber : Mitruka, 1977
26
Tabel 3. Komponen kimia dalam serum tikus putih normal Komponen Nilai
Nilai Literatur
Betina
Jantan Rata-Rata
S.D
Rata-Rata
S.D
Rentang
Bilirubin (mg/dl)
0,35
0,02
0,24
0,07
0,00-0,55
Kolesterol (mg/dl)
28,3
10,2
24,7
9,62
10,0-54,0
Kreatinin
0,46
0,13
0,49
0,12
0,20-0,80
Glukosa (mg/dl)
78,0
14,0
71,0
16,0
50,0-13,5
Nitrogen urea (mg/dl)
15,5
4,44
13,8
4,15
5,0-29,0
Asam urat (mg/dl)
1,99
0,25
1,79
0,24
1,20-7,5
Sodium (mEq/1)
147,0
2,65
146,0
2,50
143,-156,
Potassium (mEq/1)
5,82
0,11
6,70
0,12
5,40-7,00
Klorida (mEq/1)
102,0
0,85
101,0
0,90
100,-110,
Bikarbonat (mEq/1)
24,0
3,80
20,8
3,60
12,6-32,0
Fosfor (mg/dl)
7,56
1,51
8,26
1,14
3,11-11,0
Kalsium (mg/dl)
12,2
0,75
10,6
0,89
7,2-13,9
Magnesium (mg/dl)
3,12
0,41
2,60
0,21
1,6-4,44
Sumber : Mitruka, 1977
27
F.
Kerangka Konsep
Komponen kimia dari buah Wualaeterdiri dari alkaloid, flavonoid, polifenol, minyak atsiri, saponin dan steroid (Handayani, dkk, 2014). Buah wualae ( Etlingera elatior (Jack) R.MSmith)
Buah Wualaememiliki potensi sebagai antibakteri,
antiinflamasi
(Handayani,
dkk.,
dan
antioksidan
2014).Batang
Wualae
memiliki potensi sebagai antibakteri(Lingga dkk.,
2015).
dilaporkan terhadap
Ekstrak
memiliki bakteri
bunga
aktivitas
Wualae antibakteri
Ekstrak etanol Buah Wualae ( Etlingera elatior (Jack) R.M Smith)
Gram-negatifseperti
E scherichiacoli dan Bacillus subtilis(Naufalin
Skrining Fitokimia
dan Herastuti, 2017). Uji Toksisitas dengan Menggunakan Tikus Jantan
Penentuan nilai LD50 dan gejala klinis pada tikusyang terpapar ekstrak etanol Buah Wualae ( Etlingera elatior (Jack) R.M Smith)
Pemeriksaan Histopatologi Jantung, Paru-paru, dan Limpa yang terpapar ekstrak etanol Buah Wualae ( Etlingera elatior (Jack) R.M Smith
Hasil Data
Keterangan: = Variabel terikat
= Variabel bebas Gambar 7. Kerangka konsep
28
BAB III METODE PENELITIAN A.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Juli tahun 2017dan bertempat dilaboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universtas Halu Oleo, Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Aliyah Kendari dan Pusat penelitian LIPI Cibinong. B.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. C.
Alat dan Bahan Penelitian
1.
Alat
Alat-alat yang digunakan adalah Rotary evaporator (Buchi ®), blender (Philips), erlenmeyer (Pyrex), timbangan analitik (Precisa ®), gelas ukur (Pyrex ), ®
gelas kimia, waterbath, corong, hot plate, oven (Gallenkamp Civilab-Australia), botol vial, toples, masker, sarung tangan, mikroskop elektrik, kaca objek, kaca penutup, spektrofotometer 20 D, kuvet, stirrer, pinset, gunting bedah, talenan, tissu cassette, freezer (-20oC), microtome, pisau bedah, spoit, sonde dan kandang mencit. 2.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah buah Wualae ( Etlingera elatior (Jack) R.M Smith), tikus jantan, kapas, tissue, aluminium foil, reagen Dragendorff, metanol, HCl pekat, H 2SO4 pekat, FeCl 3, kloroform, asetat anhidrat,
29
alkohol 70% alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol absolut, aquadest, Na CMC, eter, NaCl 0,9%, formalin 10%, larutan Hematoksilin-Eosin, Xylol, dan Paraffin. D.
Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri atas 2 variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. 1.
Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol dari buah Wualae ( Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith). 2.
Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkah laku dan histopatologi organ jantung, paru-paru, dan limpa pada tikus jantan. E.
Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya kekeliruan maka dijelaskan definisi oprasional variabel sebagai berikut: 1.
Ekstrak etanol buah Wualae adalah maserat kental yang diperoleh dari tanaman Wualae( Etlingera elatior (Jack) R.M Smith) yang diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% yang kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary vacum evaporator.
2.
Skrining
fitokimia
merupakan
metode
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol buah Wualae ( E. elatior ). 3.
Uji Toksisitas Akut adalah uji untuk menentukan efek toksik senyawa yang terjadi dalam waktu kurang dari sampai 24 jam setelah pemberian ekstrak
30
etanol buah Wualae serta melihat gambaran histopatologi pada organ jantung, paru-paru, dan limpa. 4.
Histopatologi organ adalah organ jantung, paru-paru dan limpa untuk dilihat tingkat kerusakan pada organ tikus.
F.
Prosedur Penelitian
1.
Determinasi Tanaman
Bahan yang akan digunakan adalah buah Wualae( Etlingera elatior (Jack) R.M.Smith). Sebelum dilakukan penelitian terhadap tumbuhan, terlebih dahulu akan dideterminasi untuk mengidentifikasi jenis dan memastikan kebenaran simplisia. Determinasi dilakukan di laboratorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)Cibinong. 2.
Penyiapan Sampel
a.
Preparasi Sampel Buah Wualae
Sampel buah Wualae ( Etlingera elatior (Jack) R.M.Smith), diperoleh dan dikumpulkan dari kelurahan Sambeani, Kecamatan Abuki, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Preparasi dilakukan dengan memotong-motong sampel yang sebelumnya telah dibersihkan, selanjutnya dikeringkan dan dihaluskan hingga menjadi serbuk. Serbuk tersebut kemudian ditimbang dan diperoleh bobotnya. b.
Proses Ekstraksi
Simplisia buah dimaserasi dengan etanol 96% selama 3 x 24 jam, kemudian disaring untuk mendapatkan filtrat dan residu. Filtrat yang diperoleh kemudian
31
digabungkan dan dipekatkan menggunakan ratory vacum evaporator pada suhu tidak lebih dari 60ºC sehingga diperoleh ekstrak kental (Sharon dkk, 2013). c.
Skrining Fitokimia
1.
Uji Alkaloid
Sebanyak 1 mL ekstrak direaksikan dengan reagen Dragendorff, terjadi endapan merah orange menunjukkan positif alkaloid (Setyowati, dkk., 2014). 2.
Uji Flavonoid
Ekstrak dilarutkan dalam methanol panas dan ditambahkan 0,1 gram serbuk Mg dan 5 tetes HCl pekat, terbentuk warna jingga menunjukkan positif flavonoid (Setyowati, dkk., 2014). 3.
Uji Saponin
Sebanyak 1 mL ekstrak dilarutkan dengan 20 mL aquadest dan dikocok selama 15 menit membentuk lapisan sabun 1 cm, menunjukkan positif saponin (Setyowati, dkk., 2014). 4.
Uji Tanin
Ekstrak dilarutkan dalam 10 mL akuades kemudian disaring dan filtrat ditambahkan dengan 3 tetes FeCl 3 (Setyowati, dkk., 2014). 5.
Uji Terpenoid
Ekstrak dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 mL asetat anhidrida dan menetesi campuran dengan 2 mL H 2SO4 pekat melalui dinding tabung, terbentuk warna coklat kemerahan menunjukkan positif terpenoid (Setyowati, dkk., 2014).
32
d.
Karakteristik Ekstrak
Karakterisasi ekstrak meliputi penetapan sari larut air, sari larut etanol, penetapan kadar air dan kadar abu. 1.)
Penetapan Kadar Air
Sebanyak 10 gram ekstrak dimasukkan ke dalam labu destilasi yang telah terhubung dengan alat destilasi, yang telah terisi dengan 200 mL toluen. Kemudian panaskan pada suhu 105 oC selama 2 jam. Setelah 2 jam diukur volume air yang ditampung pada tabung pengukur (Isnawati, 2013). 2.)
Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 gram ekstrak dimasukkan ke dalam krus silica bertutup yang telah ditara. Kemudian dipijarkan dengan panas 700-800 oC sampai arang habis kemudian didinginkan ditimbang jika arang tidak habis tambahkan dengan air panas dan disaring. Filtrat dipanaskan sampai berat tetap (Isnawati, 2013). 3.)
Kadar Sari Larut Etanol
Sebanyak 5 gram ekstrak ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam botol bertutup dan dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95 %. Kemudian dikocok dengan menggunakan shaker selama 6 jam kemudian disaring. Hasil saringan diambil 20 ml filtrat dan masukkan ke dalam cawan yang susah ditara. Cawan dipanaskan pada suhu 110 oC sampai berat konstan (Isnawati, 2013). 4.)
Kadar Sari Larut Air
Sebanyak 5 gram ekstrak ditimbang lalu dimasukkan ke dalam botol bertutup dan dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air. Kemudian dikocok dengan menggunakan shaker selama 6 jam kemudian disaring.Hasil saringan
33
diambil 20 mL filtrat dan masukkan ke dalam cawan yang susah ditara. Cawan dipanaskan pada suhu 110 oC sampai berat konstan (Isnawati, 2013). 3.
Penyiapan Bahan
a.
Pembuatan Suspensi Na-CMC 0,5%
Ditimbang Na-CMC sebanyak 0,5 g kedalam gelas kimia ditambahkan 100 mL aquades diaduk sambil dipanaskan diatas hot plate. Didinginkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diaduk sampai homogen. b.
Pembuatan Sediaan Uji
Sediaan uji dibuat denganmensuspensikan ekstrak uji kedalam Na-CMC 0,5% dengan volume pemberian yang disesuaikan dengan berat badan hewan coba. Suspensi yang telah siap diberikan per oral kehewan uji. 4.
Pengelompokkan Hewan Uji
Hewan uji dikelompokkan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus federer (t-1) (n-1) ≥ 15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan (Ridwan, 2013). (t-1)(n-1) ≥ 15 (4-1)(n-1) ≥ 15 3n - 3 ≥ 15 3n ≥ 18 n ≥ 6. Antisipasi unit hilang : N = n/(1-F), dimana F= 10% dan N adalah besar koreksi N = 6 /(1-10%)
34
N = 6/(0,9) N = 6,6 = 7 Hewan uji dikelompokan menjadi 4 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 7 hewan uji.
Kelompok tersebut terdiri dari kelompok perlakuan
(dosis 500 mg/kgBB, dosis 5000 mg/kgBB, dan dosis 15000 mg/kgBB), kelompok kontrol negatif (Na. CMC 0,5%). Kelompok kontrol negatif digunakan untuk melihat perbandingan efek toksik yang dihasilkan. 5.
Aklitimasi hewan uji
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus jantan galur wistar berumur 3 bulan dengan berat badan 200-300 gram. Sebelum dilakukan percobaan, semua hewan uji diaklimatisasi selama 1 minggu untuk proses adaptasi dengan lingkungan. 6.
Perlakuan Hewan Uji
Hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok I sebagai kontrol negatif, tikus diberikan NaCMC 0,5%. Kelompok II, tikus diberikan ekstrak dosis 500 mg/KgBB. Kelompok III, tikus diberikan ekstrak dosis 5000mg/kgBB. Dan Kelompok IV, tikus diberikan ramuan 15000 mg/KgBB. 7.
Uji Toksisitas
a.
Penentuan Nilai LD50
Penentuan nilai LD50 dilakukan dengan membagi tikusmenjadi 4 kelompok perlakuan. Setiap kelompok terdiri dari 7 ekor tikus jantan. Tikus sebelumnya diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7 hari. Selama aktilimisasi tikusditimbang setiap hari untuk mendapatkan bobot yang tetap. Pada pengujian toksisitas akut ini
35
digunakan 3 tingkat dosis pada 3 kelompok perlakuan, sedangkan 1 kelompok perlakuan lainnya yaitu sebagai kelompok kontrol negatif yang hanya diberi larutan Na-CMC 0,5%. Dosis terkecil yang digunakan adalah 500 mg/KgBB sehingga variasi dosis yang digunakan adalah 5000 mg/KgBB, dan 15000 mg/KgBB. Sebelumnya pada hari ke-0 dilakukan penimbangan tikus dan diamati aktifitasnya, kemudian pada hari ke-1 diberikan larutan uji ekstrak buah Wualae. Sebelum penyondean, tikus dipuasakan terlebih dahulu dan masih diberi minum secukupnya selama 14-18 jam. Ekstrak diberikan secara oral dengan menggunakan sonde. Setelah pemberian ekstrak, diamati gejala dan tanda toksisitas yang terjadi selama 3-4 jam pertama. Kemudian setelah 24 jam diamati kembali dan dihitung jumlah tikus yang mati dari tiap kelompok. Bila terdapat tikus yang mati maka dilakukan pembedahan secara melintang dan dilakukan penimbangan terhadap organ jantung, paru-paru, dan limpa. Pengamatan dilanjutkan hingga 14 hari, sedangkan pada hari ke-15 untuk tikusyang masih bertahan dikorbankan dengan cara dibius, lalu dibedah dan diambil organ jantung, paru-paru, limpa dan dibandingkan dengan kontrol negatif. Setelah itu dihitung nilai LD 50 dengan menggunakan metode Weil. Selain pengamatan untuk menghitung nilai LD 50dilakukan juga pengamatan fisik terhadap gejala-gejala toksik selama 24 jam dan pada 3 jam pertama yang dilakukan secara intensif terhadap semua kelompok perlakuan. 8.
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi organ dilakukan dengan pengambilan organ terlebih dahulu. Cara pengambilan organ tikus, yaitu:
36
a.)
Tikus yang akan dibedah dibunuh dengan cara pembiusan menggunakan fenobarbital injeksi.
b.)
Tikus yang sudah mati kemudian ditelentangkan pada papan bedah atau talenan.
c.)
Kulit perut bagian bawah mencit diangkat dengan pinset, kemudian pada bagian tersebut digunting menggunakan gunting bedah untuk memberi jalan bagi pembedahan.
d.)
Dari bagian pengguntingan tersebut ke arah perut atas dari sisi kanan dan kiri hingga mencapai bagian bawah kedua kaki depan tikus sehingga seluruh bagian organ rongga perut mencit tersebut terlihat.
e.)
Pengambilan organ dengan menggunakan gunting bedah. Setelah pengambilan organ kemudian dilakukan pemeriksaan organ untuk
melihat pengaruh pemberian campuran ekstrak buah Wualae terhadap organ tikus. Organ yang akan diperiksa adalah organ jantung, paru-paru dan limpa. Organ yang diambil dicuci terlebih dahulu menggunakan NaCl 0,9% kemudian ditimbang berat organ. Organ selanjutnya difiksasi menggunakan larutan formalin 10%. Organ yang telah difiksasi kemudian didehidrasi menggunakan alkohol bertingkat dengan konsentrasi 70, 80, 90, dan 95 % masing-masing selama 24 jam dan dilanjutkan dengan alkohol 100% selama satu jam serta dilakukan pengulangan tiga kali. Proses selanjutnya penjernihan menggunakan xilol tiga kali selama satu jam kemudian diinfiltrasi dengan parafin. Organ ditanam dalam media parafin dan selanjutnya dilakukan penyayatan jaringan dengan ketebalan 4-5 mikron. Hasil sayatan dilakukan pewarnaan menggunakan Hematoksilin Eosin
37
(HE) dan dianalisis menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100x kemudian dilanjutkan dengan pembesaran 400x (Sari, 2016) 9.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif.
38
DAFTAR PUSTAKA
Adityo, R., Kurniawan, B., dan Mustofa, S., 2012, Uji Efek Fraksi Metanol Ekstrak Batang Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Larvasida Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti, ISSN 2337-3776. Akbar B., 2010, Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi sebagai Bahan Antifertilitas, Adabia Press, Jakarta. Amaliyah, F. R., 2015, Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Air Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Terhadap Berat Jantung dan Histologi Jantung Tikus Putih ( Rattus norvegicus) Betina, Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Apriliani, D, Anna P.R., dan Waras N., 2015, Aktivitas Hepatoproteksi Ekstrak Polifenol Buah Delima ( Punica granatum L.) terhadap Tikus Putih yang diinduksi Paracetamol, Jurnal Kedokteran Yarsi, Vol. 23 (3). Arome D., Chinedu E., 2013, The Importance of Toxicity Testing, J. Pherm. BioSci, 4(2013), 146-148. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2011, Mari Minum Obat Bahan Alam dan Jamu dengan Baik dan Benar , 13(3), 1-12. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2014, Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo, Jakarta. Bloom, W., dan Fawceet, D., 1994, A Text Book of Histology, Edisi Duabelas. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Boya, R., D., 2011, Pengaruh Ekstrak Akar Pasak Bumi ( Eurycoma longifolia) Terhadap Struktur Histologi Sel Hepar Mencit yang Dipaparkan Paracetamol, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Budiawan, I, G, O., Suwiti, N. K., Suwantika, I. P., dan Besung, I. N. K., 2013, Pengaruh Pemberian Pegagan (Catella asiacita) Terhadap Gambaran Mikroskopis Limpa Mencit yang Diinfeksi Salmonella typhi, Buletin Veteriner Udayana, 5(1). Chan, E.W.C., Lim, Y.Y., dan M. Omar. 2007, Antioxidant and Antibacterial Activity of Leaves of Etlingera species (Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia, Food Chemistry. Vol. 104: 1586-1593. Chan, E.W.C., Lim, Y.Y., dan Wong, S.K., 2011, Phytochemistry and Pharmacological Propertiesof Etlingera elatior : A Review, , 2(22). Pharmacognosy Journal
39
Darmansjah, I., 1995, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. Dellman, D., dan Brown, E., 1989, Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah Hartono, Ed.3, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 94-103. Departemen Kesehatan RI, 2000, Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat , Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, 1-17. Departemen Kesehatan RI, 2000, Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional. Ed.1, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, 1-12. Dewoto, H. R., 2007, Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia, 57 (7): 205-21. Dwiatmini, K.S., Kartikaningrum, dan Sulyo Y., 2009, Induksi Mutasi Kecombrang ( Etlingera Elatior ) Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma, J. Hort. Vol. 19(1). Eroschenko, V. P., 2003, Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Ed. 9, EGC, Jakarta. Fitria, L., Mulyati., Cut M. T., dan Andreas S. B., 2015, Profil Reproduksi Jantan Tikus ( Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) Galur Wistar Stadia Muda, Pradewasa, dan Dewasa, Jurnal Biologi Papua, Vol. 7 (1) Gupta, D., and Bahardwaj, S., 2012, Study of Acute, Subacute, and Chronic Toxicity Test, International Journal of Advanced of Research in Pharmacautical & Bio Science, 2(2), 103-129. Handa, S. S., Rakesh D. D., and Vasisht K., 2006, Compendium of Medicinal and Aromatic Plants Volume II Triest : United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) – International Center For Science and High Technology (ICS), Italian. Handayani, S., Meiyanto, E., Jenie, R. I., dan Susidarti, R. A., 2012, Toksisitas Akut Ekstrak Etanolik Biji Buah Pinang ( Areca catechu L.) terhadap Tikus Jantan Galur Sprague Dawley, Jurnal CCRC , Universitas Gadjah Mada. Handayani V, Roskiana AA, Sudir M. 2014. Uji aktivitas antioksidan dan ekstrak metanol bunga dan daun patikala (etlingera elatior(jack) r.m.sm) menggunakan metode DPPH. Pharm Sci Res, 1(2).
40
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan ke-2 cetakan ke-4. Bandung: ITB Press. Hidayat, S.S dan Hutape Jr. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I: 440-441. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hidayat, S.R., dan Napitupulu, R.M., 2015, Kitab Tumbuhan Obat, Penebar Swadaya Grup, Jakarta. Isnawati, Ani, Alegentina, Sukmayati, dan Widowati, Lucie, Karakterisasi Ekstrak Etanol Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L)Sebagai Tanaman Obat Pelancar Asi, Buletin Penelitian Kesehatan, 41(2). Khasanah, N., 2009, Pengaruh Pemberian Ekstrak Jintan ( Nigella sativa) Terhadapn Respon Poliferasi Limfosit Limpa Mencit Balb/C yang Diinfeksikan Salmonella typhimurium, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Krinke, G. J., 2000, The Handbook Of Experimental Animal The Laboratory Rat, Academy Press, New York. Kusumawati, E., Supriningrum, R., dan Rozadi, R., 2015, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Kecombrang Etlingera elatior (Jack) R.M Smith Terhadap Salmonella typhi, Jurnal Ilmiah Manuntung , 1(1), 1-7. Lenny, S. 2006, Senyawa Flavonoida, Fenilpropanolamida dan Alkaloida, Karya Ilmiah, Departemen Kimia FMIPA. Universitas Sumatera Utara, Medan. Lingga, A, R., Usman Pato, dan Evy Rossi, 2015, Uji Antibakteri Ekstrak Batang Kecombrang (Nicolaia Speciosa Horan) terhadap Staphylococcus Aureus dan Escherichia Coli, JOM Faperta, Vol. 2 (2). Loomis, 1978, Toksikologi Dasar Edisi Ke-3, IKIP Semarang Press, Semarang. Lu, Frank C., 1995, Toksikologi Dasar , UI-Press, Jakarta. Lu, Frank C., 2010, Toksikologi Dasar , UI-Press, Jakarta. Maimulyanti A., dan Prihadi A. R., 2015. Chemical Composition, Phytochemical and Antioxidant Activity From Extract of Etlingera elatior Flower from Indonesia. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 3(6).
41
Makiyah, S. N., Iszamriach R., dan Nofariyandi A., 2014, Paparan Ultraviolet C Meningkatkan Diameter Pulpa Alba Limpa dan Indeks Mitotik Epidermis Kulit Mencit, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. Mardisadora O. 2010. Identifikasi dan Potensi Antioksi dan Flavonoid Kulit Kayu Mahoni(Swieteniamacrophylla King). Skripsi. Departemen Biokimia. Institusi Pertanian Bogor. Mitruka, BRIJ.M., Howard M.R., 1977, C linical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal Experimental Animal, MASSON Publishing USA, Inc, New York. Mukhriani, 2014, Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif, Jurnal Kesehatan, VII(2) . Naufalin, R. dan H. S. Rukmini. 2010, Antimicrobial Affectivity of Kecombrang ( Nicolaia speciosa) The Effect of Kecombrang Plants Into Food Bacteris And Fungi, Proceedings of Third International Conference on Mathematics and Natural Sciences, Vol. 8 (2). Nuafalin, R., Herastuti, S. R., and Wicaksono, R., 2012, Nanoencapsulant Formulation Based On Kecombrang Fruit Nicolaia speciosa and its Usage As Antimicrobial, ResearchGate, Universitas Jendral Soedirman. Nuafalin, R., and Herastuti, S. R., 2017, Antibacterial Activity of Nicolaia speciosa Fruit Extract, International Food Research Journal , 24(1), 379389. Pohan, S. D., Prastowo, P., Lubis, K., 2016, Uji Toksisitas Ekstrak Srikaya Annona squamosa linn.) Pada Hewan Mencit( Mus musculus), Jurnal Bisains, 2(2). Pratama dan Aldila A., 2010, Hubungan Antara Lama Waktu Kematian Dengan Kerusakan Histopatologik Otot Jantung Tikus Wistar , Artikel Karya Tulis Ilmiah, Universitas Diponegoro, Semarang. Price S. A., dan Wilson L. M., 1994, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 4 Buku 1 & 2, EGC. Jakarta. Ridwan, Endi, 2013, Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalamPenelitian Kesehatan, Jurnal Indonesia Medical Association, 63(3). Sahidin, I. 2012. Mengenal Senyawa Alami Pembentukan dan Pengelompokan Secara Kimia.Kendari: Unhalu Press.
42