PRESENTASI KASUS IKTERUS OBSTRUKTIF ec Choledocolithiasis
oleh : Siti Binayu Adzani 41151096100098
Pembimbing : dr. Taslim Poniman, SpB (K) BD
KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RSUP FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi Kasus dengan judul “Ikterus Obstruktif ec Choledocolithiasis” yang diajukan oleh Siti Binayu Adzani (NIM : 41151096100098), telah diterima dan disetujui oleh pembimbing. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu bedah di RSUP Fatmawati periode 13 Maret 2017- 19 Mei 2017.
Jakarta,
Maret 2017
dr. Taslim Poniman, SpB (K) BD
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ikterus Obstruktif ec Choledocolithiasis”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada : 1. Dr. Taslim Poniman, SpB(K)BD selaku pembimbing presentasi kasus ini. 2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. 3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah ini sangat kami harapkan. Demikian, semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam bidang bedah.
Jakarta, Maret 2017
Siti Binayu Adzani 41105196100098
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................ii KATA PENGANTAR………………………………..……………………………….….iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...iv BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………………...5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………………...………………………………………..6 2.1 Anatomi Sistem Hepatobilier………………………………………………..……6 2.2 Fisiologi Sistem Hepatobilier………………………………………………......10 2.3 Metabolisme Bilirubin Normal………………………………………………….12 2.4 Ikterus……………………………………………………………...…………....14 2.5 Obstruksi bilier………………………………………………………………….16 2.6 Batu Empedu……………………………………………………………………20 2.7 Koledokolitiasis…………………………………………………………………24 2.8 Tatalaksana…………………………………………………….………………..26 BAB 3. ILUSTRASI KASUS ..........................................................................................30 BAB 4. ANALISA KASUS……………………………………………………………..40 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Hal tersebut terjadi ketika konsentrasi bilirubin 2-2,5 mg/dL. Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial.1 Ikterus obstruksif adalah ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran empedu antara hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran empedu ekstra hepatika. Ikterus obstruksi disebut juga ikterus kolestasis dimana terjadi stasis sebagian atau seluruh cairan empedu dan bilirubin ke dalam duodenum.2 Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang per tahun di AS. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu empedu). Risiko terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile. Koledokolitasis merupakan terbentuknya satu atau lebih batu empedu di saluran empedu, bisa pembentukan primer di saluran empedu atau ketika batu empedu lewat dari kantung empedu melalui duktus sistikus menuju saluran empedu. Diagnosis dapat didapatkan melalui klinis maupun pemeriksaan penunjang. Penanganan yang dilakukan dapat berupa ekstraksi batu atau kolesistektomi. 2 Prognosis pasien dengan ikterus obstruktif bergantung kepada adanya komplikasi dan keparahan yang terjadi. Komplikasi kolestatis sesuai dengan durasi dan intensitas jaundice, berupa sirosis bilier sekunder, kolangitis, pankreatitis, syok septik bahkan kematian.1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER 2.1.1. Hepar Hepar merupakan organ visceral terbesar yang ada di rongga abdomen. Berada di bagian atas rongga abdomen yaitu region hipokondrium dextra dan epigastrium. Permukaan hepar terbagi menjadi dua, permukaan diafragmatika dan permukaan visceral. Permukaan diafragmatika meliputi daerah anterior, superior, dan posterior. Permukaan visceral meliputi daerah inferior.3
Gambar 1. Posisi hepar di rongga abdomen. (Drake RL, 2007)
Permukaan diafragmatika terletak di bawah diafragma. Permukaan diafragma terkait dengan subphrenic dan hepatorenal recess. Subphrenic recess memisahkan permukaan diafragmatika hepar dari diafragma dan terbagi dibagi menjadi dua area dextra dan sinistra oleh ligament falciform. Hepatorenal recess merupakan bagian dari kavum peritoneum pada sisi kanan diantara hepar dan ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.3
Permukaan visceral hepar dilapisi dengan peritoneum viseral, kecuali fossa kandung empedu dan porta hepatis. Struktur yang terkait, meliputi pars anterior dextra gaster, pars superior duodenum, lesser omentum, kandung
empedu, fleksura
kolon dextra, kolon transversum sisis kanan, ginjal kanan, dan kelenjar suprarenal kanan.3
Gambar 2. Hepar dilihat dari depan (A), dari bawah (B), dari belakang (C)
2.1.2. Kandung Empedu Kandung empedu merupakan kantung dengan bentuk seperti buah pir dengan panjang 7 sampai 10 cm dan rata-rata kapasitas penyimpanan 30 sampai 50 ml. Ketika terjadi obstruksi, kandung empedu dapat terdistensi dan bisa menampung sampai 300 ml. kandung empedu terletak di fossa pada permukaan viseral hepar. Kandung empedu terbagi menjadi empat area, meliputi fundus, korpus, infundibulum, dan neck. Fundus berbentuk melengkung yang normalnya memiliki jarak 1 sampai 2 cm dari tepi hepar. Fundus merupakan area yang memiliki paling banyak otot polos, sebaliknya korpus terdiri dari banyak jaringan elastin sehingga berfungsi sebagai area penyimpanan. Neck akan semakin membesar sampai menjadi infundibulum atau Hartmann’s pouch.4
Gambar 3. Anatomi bilier aspek anterior.(Brunicardi FC, 2010)
Keterangan gambar: a. Duktus hepatik dextra b. Duktus hepatik sinistra c. Duktus komunis hepatik d. Vena porta e. Arteri hepatik f. Arteri gastroduodenal
g. Arterigaster sinistra h. Duktus biliaris komunis i. Fundus kantung empedu j. Badan kantung empedu k. Infundibulum l. Duktus sistikus m. Arteri sistikus n. Arteri superior pankreatikduodenal
5
Kandung empedu dilapisi oleh epitel kolumnar selapis yang mengandung kolesterol dan lemak. Mukus yang disekresi ke dalam kandung empedu berasal dari kelenjar tubuloalveolar yang berada di mukosa yang melapisi infundibulum dan neck kandung empedu. Kelenjar tubuloalveolar ini tidak ditemukan di korpus dan fundus kandung empedu.4 2.1.3.Duktus Bilier Duktus bilier ekstrahepatik terdiri dari duktus hepatica dextra dan sinistra, common hepatic duct, cystic duct, dan common bile duct (choledochus). Common bile duct masuk ke duodenum melalui sfingter Oddi. Duktus hepatica sinistra lebih panjang daripada duktus hepatika dextra dan cenderung mengalami dilatasi jika terjadi obstruksi distal. Common hepatic duct memiliki panjang 1 sampai 4 cm dengan diameter sekitar 4 mm. Common bile duct memiliki panjang 7 sampai 11 cm dan diameter 5 sampai 10 mm. Duktus empedu ekstrahepatika dilapisi oleh mukosa kolumnar dengan sejumlah kelenjar mukus pada common bile
duct. Terdapat jaringan fibroareolar yang mengandung sel otot polos yang
mengelilingi mukosa.4
Gambar 4. Sfingter Oddi. (Brunicardi FC, 2010)
6
2.2. FISIOLOGI SISTEM HEPATOBILIER 2.2.1. Fisiologi Hepar Hepar memiliki berbagai macam fungsi, meliputi:5 1. Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah. Ada dua macam darah pada hepar, yaitu darah portal dari usus dan darah arterial, yang keduanya akan bertemu dalam sinusoid. Darah yang masuk sinusoid akan difilter oleh sel Kupffer.5 2. Fungsi metabolik. Hepar memegang peran penting pada metabolisme karbohidrat, protein, lemak, vitamin.5 3. Fungsi ekskretorik. Banyak bahan di ekskresi hepar di dalam empedu, seperti bilirubin, kolesterol, asam empedu dan lain-lain.5 4. Fungsi sintesis. hepar merupakan sumber albumin plasma, banyak globulin plasma, dan banyak protein yang berperan dalam hemostasis.5
2.2.2. Fisiologi Empedu Empedu disekresikan dalam dua tahap oleh hepar, yaitu pertama, bagian awal disekresikan oleh hepatosit. Sekresi awal ini mengandung sejumlah besar empedu, kolesterol, dan zat-zat organik lainnya. Kemudian empedu disekresikan ke dalam kanalikuli biliaris. Kedua, empedu mengalir di dalam kanalikuli menuju septa interlobularis dan kemudian ke dalam duktus yang lebih besar, akhirnya mencapai duktus hepatikus dan duktus biliaris komunis.5 Dalam perjalanannya melalui duktus-duktus biliaris, bagian kedua dari sekresi hepar ditambahkan ke dalam sekresi empedu yang pertama. Sekresi tambahan ini berupa larutan ion-ion natrium dan bikarbonat encer yang disekresikan oleh sel-sel epitel sekretoris yang mengelilingi duktulus dan duktus. Sekresi kedua ini dirangsang terutama oleh sekretin, yang menyebabkan pelepasan sejumlah ion bikarbonat tambahan sehingga menambah jumlah ion bikarbonat dalam sekresi pankreas untuk menetralkan asam yang di keluarkan dari lambung ke abdomen. Empedu utamanya terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen empedu. Empedu memiliki natrium, kalium, kalsium, dan klorin dengan konsentrasi yang sama pada plasma atau cairan ekstrasel. Empedu memiliki pH yang netral atau sedikit basa, tapi bervariasi tergantung diet. Peningkatan konsumsi protein membuat pH empedu menjadi lebih asam.4
7
Empedu utamanya terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen empedu. Empedu memiliki natrium, kalium, kalsium, dan klorin dengan konsentrasi yang sama pada plasma atau cairan ekstrasel. Empedu memiliki pH yang netral atau sedikit basa, tapi bervariasi tergantung diet. Peningkatan konsumsi protein membuat pH empedu menjadi lebih asam.4 Sekitar 80% bilirubin terkonjugasi akan diabsorbsi di ileum terminal. Sisanya akan di dehydroxylated (deconjugated) oleh bakteri usus, menjadi asam empedu sekunder deoxycholate dan lithocholate. Deoxycholate dan lithocholate akan diabsorbsi di kolon, lalu ditranspor ke , dikonjugasi, dan disekresi ke dalam empedu. Sekitar 95% asam empedu di reabsorbsi dan kembali ke system vena porta ke yang disebut sirkulasi enterohepatika. Sekitar 5% akan di ekskresi di feses.4
Gambar 5. Sirkulasi enterohepatika.(Acosta J, 2007)
8
2.3. Metabolisme Bilirubin Normal Tahapan metabolisme bilirubin berlangsung melalui 3 fase yaitu fase prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik, atau dikenal juga melalui tahapan 5 fase yaitu (1) fase pembentukan bilirubin dan (2) transpor plasma, terjadi pada fase prahepatik, (3) liver uptake dan (4) konyugasi, pada fase intrahepatik, serta (5) ekskresi bilirubin pada fase ekstrahepatik. 4.5.6
a. Fase Prahepatik Sekitar 250 sampai 350 mg biliburin terbentuk setiap harinya, 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20- 30% (early labeled bilirubin) dari protein heme lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hepar. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantara enzim hemeoksigenasi. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Pembentukan early labeled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif.9 Bilirubin tidak larut dalam air, sehingga transport bilirubin tak terkonjugasi dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam urine. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan pemakaian antibiotika tertentu.9 b. Fase Intrahepatik Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hepar memerlukan protein sitoplasma atau protein penerima, yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hepar mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida atau bilirubin konyugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil transferase menghasilkan bilirubin yang larut air. 9 c. Fase Pascahepatik Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen.
9
Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin unkonyugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonyugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonyugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hepar, bilirubin tak terkonyugasi mengalami proses konyugasi melalui enzim glukonil transferase dan larut dalam empedu cair.
Gambar 6. Metabolisme Normal Bilirubin.
10
2.4. IKTERUS 2.4.1. DEFINISI Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin seperti sklera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum normal adalah bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL.7 Ikterus obstruktif adalah ikterus dengan bilirubin conjugated tinggi yang dapat bersifat akut atau kronik dengan dilatasi atau tanpa dilatasi saluran empedu yang disebabkan karena adanya hambatan dalam pengaliran empedu dari sel hepar yang menuju duodenum, sehingga bilirubin menumpuk di dalam aliran darah.
2.4.2. KLASIFIKASI Berikut ini merupakan klasifikasi ikterus obstruktif secara garis besar antara lain:6 1. Kolestasis intrahepatik. Aliran empedu dapat terjadi dimana saja, dari mulai sel hepar (kanalikulus), sampai ampula Vater. Penyebab paling sering kolestatis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hepar akibat alkohol dan penyakit hepar autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hepar bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastasis.6 2. Kolestasis ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu ductus choledochus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis
atau
pseudocyst
pankreas
dan
cholangitis
sclerosing.kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanisme empedu. Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya belum jelas, sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.6
11
2.4.4. DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis ikterus, terdapat sebuah alur diagnosis. Pasien dengan ikterus dilakukan anamnesis serta pemeriksaan fisik lalu ditentukan kecurigaan apakah ikterus yang terjadi karena obstruksi bilier ekstrahepatika atau karena penyakit intrahepatika.9
\ Gambar 7. Alur diagnosis pasien ikterus.(Acosta J, 2007)
12
2.5. Obstruksi Bilier 2.5.1. Definisi Obstruksi bilier (kolestasis) merupakan suatu keadaan dimana terganggunya aliran empedu dari hepar ke kandung empedu atau dari kandung empedu ke usus halus. Obstruksi ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam biliari sistem mulai dari saluran empedu yang kecil (kanalikuli) sampai ampula Vateri. Penyebab obstruksi bilier secara klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran empedu. 4 2.5.2. Epidemiologi Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung pada penyebab terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu empedu). Di Amerika Serikat, 20% orang tua berusia ≥65 tahun menderita kolelitiasis (batu empedu) dan 1 juta kasus baru batu empedu didiagnosa setiap tahunnya. Resiko terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile. Resiko terjadinya batu empedu meningkat pada usia >40 tahun. Insiden teringgi terjadi pada usia 50-60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria. Hampir 25% wanita AS menderita batu empedu dengan 50% diantaranya berusia 75 tahun, dan 20% pria dengan usia yang sama menderita batu empedu. Rasio penderita wanita terhadap pria yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan berkurang menjadi >2:1 pada usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain obesitas terutama pada wanita, kehamilan, penurunan berat badan yang cepat, kontrasepsi oral, dan diabetes mellitus.4.5 Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang dibuktikan oleh prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai berbagai bangsa dan kelompok etnik tertentu. Prevalensi paling menyolok pada suku Indian Pima di Amerika Utara (>75%), Chili dan kaukasia di Amerika Serikat. Prevalensi terendah pada orang Asia.4.5 Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%), berhubungan dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus paling banyak ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya 10%. 25% dari batu empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and berbagai material organik lainnya) 13
berhubungan dengan hemolisis dan sirosis. Sedangkan batu pigmen hitam ditemukan pada kolelitiasis yang tidak sembuh dengan medikamentosa.4.5 Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu pigmen sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika. Walaupun demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika, terutama di Jepang ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.4.5 Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat. 4.5 2.5.3. Etiologi dan Patogenesis Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif. Ikterus (jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam darah. Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin heme dari metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan ini menunjukkan kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl, sedangkan jika ikterus jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin diperkirakan sudah mencapai 7 mg/dl. Obstruksi bilier (kolestasis) secara etiologi dibedakan menjadi 2 bagian yaitu intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu : 4.5.6 1. Obstruksi bilier (kolestasis) intrahepatik Kolestasis intrahepatik umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli. Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hepar karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hepar bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit-penyakit lain yang jarang. Peradangan
intrahepatik
mengganggu
ekskresi
bilirubin
terkonjugasi
dan
menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak 14
menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi dapat berjalan kronik dan menahun, dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hepar. Alkohol dapat mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, sehingga mengakibatkan kolestasis. Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hepar bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul kemudian. Kolangitis sklerosis primer (Primary Sclerosing Cholangitis/PSC) merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering pada laki-laki, dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan usus. PSC dapat mengarah pada kolangio karsinoma. Obat seperti anabolik steroid dan klorpromazid sekarang diketahui merupakan penyebab langsung dari kolestasis dengan mekanisme yang tidak diketahui. Golongan diuretik tiazid dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu empedu. Amoksisillin dengan asam klavulanat (Augmentin) sering menyebabkan kolestasis akut yang menyerupai keadaan obstruksi bilier. Drug induced jaundice memberikan gejala pruritus, namun hanya terdapat pada sebagian pasien, dan gejala ini segera hilang apabila penggunaan obat tersebut dihentikan. 2.
Obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik Penyebab paling sering obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis, dan kolangitis sklerosing, AIDS-related cholangiopathy, TB bilier, dan infeksi parasit (Ascaris lumbricoides). Kolestasis mencermin kegagalan seksresi empedu.
15
Gambar 8. Klasifikasi Ikterus
2.5.4. Gejala Klinis Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna urin menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat, tinja pucat akibat terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta mengandung banyak lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus halus sehingga absorpsi lemak terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, sakit tulang karena\ absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang sehingga lama kelamaan jaringan tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi vitamin K terganggu dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran keluhan seperti yang disebutkan tidak tergantung penyebabnya. Selain itu dapat disertai keluhan sakit perut, dan gejala sistemik (seperti anoreksia, muntah, demam), atau tambahan gejala lain yang tergantung pada penyebab terjadinya obstruksi bilier.4.5.6 Pasien dengan obstruksi bilier karena batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala. Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier yaitu nyeri
16
diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut kanan atas atau epigastrium yang dapat menjalar ke punggung bagian kanan atau bahu kanan. Nyeri ini bersifat episodik dan dapat dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau dapat juga tanpa suatu pencetus dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat dirasakan di daerah substernal atau prekordial atau di kuadran kiri atas abdomen. Batu kandung pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas kadang teraba hepar dan sklera ikterik.4.5.6 Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya kandung empedu teraba (Courvoisier sign). Jika sumbatan karena keganasan kaput pankreas sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang apabila kadar bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik. 4.5.6 2.6. Batu Empedu ( Kolelithiasis ) Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang terletak di dalam kandung empedu, saluran empedu, maupun kedua-duanya. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko, yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. Batu empedu secara umum ditemukan di dalam kandung empedu namun dapat bermigrasi melalui duktus sistikus menjadi batu saluran empedu atau disebut batu saluran empedu sekunder.10,11 Di Negara Barat, 10-15% batu kandung empedu juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan batu saluran empedu dapat terbentuk sendiri tanpa melibatkan kandung empedu hal ini dinamakan batu saluran empedu primer. Komplikasi batu saluran empedu sekunder ini seringkali lebih berat daripada batu saluran empedu primer. 10,11
2.6.1. Patofisiologi dan Tipe Batu Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu: 10,11 a.
Batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70% 17
b.
Batu pigmen coklat dimana mengandung calcium bilirubinate sebagai komponen utama.
c.
Batu pigmen hitam dimana kaya akan residu hitam tak terekstrasi Pembentukan batu kolesterol melewati empat fase yaitu penjenuhan empedu oleh
kolesterol, pembentukan nidus, kristaliasi, dan pertumbuhan baru. Batu pigmen dalam beberapa kasus dikaitkan dengan infeksi bakteri gram negative yaitu E.Coli. 10,11
Gambar 9. Jenis-Jenis Batu Empedu Pada masyarakat barat, didapatkan bahwa batu kolesterol menjadi penyebab tersering batu empedu. Sedangkan di Indonesia, didapatkan batu pigmen sebesar 73%. Ada tiga faktor yang mempengaruhi pathogenesis batu kolesterol yaitu hipersaturasi kolesterol saluran empedu, percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol dan gangguan motilitas pada empedu dan usus. 10,11
2.6.2.Gejala batu kandung empedu Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: a. Pasien dengan batu asimtomatik b.Pasien dengan batu simtomatik c. Pasien dengan komplikasi batu empedu Sebagian besar pasien (80%) dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien didapatkan 50% asimtomatik, 30% kolik biler, 20% mengalami komplikasi. 10,11
Gejala Kolik Bilier:
Nyeri di perut atas lebih dari 30 menit kurang dari 12 jam
Lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi biasa juga di kanan atas
Dipicu saat berubah posisi
Kadang disertai intoleransi makanan berlemak. 18
Pada koledokolitiasis, terdapat riwayat nyeri kolik yang hilang timbul, serta disertai demam dan mengigil bila terjadi kolangitis. Selain itu, muncul ikterus dan buang air kecil gelap seperti teh. 10,11
2.6.3.Komplikasi batu kandung empedu a. Kolesistitis Akut Kurang dari 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis akut. Kolesistis ini dapat pula terjadi tanpa pembentukan batu dinamakan kolesistitis akalkulus akut. Gejala meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual, muntah dan panas. 10,11
Gambar 10. Kolesistitis. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada kanan atas, icterus, teraba kandung empedu membesar, dan tanda-tanda peritonitis. Di samping itu terdapat murphy sign (+) yaitu nyeri tekan bertambah saat penderita menarik napas panjang. Pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, peningkatan enzim hepar, serta kenaikan ringan bilirubin. Hal ini terjadi karena tertutupnya duktus sistikus akibat batu, kemudian terjadi hidrops kandung empedu dan menyebabkan iskemia yang dapat berkembang ke nekrosis dan perforasi. Hal ini diperberat adanya pelepasan enzim fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang merupakan senyawa toksik dan mempercepat peradangan. Selain itu, terjadi peningkatan alkali fosfatase dan GGT. 10,11
19
Gambar 11. Letak nyeri kolik bilier A. Tempat nyeri yang terparah ketika nyeri episodik empedu pada 107 pasien dengan batu empedu. Subxiphoid dan bagian kanan subkostal merupakan daerah yang paling sering, bagian kiri subkostal merupakan daerah yang jarang terasa nyeri. B. Tempat radiasi nyeri.
b. Kolesistitis akalkulus akut Kurang lebih 5-10% kolestitis akut dapat terjadi tanpa batu. Kelainan ini sering ditemukan pada kasus trauma multiple, pasca bedah berat, sepsis, dan keracunan obat, Penyebab lain adalah pasien dipuasakan lama atau dalam nutrisi parenteral dalam waktu yang lama. Kelainan ini disebabkan adanya stasis lumpur empedu. Lumpur empedu mengandung kalsium bilirubinat. Penyebab lain juga adalah infeksi bakteri secara primer yaitu Salmonella thyphi, E.Coli, Clostridium. 10,11 Pasien dengan komplikasi berupa koledokolitiasis, dan kolangitis.Pada koledokolitiasis, terdapat riwayat nyeri kolik yang hilang timbul, serta disertai demam dan mengigil bila terjadi kolangitis. Selain itu, muncul ikterus dan buang air kecil gelap seperti teh. Gejalagejala tersebut disertai muntah dan nausea. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri regio epigastrium ringan ataupun nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala muncul secara intermiten, seperti nyeri dan ikterus. Pada pemeriksaan laboratorium disertai peningkatan enzim alkali fosfatase, dan transmaninase maupun peningkatan bilirubin. 10,11 Pada USG didapatkan dilatasi dari common bile duct (pelebaran diameter > 8 mm. Pada Magnetic Resonance Cholangiography dapat mendeteksi koledokolitiasis ukuran > 5 mm. Gold standar untuk mendiagnosis adalah Endoscopic Cholangiography. Kanulasi ampulla Vater dan kolangiografi diagnostik tercapai pada lebih dari 90% kasus di tangan yang berpengalaman. Endoscopic utrasound memiliki spesifitas 100% dan sensitivitas 91% yang sama baiknya dengan ERCP untuk mendeteksi common bile duct stones. 10,11 Pada kolangitis, terdapat Charcot Triad seperti demam, nyeri pada regio epigastrium ataupun nyeri pada regio kanan atas, dan jaundice. Charcot Triad muncul pada 2 dari 3 20
pasien. Selain terdapat Charcot Triad, ada juga Reynolds' pentad. Reynolds' pentad terdiri dari Charcot Triad disertai dengan gejala septikemia dan disorientasi. 10,11 Pada pemeriksaan fisik tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis akut. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan alkali fosfatase dan enzim transmaninase. Pada USG ditemukan dilatasi common bile duct, dan kemungkinan terdapat pin point. 10,11 2.7.Koledokolitiasis 2.7.1. Definisi Terbentuknya satu atau lebih batu empedu di saluran empedu, bisa pembentukan primer di saluran empedu atau ketika batu empedu lewat dari kantung empedu melalui duktus sistikus menuju saluran empedu. 10,11 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan batu ini di antaranya: 10,11 1. stasis cairan empedu, 2. baktibilia, 3. ketidakseimbangan kimia dan pH, 4. peningkatan ekskresi bilirubin, dan pembentukan lumpur.
Terdapat beberapa jenis batu yakni batu kolesterol, batu pigmen, dan batu pigmen coklat (terdiri dari campuran pigmen dan lipid bilier). Obstruksi saluran empedu oleh batu dapat menyebabkan gejala dan komplikasi berupa nyeri, ikterus, kolangitis, pankreatitis, dan sepsis.10,11
2.7.2.Gejala dan Tanda Pasien dengan koledokolitiasis bisa saja asimtomatis. Namun, gejala yang umum terjadi antara lain nyeri di kuadran kanan atas, bersifat kolik, hilang timbul atau menetap, dapat disertai dengan mual muntah. Ikterus dapat terjadi ketika saluran empedu terobstruksi sehingga bilirubin direk memasuki aliran darah. Demam merupakan tanda terjadinya kolangitis. Tiga gejala trias Charcot yakni demam, ikterus, dan nyeri perut kuadran kanan atas secara kuat menegakkan diagnosis kolangitis. Batu empedu juga dapat berkembang menjadi pankreatitis, apabila obstruksi terjadi di level ampula Vater. Nyeri pankreatik terletak di epigastrik dan midabdominal, tajam, terus-menerus, dan menjalar ke punggung. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan nyeri pada abdomen kuadran kanan atas, ikterus, demam, hipotensi, flushing. Batu saluran empedu dapat primer atau sekunder. Primer apabila 21
terbentuk di saluran empedu, biasanya karena stasis bilier atau baktibilia kronik. Batu yang terbentuk biasanya batu pigmen coklat. Batu sekunder terbentuk dari kantung empedu dan bermigrasi ke saluran empedu, biasanya batu kolesterol dan batu pigmen hitam. 10,11
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, mungkin terjadi leukositosis, peningkatan kadar bilirubin serum (>3 mg/dL), peningkatan amilase lipase (menandakan pankreatitis), peningkatan alkalin fosfatase dan gamma-glutamyl transpeptidase menandakan obstruksi, peningkatan PT, penurunan vitamin K, peningkatan transaminase hepar pada koledokolitiasis yang disertai kolangitis atau pankreatitis, kultur darah positif pada kolangitis. Pemeriksaan radiologi yang paling dapat diandalkan adalah kolangiografi. Selain itu bisa juga digunakan modalitas lain, yang dibagi menjadi preoperatif (USG, endoskopik USG, CT scan, MRCP, kolangiografi), intraoperatif (kolangiografi, USG), postoperatif (T-tube kolangiografi, ERCP, PTC). 10,11
a. USG (Ultra Sonografi) Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hepar, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. Penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain pankreas dan ginjal, aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari sonografi. 10,11
22
Gambar 12.Posterior Accoustic Shadow
b. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar batu empedu radiolusen. Kurang lebih hanya 10-15% batu yang menimbulkan gambaran radioopak. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hepar yang sakit. 10,11 Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography). Dengan bantuan endoskopi melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan pada muara papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki kanul. Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui jarum yang ditusukkan ke arahhilus hepar dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hepar. Adanya kelainan hepar dapat diperlihatkan lokasinya dengan tepat. 10,11 Untuk diagnosis kelainan primer dari hepar dan kepastian adanya keganasan dilakukan biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu. 10,11
2.7.4.Tatalaksana 23
A. Penatalaksanaan batu kandung empedu Penanganan batu untuk profilaksis tidak dianjurkan. Sebagian besar pasien yang asimtomatik tidak mengalami keluhan di masa mendatang. Sebagian kecil akan menimbulkan komplikasi. Pada batu empedu simptomatik, teknik kolesistektomi laparoskopi diperkenalkan akhir 1980 mengantikan teknik kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi terbuka masih dibutuhkan apabila teknik kolestektomi laparoskopi gagal atau tidak memungkinkan, misalkan apabila batu terletak pada lokasi yang sulit dijangkau dengan teknik laparoskopi. Selain itu pada keadaan infeksi juga sebaiknya menggunakan kolesistektomi terbuka. Kekurangan dari metode kolisistektomi terbuka adalah luka penyembuhan yang lama. 10,11 Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, system endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa kamera dan kontak langsung dengan saluran empedu. Tindakan bedah ini makin sering dilakukan. Tindakan ini memakan waktu kurang lebih 30-70 menit. Biasanya penderita dapat dipulangkan 1 hari setelah operasi. Morbiditas kurang dari 10%. Kesulitan teknis adalah adhesi pada 5% operasi. 10,11 Kolesistektomi laparoskopi membutuhkan beberapa sayatan kecil di perut untuk akses operasi, tabung silinder kecil sekitar 5 sampai 10 mm, di mana instrumen bedah dan kamera video yang ditempatkan ke dalam rongga perut. Kamera menerangi bagian dalam abdomen dan mengirimkan gambar diperbesar dari dalam tubuh untuk monitor video, memberikan ahli bedah tampilan close- up dari organ dan jaringan serta melakukan operasi dengan memanipulasi instrumen bedah melalui akses operasi. 10,11 Pasien posisi terlentang di meja operasi dan dibius. Sebuah pisau bedah untuk membuat sayatan kecil di umbilicus. Rongga perut kemudian dieksplorasi dengan menggunakan jarum Veress atau teknik Hasson. Kemudian karbon dioksida untuk menambah ruang pada rongga abdomen. Kemudian akses dibuka di bawah tulang rusuk epigastrium. Kemudian bagian fundus dari infundibulum ditarik ke superior untuk memberikan gambaran segitiga calot yaitu arteri sistik, dukstus sistikus, dan common bile duct. Pada segitiga dilakukan reseksi lapisan peritonium yang melapisi untuk mendapat sudut pandang pada struktur di bawahnya. Duktus sistikus dan arteri sistikus kemudian diidentifikasikan, kemudian diberi klep dan dipotong, kemudian kandung empedu dipotong dan dikeluarkan pada 1 port atau akses. 10,11
24
Gambar 13. Kolesistektomi Laparaskopi. Prosedur terapetik yang bertujuan untuk mengangkat batu CBD ada dua cara, pertama operasi dengan melakukan sayatan pada CBD (koledekotomi), atau melalui duktus sistikus (transistik), dengan metode Exploration)
konvensional operasi terbuka (Open Common Bile Duct
melalui laparoskopi yang disebut Laparascopic Common Bile
Duct
Exploration (CBDE). Sedangkan cara yang kedua adalah dengan menggunakan endoskopi, yaitu Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) yang diikuti sfingterotomi endoskopik (ES) dan dilakukan ekstraksi batu. Ekstraksi batu dapat dilakukan dengan atau tanpa sfingterotomi, apabila sebelumnya telah dilakukan dilatasi sfingter dengan balon. Laparoskopi kolesistektomi saat ini memang lebih banyak disukai dan sudah menjadi terapi standar. Walaupun eksplorasi CBD juga dapat dilakukan melalui teknik laparoskopi pada sebagian besar kasus. 10,11
25
Gambar 14. Laparoscopic bile duct exploration
ERCP terapeutik dengan melakukan sftingereotomi endoskopik dilakukan tanpa operasi pertama kali tahun 1974. Sejak itu, terapi ini berkembang pesat sebagai terapi standar baku non operatif untuk saluran empedu. Selanjutnya, batu di dalam saluran empedu dikeluarkan melalui balon ekstrasi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga keluar bersama tinja atau dikeluarkan mulut bersama skopnya. Tingkat keberhasilan terapi ini adalah 80-90%, komplikasi dini 7-10%, angka mortalitas 1-2%. Komplikasi tindakan ini meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi. 10,11
Gambar 15. ERCP
Gambar 16. Endoscopic Sphinterectomy
C. Pengobatan Paliatif Batu Empedu 26
Pengobatan paliatif pada pasien batu empedu adalah dengan menghindari makanan yang dapat memicu antara lain makanan berlemak. Selain itu penggunaan obat anti nyeri berupa antispasmolitik dapat mengurangi nyeri. Demam pada pasien dapat diberikan zat antipiretik misalnya paracetamol. Pada beberapa kasus yang disertai infeksi, dapat diberikan antibiotik. 10,11
Gambar 17. Algoritma pasien dengan batu empedu
27
BAB III ILUSTRASI KASUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. SS
No RM
: 01478473
Usia
: 60 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Cijujung Blodes no.2 Cijujung, Bogor, Jawa Barat
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Kawin
Pendidikan
: Tamat SD
Masuk RS
: 20 Maret 2017
ANAMNESIS Anamnesis didapatkan berdasarkan autoanamnesis di Ruang rawat inap teratai lantai 6
selatan kamar 628 RSUP Fatmawati dilakukan pada tanggal 21 Maret 2017. Keluhan utama : Kuning pada mata sejak 1 bulan SMRS Riwayat penyakit sekarang : Sejak 1 bulan SMRS, pasien mengatakan bagian putih mata menjadi kuning terang. Keluhan disertai buang air kecil berwarna pekat seperti teh dan nyeri perut pada bagian kanan atas. Nyeri perut kanan atas, seperti melilit, menjalar ke punggung belakang, hilang-timbul, memburuk ketika makan, tidak dipengaruhi posisi yang memberat sejak 2 minggu smrs. 28
Ketika kambuh, nyeri dirasakan hingga menggigil dan posisi telungkup untuk menahan sakit, hingga sulit tidur. Keluhan disertai demam hilang-timbul dengan suhu tertinggi diukur diketiak 38oC dan mual sejak 1 minggu smrs. Buang air besar berwarna dempul dan berdarah disangkal. Sejak 6 bulan SMRS, pasien mengalami keluhan aerupa, namun saat itu kuning terdapat pada seluruh badan terdapat kuning hingga jari-jari kaki dan tangan. Demam hilangtimbul selama 1 minggu. Setiap kali makan, terasa sakit dan mual hingga beberapa kali muntah sehingga pasien menjadi jarang makan dan mengalami penurunan berat badan sebesar 10 kilogram dalam waktu 8 bulan. Pasien sudah beberapa kali ke rumah sakit, dilakukan pemeriksaan darah dikatakan enzim hati dan bilirubin meningkat, kemudian dilakukan usg perut dikatakan terdapat batu empedu. Pasien mendapat pengobatan curcuma 3x1, deksketoprofen 3x1, dan obat anti nyeri lewat bokong yang digunakan saat terjadi nyeri yang berat. Keluhan benjolan di perut tidak ada. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat keluhan yang serupa tidak ada sebelumnya. Riwayat hepatitis atau sakit kuning disangkal, riwayat keganasan disangkal, alergi disangkal, riwayat operasi, transfusi darah disangkal, penggunaan obat minimal 6 bulan atau obat-obatan lain disangkal, kencing manis dan darah tinggi disangkal. Riwayat obstetri : Pasien memiliki lima anak. Anak terakhir hamil saat usia 38 tahun. Pasien dahulu rutin mengonsumsi pil KB. Pasien sudah menopause sejak 10 tahun yang lalu. Riwayat penyakit keluarga : Di keluarga pasien, tidak ada keluhan serupa, riwayat keganasan disangkal, alergi obat, kencing manis dan darah tinggi disangkal. Riwayat sosial dan kebiasaan: Pasien suka makan makanan yang dimasak sendiri di rumah, jarang membeli makanan diluar. Pasien sering makan makanan yang berlemak dan bersantan. Riwayat menggunakan alkohol atau obat-obatan lain dengan jarum suntik disangkal. III.
PEMERIKSAAN FISIK 29
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran
: compos mentis
BB
TB : 150 cm
: 42 kg
IMT : 18.6 (normoweight)
Tanda Vital: o Tekanan darah
: 120/70 mmHg
o Nadi
: 105x/menit
o Suhu
: 38,2°C
o RR
: 22x/menit
Status Generalis: Kepala : bentuk normal, rambut berwarna putih kehitaman, terdistribusi merata, dan tidak mudah dicabut. Mata
:bentuk normal, kedudukan bola mata simetris, pupil bulat isokor, conjungtiva pucat -/-, sklera ikterik kuning (+/+), RCL +/+, RCTL +/+.
Hidung : bentuk normal, tidak ada deviasi septum, secret -/-. Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen -/Mulut
: bentuk normal, bibir agak kering, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1.
Leher
: JVP 5-2 cmH2O, trakea di tengah, KGB tidak teraba membesar.
Paru
: I : bentuk normal, dada tampak simetris statis dan dinamis, retraksi (-), scar (-), spider nevi (-) P : vocal fremitus kanan kiri sama kuat P : sonor pada kedua lapang paru A : suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung : I : ictus cordis tak tampak P : ictus cordis teraba di ICS V midclavicula sinistra P : pinggang jantung ICS
II
parasternal
sinistra,
batas
kanan:
ICS V parasternal dekstra, batas kiri: ICS V midclavicula sinistra 30
A : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen : I : datar A : bising usus (+) normal P : massa tidak ada, nyeri tekan epigastrium (+), murphy sign (+) hepar dan lien tidak teraba. P : timpani, shifting dulnes (-), ascites (-)
Ekstremitas : Edema -/- dan akral hangat +/+, CRT < 3 detik. Kulit
: Sawo matang, hiperpigmentasi (-), suhu
raba hangat, lembab, turgor
cukup, ikterus (-)
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Pemeriksaan laboratorium 21 Maret 2017 PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI Hemoglobin
12.5
g/dl
11.7 – 15.5
Hematokrit
38
%
33 – 45
Leukosit
6.0
Ribu/ul
5.0 – 10.0
Trombosit
181
Ribu/ul
150 – 440
Eritrosit
3.97
Juta/ul
3.8 – 5.2
VER
95.4
Fl
80 – 100
HER
31.7
Pg
26 – 34
KHER
33.2
g/dl
32 – 36
RDW
13.2
%
11.5 – 14.5
APTT
46.9
detik
26.3-40.3
Kontrol APTT
30.7
detik
PT
14.4
detik
Kontrol PT
13.6
detik
INR
1.07
HEMOSTASIS
11.5-14.5
Pemeriksaan laboratorium tanggal 13 Januari 2017 31
FUNGSI HATI SGOT
27
U/I
0 – 34
SGPT
14
U/I
0 – 40
Albumin
3.70
g/dl
3.40 – 4.80
Protein total
8.20
g/dL
6.00 – 8.00
Globulin
4.50
g/dL
2.50 – 3.00
Billirubin total
3.10
mg/dl
0.10 – 1.00
Billirubin direk
2.0
mg/dl
< 0.20
Bilirubin indirek
1.1
mg/dl
< 0.60
Gamma GT
417
U/L
0.0-30.3
Alkali fosfatase
264
IU/L
30-140
4.117
U/L
4900-11900
Ureum
36
mg/dl
20 – 40
Creainin
1.1
mg/dl
0.6 – 1.5
93
mg/dl
70 – 140
Natrium
135
Mmol/l
135 – 147
Kalium
3.72
Mmol/l
3.10 – 5.10
Klorida
97
Mmol/l
95 – 108
HbsAg
Non Reaktif
-
Non reaktif
Anti HCV
Non Reaktif
-
Non reaktif
Cholinesterase (CHE) FUNGSI GINJAL
DIABETES Gula darah sewaktu ELEKTROLIT DARAH
HEPATITIS
Golongan Darah A/rhesus (+)
SERO-IMUNOLOGI
URINALISA Urobilinogen
0.0
Albumin
Positif 1
Berat Jenis
1.025
Bilirubin
Negatif
Keton
Trace
E.U/dl
<1.00 1.005 – 1.030
32
Nitrit
Negatif
pH
5.5
4.8 – 7.4
Lekosit
Negatif
Negatif
Darah/Hb
Trace
Negatif
Glukosa urin/reduksi
Negatif
Negatif
Warna
Kuning tua
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
SEDIMEN URIN Epitel
61.9
u/L
<45.6
Lekosit
33.3
/uL
<39 u/L
Eritrosit
30
/uL
<30.7/uL
Silinder
Negatif
/LPK
Negatif
Kristal
Negatif
-
Negatif
Bakteri
65.5
/uL
<385.8 /uL
o Foto Thorax AP ( Tanggal 19/12/2016)
Kesan hasil pemeriksaan rontgen thoraks: Jantung dan paru dalam batas normal.
33
o Pemeriksaan USG Abdomen (Tanggal 1/10/2016)
o
-
Hepar
: Bentuk dan ukuran normal, ekostruktur homogen dengan atenuasi
normal, tak tampak lesi patologis/SOL permukaan rata, tepi tajam, sistem bilier intrahepatik kanan-kiri melebar terlihat juga adanya batu dengan ukuran 1,1 cm di dalamnya dan vaskular baik, ascites (-). -
KE
: kaliber normal, dinding reguler, batu (+) multipel dengan ukuran 2,48
cm dan 1,85 cm 34
-
Pankreas dan lien : ukuran normal, ekostruktur homogen, V.lienalis dan duct. Pancreaticus tidak melebar
-
Gaster
: mukosa gaster menebal ireguler dan disertai pelebaran usus-usus di
hemiabdomen kiri-kanan serta suprapubik -
Aortae : KGB paraaortae tak melebar
-
Ginjal
: bantuk dan ukuran, dinding reguler, ekoparenkim dan sinus renalis
baik, PP index norml, pelviokalises tak melebar, batu (-)/(-) -
Buli
: bentuk dan ukuran normal, reguler, batu/sludge (-)
-
Uterus
: ukuran dan bentuk normal, letak antefleksi, tak tampak lesi
patologis/SOL
Kesan:
Cholelitiasis multipel dengan disertai biliectasis dan batu pada sistem bilier
Gastritis dan disertai pelebaran usus-usus di hemiabdomen kiri-kanan dan suprapubik dispepsia
Tak tampak kelainan lainnya pada sonogrfafi organ – organ intraabdomen tersebut diatas
V.
RESUME Pasien perempuan 60 tahun, keluhan kuning pada mata, BAK seperti teh, nyeri perut
kanan atas menjalar ke punggung seperti dililit, hilang timbul, memburuk ketika makan sejak 1 bulan smrs. Sejak 1 minggu smrs, demam hilang-timbul dan mual. Sejak 6 bulan smrs, terapat keluhan serupa disertai kuning pada seluruh badan. Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal. Pasien sering makan makanan yang berlemak dan bersantan dan memiliki riwayat penggunaan obat pil KB jangka panjang. Pemeriksaan fisik didapatkan compos mentis, tampak sakit sedang, normoweight, tekanan darah 120/70 mmhg, nadi 105x/m, suhu 38,2°C, 22x/menit, sklera ikterik kuning, terdapat nyeri tekan epigastrium, murphy sign +. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan bilirubin total (3,1 mg/dl), bilirubin direk (2,0 mg/dl), bilirubin indirek (1,1 mg/dl), gamma GT 417 U/l, alkali fosfatse 264 IU/L, urinalisa warna kunig tua. Hasil rontgen thorax dalam batas normal, hasil USG
35
(1/10/2016) didapatkan Cholelitiasis multipel dengan disertai biliectasis dan batu pada sistem bilier. VI.
DIAGNOSIS KERJA Ikterus Obstruktif et causa koledokolitiasis
VII.
PENATALAKSANAAN -
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
-
Ceftriaxon 2x1gr IV
-
Ondansentron 3 x 4 mg IV
-
Dexketoprofen 3 x 1 po
-
Pembedahan: Pro laparatomi eksplorasi CBD
VIII. OPERASI 22/03/2017
Jam mulai operasi 13:05
Jam operasi selesai 15:05
Nama ahli bedah
: Taslim Poniman, dr, Sp.B-KBD
Nama ahli anestesi
: Richard D Siahaan, dr, Sp.An, KIC
Nama/macam operasi : Explore CBD, choledochojejunostomi Laporan operasi: o Pasien dalam GA o A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya o Insisi kocher menembus kutis subkutis fascia dan peritoneum o Tampak fatty liver, tampak gall blader inflamasi , dinding tebal o Dilakukan kolesistektomi antrograde isi pus o Dilakukan eksplorasi CBD terdapat batu pada proksimal CBD diambil o Dilakukan sonde ampula vater o Dilakukan sambungan choledocojejunostomi o Jejunostomi roux n Y o Abdomen dicuci
36
o Luka ditutup lapis demi lapis o Operasi selesai
Instruksi post operasi: -Puasa -IVFD : Aminofluid 1000 cc/24 jam, Asering 1000 cc/24 jam -Claneksi 3 x 1 IV -Sanmol 3 x 1 gr -Traneksid 3 x 500 mg -Vit K 3 x 1 amp
X. PROGNOSIS
37
Ad vitam
: Bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
38
BAB IV ANALISA KASUS Berdasarkan hasil anamnesis, pasien perempuan 60 tahun, keluhan kuning pada mata, BAK seperti teh, nyeri perut kanan atas menjalar ke punggung seperti dililit, hilang timbul, memburuk ketika makan sejak 1 bulan smrs. Sejak 1 minggu smrs, demam hilang-timbul dan mual. Sejak 6 bulan smrs, terapat keluhan serupa disertai kuning pada seluruh badan. Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal. Pasien sering makan makanan yang berlemak dan bersantan dan memiliki riwayat penggunaan obat pil KB jangka panjang. Keluhan kuning (jaundice) pada mata pasien terjadi akibat pewarnaan oleh peningkatan bilirubin dalam darah akibat obstruksi ikterus post-hepatik. Perubahan warna urin menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat. Sedangkan keluhan nyeri kolik abdomen kanan atas yang menjalar terjadi akibat kontraksi dari empedu yang mengalami sumbatan. Pada pasien sesuai literatur bahwa insiden kolelitiasis paling tinggi ditemukan pada usia diatas 40 tahun dengan faktor resiko kriteria 3 dari kriteria 4F yaitu female, fourty dan fertile dan yang lain diantaranya adalah diet tinggi lemak penggunaan kontrasepsi hormonal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, sklera mata ikterik serta ikterik akibat akumulasi kadar billirubin yang meningkat. Pada pemeriksaan abdomen murphy sign (+).Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan pada bilirubin total (3,1 mg/dl), bilirubin direk (2,0 mg/dl), bilirubin indirek (1,1 mg/dl), gamma GT 417 U/l, alkali fosfatse 264 IU/L, urinalisa warna kunig tua. Gamma GT dan alkali fosfatase menigkat akibat adanya sumbatan pada sistem hepato-bilier. Hasil pemeriksaan USG amdomen didapatkan pelebaran duktus biliaris dan extra hepatal dengan suspek disertai batu pada CBD ukuran +/0,49 cm). Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada kasus menunjukan bahwa ikterus obstruktif post-hepatik disebabkan karena adanya sumbatan batu saluran empedu (koledokolitiasis). Rencana tata laksana yang dilakukan pada pasien disesuaikan
39
dengan indikasi yaitu kolesistektomi dan laparatomi eksplorasi CBD. Pada tanggal 22 maret 2017, pasien telah dilakukan eksplorasi CBD, tampak gall blader inflamasi dan menebal, dilakukan kolesistektomi dengan isi pus dan multipel batu, kemudian dilakukan pengambilan batu pada CBD. Setelah itu dilakukan koledokojejunostomi.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. R . Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku – Ajar Ilmu Bedah. Ed ke- 3. Jakarta: Penerbit EGC. 2013. 2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar, TR, Dunn DL. Schwartz principles of surgery. Ed ke-9. Philadelphia: McGraw-Hills. 2010. 3. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s Anatomy for Students. Elsevier: 2007. 4. Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al. Schwartz’s Principles of Surgery, 9e. McGraw- Hill: 2010. 5. Guyton AC. Textbook of Medical Physiology, 11th edition.
Elsevier: 2006.
6. Crawford MJ. The Biliary Tract. Robin & Cotran Pathologic Basis
of Disease.
Philadelphia : Saunders. 2010. 7. Wibowo Soetamto, Kanadihardja Warko, Sjamsuhidajat R, de JW. 2010. Saluran Empedu dan Hati. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi tiga. Jakarta: EGC. 8. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Disease. Dalam : Principles of Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore : McGrawHill, 1989. 1091-1099. 9. Dadhwal SC, Kumar CV. Benign Bile Duct Strictures. Medical Journal Armed Force India 68 (2012) 299-303. 10. Nuhadi M. Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu Dengan Batu Saluran Empedu pada Penderita yang dilakukan Eksplorasi Saluran Empedu. Universitas Padjajaran. RS Hasan Sadikin Bandung. 2011. 11. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.
41