BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuanya didalam tubuh,yaitu tempat kerjanya atau targetsite,obat harus mengalami banyak proses. Dalam garis besarnya,proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu fase farmasetik,fase farmokinetika dan fase farmokodinamika.
Efek obat tidak tergantung dari factor farmakologi saja,tetapi juga dari bentuk pemberian dan terutama dari formulasinya. Dimana fator formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh yaitu benuk fisis zat aktif,keadaan kimiawi,zat pembantu,dan proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan.
Mengingat proses perjalanan obat didalam tubuh ini merupakan proses penting yang menentukan berhail atau tidaknya obat itu memberikan suatu efek bagi tubuh maka didalam makalah ini kami akan membahas tentang perjalanan obat didalam tubuh secara lebih dalam lagi.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah ingin lebih memahami proes dan nasib obat yang terjadi di dalam tubuh. Karena seperti yang telah kita ketahui bahwa keberhasilan obat mencapai target akan menimbulkan efek yang diharapkan. Selain itu juga maksud dengan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memahami proses obat yang bisa memberikan efek yang tak diinginkan dan bagaimana obat bisa bersifat racun didalam tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perjalanan Obat Dalam Tubuh (ADME)
Obat yang diberikan pada pasien, akan banyak mengalami proses sebelum tiba pada tempat aksi atau jaringan sasaran. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat atau fase, yaitu fase biofarmasetik atau farmasi, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam kosentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon. Tercapainya kosentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan, tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian lain dari badan. Efek karakteristik dari obat akan hilang, apabila obat telah Bergerak ke luar dari badan dan konsekuens i dari letak aksinya baik dalam bentuk yang tidak berubah atau setelah mengalami metabolisme obat dan terjadi metabolit yang dikeluarkan melalui proses ekskresi. Oleh karena itu sangat penting diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat dengan proses absorbs, distribusi, metabolism dan ekskresi, bila kita menentukan suatu dosis, rute, bentuk obat yang diberikan bila dikehendaki efek terapi yang diinginkan dengan efek toksik yang minimal
Faktor-faktor formulasi yang dapat merubah efek obat dalam tubuh adalah:
Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, kehalusannya)
Keadaan kimiawi (ester, garam, garam kompleks dsbnya)
Zat-zat pembantu (zat pengisi, pelekat, pelicin, pelindung dan sebagainya)
Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan
2.2 fase-fase perjalanan obat dalam tubuh
Skema:
Fasa Biofarmasi atau Farmasetika
adalah fase yang meliputi waktu mulai penggunaan obat melalui mulut sampai pelepasan zat aktifnya kedalam cairan tubuh. Fase ini berhubungan dengan ketersediaan farmasi dari zat aktifnya dimana obat siap diabsorbsi.
Dalam biofarmasi ini kita akan mengenal beberapa istilah yang berhubungan dengan aspek-aspek yang kita pelajari :
Ketersediaan farmasi (Farmaceutical Availability)
Adalah ukuran waktu yang diperlukan oleh obat untuk melepaskan diri dari bentuk sediaannya dan siap untuk proses resorpsi. Kecepatan melarut obat tergantung dari berbagai bentuk sediaan dengan urutan sebagai berikut:
Larutan – suspensi – emulsi – serbuk – kapsul – tablet – enterik coated – long acting.
Ketersediaan hayati (Biological Availability)
Adalah prosentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapeutiknya.
Kesetaraan terapeutik (Therapeutical Equivalent)
Adalah syarat yang harus dipenuhi oleh suatu obat paten yang meliputi kecepatan melarut dan jumlah kadar zat berkhasiat yang harus dicapai di dalam darah. Kesetaraan terapeutik dapat terjadi pada pabrik yang berbeda atau pada batch yang berbeda dari produksi suatu pabrik.
Bioassay dan standardisasi
Bioassay adalah cara menentukan aktivitas obat dengan menggunakan binatang percobaan seperti kelinci, tikus, kodok dan lain-lain.
Standarisasi ialah kekuatan obat yang dinyatakan dalam Satuan Internasional atau IU (International Unit) yang bersamaan dengan standart-standart internasional biologi dikeluarkan oleh WHO. Ukuran-ukuran standart ini disimpan di London dan Copenhagen. Tetapi setelah metode Fisiko-Kimia dikembangkan, bioassay mulai ditinggalkan, begitu pula dengan penggunaan satuan biologi dan selanjutnya kadar dinyatakan dalam gram atau miligram. Obat yang kini masih distandarisasi secara biologi adalah insulin (menggunakan kelinci), ACTH (menggunakan tikus), antibiotik polimiksin dan basitrasin, vitamin A dan D, faktor pembeku darah, preparat-preparat antigen dan antibody, digitalis dan pirogen.
Fasa Farmakokinetika
adalah fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk sediaan. Obat harus di absorbsi ke dalam darah, yang akan segera di distribusikan melalui tiap-tiap jaringan dalam tubuh. Dalam darah obat dapat mengikat protein darah dan mengalami metabolisme, terutama dalam melintasi hepar (hati). Meskipun obat akan didistribusikan melalui badan, tetapi hanya sedikit yang tersedia untuk diikat pada struktur yang telah ditentukan.
Skema farmakonetik
A. Absorbsi
Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah. Kecepatan dan efesiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intravena, absorbs sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik. Proses absorbsi sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada umumnya obat yang tidak diabsobsi tidak menimbulkan efek, kecuali antasida dan obat yang bekerja local. Proses absorbs terjadi diberbagai tempat pemberian obat, seperti saluran cerna, otot, rangka, paru-paru, kulit dan sebagainya. Transfer obat dari saluran cerna tergantung pada sifat-sifat kimianya, obat-obat bisa diabsorbsi dari saluran cernasecara difusi pasif atau transport aktif.
Absorbsi dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain :
1. Kelarutan obat
Agar dapat diabsorbsi, obat harus dalam larutan. Obat yang diberikan dalam larutan akan lebih cepat diabsorbsi daripada yang harus larut dulu dalam cairan tubuh sebelum diabsorbsi. Obat yang sukar sekali larut akan sukar diabsorbsi pada saluran gastrointestinal.
2. Kemampuan difusi melalui sel membrane
Semakin mudah terjadi difusi dan makin cepat melintasi sel membrane, makin cepat obat diaborbsi.
3. Kosentrasi obat
Semakin tinggi kosentrasi obat dalam larutan, makin cepat diabsorbsi.
4. Sirkulasi pada letak absorbsi
Jika tempat absorbsi mempunyai banyak pembuluh darah, maka absorbs obat akan lebih cepat dan lebih banyak. Misalnya pada injekasi anestesi local ditambah adrenalin yang dapat menyebabkan vasokonstriksi, dimaksudkan agar absorbs obat diperlambat dan efeknya lama.
5. Luas permukaan kontak obat
Obat lebih cepat diabsorbsi olehi bagian tubuh yang mempunyai luas permukaan yang besar, misalnya endetarium paru-paru, mokusa usus, dan usus halus.
6. Bentuk sediaan cair
Kecepatan absorbs obat tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari bahan pembawanya. Urutan kecepatan obat dari bentik peroral sebagai berikut : larutan dalam air – serbuk - kapsul - tablet bersalut gula - tablet bersalut enteric.
Beberapa hal sebagai contoh dimana bentuk obat mempengaruhi absorbs :
- Absorbs obat dapat diperpanjang dengan penggunaan bentuk obat long-acting.
- Kecepatan absorbs injeksi dapat diturunkan dengan menggunakan suspense atau emulsi, untuk obat yang sukar larut.
- Absorbs obat dapat dipercepat dengan memperkecil ukuran partikel.
- Jumlah dan sifat bahn pengikat serta bahan penghacur, tekanan tablet akan mempenggaruhi absorbs obat dalam bentuk tablet,
7. Rute cara pemberian obat
Rute cara pemakaian obat bermacam-macam antara lain :
- Melalui mulut (oral)
- Melalui sublingual (dibawah lidah) atau buccal (antara gusi dan pipi)
- Melalui rectal
- Melalui parental
- Melalui endotel paru-paru
- Melalui kulit (efek local), topical
- Melalui urogenital (efek local)
- Melalui vaginal (efek local)
B. Distribusi
Obat setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah keseluruh badan. Dalam peredarannya, kebanyakan obat-obat di distribusikan melalui membrane badan dengan cara yang relative lebih muda dan lebih cepat dibanding dengan eliminasi atau pengeluaran obat.
Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel jaringan. Pengiriman obat dari plasma ke interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan ion obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas dari obat tersebut.
Factor-faktor penting yang berhubungan dengan distribusi obat antara lain :
Perfusi darah melalui jaringan
Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang tinggi adalah pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit adalah sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah (sakit jantung) akan mengubah perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat.
Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makromolekul
Penetrasi obat tergantung pada luasnya kadar gradient, bentuk yang dapat berdifusi bebas, factor seperti pH gradient dan ikatan pada konstituen intraseluler akan mempengaruhi akumulasi dalam jaringan.
Partisi ke dalam lemak
Obat yang larut dalam lipid dapat mencapai kosentrasi yang tinggi dalam jaringan lemak. Obat akan disimpan oleh larutan fisis dalam lemak netral. Jumlah lemak adalah 15% dari berat badan dan merupakan tempat penyimpanan untuk obat. Lemak juga mempunyai peranan dalam membatasi efek senyawa yang kelarutannya dalam lemak adalah tinggi dengan bekerja sebagai akseptor obat selama fase redistribusi.
Transfer aktif
Pemasukan ke dalam jaringan dapat juga terjadi dengan proses transport aktif. Metadon, propanolol dan amfetamin diangkut ke dalam jaringan paru-paru oleh proses aktif. Hal ini merupakan mekanisme yang penting untuk pemasukan obat tersebut yang besar dalam paru-paru.
Sawar
Distribusi obat ke susunan syaraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah otak dan sawar uri. Sawar darah otak, penetrasi obat dari peredaran darah ke dalam ruang ekstraseluler susunan saraf sentral dan cairan cerebrospinal dibatasi atau ditentukan oleh keadaan permukaan absorbs.
Ikatan obat dengan protein plasma
Factor yang penting dalam distribusi obat adalah ikatannya dengan protein plasma yang merupakan makromolekul. Banyak obat terikat dengan protein di dalam plasma darah dan jaringan lain. Umumnya ikatannya merupakan proses reversible dan akan berpengaruh terhadap ketersediaan obat.
Protein yang terdapat dalam plasma dan mengadakan ikatan dengan obat adalah albumin. Bentuk persamaan obat dengan protein dapat dituliskan sebagai berikut :
Obat + protein plasma kompleks obat-protein plasama
Ikatan senyawa kompleks obat tersebut akan berdisosiasi, hingga bentuk obat tersebut dapat diekskresikan.
C. Metabolisme
Metabolisme sering disebut biotransformasi dan merupakan suatu istilah yang menggambarkan metabolism obat. Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi terlebih dahulu agar dapat dikeluarkan dari badan. Pada dasarnya tiap obat merupakan zat asing yang tidak diinginkan oleh badan dan badan berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskersikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi yang merupakan peristiwa detoksifikasi.
Reaksi biotransformasi dapat berupa oksidasi, hidrolisa dan konjugasi. Biotransformasi berlangsung terutama di hati, di saluran pencernaan, tetapi beberapa obat mengalami biotransformasi di ginjal, plasma dan mukosa intestinal, meskipun secara kuantitatif letak tersebut dipandang tidak penting,
Perubahan yang terjadi disebabkan oleh reaksi enzim dan digolongkan menjadi 2 fase, yaitu fase pertama merupakan reaksi perubahan yang asintetik dan fase kedua merupakan reaksi konjugasi.
Dalam metabolisme senyawa asli mengalami perubahan kimiawi dan dianggap sebagai mekanisme eliminasi obat, meskipun masalah ekskresi metabolit tetap ada. Kebanyakan metabolit mempunyai sifat partisi yang nyata berbeda dibanding dengan senyawa aslinya terutama sifat lipofilnya menurun. Senyawa baru tersebut mudah diekskresikan karena tidak segera diabsorbsi dari cairan tubuli ginjal. Metabolism dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologi dari obat dengan bermacam-macam cara. Kebanyakan aktivitas farmakologi dapat menurun atau hilang setelah mengalami metabolism. Hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan lama maupun intensitas aksi obat. Pada beberapa obat yang disebut produk tidak aktif secara biologi, tetapi metabolisme obat itu dapat mengaktifkan obatnya dalam hal ini dimaksudkan agar tujuan terapi dapat tercapai.
D. Ekskresi
Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit. Jalan lain yang utama adalah eliminasi obat melalui system empedu masuk ke dalam usus kecil, obat atau metabolitnya dapat mengalami reabsorbsi (siklus enterohepatik) dan eliminasi dalam feses (kotoran manusia). Jalur ekskresi yang jumlah obat sedikit adalah melalui air ludah dan air susu merupakan suatu rute yang menimbulkan masalah bagi bayi yang disusui. Zat yang menguap seperti gas anestesi berjalan melalui epitel paru-paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang penting . ekskresi merupakan resultante dari 3 proses antara lain :
a. Filtrasi di glumerolus
Glumerolus merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui cela antara sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi disana.
b. Sekresi aktif di tubuli proksimal
Banyak obat diangkut melaui tubuli proksimal secara aktif ke dalam urine yang ada di tubuli dan disebut sekresi tubuli aktif. Sekresi obat dapat ditunjukan bila kecepatan pembuangan urine melebihi kecepatan filtrasi glomeruli.
c. Reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorbsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasi. Bila urine lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorbsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urine lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah.
Banyak metabolit obat yang berbentuk di hati di ekskresi ke dalam usus melalui empedu, kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya diekskresi melalui ginjal.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relative kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu.
Fasa Farmakodinamika
adalah fase dimana obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor dan siap memberikan efek. Fase farmakodinamik sendiri yang dipelajari adalah efek obat dalam tubuh atau mempelajari pengaruh obat terhadap fisiologis tubuh. Kebanyakan obat pada tubuh bekerja melalui salah satu dari proses interaksi obat dengan reseptor, interaksi obat dengan enzim, dan kerja obat non spesifik.Interaksi obat dengan reseptor terjadi ketika obat berinteraksi dengan bagian dari sel, ribosom, atau tempat lain yang sering disebut sebagai reseptor. Reseptor sendiri bisa berupa protein, asam nukleat, enzim, karbohidrat, atau lemak. Semakin banyak reseptor yang diduduki atau bereaksi, maka efeknya akan meningkat. Interaksi obat dengan enzim dapat terjadi jika obat atau zat kimia berinteraksi dengan enzim pada tubuh. Obat ini bisa dengan cara mengikat (membatasi produksi) atau memperbanyak produksi dari enzim itu sendiri. Contohnya obat kolinergik. Obat kolinergik bekerja dengan cara mengikat enzim asetilkolin esterase. Enzim ini sendiri bekerja dengan cara mendegradasi asetilkolin menjadi asetil dan kolin. Jadi ketika asetilkolin esterase dihambat, maka asetilkolin tidak akan dipecah menjadi asetil dan kolin.Yang ketiga adalah kerja non spesifik. Maksud dari kerja non spesifik adalah obat tersebut bekerja dengan cara tanpa mengikat reseptor. Contoh dari obat-obatan ini adalah Na-bikarbonat yang merubah cairan pH tubuh, alkohol yang mendenaturasi protein, dan norit yang mengikat toksin, zat racun, atau bakteri.
Obat yang berikatan dengan reseptor disebut agonis. Kalau ada obat yang tidak sepenuhnya mengikat reseptor dinamakan dengan agonis parsial, karena yang diikat hanya sebagian (parsial). Selain menimbulkan efek farmakologis, ketika reseptor diduduki suatu senyawa kimia juga bisa tidak menimbulkan efek farmakologis. zat tersebut diberinama antagonis. Jika nantinya obat antagonis dan agonis diberikan secara bersamaan dan obat antagonis memiliki ikatan yang lebi kuat maka dapat menghalangi efek agonis. Antagonis sendiri ada yang kompetitif dan antagonis non-kompetitif. Disebut antagonis kompetitif ketika obat itu berikatan di tempat yang sama dengan obat agonis.
2.3 Cara -cara pemberian obat
Disamping faktor formulasi, cara pemberian obat turut menentukan cepat-lambatnya dan lengkap atau tidaknya resorpsi obat oleh tubuh. Tergantung dari efek yang diinginkan,yaitu efek sistemis (di seluruh tubuh ) atau efek lokal ( setempat ), keadaan pasien dan sifat-sifat fisika – kimia obat.
Efek Sistemis
(1) Oral
Pemberiannya melalui mulut.
Mudah dan aman pemakaiannya , lazim dan praktis
Tidak dapat diterapkan untuk obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofillin) atau yang diuraikan oleh getah lambung (benzil penisilin, insulin,dan oksitosin)
Dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya
Digunakan untuk mencapai efek lokal dalam usus misalnya untuk obat cacing, dan obat diagnostik untuk pemotretan lambung-usus.
Pemberian antibiotik untuk sterilisasi lambung-usus pada infeksi atau sebelum operasi.
(2) Oromukosal
Pemberian melalui mukosa di rongga mulut, ada dua macam cara yaitu :
Sub Lingual :
Obat ditaruh dibawah lidah
Terjadi resorpsi oleh selaput lendir ke vena-vena lidah yang sangat banyak.
Obat langsung masuk peredaran darah tanpa melalui hati (tidak di-inaktifkan).
Efek yang diinginkan tercapai lebih cepat.
Efektif untuk serangan jantung, asthma.
Kurang praktis untuk digunakan terus menerus karena dapat merangsang selaput lendir mulut.
Bentuk tablet kecil contoh Isosorbid tablet.
Bucal:
Obat diletakkan diantara pipi dan gusi.
(3) Injeksi
Adalah pemberian obat secara parenteral, yaitu di bawah atau menembus kulit/ selaput lendir. Suntikan atau injeksi digunakan untuk :
Memberikan efek obat dengan cepat.
Terutama untuk obat-obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung
Diberikan pada pasien yang tidak sadar, atau tidak mau bekerja sama.
Keberatan pada pasien yang disuntik (sakit) dan mahal, sulit digunakan.
Ada bahaya infeksi, dapat merusak pembuluh atau saraf.
Macam-macam jenis suntikan:
Subkutan /hipodermal (s.c).
Penyuntikan di bawah kulit , hanya untuk obat yang tidak merangsang dan larut baik dalam air atau minyak, efeknya agak lambat dibanding cara i.m atau iv, mudah digunakan sendiri contohnya suntikan Insulin.
Subkutan /hipodermal (s.c).
Intra muscular (i.m).
Penyuntikan dilakukan dalam otot , resorpsi obat berlangsung 10 -30 menit untuk memperpanjang kerja obat sering dipakai larutan atau suspensi dalam minyak. Tempat injeksi otot pantat atau lengan atas.
Intra muscular (i.m).
Intra vena (i.v).
Penyuntikan dilakukan didalam pembuluh darah, efeknya paling cepat (18 detik) karena benda asing langsung dimasukkan kedalam aliran darah, sehingga mengakibatkan reaksi-reaksi hebat seperti turunnya tekanan darah secara mendadak shock dan sebagainya. Infus intravena dengan obat sering dilakukan dalam rumah sakit pada keadaan darurat, atau dengan obat yang cepat metabolismenya dan ekskresinya guna mencapai kadar plasma tetap tinggi. Bahaya trombosis terjadi bila infus dilakukan terlalu sering pada satu tempat.
Intra vena (i.v).
Intra arteri (i.a).
Penyuntikan kedalam pembuluh nadi, dilakukan untuk membanjiri suatu organ misalnya Pada penderita kanker hati.
Intra cutan (i.c)
Penyuntikan dilakukan didalam kulit , absorbsi sangat perlahan misalnya tuberculin test dari Mantoux.
Intra cutan (i.c)
Intra lumbal
Penyuntikan dilakukan kedalam ruas tulang belakang (sumsum tulang belakang) misalnya anestetika umum.
Intra peritonial.
Penyuntikan kedalam ruang selaput ( rongga ) perut.
Intra cardial
Penyuntikan kedalam jantung.
Intra pleural
Penyuntikan kedalam rongga pleura.
Intra articuler
Penyuntikan kedalam celah-celah sendi.
(4) Implantasi
Obat dalam bentuk Pellet steril dimasukkan dibawah kulit dengan alat khusus (trocar). Terutama digunakan untuk efek sistemik lama , misalnya obat-obat hormon kelamin (estradiol dan testosteron). Akibat resorpsi yang lambat satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya secara teratur selama 3-5 bulan.
(5) Rektal
Pemberian obat melalui rektal atau dubur. Cara ini memiliki efek sistemik lebih cepat dan lebih besar dibandingkan peroral dan baik sekali digunakan untuk obat yang mudah dirusak oleh asam lambung
Contoh :
Suppositoria dan clysma sering digunakan untuk efek lokal mis wasir
Salep yang dioleskan pada permukaan rektal hanya mempunyai efek lokal.
(6) Transdermal.
Cara pemakaian melalui permukaan kulit berupa plester, obat menyerap secara perlahan dan kontinyu masuk kedalam sistim peredaran darah, langsung ke jantung. Umumnya untuk gangguan jantung misalnya Angina pectoris, tiap dosis dapat bertahan 24 jam contohnya Nitrodisk dan Nitroderm TTS (Therapeutik Transdermal System), dan preparat hormon.
Efek lokal (pemakaian setempat)
(1) Kulit (Percutan)
Obat diberikan dengan jalan mengoleskan pada permukaan kulit, bentuk obat salep, cream dan lotio.
(2) Inhalasi.
Obat disemprotkan untuk disedot melalui hidung atau mulut dan penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut, tenggorokan, dan pernafasan. Contoh: bentuk sediaan gas, zat padat atau aerosol.
(3) Mukosa Mata Dan Telinga
Obat diberikan melalui selaput / mukosa mata atau telinga, bentuknya obat tetes atau salep, obat diresorpsi kedalam darah dan menimbulkan efek.
(4) Intra vaginal.
Obat diberikan melalui selaput lendir atau mukosa vagina , biasanya berupa obat anti fungi dan pencegah kehamilan. Dapat berbentuk ovula, salep, cream dan cairan bilas
(5) Intranasal.
Obat diberikan melalui selaput lendir hidung untuk menciutkan selaput atau mukosa hidung yang membengkak, contohnya Otrivin
4
19