Presentasi Kasus
SEORANG LAKI-LAKI 39 TAHUN
DENGAN OD PTERIGIUM
Oleh:
Dewi Nareswari G99161032
Ellena Rachma Kusuma G99161037
Febimilany Riadloh G99161042
Pembimbing:
Djoko Susianto, dr., SpM
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak
pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau
sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata.
Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain
itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen,
kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara geografis, pterigium paling banyak
ditemukan di negara beriklim tropis. Karena Indonesia beriklim tropis,
penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. (Ilyas, 2001;
Riordan, 2010; Soewono, 2006).
Pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi
mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada
stadium lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar
gangguan penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi (Riordan, 2010; Soewono, 2006).
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Tn. AS
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh tani
Alamat : Sondakan, Laweyan
Tanggal periksa : 2 Oktober 2016
No. RM : 01 354681
Cara Pembayaran : BPJS
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama: mata kanan terasa mengganjal
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan mata kanan
terasa seperti ada yang mengganjal. Keluhan dirasakan sejak 4 hari yang
lalu. Pasien mengatakan bahwa saat bekerja di bengkel, mata kanan
pasien terkena percikan alat mesin gerinda. Pasien juga mengeluhkan
adanya pandangan yang kabur dan silau saat melihat cahaya. Keluhan juga
disertai denga mata kanan yang sering berair. Pasien sebelumnya
berusaha mengobati dengan obat tetes mata yang dibeli sendiri. Pasien
juga sempat berusaha mengambil benda asing dengan rambut dan potongan
kertas.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat trauma mata : disangkal
Riwayat operasi mata : operasi katarak ± 1 tahun yang lalu
Riwayat benjolan di mata : disangkal
Riwayat iritasi mata : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat benjolan di mata : disangkal
Riwayat infeksi / iritasi mata : disangkal
5. Kesimpulan
Anamnesis
" "OD "OS "
"Proses "Daging yang tumbuh " "
" "dari pinggir ke " "
" "tengah " "
"Lokalisasi "Konjungtiva bulbi "Konjungtiva bulbi "
"Sebab "Iritasi kronis "Iritasi kronis "
"Perjalanan "Kronis "Kronis "
"Komplikasi "Penurunan visus "Penurunan visus "
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum
Keadaan umum baik E4V5M6, gizi kesan cukup
T = 110/80 mmHg N = 72x/menit RR = 20x/menit S= 36,50C
2. Pemeriksaan Subyektif
OD OS
Visus Sentralis Jauh 6/60 6/60
Pinhole Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refraksi tidak dievaluasi tidak dievaluasi
Visus Perifer
Konfrontasi test
Lapang pandang pasien sama dengan lapang pandang pemeriksa
3. Pemeriksaan Obyektif
a. Sekitar Mata
Tanda radang tidak ada tidak ada
Luka tidak ada tidak ada
Parut tidak ada tidak ada
Kelainan warna tidak ada tidak ada
Kelainan bentuk tidak ada tidak ada
b. Supercilium
Warna hitam hitam
Tumbuhnya normal normal
Kulit sawo matang sawo matang
Geraknya dalam batas normal dalam batas normal
c. Pasangan Bola Mata dalam Orbita
Heteroforia tidak ada tidak ada
Strabismus tidak ada tidak ada
Pseudostrabismus tidak ada tidak ada
Exophtalmus tidak ada tidak ada
Enophtalmus tidak ada tidak ada
Anopthalmus tidak ada tidak ada
d. Ukuran Bola Mata
Mikrophtalmus tidak ada tidak ada
Makrophtalmus tidak ada tidak ada
Ptisis bulbi tidak ada tidak ada
Atrofi bulbi tidak ada tidak ada
Buftalmos tidak ada tidak ada
Megalokornea tidak ada tidak ada
e. Gerakan Bola Mata
Temporal superior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal inferior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal dalam batas normal dalam batas normal
Nasal dalam batas normal dalam batas normal
Nasal superior dalam batas normal dalam batas normal
Nasal inferior dalam batas normal dalam batas normal
f. Kelopak Mata
Gerakannya dalam batas normal dalam batas normal
Lebar rima 10 mm 10 mm
Blefarokalasis tidak ada
tidak ada
Tepi Kelopak Mata
Oedem tidak ada tidak ada
Margo intermarginalis tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Entropion tidak ada tidak ada
Ekstropion tidak ada tidak ada
g. Sekitar Saccus Lakrimalis
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
h. Sekitar Glandula Lakrimalis
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
i. Tekanan Intra Okuler
Palpasi Kesan dbn Kesan dbn
Tonometer Schiotz tidak dilakukan tidak dilakukan
Non contact tonometer tidak dilakukan tidak dilakukan
j. Konjungtiva
Konjungtiva Palpebra
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
Konjungtiva Fornix
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
Konjungtiva Bulbi
Penebalan konjungtiva
berbentuk segitiga
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis ada tidak ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
Injeksi konjungtiva ada tidak ada
Caruncula dan Plika Semilunaris
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sikatrik tidak ada tidak ada
k. Sklera
Warna putih putih
Penonjolan tidak ada tidak ada
l. Kornea
Ukuran 12 mm 12 mm
Limbus keruh keruh
Permukaan cembung cembung
Sensibilitas normal normal
Fluoresin Test tidak dilakukan tidak dilakukan
Arcus senilis (+) (+)
Penebalan Konjungtiva
berbentuk segitiga (+) (-)
m. Kamera Okuli Anterior
Isi jernih jernih
Kedalaman dalam dalam
n. Iris
Warna coklat coklat
Bentuk radier radier
o. Pupil
Ukuran 3 mm 3 mm
Bentuk bulat bulat
Tempat sentral sentral
Reflek direk (+) (+)
Reflek indirek (+) (+)
Reflek konvergensi baik baik
p. Lensa
Ada/tidak ada ada
Kejernihan jernih jernih
Letak sentral sentral
q. Corpus Vitreum
Kejernihan tidak dilakukan tidak dilakukan
D. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
" "OD "OS "
"Visus Sentralis Jauh "6/60 "6/60 "
"Pinhole "Tidak dilakukan "Tidak dilakukan "
"Visus Perifer " " "
"Konfrontasi test "Lapang pandang sama "Lapang pandang sama "
" "dengan pemeriksa "dengan pemeriksa "
"Sekitar mata "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Supercilium "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Pasangan bola mata "dalam batas normal "dalam batas normal "
"dalam orbita " " "
"Ukuran bola mata "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Gerakan bola mata "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Kelopak mata "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Sekitar saccus "dalam batas normal "dalam batas normal "
"lakrimalis " " "
"Sekitar glandula "dalam batas normal "dalam batas normal "
"lakrimalis " " "
"Tekanan Intra Okuler "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Konjunctiva bulbi "Penebalan konjungtiva"dalam batas normal "
" "berbentuk segitiga " "
" "(+), hiperemis (+) " "
"Sklera "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Kornea "Penebalan konjungtiva"dalam batas normal "
" "berbentuk segitiga " "
" "(+) " "
"Camera oculi anterior "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Iris "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Pupil "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Lensa "dalam batas normal "dalam batas normal "
"Corpus vitreum "tidak dilakukan "tidak dilakukan "
" " " "
E. GAMBARAN KLINIS
Okuler Dekstra
Okuler Dekstra
Okuler Dekstra
F. DIAGNOSIS BANDING
OD Pterigium
OD Pseudopterigium
G. DIAGNOSIS
OD Pterigium
H. TERAPI
Non Medikamentosa
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana pengobatan,
serta komplikasi yang dapat terjadi
Menjelaskan perlunya kontrol
Menyarankan pasien agar menghindari pajanan sinar matahari, debu,
dan asap
Menyarankan pasien agar menggunakan kacamata atau topi bila
bepergian
Edukasi pasien bahwa dapat dilakukan tindakan pembedahan namun dapat
terjadi rekurensi
Medikamentosa
Cendo Lyteers ED tiap 4 jam 1 tetes OD
Cendo Polydex ED tiap 6 jam 1 tetes OD
Na Diklofenak tab 2 x 50 mg
I. PLAN
Kontrol poli mata dalam 3 hari
J. PROGNOSIS
OD OS
Ad vitam bonam bonam
Ad sanam dubia ad bonam dubia ad bonam
Ad kosmetikum dubia ad bonam dubia ad bonam
Ad fungsionam dubia ad bonam dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Bola Mata
Bola mata menempati kira-kira 20% ruang orbita. Bola mata terdiri
dari dinding bola mata, ruang-ruang mata, dan isi bola mata. Dinding
bola mata tersusun atas tunika fibrosa yang terdiri dari kornea dan
sklera, tunika vaskulosa atau uvea yang terdiri dari iris, badan siliar,
dan koroid. Serta tunika nervosa yang terdiri dari retina dan epitel
pigmen (Hartono, 2012).
1. Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan
transparan dan avaskuler. Bentuk kornea agak elips dengan diameter
horizontal 12 mm dan diameter vertical 11 mm. Jari-jari kurvatura
depan 7,84 mm dan jari-jari kurvatura belakang 7 mm. Kornea bagian
sentral berbentuk sferis, sedangkan bagian tepi agak mendatar
sehingga dapat menghilangkan aberasi sferis (Hartono, 2012). Pusat
kornea dianggap sebagai polus anterior bola mata, sedang polus
posterior ada di dinding belakang bola mata. Garis yang
menghubungkannya disebut sumbu bola mata. Jaraknya dinamakan diameter
anteroposterior (Gunawan, 1995). Kornea ke belakang melanjutkan diri
sebagai sklera, dan perbatasan antara kornea dengan sklera disebut
limbus. Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi
sebesar +43 dioptri. Kornea mempunyai daya bias sama dengan air
sehingga daya refraksi kornea hanya efektif di udara. Berbeda dengan
sklera, kornea ini jernih karena letak epitel kornea yang sangat
teratur, letak serabut kolagen yang teratur dan padat, kadar air yang
konstan, dan tidak adanya pembuluh darah (avaskuler). Sifat avaskuler
ini penting untuk penerimaan transplantasi (pencangkokan) kornea oleh
resipien dari donor siapapun tanpa memandang kesamaan sifat genetis
(Hartono, 2012).
2. Sklera
Sklera merupakan lanjutan ke belakang dari kornea. Sklera
tersusun dari tiga lapisan yaitu episkleral, stroma, dan lapisan
dalam (lapisan melanosit). Episkleral adalah jaringan pengikat yang
sangat vaskuler (Gunawan, 1995). Tebal sklera pada polus posterior 1
mm dan pada ekuator 0,5 mm (Hartono, 2012).
3. Uvea
Uvea terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Uvea merupakan
lembaran yang tersusun oleh pembuluh darah, serabut saraf, jaringan
ikat, otot, dan bagian depannya berlubang yang disebut pupil
(Hartono, 2012). Iris merupakan membran datar dan merupakan lanjutan
ke depan badan siliar. Tebal iris kira-kira 0,2 mm, dan mudah
mengembang. Fungsi iris adalah memberi warna mata, dan menyerap
cahaya yang masuk ke mata. Lapisan iris dari depan ke belakang adalah
: (1) endotel, (2) stroma yang terdiri atas jaringan ikat, sel-sel
pigmen, vasa darah, dan saraf, (3) lapisan otot untuk mengatur luas
pupil, (4) lapisan epitel pigmen yang merupakan lanjutan dari epitel
pigmen retina. Ditengah iris terdapat pupil yang sangat penting
mengatur besarnya sinar yang masuk ke mata. Pada iris terdapat dua
macam otot yang mengatur besarnya pupil yaitu muskulus dilatators
pupil untuk melebarkan pupil yang mendapat inervasi saraf simpatis
dan muskulus sfingter pupil untuk mengecilkan pupil yang mendapat
inervasi saraf parasimpatis (N. III). Fungsi pupil adalah (1)
mengatur jumlah cahaya yang menuju retina, (2) memperkecil aberasi
sferis dan aberasi kromatis, kedua macam aberasi ini ditimbulkan oleh
sistem optik kornea dan lensa perifer yang tidak sempurna, (3)
meningkatkan kedalaman fokus. Apabila pupil lebar, maka akan
meningkatkan aberasi kromatis dan aberasi sferis. Sebaliknya apabila
pupil mengecil akan meningkatkan difraksi cahaya di tepi pupil,
sehingga menurunkan kualitas bayangan, tetapi meningkatkan kedalaman
fokus (Hartono, 2012). Pupil yang kecil disebut miosis dengan
diameter kurang dari 3 mm, sedangkan pupil yang lebar disebut
midriasis dengan diameter lebih dari 6 mm. Isokori berarti diameter
kedua pupil adalah sama. Anisokori berarti diameter pupil kedua mata
tidak sama, istilah ini hanya berlaku kalau perbedaan diameter pupil
0,3 mm atau lebih besar. Ukuran pupil ditentukan oleh beberapa faktor
yang meliputi umur, status emosi, tingkat kewaspadaan, tingkat
iluminasi retina, jarak melihat (jauh atau dekat), dan besarnya usaha
akomodasi (Hartono, 2006).
Ada dua refleks pupil yang penting diketahui yaitu refleks
cahaya dan refleks melihat dekat. Refleks cahaya terjadi saat satu
mata disinari, akan terjadi konstriksi (pengecilan) pupil, baik untuk
pupil mata yang disinari maupun pupil mata yang tidak disinari.
Refleks cahaya direk normal jika bagian aferen dan eferen mata yang
disinari normal. Refleks cahaya indirek normal kalau bagian aferen
mata yang disinari normal dan eferen mata kontralateral normal.
Sedangkan refleks melihat dekat adalah terjadinya konstriksi pupil,
akomodasi, dan konvergensi (trias melihat dekat) yang terjadi ketika
mata melihat obyek dekat. Refleks ini terjadi karena benda mendekati
pengamat sehingga menimbulkan refleks akomodasi yang berpusat di
lobus frontalis; dan adanya bayangan yang kabur di retina akan
dirasakan di lobus oksipitalis dan akan dikoreksi lewat traktus
oksipitotektalis sehingga terjadi akomodasi, konvergensi, dan mungkin
juga miosis. Namun trias melihat dekat tidak selalu lengkap, pada
orang yang akomodasinya sudah lumpuh total (afakia, pseudofakos, umur
lanjut) hanya terdapat konvergensi dan miosis (Hartono, 2006).
Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak antara iris dan
koroid, batas belakangnya adalah ora serata. Badan siliar banyak
mengandung pembuluh darah kapiler dan vena. Fungsi badan siliar
adalah (1) badan siliar mengandung muskulus siliaris yang penting
untuk akomodasi, (2) badan siliar sebagai tempat melekatnya zonula
Zinii (ligamentum suspensorium lentis), (3) menghasilkan humor
aquosus (disekresi oleh sel-sel prosesus siliaris), (4) kontraksi
muskulus siliaris (saat penetesan pilokarpin) juga akan membuka
lubang-lubang trabekulum sehingga akan memperlancar keluarnya humor
aquosus (Hartono, 2012). Kontraksi otot siliaris menyebabkan lensa
lebih cembung dan bisa meningkatkan kekuatan refraksi untuk melihat
dekat. Relaksasi otot siliaris menyebabkan lensa berkurang
kecembungannya sehingga mata dapat memfokuskan benda lebih jauh
(Gunawan, 1995).
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak
antara retina dan sklera, dan terdiri atas anyaman pembuluh darah.
Fungsi utama koroid adalah memberi nutrisi lapisan pigmen retina dan
sel-sel fotoreseptor, serta mendinginkan retina karena retina selalu
terkena cahaya dan mempunyai metabolisme yang sangat besar sehingga
ada efek panas (Hartono, 2012).
4. Retina
Retina merupakan dua pertiga dinding bagian dalam bola mata.
Retina merupakan membran tipis transparan, berbentuk seperti jaring,
dan mempunyai metabolisme oksigen yang sangat tinggi. Luas permukaan
retina kira-kita 17 cm2 dengan ketebalan 0,2 mm. Bagian retina yang
mengandung sel-sel epitel dan retina sensoris disebut pars optika
retina yang artinya bagian yang dapat untuk melihat. Bagian yang
hanya terdiri dari sel-sel epitel pigmen yang meluas dari ora serata
sampai tepi belakang pupil disebut pars seka retina yang berarti
bagian yang buta (Hartono, 2012). Retina berisi dua macam
fotoreseptor, yaitu : sel kerucut yang sensitif terhadap warna dan
sel batang yang sensitif terhadap derajat penyinaran. Makula adalah
daerah retina di tengah, memberikan penglihatan paling tajam dan
papil optik terletak di sebelah nasal makula. Fovea sentral berupa
lekukan tersusun oleh kerucut merupakan bagian retina yang
menyebabkan penglihatan paling tajam (Gunawan, 1995).
5. Ruang di Bola Mata
Di dalam mata ada dua kamera okuli, yaitu kamera okuli anterior
(KOA) dan kamera okuli posterior (KOP), yang keduanya berisi humor
aquosus. KOA dibatasi oleh kornea, permukaan depan iris, dan kapsul
depan lensa. Pada tepi KOA terdapat sudut irido kornealis, dan pada
apeksnya terdapat kanal Schlemm. KOA dihubungkan dengan kanal Schlemm
lewat anyaman trabekulum. Kanal Schlemm kemudian berhubungan dengan
sistem vena episklera lewat kanal-kanal pembuang yang disebut kanal
kolektor. KOP terletak dibelakang KOA dibatasi oleh permukaan
belakang iris, badan siliaris, lensa dan badan kaca. Humor aquosus
diproduksi oleh badan siliar, yaitu pada prosesus siliaris. Susunan
humor aquosus adalah seperti darah, tapi bebas sel dan kadar
proteinnya lebih rendah sehingga jernih. Humor aquosus berperan
merendam dan memberi nutrisi pada kornea dan lensa (Hartono, 2012).
6. Badan Kaca
Di dalam mata juga ada ruang badan kaca. Ruang badan kaca
merupakan ruang yang terbesar yaitu 4/5 dari isi bola mata dan berisi
badan kaca (badan lirkaca, korpus vitreum) yang terdiri dari 99% air
dan 1% gabungan antara kolagen dan asam hialuronat. Asam hialuronat
ini bekerja sebagai penahan goncangan yang kuat. Badan kaca berfungsi
memberi bentuk bola mata dan merupakan salah satu media refrakta
(media bias). Dengan bertambahnya umur, sebagian serabut kolagen
badan kaca akan terputus dari superstruktur utamanya. Serabut yang
bebas ini kemudian akan mengalami kondensasi menjadi bola-bola atau
jerat-jerat yang mengapung bebas yang disebut floaters (Hartono,
2012).
7. Lensa
Isi mata yang tidak kalah penting adalah lensa. Yaitu bangunan
bikonveks yang tersusun oleh epitel yang mengalami diferensiasi
tinggi. Lensa digantungkan pada badan siliar oleh ligamentum
suspensorium lentis (zonula Zinii). Secara klinis, lensa terdiri dari
kapsul, korteks, nukleus embrional, dan nukleus dewasa (Hartono,
2012). Dengan bertambahnya umur, serabut lamel sub epitel terus
dibentuk, sehingga lensa makin lama makin besar dan kurang lentur
(Gunawan, 1995). Lensa berfungsi sebagai media refrakta (alat
dioptri). Media refrakta yang lain adalah kornea, humor aquosus dan
badan kaca. Kekuatan dioptri lensa kira-kira +20 D. Pada anak dan
orang muda, lensa dapat mengubah kekuatan dioptrinya saat melihat
dekat agar bayangan jatuh di retina. Makin tinggi umur seseorang,
maka makin berkurang kekuatan penambahan dioptrinya. Kemampuan lensa
untuk menambah kekuatan refraksinya (kekuatan positifnya) disebut
akomodasi. Pada orang yang masih mempunyai akomodasi, maka pada saat
melihat dekat terjadi 3 peristiwa (trias melihat dekat) yaitu
akomodasi, miosis, dan konvergensi. Pada orang usia lanjut yang
akomodasinya lumpuh, otot siliar tetap dapat berkontraksi saat
berusaha melihat dekat, tapi tidak terjadi akomodasi karena lensa
telah kaku, sehingga tidak dapat menambah kecembungan (Hartono,
2012).
Mata secara optik dapat disamakan dengan sebuah kamera fotografi
biasa. Sistem lensa mata terdiri atas 4 perbatasa refraksi : (1)
perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara, (2) perbatasan
antara permukaan posterior kornea dan humor aquosus, (3) perbatasan
antara humor aquosus dan permukaan anterior lensa mata, dan (4)
perbatasan antara permukaan posterior lensa mata dan humor vitreous.
Indeks internal udara adalah 1; kornea 1,38; humor aquosus 1,33;
lensa kristalina (rata-rata) 1,40; dan humor vitreous 1,34 (Guyton,
2007). Karena adanya perbedaan indeks bias tersebut pada mata terjadi
pembiasan cahaya (Guyton, 2007). Berkas cahaya yang melewati dua
media dengan indeks bias yang berbeda akan dibelokkan, yang sering
kita sebut sebagai pembiasan cahaya atau refraksi.
Mata memiliki system refraksi yang terdiri dari kornea, humor
aquous, lensa, dan corpus vitreum/ badan kaca.
Makin besar sudut pembelokan cahaya yang diakibatkan, makin
besar "daya bias" media tersebut. Ukuran daya bias disebut dioptri.
Mata memiliki daya bias total sebesar 59 Dioptri, sekitar dua pertiga
dari daya bias tersebut dihasilkan oleh permukaan anterior kornea
karena indeks bias kornea sangat berbeda dari indeks bias udara.
Sedangkan lensa mata hanya memiliki daya bias sebesar 20 Dioptri
karena indeks bias lensa mata tidak jauh berbeda dengan indeks bias
humor aquous dan badan kaca.
Seperti yang kita ketahui, bentuk lensa mata kita adalah cembung
atau koveks. Jarak dibelakang lensa konveks sampai pada tempat berkas
cahaya sejajar menyatu menjadi titik focus disebut jarak focus dari
lensa. Cahaya yang datang dari jarak yang jauh (lebih dari 5-6
meter), masuk ke dalam mata secara parallel. System refraksi mata
akan membelokkan cahaya tersebut agar jatuh tepat di retina.
Sedangkan cahaya yang datang dari jarak yang cukup dekat (kurang dari
5-6 meter), cahaya tersebut akan menyebar karena jaraknya yang tidak
jauh dari lensa, sehingga cahaya tersebut tidak difokuskan pada jarak
yang sama seperti yang dihasilkan oleh cahaya sejajar. Dengan kata
lain, bila berkas cahaya yang telah menyebar memasuki lensa konveks,
jarak focus yang dihasilkan akan lebih jauh dari jarak focus lensa
yang dihasilkan oleh cahaya sejajar. Namun, jarak focus cahaya yang
menyebar dapat menjadi sama dengan jarak focus cahaya sejajar di
belakang lensa dengan cara mengubah kecembungan lensa. Peristiwa
berubahnya kecembungan lensa saat melihat benda dekat inilah yang
disebut dengan akomodasi (Guyton, 2007).
Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi
akibat kontraksi otot siliar yang terletak pada badan siliar. Otot
siliaris hampir seluruhnya diatur oleh sinyal saraf parasimpatis yang
dijalarkan ke mata melalui saraf cranial III dari nucleus saraf III
pada batang otak. Perangsangan saraf parasimpatis menimbulkan
kontraksi otot siliaris yang akan mengendurkan ligament lensa,
sehingga menyebabkan lensa menjadi semakin tebal dan meningkatkan
daya biasnya. Dengan meningkatnya daya bias, mata mampu melihat objek
lebih dekat dibanding sewaktu daya biasnya rendah (Guyton, 2007).
Akibat akomodasi, daya bias lensa bertambah sehingga titik-titik yang
letaknya lebih dekat pada mata dibiaskan jatuh pada retina. Punctum
remotum adalah titik terjauh yang tanpa akomodasi dibiaskan jatuh
pada retina, yaitu pada jarak ± 5-6 meter. Punctum proximum adalah
titik terdekat yang dengan akomodasi maksimum dibiaskan jatuh pada
retina, yaitu pada jarak ± 30 cm.
B. Pterygium
1. Definisi
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva
bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya sayap (Stephen GW, 2004).
2. Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah
berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah
dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan
Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat
ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400
Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di
daerah ekuator, yaitu 13,1% (Edward, 2002).
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.
Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan
ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49.
Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur
tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar
rumah (Stephen, 2004; Edward, 2002).
3. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan
yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan
tertentu di udara dan faktor herediter (Edward, 2002).
a. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan
proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan
kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
b. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau
perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis
kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan
teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya
pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy
antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan
trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus
papilloma juga penyebab dari pterygium (Edward, 2002).
4. Patogenesis
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit
ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh
karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah
respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang
dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan
konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan
fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden
pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini
(American Academy of Ophtalmology, 2007-2008).
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-
beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses
kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi
elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian
menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran
bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia (American Academy of Ophtalmology, 2007-2008).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan
konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal
adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.
Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak
penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari
defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar
ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra
(Edward, 2002).
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan
perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media
mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast
konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium
menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler
berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah
bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh,
invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi
(Edward, 2002).
5. Gambaran Klinis Dan Pembagian Pterygium
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di
luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di
daerah nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat
terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang
ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris.
Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga
menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur (Edward,
2002).
Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk
segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura
interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi
pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel
kornea anterior dari kepala pterygium (stoker's line) (Stephen, 2004).
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head)
dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan
ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada
tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium (Stephen, 2004).
Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas
2 tipe, yaitu :
a. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat
di depan kepala pterygium (disebut cap pterygium).
b. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang (Edward,
2002).
Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik.
Gangguan terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau
menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap
regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya
pergerakan mata (Edward, 2002).
Pembagian lain pterygium yaitu :
a. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit
besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi
sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan.
Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih
cepat.
b. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmatisma.
c. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya
menyebabkan gangguan pergerakan bola mata (Kanskii, 2007).
Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
a. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam
keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
d. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
6. Diagnosa Banding
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi,
masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di
fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan
eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim
tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan
sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.
Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya
membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal
degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya
jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju
kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat
inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia,
konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea.
Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada
limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat
dilakukan pada pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan
antara head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari
ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium
(Stephen, 2004; Edward, 2002).
7. Penatalaksanaan
Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering
ditangani dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal
seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk
menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk
mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet (Stephen, 2004; Nema, 2002; Riordani,
2004; Gazzard, 2002).
Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan
pada kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan
bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea
atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata (American
Academy of Ophtalmology, 2007).
Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan
mata yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat
pterygium dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi
pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus
lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan
untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik operasi yang dapat
menjadi pilihan yaitu :
a. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi
tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
b. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama
(efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).
c. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian
flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
d. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk
membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
e. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva
superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian
dipindahkan dan dijahit.
f. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren
pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata
dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva
dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta
irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang
digunakan.
g. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy
dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan
steroid.
8. Komplikasi
Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis
pada konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi
dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang
dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan
degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada (Gazzard,
2002).
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera,
graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar,
korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion
cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot
rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post
operasi (Edward, 2002).
9. Prognosa
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik,
rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas
kembali (Fisher, 2005).
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu
masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk
pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun
transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft
atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 –
6 bulan pertama setelah operasi (Fisher, 2005).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi, pasien didiagnosa
dengan pterigium.
B. Saran
Pasien perlu diedukasi setiap beraktivitas di luar wajib menggunakan
alat pelindung standar, seperti topi atau kacamata untuk mencegah
paparan sinar UV
Menjaga kebersihan agar tidak terjadi infeksi
Apabila sudah mengganggu penglihatan atau kosmetik, bisa dilakukan
tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. External Disease and Cornea. BSSC,
section 8, 2007 – 2008
Atilla Alpay, Suat Hayri Ug.urbas, Berktug. Erdog.an, Comparing techniques
for pterygium surgery, available in :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2709008/
Donald TH. Pterygium in Clinical Ophthalmology – An Asian Perespective,
Singapore, chapter 3, Saunders Elsevier, 2000
Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular Surface Disease, Medical Surgical
management, 2002
Fisher JP, Pterygium, available in:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
Gazzard G, Saw S – M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia : Prevalence, severity and risk factors, British Journal of
Ophthalmology, 2002
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.
hal: 116-117.
Kanskii J.J. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach,
6thed, 2007
Khurana AK. Community Ophthalmology in Comprehensif Ophthalmology, chapter
20, 4thed, New Age International (P) Limited, New Delhi, 2007
Nema HV. Textbook of Ophthalmology, 4thed, Jaypee Brothers, 2002
Riordan, Paul dkk. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Jakarta;EGC
Riordani Paul-Eva. Conjunctiva in Vaughan & Asbury's General Ophthalmology,
chapter 5, 6thed. Mc Graw Hill. Singapore, 2004
Soewono, W., Oetomo, M.M., Eddyanto, 2006. Pterigium, in: Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III 2006. pp. 102–104.
Stephen GW. Pterygium in Duane's Clinical Ophthalmology, chapter 35, vol 6,
Lippincont William & Wilkin, 2004
-----------------------
tidak ada
ada,