DISKUSI KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Disusun oleh: Ina Agustin Pertiwi G99172089
KEPANITERAAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2019
BAB I PENDAHULUAN
Ginjal adalah salah satu organ utama sistem kemih atau uriner (tractus urinarius) yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sampah metabolisme dari dalam tubuh. Fungsi ginjal secara umum antara lain yaitu sebagai ultrafiltrasi yaitu proses ginjal
dalam
menghasilkan
urine,
keseimbangan
elektrolit,
pemeliharaan
keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam produksi eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor. Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kerusakan fungsi ginjal yang ireversibel sehingga memberikan efek kepada hampir seluruh sistem organ (McCance dan Sue, 2006). Kidney Disease Quality Outcome Initiative (K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR)
< 60 mL/min//1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih (Levey et., al., 2005).
Pasien dengan CKD akan memiliki perjalanan penyakit yang progresif menuju End Stage Renal Disease (ESRD) (McCance dan Sue, 2006).
CKD diklasifikasikan menjadi
5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005). Tanda dan gejala yang muncul pada CKD sering dideskripsikan sebagai uremia. Uremia merupakan beberapa gejala yang muncul dikarenakan terganggunya fungsi ginjal disertai akumulasi toksin pada plasma darah. CKD merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal progresif yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun hipertensi dan diabetes mellitus merupakan 2 buah penyebab yang paling sering mendasari terjadinya CKD (McCance dan Sue, 2006). Penyebab lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal progresif adalah reduksi massa ginjal dan obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et., al., 2010). Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler,
2
kanker, dan penyakit kronis lainnya pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan karena keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang ada dan sebaliknya (Eknoyan, 2009).
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses pr oses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal, selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik Gagal ginjal kronik / chronic kidney disease (CKD) merupakan penurunan progresif faal ginjal yang menahun dan perlahan. Biasanya berlangsung dalam beberapa tahun, yang umumnya tidak reversibel dan cukup lanjut dari berbagai penyebab. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme metabo lisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan laju filtrasi glomerulus sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2014). Kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2014) : A.
Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: a)
Kelainan patologik
b)
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan radiologi
B.
Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m² selama >3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
4
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut : (140 – umur) x Berat Badan
LFG(ml/mnt/1,73m2 = 72 x kreatinin plasma ( mg/dl) Pada wanita dikalikan 0,85. Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan berdasar kan laju filtrasi glomerolus. Derajat
Penjelasan
LFG (mL/menit/1,73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90 atau ↑
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
15-29
5
Gagal ginjal
<15 atau dialisis
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
5
Tabel 2.. Klasifikasi Chronic Kidney Disease Klasifikasi Berdasarkan Keparahan Derajat
Deskripsi
1
Kerusakan ginjal dengan GFR Normal atau meningkat Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
2 3
Penurunan GFR sedang
4
Penurunan GFR berat
5
Gagal ginjal
GFR mL/min/1.73 m2
Keadaan Klinis
Albuminuria, ≥ 90 proteinuria, hematuria Albuminuria, 60-89 proteinuria, hematuria Insufisiensi ginjal 30-59 kronik Insufisiensi ginjal 15-29 kronik, preESRD < 15 Gagal ginjal, Atau dialisis uremia, ESRD (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005)
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Pen yakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit
Tipe Mayor
Penyakit Ginjal Diabetes
Diabetes Tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non Diabetes
Penyakit Glomerular, Penyakit Penyakit Tubulointerstisial, Tubulointerstisial, Penyakit Pen yakit Kistik
Vaskular,
Rejeksi kronik, Keracunan Obat Penyakit Pada Transplantasi (siklosporin/takrolimus) Penyakit recurrent (glomerular), Transplant glomerulopathy (Suwitra, 2014)
6
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negaranegara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun (Suwitra, 2014) Di Jepang, sejumlah pasien dengan gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 13 juta. Di antaranya, jumlah ju mlah pasien dialisis, yang menunjukkan stadium terminal, mencapai 282.000 pada akhir tahun 2008. Setiap tahun, lebih dari 37000 pasien gagal ginjal kronik melakukan terapi dialisi akibat diabetic nefropati, glomerulonefritis kronik, nefrosklerosis, penyakit polikistik ginjal atau glomerulonefritis yang cepat progresif ( dengan urutan menurun). Meskipun jumlah pasien dialisis baru akibat glomerulonefritis kronik berkurang, berkurang, jumlah kasus baru terkait dengan diabetes, hipertensi, dan arteriosclerosis semakin banyak Berdasarkan survei statistik yang dilakukan oleh the Japanese Society for Dialisis Therapy untuk tahun 2008 (disebut sebagai Survei 2008), total jumlah pasien yang menjalani pengobatan dialisis lebih daripada 282.000 pada 31 Desember 2008. Seperti yang tampak dari grafik, jumlah pasien dialisis telah semakin meningkat secara konsisten tahun demi tahun, dengan tidak adanya penurunan. Terdapat sekitar 37.000 pasien dialisis baru setiap tahun. Penyakit primer tersering yang bertanggung jawab terhadap terjadinya stadium akhir penyakit ginjal adalah diabetes nephropati glomerulonefritis kronik, nefrosklerosis, penyakit ginjal polikistik, dan glomerulonefritis yang cepat progresif (dengan urutan menurun) (The Japanese Society., 2009). Gagal ginjal kronik diperkirakan mempengaruhi antara 1.9 juta dan 2.3 juta orang Kanada. Ini merupakan masalah kesehatan masyarakat utama. Gagal ginjal kronik sering terjadi bersama dengan penyakit kardiovaskular dan diabetes dan diakui sebagai faktor risiko untuk semua penyebab mortalitas dan penyakit
7
kardiovaskular (Go et al., 2004; Levey et al., 2007; Sarnak et al., 2003). Prevalensi penyakit ginjal kronik di negara maju 10-13% dari populasi. Sedangkan di negara berkembang diperkirakan prevalensinya prevalensin ya 40-60 kasus per juta penduduk di setiap tahunnya. Di Indonesia berdasarkan studi Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebanyak 12.5% populasi po pulasi mengalami penurunan fungsi ginjal. ginjal. Beberapa penyebab CKD yang yang menjalani hemodialisis di Indonesia pada tahun 2000 antara lain Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes Mellitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), dan penyebab yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al , 2007). Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih (Arora, 2014). C. Patofisiologi
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al , 2005). Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut bagi ba gi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al , 2005). Hilangnya
kemampuan
memekatkan
atau
mengencerkan
kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia. Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu mengkonsentrasikan dan 8
mengencerkan urin.Respon ginjal yang tersisa terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.Penderita sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin.Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik.Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al , 2005). Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al , 2005). Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan gang guan metabolisme kalsium dan fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al , 2005). Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat, menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa. Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al , 2005). Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
9
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al , 2005). Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu (McCance dan Sue, 2006): 1. Penurunan Fungsi Ginjal.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR <
50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah. 2. Insufisiensi Ginjal.
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak
dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjala saat stres dapat terjadi pada tahapan ini. 3. Gagal Ginjal.
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,
asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit pen yakit mulai memberikan efek pada sistem organ lain. 4. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan
tahapan terakhir dari gangguan
fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler, hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan tulang dan mineral juga dapat terjadi.
10
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al .,., 2007). a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra, 2007). Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al .,., 2007; Suwitra, 2007). Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah ad alah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007). b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
11
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, adeku at, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome synd rome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost (Kumar et al .,., 2007). e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung
12
E. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
a.
Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b.
Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang sampai koma.
c.
Gejala komplikasinya, seperti anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, ( sodium, kalium, clorida) (Suwitra, 2014).
2. Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan Laboratorium 1)
Pemeriksaan darah Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosi masih dalam batas normal. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan ureum dan kreatinin serum. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000mg/hari.
2)
Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
asam
urat,
hiper/hipokalemia,
hiponatremia,
hiper/hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan asidosis metabolic 3)
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, cast isotenuria dan leukosuria.
b.
Gambaran radiologis 1)
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
13
2)
USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Biopsi dan Histopatologi ginjal
c.
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara invasif sulit ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menerapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Kontraindikasi dilakukan biopsi yaitu pada ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas (Suwitra, 2014). F.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: Derajat
LFG
Rencana Tatalaksana
1
≥ 90
2 3 4 5
60-89 30-59 15-29 < 15
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular Menghambat perburukan fungsi ginjal Menghambat perburukan fungsi ginjal Persiapan untuk terapi pengganti Terapi pengganti ginjal
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi yang mendasari adalah sebelum terjadi penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukkan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20 -30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat
14
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal
kronik. Hal ini untuk mengtahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk pasien. Faktor-faktor komorbid komor bid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 3. Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan funsgi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dimana ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengurangi hiperfiltrasi tersebut. Pertama, pembatasan asupan protein. Pematasan ini mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan nilai diatas tersebut, pembatasan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0.60.8/kg.bb/hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgbb/hari. Yang kedua dengan pengobatan secara farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, mengendalikan tekanan darah mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan pemtasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Beberapa obat hipertensi yang digunakan seperti golongan ACE inhibitor. Yang menurut penelitian terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi fu ngsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya kerjan ya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
15
4. Pencegahan dan Terapi Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. 5. Pencegahan dan Terapi Komplikasi
Beberapa komplikasi yang biasa terjadi pada penyakit ginjal kronik seperti anemia, osteodistrofi renal dan hiperfosfatemia. Anemia biasanya terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini terjadi karena penurunan kadar kada r eritopoitin. Selain itu juga anemianya juga bisa disebabkan karena defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarah saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek p endek akibat hemolisis, defisiensi asal folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut dan kronik. Penatalaksanaan anemia ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain yang ditemukan. Pemberian eritropoitin, pemberian tranfusi darah bisa dilakukan untuk mengoreksi anemia. Osteodistrofi renal merupakan komplikasi yang juga sering terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik. Penatalaksaannya dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Penatalaksanaan hiperfosfatemia dengan membatasi asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan untuk menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna, dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan mengatasi hiperfosfatemia. Asupan fosfat dibatasi 600-800mg/hari. Pengikat fosta yang bisa dberikan berupa garam kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam kalsium yang banyak dipakai yaitu kaslium karbonat dan
16
kalsium asetat. Pembatasan asupan cairan dan elektrolit sangat perlu dilakukan. Hal ini untuk mencegah edem dan komplikasi kardiovaskular . elktrolit juga harus dibatasi terutama kalium dan natrium. 6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi.
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu dengan LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula darah
juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk
berkembang lebih cepat. G. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium V. V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Rahardjo, 2006). H. Komplikasi
1.
Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diit berlebih.
2.
Perkarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron.
17
4.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.
5.
Gagal jantung terjadi karena anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (LVH). (LVH). Lamakelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal).
6.
Osteodistofi ginjal dan penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium (Arora, 2014).
18
BAB III ILUSTRASI KASUS
A. ANAMNESIS 1.
Identitas Pasien
Nama
: Tn. W
Usia
: 55 tahun
JenisKelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
: Sukoharjo
Status Pernikahan
: Sudah Menikah
PendidikanTerakhir : Tamat SD Pekerjaan 2.
: Petani
Keluhan Utama
lemas sejak 1 bulan SMRS 3.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDM dihantarkan keluarganya dengan keluhan seluruh tubuh lemas. Keluhan sudah dirasakan sejak 1 bulan sebelum masuk ke rumah sakit. Lemas dirasakan semkain memberat sejak 2 minggu terakhir. Lemas dirasakan sepanjang hari, walaupun pasien tidak beraktivitas berat sehingga pasien enggan untuk beraktivitas dan lebih banyak tidur saja. Pasien juga merasakan sering pusing terutama terasa ditengkuk leher (cengeng). Nyeri kepala terasa seperti ditekan. Nyeri cekot-cekot dan pusing berputar disangkal. Pusing tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi kepala. Pusing dirasakan sangat sering, namun hilang timbul. Pusing kadang-kadang mengganggu aktivitas sehari-hari.
19
Pasien juga merasakan mudah lelah, mual, muntah serta nafsu makan menurun selama 2 minggu terakhir. Muntah 2x sebanyak ¼ gelas belimbing. Muntah diakui berupa air dan sisa-sisa makanan. Muntah darah, nyeri di ulu hati, rasa panas ditenggorok disangkal. Sejak 1 bulan SMRS pasien juga mengeluhkan kedua kaki semakin membengkak. Pasien merasa kakinya terasa semakin memberat. Nyeri, kemerahan dan rasa kesemutan di kaki disangkal. Pasien mengatakan BAK menjadi menurun sejak 2 minggu SMRS. BAK hanya sebanyak 2-3 kali dalam sehari sebanyak 1/2 gelas belimbing setiap BAK. BAK warna kuning. BAK darah, terasa berpasir, berbusa dan nyeri ketika BAK disangkal. Pasien mengaku sehari-hari minum sekitar 6-8 gelas belimbing. BAB pasien tidak ada keluhan. Pasien mengaku memiliki penyakit darah tinggi sejak 10 tahun yang lalu. Namun semenjak 5 tahun terakhir tidak terkontrol terkontrol periksa ke dokter dan tidak terkontrol minum obat anti hipertensi. Pasien minum obat jika mengeluhkan pusing saja, jika keluhan hilang pasien tidak minum obat lagi karena sudah bosan minum obat terus menerus. Pasien mengakui mempunyai riwayat minum-minuman berenergi atau suplemtasi yang dijual di pasaran sejak 15 tahun yang lalu. Minum seminggu 2-4 kali. Pasien sudah terbiasa minum minuman tersebut untuk menghilangkan rasa capek. 6 bulan yang lalu pasien mengaku mengalami keluhan serupa. Dokter yang periksa saat itu mengatakan bahwa pasien terdiagnosis gagal ginjal akut. Kemudian pasien diberi obat, namun pasien tidak kontrol kembali setelah keluhannya hilang. 4.
Riwayat Penyakit Dahulu -
Riwayat keluhan serupa
: diakui 6 bulan yag lalu
-
Riwayat hipertensi
: diakui sejak 10 tahun terakhir, tidak
terkontrol selama 5 tahun terakhir -
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
20
5.
6.
-
Riwayat penyakit gula
: disangkal
-
Riwayat asma
: disangkal
-
Riwayat maag
: disangkal
-
Riwayat penyakit hati
: disangkal
-
Riwayat bengkak seluruh tubuh: tubuh: disangkal
-
Riwayat tranfusi sebelumnya : disangkal
-
Riwayat cuci darah sebelumnya: disangkal
-
Riwayat trauma
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga -
Riwayat keluhan serupa
: disangkal
-
Riwayat hipertensi
: diakui, ibu pasien
-
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
-
Riwayat penyakit gula
: disangkal
-
Riwayat asma
: disangkal
-
Riwayat penyakit hati
: disangkal
-
Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
Riwayat Kebiasaan -
Merokok
: diakui, selama 15 tahun. Sehari sekitar 1 bungkus.
-
Minum alkohol
: disangkal
-
Minum minuman berenergi : diakui, selama 15 tahun terakhir. Minum seminggu 2-4x untuk mengurangi rasa lelah
7.
Olahraga
: Tidak pernah
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani. Tinggal dirumah bersama istri dan ketiga anaknya. Pembiayaan kesehatan menggunakan BPJS kelas III.
21
B. PEMERIKSAAN FISIK
1.
Keadaan umum
: tampak sakit sedang VAS 6, GCS E3V5M6 ( somnolen somnolen), gizi kesan cukup
2.
3.
Tanda vital Tensi
: 160/100 mmHg
Respirasi
: 22 x/menit
Nadi
: 88 x/menit
Suhu
: 37 °C
Berat badan
: 63 kg
Tinggi badan
: 165 cm
IMT
: 23,14
Skor GFR :
(140−) 140−) 72
(140-55th) x 63 kg 72x 2.2 4.
= 33.8 mL/min/1.73 m2 (CKD Stage 3)
Keadaan Sistemik Kulit
: warna coklat, kering (-), turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-)
Kepala
: bentuk normocephal, rambut mudah mudah rontok (-), luka (-), atrofi m. temporalis (-).
Mata
: mata cekung (-/-), oedem palpebra (-/-), (+/+), sklera
konjungtiva pucat
ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-) Telinga
: sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung
: nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
Mulut
: sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-) 22
Leher
: JVP R + 2 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher kaku (-)
Thorax
: bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri, venektasi (-), retraksi intercostal (-), spidernevi (-), pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar(-), pembesaran KGB axilla (/-),
Jantung
Inspeksi
: ictus kordis tak tampak
Palpasi
: ictus kordis tidak kuat angkat di SIC IV linea medioklavicularis sinistra
Perkusi
:
-
Batas jantung kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra
-
Batas jantung kanan bawah: SIC S IC IV linea parasternalis dekstra
-
Batas jantung kiri atas: SIC II linea parasternalis sinistra
-
Batas jantung kiri bawah: SIC IV linea medioklavicularis sinistra 2cm ke lateral
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, re guler, bising (-), gallop (-).
Pulmo a.
Depan
Inspeksi -
Statis
: normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar
-
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi -
Statis
: simetris
-
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
23
Perkusi -
Kanan
: sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada batas absolut paru hepar
-
Kiri
: sonor, sesuai batas jantung pada SIC VI linea medioclavicularis sinistra
Auskultasi -
Kanan
: suara dasar vesikuler di SIC II-V, suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
-
Kiri
: suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
b.
Belakang
Inspeksi -
Statis
: normochest, simetris.
-
Dinamis : pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela sela iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi -
Statis
: simetris
-
Dinamis : pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi -
Kanan : Sonor, mulai redup pada batas paru bawah V. V. Th X
-
Kiri
-
Peranjakan diafragma 4 cm kanan = kiri
: Sonor, mulai redup pada batas paru bawah V. V. Th XI
Auskultasi -
Kanan
: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-), ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
-
Kiri
: Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan wheezing (-), ronkhi basah kasar (-),ronkhi basah halus (-), krepitasi (-)
24
Abdomen
Inspeksi
: dinding perut sejajar dinding thorak,ascites (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit hepar (-), bising epigastrium (-)
Perkusi
: area troube timpani, hepar dan lien dalam batas normal, pekak, pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-)
Palpasi
: supel, nyeri tekan(-), hepar dan lien teraba dalam batas normal.
Ekstremitas Oedem
-
-
+
+
Akral Dingin
-
-
-
-
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (30 Januari 2019 di RS Dr Moewardi) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb
8.5↓
g/dl
12.0– 15.6
Hct
33
%
33 – 45
AL
8.0
103 / L
4.5 – 11.0
AT
307
103 / L
150 – 450
AE
4.23 ↓
106/ L
4.50 – 5.90
INDEX ERITROSIT
MCV
82.0
/um
80.0 - 96.0
MCH
29.0
Pg
28.0 – 33.0
MCHC
35.0
g/dl
33.0 – 36.0
RDW
11.7
%
11.6 – 14.6
25
MPV
8.3
Fl
7.2 - 11.1
PDW
27
%
25-65
MPV
9.2
fl
7.2-11.1
HITUNG JENIS
Netrofil
60.00 ↑
%
55.00 – 80.00
Limfosit
15.00 ↓
%
22.00 – 44.00
Monosit
4.90
%
0.00-7.00
Eeosinofil
2.30
%
0.00-4.00
Basofil
0.80
%
0.00 – 2.00
KIMIA KLINIK
Gula darah
120
mg/dl
60 – 140
SGOT
12
u/l
< 31
SGPT
15
u/l
< 34
Creatinin
2.2↑
mg/dl
0.6-1.1
Ureum
80 ↑
mg/dl
>50
Albumin
3.5
g/dl
3.5-5.2
sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium darah
150 ↑
mmol/L
136 – 145
Kalium darah
12.0 ↑
mmol/L
3.3 – 5.1
Calsium darah
0.89 ↓
mmol/L
1.17 – 1.29
Posphat darah
6.7 ↑
mg/dL
2.5-4.5
26
Dr. Moewardi) 2. Foto Rotgen Thorax (30 Januari 2019 di RS Dr.
Kesan: Cardiomegali D. DIAGNOSIS
1.
CKD stage 3
2.
Hipertensi stage II
3.
Anemia
E. TATALAKSANA 1.
Non Medikamentosa
Memberikan edukasi kepada pasien: a.
Bed rest
b.
Diet tinggi kalori
c.
Diet rendah protein (0,6 g/kgBB x63 = 37,8 gram per hari)
d.
Diet rendah garam (< 5 gram/hari)
e.
Batasi pemasukan cairan
27
f.
Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi pengganti ginjal, komplikasi penyakit, prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.
2. Medikamentosa
a.
IVFD Ringer Laktat 30 tpm mikro
b.
Inj Furosemid 40 mg / 24 jam IV
c.
Inj Epoetin Alfa 4000 IU SC per 3 hari
d.
Captopril 25 mg / 8 jam
e.
Domperidon 10 mg (jika diperlukan)
f.
CaCO3 1 g/ 8jam
Resep Medikamentosa dr. dr. Ina Agustin Pertiwi SIP. SIP. 202009201997258 20 2009201997258 Jalan Antarsesama No X Jebres Surakarta
30 Januari 2019 R/
Dextrose 5% Infus flb
No. II
Cum Infus set mikro
No.I
Threeway
No.I
Abbocath no 20
No.I
IV 3000
No.I
∫ IV 30 tpm mikro R/ Furosemid inj mg 20/2ml No. II Cum spuit 5 cc
No. I
∫ IV omni mane R/ Epoetin Alfa inj 4000 IU/ml No. I Cum spuit 3 cc
No. I
∫ IV
28
R/ Captopril tab mg 25 No. III ∫ 3 dd tab I 1 jam ac R/ Domperidon tab mg 30 No III ∫ p.r.n (1-3) dd tab I ac R/ Calcium carbonat chewable g 1 No III ∫ 3 dd chew I pc
Pro : Tn W (55 tahun) Alamat: Sukoharjo
29
BAB IV ANALISIS KASUS
1.
Penegakan diagnosis a. CKD Stage IV
Anamnesis: Tubuh terasa lemas disertai mual, muntah dan nafsu makan
menurun disebabkan karena proses asidosis metabolik yang bisa terjadi pada gagal ginjal kronik. Terjadi pembengkakan pada kedua kaki juga disebabkan adanya retensi natrium pada gagal ginjal kronis. Pasien mempunyai riwayat terdiagnosis gagal ginjal akut 6 bulan yang lalu. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan tidak terkontrol. Hipertensi kronik menjadi salah satu etiologi terjadinya gagal ginjal akut. Pasien juga mempunyai riwayat minum minumam berenergi 2-4 kali per minggu selama 15 tahun. Ini menjadi faktor risiko terjadinya gagal ginjal kronis karena ginjal merupakan organ utama ekskresi tubuh.
Pemeriksaan Fisik:
-
Pitting oedem ekstremitas inferior (+/+)
-
TD 160/100 mmHg
-
Skor GFR :
(140−) 140−) 72
(140-55th) x 63 kg 72x 2.2
= 33.8 mL/min/1.73 m2 (CKD Stage 3)
Pemeriksaan Penunjang:
-
Creatinin
: 3.0 mg/dL (↑)
-
Ureum
: 80 mg/dL (↑)
-
Hipernatremia
-
Hiperkalemia 30
-
Hipocalsemia
-
Hiperfosfatemia
b. Hipertensi Stage II
Anamnesis: Kepala terasa pusing terutama di tengkuk leher. Riwayat tekanan darah tinggi sejak 10 tahun yang lalu, tidak terkontrol minum obat. Riwayat keluarga, ibu pasien juga menderita tekanan darah tinggi.
Pemeriksaan Fisik: -
TD: 160/ 100 mmHg
Pemeriksaan Penunjang: -
Hipernatremi
-
Kardiomegali,
menandakan
hipertensi
yang
sudah
kronis
menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri jantung. c. Anemia
Anamnesis: Badan terasa lemas dan mudah lelah disebabkan karena kadar haemoglobin dalam tubuh yang dibawah batas normal. Sehingga distribusi O2 dan sari nutrisi dalam seluruh tubuh menurun. Anemi terjadi pada gagal ginjal kronis karena pembentukan eritropoietin yang digunakan untuk produksi eritrosit jumlahnya menurun.
Pemeriksaan Fisik: -
Konjungtiva pucat (+/+)
Pemeriksaan Penunjang: -
Kadar Hb dalam darah menurun (8.5 m/dL)
-
Jumlah eritrosit menurun (4.23 106/ L)
31
2.
Terapi Ringer Laktat 1. Farmakologi
Mekanisme: Larutan ringer laktat mnegandung konsentrasi isotonis dari elektrolit dalam air untuk infus maupun injeksi. Digunakan untuk menggantikan kehilangan cairan ekstraseluler dan elektrolit. Satu S atu liter cairan ringer laktat memiliki kandungan 130 mEq ion natrium setara dengan 130 mmol/L, 109 mEq ion klorida setara dengan 109 mmol/L, 28 mq laktat setara dengan 28 mmol/L, 4 mEq ion kalium setara dengan 4 mmol/L, 3 mEq ion kalsium setara dengan 1,5 mmol/L. Anion laktat yang terdapat dalam ringer laktat akan dimetabolisme di hati dan diubah menjadi bikarbonat. 2. Indikasi
Pengganti kehilangan cairan dan elektrolit
Sebagai alkaliniser agent pada asidosis metabolik
3. Kontraindikasi 4. Bentuk Sediaan
Cairan pada flaboth 500 ml dan 1000 ml 5. Dosis Aturan Pakai
Dosis tergantung pada usia dan kondisi klinis pasien, diberikan melalui IV infus 6. Efek Samping
Reaksi alergi seperti urtikaria dan pruritus, periorbital edema, facial edema, laringeal edema, batuk, bersin, kesulitan napas. 7. Interaksi Obat
Interaksi dengan larutan mengandung fosfat
32
Epoetin Alfa 1. Farmakologi
Mekanisme: Menstimulasi diferensiasi dan proliferasi perkusor eritroid, melepaskan retikulosit ke dalam sirkulasi dan mensintesis Hb seluler yang meregulasi eritropoiesis
Absorpsi: Subkutan (perlahan dan tidak lengkap), Intravena (cepat)
Distribusi : Pusatnya di hepar, ginjal dan bone marrow
Metabolisme: Beberapa terdegradasi
Eksresi: Utama melalui feses, sebagian kecil melalui urin
2. Indikasi
Anemia karena CKD
Anemia pada pengobatan zidovudine pada pasien HIV
Anemia akibat kemoterpai penyakit keganasan non myeloid
Mengurangi Tranfusi darah allogenic
3. Kontraindikasi
Hipersensitive albumin atau produk derivat sel mamalia 4. Bentuk Sediaan
Injectable solution: 2000 units/mL, 3000 units/mL, 4000 units/mL, 10.000 units/mL, 20.000 units/mL, 40.000 units/mL 5. Dosis Aturan Pakai
CKD tanpa dialisis : 50-100 units/kg IV 3x dalam seminggu sebagai dosis inisial
CKD dengan dialisis : Inisial 50-100 units/kg IV/SC 3x dalam seminggu
Anemia pada pengobatan zidovudine pada pad a pasien HIV : 100 units/kg IV/SC 3x dalam seminggu. Jika dalam 8 minggu Hb tidak terkoreksi tambahkan dosis 50-100 units/kg setiap 4-8 minggu atau
33
alternatifnya beri dosis 300 units/kg.
Anemia akibat kemoterpai penyakit keganasan non myeloid : inisial dosis 150 units/kg IV/SC 3x dalam seminggu
6. Efek Samping
Nyeri kepla, kejang, flu like symptom, hipertensi, hiperkalemi, skin rash, pure red cell aplasia pada prolonged treatment pasien gagal ginjal. 7. Interaksi Obat
Menimbulkan reaksi interaksi jika bereaksi dengan dichlorphenamid, methyltestosteron, danazol, fluoxymesteron, oxandrolone, oxymetholone, testosterone. Furosemid 1. Farmakologi
Mekanisme: Furosemid termasuk golongan loop diuretic. Berfungsi menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida di tubulus distal, tubulus proksimal dan lengkung henle, dengan cara mengganggu sistem kotransport ikatan klorida. Sehingga menyebabkan ion natrium dan klorida dieksresikan dengan urin.
Absorbsi: Bioavabilitas 47-64% per oral. Onset per oral 30-60 menit, Intramuskular (IM) 30 menit, Intravena (IV) 5 menit. Puncak efeknya per oral 1-2 jam sedangkan intravena <15 menit. Durasinya per oral 668jam, Intravena (IV) 2 jam.
Distribusi: Terikat Terikat protein 91-99%. 91 -99%. Vd 0.2L/kg
Metabolisme: Dimetabolisme di hepar (10%)
Eliminasi: Waktu paruhnya 30-120 menit jika fungsi ginjal baik, 9 jam jika pada gagal gagal ginjal kronis. Eksresi melalui melalui urin, jika per oral 50% dan Intravena 80%.
34
2. Indikasi
Edema yang berhubungan dengan Chronic Hearth Failure, Chronic Kidney Disease, Nephrotic syndrome,Sirosis Hepatis
Hipertensi yang telah resisten
Oedem Pulmo Akut
Krisis hipertensi
Peningkatan Tekanan Intracranial
Hiperkalemia saat Advanced Cardiac Life Support (ACLS)
Hipermagnesemia pada ACLS
3. Kontraindikasi
Hipersensitive terhadap Furosemid
Anuria
4. Bentuk sediaan
Injectable Solutio : 10mg/ml
Oral Solution : 10mg/ml, 8mg/ml
Tablet : 20mg, 40mg, 80mg
5. Dosis Aturan Pakai
Dewasa Edema : inisial 20-80mg/hari, boleh ditingkatkan 20-40 mg per 6-8jam. Maksimal 200mg/dosis. Atau dengan 20-40 20- 40 mg IM atau IV. IV. Bisa ditingkatkan 20mg/2jam, maksimal 200mg/dosis.
Hipertensi yang telah resisten: 20-80mg per oral dibagi setiap 12 jam
Oedem Pulo, Peningkatan TIK dan Krisis hipertensi: 0.5-1 mg/kgBB atau 40 mg IV selama 1-2 menit. Jika tida ada respon setelah 1 jam bisa ditingkatkan menjadi 80mg dengan dosis maksimal 160-200mg/dosis 160 -200mg/dosis
Hiperkalemia pada ACLS: 20-40 mg IV
Hipermagnesemia pada ACLS :20-40 mg per 3-4 jam (jika diperlukan)
Gagal ginjal akut: 1-3 g/hari
35
6. Efek Samping:
Hiperuricemia (40%), hipokalemia (14-60%), anafilaksis, anemia, anoreksia, diare, nyeri kepala, glikosuria, hipokalsemia, hipokalemia, hipotensi, nausea, fotosensitif, tinitus, urtikaria, vertigo dan lain-lain. 7. Interaksi Obat
Bila bereaksi dengan sefalosporin (cefalotin), NSAID dapat meningkatkan nefrotoksisitas.
Meningkatkan
ototoksisitas
jika
bereaksi
dengan
aminoglikosida, asam ethacrynic, dan obat yang ototoksik. Mengurangi level serum jika berekasi dengan aliskiren. Meningkatkan efek hipotensi jika digunakan dengan ACEI atau ARB. Meningkatkan risiko hiperkalemia jika bereaksi dengan K-sparing diuretic. Meningkatkan risiko cardiotoksisitas bila bereaksi dengan cardiac glycoside, antihistamin. Mengurangi level serum lithium. Meningkatkan efek hipoglikemik antagonis pada antidiabetik. Meningkatkan efek hipotensi jika bereaksi MAOIs. Meningkatkan hiponatremia jika berekasi dengan carbamazepin. Mengurangi natriuretic dan efek hipotensi jika bereaksi dengan indometacin. Menekan efek diuretik bila bereaksi dengan salisilat. Captopril 1. Farmakologi
Mekanisme: Captopril merupakan golongan Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena dengan kompetitif menghambat konversi angitensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor poten). ACEI juga menhambat metabolisme bradikinin yang beraksi pada penuruan preload dan after load pada jantung. ACEI juga menyebabkan ekskresi air dan sodium dengan cara menghambat angitensin II menginduksi menginduk si sekresi aldosterone, peningkatan potassium harus diobservasi. ACEI mempunyai efek
36
renoprotektif melalui vasodilatasi arteriole renalis. ACEI mempunyai efek kardiprotektif dengan mengurangi remodeling cardiac dan vaskuler yang berhubungan dengan hipertensi kronik, gagal jantung, miokard infark. Absorbsi: Bioavabilitas 70-75%. Onset per oral respon inisial 15-30
menit, puncak efeknya 60-90 menit. Durasinya peroral 8-12 jam. Range terapi: 0.05-0.5 mcg/ml
Distribusi: Terikat Terikat pada protein pr otein 25-30%. Vd 0.7L/kg
Metabolisme: di hepar (50%). Metabolitnya captopril-cysteine captopril-c ysteine disulfide (inaktif). Eliminasi: Waktu paruhnya 1.9 jam pada orang sehat, 2.06 jam pada
gagal jantung, 20-40 jam pada anuria. Eksresinya melalui urin (95%). 2. Indikasi
Hipertensi Akut dan Hipertensi
Congestive Heart Failure
Left Ventricle Disfunction after myocard infark
Diabetic Nephropathy
3. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap ACEI
Anuria
Riwayat ACEI menyebabkan angiodema
Keturunan angiodema
Stenosis arteri renal bilateral
Dikombinasikan dengan neprilysin inhibitor dan kombinasi dengan aliskiren pada pasien DM
4. Bentuk Sediaan
Tablet 12.5 mg, 25 mg, 50mg, 100mg
37
5. Dosis Pakai
Hipertensi Akut: 12.5 – 25 25 mg PO repeat PRN
Hipertensi: Inisial 25mg per 8-12jam tergantung respon pasien. Dosis pemeliharaan 25-150 mg per oral setiap 8-12 jam. Maksimal dosinya 450mg/hari
Congestive Heart Failure: Inisial 6.25-12.5 mg peroral setiap 8jam. Target terapi 50mg per 8 jam
Left Ventricle Disfunction after myocard infark: dosis inisial 6.25 mg per oral, diikuti 12.5 mg setiap 8 jam.
Diabetic Nephropathy: 25mg per 8jam PO
6. Efek Samping
Batuk kering, dispneu, nyeri kepala, nyeri abdomen, mulut kering, gangguan gastrointestinal, gangguan tidur, hiptensi, takikardi, nyeri dada, palpitasi, hiperkalemia, hiponatremi, pruritus, anafilaksis, anafilaksis, angiodema. 7. Interaksi Obat
Digunakan dengan NSAID dapat mengurangi aksi hipotensi dan meningkatkan resiko nephrotoksik. Dapat menimbulkan hiperkalemia jika bereaksi dengan suplementasi kalium, K-sparing diuretik dan obat lain seperti heparin. Meningkatkan risiko leukopenia jika bereaksi dengan procainamide, allopurinol, sitostatik, dan imunosupressan. Meningkatkan risiko toksiksitas litium. Meningkatkan risiko reaksi nitritoid dengan Na aurothiomalate.
Berpotensi
fatal
meningkatkan
risiko
hipotensi,
hiperkalemia, dan mengubah fungsi ginjal pada gagal ginjal aku jika bereaksi dengan aliskiren pada pasien diabetes.
38
Domperidon 1. Farmakologi
Mekanisme: Domperidone merupakan peripheral-dopamin receptor blocker.
Bekerja
dengan
meningkatkan
peristaltik
esofagus,
meningkatkan koordinasi gastroduodenal dan tekanan sfingter oesophageal bawah, motilitas dan peristaltik sebagai mekanisme pengosongan lambung dan mengurangi waktu transit usus halus.
Absorbsi: Diabsorpsi cepat pada saat lambung kosong. Makanan dapat memperlambat absorbsi. Bioavaibilitas 15% (oral dan rectal). Waktu puncaknya pada konsentrasi plasma 30 menint (oral), 1 jam (rectal).
Distribusi: Terikat Terikat pada plasma protein >90%
Metabolisme: Dimetabolisme di hepar dengan cepat melalui N-dealkylasi oleh isoenzim CYP3A4 dan hidrosilasi oleh CYP3A4, CYP1A2 dan CYP2E1 isoenzim
Eksrkesi: Dieksresikan melalui urin (30% sebagai metabolit), feses (66%, 10% as obat yang tidak berubah). Eliminasi 7.5 jam.
2. Indikasi
Mual muntah dan gangguan motilitas gastrointestinal 3. Kontraindikasi
Prolactin releasing pituitary tumor, gangguan hepar, perdarahan, obstruksi dan perforasi saluran pencernaan, 4. Bentuk Sediaan
Tablet dan suppositoria 5. Dosis Pakai
Mual muntah: Per oral dewasa 10-30mg/ hari. Anak (<= 12 tahun, <35kg) <35k g) 250mcg/kg- 750mcg/kg per hari, anak (>12 tahun, >= 35kg) dosis sama dengan dewasa. Per rectal dewasa 30mg, anak (<= 12 tahun, <35kg) 750mcg/kg, nak (>12 tahun, >= 35kg) dosis sama dengan dewasa.
39
Gangguan motilitas gastrointestinal: Per oral dewasa 10mg-30mg per hari
6. Efek Samping
Mulut kering, meningkatkan prolactin yang dapat menyebabakan galactorrhea, menorrhea, ginekomastia, nyeri payudara, kejang, reaksi distonia, urtikari, skin rash, pruritus, diarrhea, cemas, menurunkan menurunk an libido, astenia, nyeri kepala, agitasi dan retensi urin, aritmia, sudden cardiac death, anafilaksis, angiodema. 7. Interaksi Obat
Menyebabkan antagonis efek hipoprolaktinemia jika bereaksi bromocriptine. Menyebabkan antagonis efek prokinetik jika bereaksi dengan nalgesik opioid dan antimuskarinik. Jika bereaksi dengan ketokonazole, eritromisin, ritonavir dapat meningkatkan level domperidone serum dan meningkatkan risiko QT prolong.
Calsium Karbonat 1. Farmakologi
Mekanisme: Calcium carbonat dapat menetralisir asam lambung dengan cepat dan efektif. Namun, calsium carbonat bisa bersifat berlawanan, dapat mengaktivkan proses Ca dependent menyebabkan sekresi gastic dan Hcl. Itu bisa menginduksi rebound sekresi asam. Pemberian dosis yang tinggi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan hiperkalsemi, alkalosis dan sindrom alkali.
Absorpsi: mengubah menjadi calsium klorida oleh asam gastic. Beberapa Ca diabsorbsi dalam usus dalam bentuk terlarut atau ion Ca. Daya larut ca meningkat dalam kondisi asam.
Distribusi: dapat menembus plasenta dan ASI
Ekskresi: Ca yang tidak diabsorpsi dsebagian besar iekskresikan melalui feses dan sisanya melalui urin (20%)
40
2. Indikasi
Hiperacidity / Asidosis
Hiperfosfatemia pada pasien dengan CKD
3. Kontraindikasi
Pasien dengan Ca renal calculi atau mempunyai riwayat gangguan calculus renalis
Hipercalcemia
Hipophospatemia
Pasien dengan suspek toksisitas digoxin
4. Bentuk Sediaan
Tablet isap dan tablet kunyah dengan sediaan dosis 400mg, 500mg, 750mg, 1000mg, 1177mg. 5. Dosis Pakai
Hiperacidity / Asidosis : 1-2 tablet per hari maksimal 16 tablet per hari. Dengan 1 tablet mengandung 500mg calcium carbonat Hiperfosfatemia pada pasien dengan CKD: Inisial dosis 2.5g perhari sampai 17 g per hari dalam dosis terbagi 7. Efek Samping
Konstipasi, kembung, milk-alkali syndrome, kalsifikasi jaringan, hipersekresi gastric dan rebound asam klorida (jika penggunaan dalam dosis yang tinggi dan dalam jangka waktu lama) 8. Interaksi Obat
Digunakan dengan diuretik tiazid atau vitamin D dapat menyebabkan men yebabkan sindrom alkali dan hipercalsemia. Menurunkan absorpsi kortikosteroid, tetrasiklin, atenolol, Fe, quinolon, alendronate, Na fluoride, Zn, dan CCB. Meningkatkan efek cardiac pada digitalis glycoside dan mengendapkan digitalis intoksikasi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Arora, Pradeep. 2014. Chronic Kidney Disease. University of Buffalo State University of New York School of Medicine and Biomedical Sciences. http://emedicine. medscape.com/article/238798-overview. Diakses 27 Mei 2014. Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease. US Nephrology: 13-7.
Editorial.
Gagal
Ginjal
Kronik .
Diunduh
dari:
http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, 05 Februari 2011. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,
and
Stratification.
Diunduh
dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05 Februari 2011. Go AS, Chertow GM, Fan D, et al. Chronic kidney disease and the risks of death,cardiovascular events, and hospitalization. N Engl J Med 2004;351:1296 2004;351:1296305. Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Position Statement from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney International : 67; 2089-2100. Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010. Common Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81. McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease in Adults and Children. Canada:
Elsevier Mosby.
Murray L., Ian W., Tom T., Chee K C. 2007. Chronic Renal Failure in Ofxord ke- 7. New York: York: Oxford Handbook of Clinical Medicine. Edisi ke-7.
University. University. 294-
97.
42
Nahas, M.E. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, Davison AM. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press. 2003; hal 1648-98. National Kidney Foundation. Foundat ion. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease:
Evaluation,
Classification,
and
Stratification.
http://www.kidney http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm. .org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6 . Jakarta: EGC.
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I .
Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI: 579-580 Sarnak MJ, Levey AS, Schoolwerth AC, et al. Kidney disease as a risk factor for development of cardiovascular disease: a statement from the American Heart Association Councils on Kidney in Cardiovascular Disease, High Blood Pressure Research, Clinical Cardiology, and Epidemiology and Prevention. Circulation 2003;108:2154-69. Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3. The Japanese Society for Dialysis Therapy (ed). Illustrated Present Status of Chronic Dialysis Therapy in Japan (as of December 31, 2008). Tokyo: The Japanese Society for Dialysis Therapy; 2009. (in Japanese) Available on the internet at http://docs.jsdt.or.jp/overview/index2009.html The Japanese Society of Nephrology (ed). CKD Practice Guide 2009. Tokyo: Tokyo Igakusha; 2009. (in Japanese)
43