PERIOPERATIF Definisi Suatu ilmu Kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anesthesia/
pembedahan,
selama
anesthesia/pembedahan
dan
sesudah
anesthesia/pembedahan. Ruang lingkup Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anesthesia dan pembedahan, pengaruh anesthesia dan pembedahan terhadap fisiologis tubuh dan resiko maupun komplikasi yang diakibatkanya. Resiko perioperatif Resiko yang berhubungan dengan anesthesia dan pembedahan dapat diklasifikasikan dalam: 1.
Resiko yang berhubungan dengan kondisi pasien
2.
Resiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
3.
resiko yang berhubungan dengan fasilitas termasuk sumber daya
manusia di rumah sakit. 4.
Resiko yang berhubungan dengan obat atau teknik anesthesia.
Pengaruh fisiologi yang terjadi akibat pembedahan: 1.
Pengaruh langsung obat anesthesia terhadap sekresi hormon-hormon:
ACTH, kortisol, antidiuretik, tiroid, katekolamin, sistem renin-angiotensinaldosteron, insulin dan metabolisme glukosa. 2.
Pengaruh langsung obat anesthesia terhadap sistem respirasi dan
kardiovaskuler Penilaian prabedah, meliputi: 1.
Penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya.
1
2.
Melakukan identifikasi faktor-faktor risiko anestesi, dan bila bermakna
pasien harus diberitahu. 3.
Mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesi
dan pemnbedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb. 4.
Menentukan
status
fisis
berdasarkan
American
Society
of
Anesthesiologist(ASA) 5.
Merencanakan tehnik anestesi dan penatalaksanaan perioperatif seperti
terapi cairan dan transfusi darah. 6.
Memperkenalkan diri kepada pasien agar dapat mengurangi kecemasan
dan akan mempermudah dalam melakukan induksi anestesi 7.
Memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan
atau dihentikan pada hari pembedahan 8.
Mempersiapkan obat-obat premedikasi.
Instruksi praanestesi Instruksi kepada perawat ruangan harus tertulis dengan jelas meliputi : 1.
Pemeriksaan penunjang tambahan
2.
Lamanya puasa
3.
Persiapan darah atau produk darah, golongan darah dan jumlah yang
diperlukan 4.
Jenis obat yang harus terus diberikan atau dihentikan pada hari
pembedahan 5.
Terapi inhalasi pada pasien PPOK atau riwayat asma
6.
Pemasangan infus dekstrosa pada pasien diabetes
7.
Obat premedikasi: dosis,cara, dan waktu pemberian.
Pemeriksaan penunjang rutin, yang harus dilakukan: 1.
Pemeriksaan darah lengkap
2.
Urinalisis ( bila gula positif harus ditambah
pemeriksaan gula darah) 3.
Ureum,kreatinin,elektrolit : pada pembedahan besar
2
4.
EKG : umur > 40 tahun
5.
Foto toraks : umur > 60 tahun
6.
Uji fungsi hati : pada pembedahan besar pasien
umur > 50 tahun Pemeriksaan penunjang berdasarkan indikasi : 1.
Pemeriksaan darah lengkap :
i. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainya ii. Gangguan ginjal iii. Pasien dalam kemoterapi 2.
Ureum, kreatinin, dan elektrolit
i. Gangguan/penyakit hati dan ginjal ii. Gangguan metabolic, seperti diabetes mellitus iii. Riwayat diare, muntah iv. Kondisi nutrisi buruk v. Persiapan usus prabedah vi. Riwayat pemebrian obat-obat digitalis, diuretik, antihipertensi, steroid, abat anti diabetes. 3.
Gula darah
i. Diabetes mellitus ii. Penyakit hati berat 4.
Elektrokardiogram
i. Hipertensi, penyakit jantung atau penyakit paru kronik ii. Diabetes Melitus 5.
Foto Toraks
i. gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru ii. penyakit jantung 6.
Analisa gas darah arteri
i. obesitas ii. pasien dengan gangguan nafas iii. penyakit paru sedang sampai berat
3
iv. sakit kritis atau sepsis v. bedah toraks 7.
Uji fungsi paru
i. bedah toraks ii. penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkiektasis, penyakit paru retrikasi. 8.
Uji Fungsi hati.
i. penyakit hepatobilier ii. riwayat peminum alcohol iii. tumor dengan kemungkinan metastase ke hati 9.
Uji hemostase dan koagulan darah
i. Penyait kelaiana darah ii. Penyakit hati berat iii. Koagulopati apapun sebabnya iv. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin 10.
Uji fungsi tiroid
i. Riwayat penyakit tiroid ii. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise iii. Bedah tiroid 11.
Uji fungsi hati : Echocardiography
i. Penyakit jantung ii. Kelainan EKG yang bermakna Terapi Cairan Perioperatif 1. Menilai volume intravaskuler a. pemeriksaan klinis •
kesadaran
•
turgor kulit, suhu ujung-ujung ekstremitas
•
Tekanan nadi, laju nadi, tekanan darah terhadap perubahan posisi
•
Keluaran urin
•
tampak perdarahan atau kehilangan cairan (muntah)
4
b. Pemeriksaan laboratorium •
Kadar hemoglobin dan hematokrit.
•
kadar urea dan elektrolit
•
analisa gas darah, laktat darah
•
BJ urin, natrium uri
c. Pengukuran hemodinamik •
Tekanan vena sentral
•
tekanan arteri pulmoner
•
saturasi vena sentral
2. Terapi cairan selama pembedahan a. Cairan pemeliharaan b. Cairan pengganti deficit c. cairan pengganti perdarahan 3. Terapi cairan pasca bedah: dapat diberikan berdasarkan a. pembedahan nono digestif dengan anestesi regional b. pembedahan minor non digestif dengan anestesi umum c. pemebedahan mayor atau pembedahan digestif 4. Jenis cairan a. Cairan kristaloid •
cairan hipotonik
•
cairan isotonic
•
cairan hipertonik
b. Cairan koloid •
cairan koloid sintetik
cairan starch cairan gelatin •
cairan koloid derivate darah
human albumin fraksi protein plasma
5
Pasien yang akan menjalani operasi dan anestesi wajib dikunjungi oleh seorang anestesiolog. Hal-hal yang harus dilakukan adalah: •
Riwayat anaesthesia
•
Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai
•
Melakukan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium
•
Anestesiolog sebaiknya membiarkan pasien untuk mengajukan pertanyaan
•
Mencatat kegelisahan pasien
•
Menginformasikan rencana pembiusan
Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal berikut yang ditemukan pada anamnesa 1. Riwayat penyakit terdahulu, operasi dan pembiusan sebelumnya 2. Terapi obat-obatan seperti kortoikosteroid, insulin, obat anti hipertensi, tranqualizers, antidepresan trisiklik, antikoagulan, barbiturate, diuretic dan alergi obat. 3. Gejala-gejala yang berhubungan dengan system respirasi, seperti batuk, sputum, bronkospasme, kemampuan untuk mengeluarkan lender. 4. Sistem kardiovaskuler : toleransi latihan, nyeri angina, gagal jantung, hipertensi yang tidak diterapi. 5. Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan anestesi untuk mengurangi mual muntah pasca bedah. 6. Riwayat kehamilan dan menstruasi 7. kebiasaan pasien ; merokok, minum alcohol dan adiksi obat. Penilaian perioperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog. Pada pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan klinis yang lengkap, terutama: 1. Tanda-tanda penyakit pernafasan : pola dan karakter pernafasan seperti dispneu, adanya suara tambahan pada auskultasi, jari tabuh, sianosis.
6
Gejala-gejala tambahan yang perlu didiskusikan lagi pada kondisi-kondisi tertentu, seperti : •
Nyeri tulang atau kelemahan otot pada keganasan
•
Kelemahan umum, demam atau kehilangan berat badan pada TBC
•
Semua pasien harus ditanyakan mengenai kebiasaan merokok
Pemeriksaan fisik a.
Warna dan kualitas suara harus dicatat
b.
Mengi yang terdengar harus bisa dikoreksi
c.
Dispneu
d.
Perhatian secara khusus harus diberikan pada pola, ekskursi
dan simetrisitas dari gerakan pernafasan e.
Adanya suara tambahan pada pasien yang tidak memiliki
penyakit pernafasan (ronki) memberikan peringatan bahwa kaliber bronkus abnormal. f.
Rales atau crackers disebabkan oleh penutupan mendadak atau
kolaps dari jalan nafas. Keadaan ini terjadi di awal inspirasi pada pasien dengan obstruksi jalan nafs dan pada akhir pernafasan jika berhubungan dengan penyakit paru restriktif. g.
Beberapa manifestasi penyakit paru dapat dideteksi, seperti
penggunaan otot-otot tambahan dan tracheal tug adalah manifestasi dispneu berat, kecemasan dan kegelisahan dapat disebsbkan oleh hipoksia, hipertensi, berkeringat, vasodilatasi perifer dan kebingungan dapat terjadi pada pasien dengan retensi CO2 akut. Tes-tes yang tidak memerlukan peralatan Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fugsi pernafasan dan terkadang direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana yang dapat dilakukan dalam klinik adalah :
7
a. tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30 detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari
15
detik
mengidentifikasikan
kurangnya
cadangan
kardiorespirasi. b. Tes snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inchi dari
depan
mulut.Ketidakmampuan
melakukan
tes
snidert
mengindikasikan forced ekspiratory volume dalam satu detik kurang dari satu liter. 2. Tanda-tanda penyakit jantung Penyakit jantung yang serius hampir selalu berhubungan dengan gejala dan tanda yang jelas seperti nyeri dada sewaktu aktivitas, dispneu, hemoptisis, sinkop, palpitasi dan edema. Tetapi iskemik miokardium akut dapat terjadi tanpa gejala yang jelas. Pemeriksaan fisik • Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin pada pembuluh darah kapiler. • Sianosis perifer berhubungan dengan peningkatan ekstraksi oksigen pada jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah kapiler pada kulit.hal ini terjadi saat curah jantung menurun; pada pasien yang normal ; berhubungan vasokotriksi perifer saat terpapar dingin. Pada sianosis sentral, kulit tetap hangat dan perubahan warna juga terlihat pada lidah akibat tercampurnya darah yang mengalami desaturasi dan yang mengalami oksigenasi pada jantung, pembuluh darah besar atau paru-paru. • Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi volume dan karakter gelombang nadi hanya dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis. • Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal 5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin
8
dapat berubah akibat pemebasaran jantung atau factor ekstrakardiak lainya. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting disbanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut. • Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi. • Murmur adalh bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat tempat tertentu. Diastolik murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murumur sistolik dengan tanpa adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organick. • Adanya thrill mengidinkasikan adanya penyakit jantung organic. 3. Status gizi :obesitas atau malnutrisi 4. Warna kulit, terutama pucat, sianosis, kuning atau pigmentasi. 5. Status psikologis pasien, derajat kecemasan. 6. Jalan nafas, •
Nilai kesulitan saat mempertahankan jalan nafas dan laringoskop
•
Nilai gigi geligi seperti gigi yamng menonjol atau ompong, tambalan
atau mahkota gigi terutama pada bagian depan •
Adanya hal-hal tersebut di atas perlun dicatat dan bianaya pasien
diperingatkan adanya kemungkinan untuk rusak. 7. Kemudahan untuk kanulasi. Penilaian status fisis ASA mengklasifikasikan
pasien
kedalam beberapa tingkatan
pasien
berdasarkan kondisi pasien : ASA I : pasien tidak memiliki kelainan organic, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri. ASA II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan diterapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainya.
9
ASA III: keterbatasan melakukan aktifitas, pasien dengan penyakit sistemik berat. ASA IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa. ASA V : penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa operasi. ASA VI : penedrita mati batang otak yang organ-organya dapat digunakan untuk donor. Klasifikasi ASA merupakan system yang secara umum sering digunakan untuk menilai status fisik pasien, walaupun ahli anestesi yang lain tidak selalu setuju dengan klasifikasi ini. Klasifikasi ini tidak dapat dipakai untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan penyakit jantung koroner berat. Penilaian Resiko Penilaian preoperative mengenai risiko harus dititikberatkan pada 2 hal : 1. Apakah pasien dalam keadaan optimal untuk dianestesi ? 2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari resiko anestesi dan pembedahan akibat penyakit yang ada ? Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki (misalnya penyakit paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda dan diberikan terapi yang sesuai. Terdapat
hubungan
antara
menilai
factor-faktor
preoperative
dan
perkembangan morbiditas dan mortalitas pasca bedah. Pada studi mortalitas skala besar, umumnya, factor-faktor yang memberikan kontribusi pada mortalitas anestesi meliputi : 1 Penilaian yang tidak adekuat selama periode preoperative 2.Supervisi dan pemantauan yang tidak adekuat selama periode intraoperatife 3. Penatalaksanaan dan supervise paska bedah yang tidak adekuat. Kebiasaan Pasien Merokok
10
Efek yang merusak dari merokok meliputi penyakit vaskuler perifer, sirkulasi koroner dan serebral, karsinoma paru dan bronchitis kronis. Merokok harus dihentikan 6 pekan sebelum operasi untuk meminimalisasi komplikasi paru selama pembedahan, termasuk diantaranya infeksi, laringospasme dan bronkospasme. Penghentian selama 12 jam sebelumnya mencegah efek samping dari CO dan nikotin pada pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung. Berhenti selama beberapa hari akan memperbaiki aktivitas silier. Merokok juga dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Pada anak-anak yang secara pasif terpapar dengan rokok, terjadi peningkatan insiden komplikasi jalan nafas jika dilakukan pembiusan. Alkoholisme Pada pasien dengan alkoholisme kronik, dapat terjadi toleransi dengan beberapa obt anestesi seperti eter, terjadi resistensi terhadap oabt-obat anestesi.Alkoholmdieliminasi dengan oksigen di hati tetapi dapat juga menginduksi enzim-enim yang memetabolisme obat-obatan, sehinnga respons terhadap obat tidak dapat diperkirakan.Dapat terjadi vasodilatasi perifer, kardiomiopati, sirosis dan perioperatif withdrawal krisis. Ketergantungan pada obat Pasien-pasien ini dapat memanipulasi gejala-gejalanya untuk mendapatkan pembedahan
dan
narkotik
pasca
bedah,
atau
mengganggu
proses
penyembuhan luka untuk memperpanjang lama perawatan di rumah sakit.Penderita dapat resisten terhadap semua obat sedative narkotik. Secara umum diterima bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisik adalah metode yang terbaik untuk menentukan adanya suatu penyakit. Sebelum meminta suatu pemeriksaan lebih lanjut seorang anesesiolog harus menelaah apakah pemeriksaan penunjang tersebut dapat menyediakan informasi yang tidak bisa disingkap oleh pemeriksaan fisik, dan apakah hasil pemeriksaan tersebut akan mengubah penatalaksanaan pasien.
11
Anetesiolog disarankan untuk tidak menerima pasien pembedahan elektif sampai tersedia hasil pemeriksaan yang dibutuhkan. Sebagai catatan, tes-tes dibawah ini hanya merupakan panduan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan penilaian yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. 1. Tes urin, terutama gula, keton dan protein 2. Kadar
haemoglobin,
hitung
jenis,
waktu
perdarahan
dan
pembekuan,golongan darah 3. Kadar ureum dan elektrolit tidak dibutuhkan secara rutin pada pasien kurang dari 50 tahun, akan tetapi harus diambil pada keadaan-keadaan berikut : a.
Jika terdapat riwayat diare, muntah atau penyakit metabolik.
b.
Penyakit ginjal, hepar, diabetes, atau status nutrisi yang
abnormal. c.
Pasien yang mendapat terapi dengan diuretik, digoksin,
antihipertensi, steroid atau obat hipoglikemik. 4. Tes fungsi liver diperlukan hanya pada pasien dengan: a. Penyakit hepar b. Status nutrisi abnormal atau penyakit metabolik c. Riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah banyak (>80 g/hr) 5. Konsentrasi gula darah Pengukuran gula darah diperlukan pada pasien yang mempunyai penyakit diabetes atau penyakit vaskular atau sedang mendapat terapi kortikosteroid. 6. Status Sickle Pasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan haemoglobinopathy
sebaiknya
dilakukan
pengukuran
kadar
haemoglobin dan elektroforesis haemoglobin. 7. Analisa gas darah Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispneu saat istirahat dan pada pasien dengan rencana dilakukan thorakotomy elektif.
12
8. Rontgen Thorax Rontgen Thorax tidak diperlukan secara rutin pada pasien dibawah usia 60 tahun, tetapi harus dilakukan pada situasi: a. Terdapat riwayat atau tanda fisik penyakit jantung atau penyakit respirasi. b. Kemungkinan metastas karsinoma c. Sebelum operasi thorax d. Imigran, yang dalam 12 bulan terakhir berada di negara endemik TBC Rontgen thorax umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua pasien dengan penyakit paru. Hal-hal yang penting adalah apakah terdapat
deviasi
trakea
atau
distorsi,deformitas
pada
dinding
thorax,kelainan lokal pada paru atau pleura yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan fisik.Rontgen thorax seringkali kurang memperlihatkan adanya kelainan fungsi paru. 9. Fungsi paru Tes fungsi apru dilakukan sebagai tambahan, bukan sebagai pengganti penilaian klinis.Tes ini diindikasikan ketika diperlukan: a. Melihat asal/penyebab kelainan pulmoner b. Untuk menilai derajat kelainan sbagi dasar pemberian terapi c. Untuk mengetahui patofisiologi lebih lanjut Tes fungsi paru yang sederhana, seperti forced expiratory volume dalam satu detik (FEV 1.0), forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow rate dapat langsung dilakukan di tempat tidur pasien menggunakan spirometer berukuran paket dan wright peak flowmeter. Rasio FEV 1.0 : FVC menurun pada penyakit paru obstruktif dan normal pada penyakit paru restriktif. Pemeriksaan Fuller meliputi FRC,RV dan TLC. 10. Elektrokardiogram EKG 12 lead hendaknya diperiksa pada situasi-situasi berikut: a. Riwayat atau tanda fisik penyakit jantung
13
b. Penyakit hipertensi c. Usia pasien diatas 40 11. Bedside pulse oxymeter Pengukuran saturasi oksigen arterial udara nafas dan konsentrasi oksigen tinggi memberikan indeks pertukaran gas pulmonr yang cepat dan berguna. 12. Echocardiogram Ini
merupakan
test
noninvasif
yang
sangat
berguna
untuk
memperlihatkan abnormalitas anatomi dari jantung, menilai fungsi ventrikel dan gradien tekanan yang melalui katup yang mengalami stenosis, dan mendeteksi adanya regurgitasi valvular. Ini dapat dilakukan di tempaat tidur pasien, tetapi memerlukan perlengkapan mahal dan operator yang terlatih. 13. Pemeriksaan khusus lain yang dapat dilakukan sesuai indikasi Perioperatif pada usia lanjut. Seseorang yang berumur 65-79 tahundisebut usia lanjut, begitu juga usia 80-90 tahun mereka juga termasuk usia lanjut. Secara fisiologis dmiana pengelompokkan umur sangat bervariasi, sebab semakin bertambah umur semakin rentan terhadap penyakit. Variasi pengelompokkan umur ini di nyatakan oleh American society of Anesthesiologists physical status classification. Ini diperkirakan lebih dari 100000 orang yang berumur lebih dari 65 tahun meniggal setelah operasi dalam tiap tahunnya.Untuk itu dokter anestesi harus memperhatikan dan mencari informasi sebanyak mungkin informasi tentang kesehatan pasien sebelum operasi untuk dapat memilih obat yang tepat untuk digunakan sebagai obat anestesi, serta memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengariuhi kerja obat sebagai upaya pembuktian sesudah operasi tentang kebenaran prosedur operasi yang telah dilakukan. 1.
Pemeriksaan Persiapan Operasi
14
Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah: -
Anamnesis
-
Pemeriksaan fisis
-
Pemeriksaan penunjang
-
Laboratorium: gula darah, fungsi ginjal,
fungsi hati, darah perifer lengkap, hemostasis dan urin. -
Foto dada
-
Elektrokardiogram
-
Bila perlu ekokardiogram untuk melihat
fungsi jantung -
Spirometri untuk menilai fungsi paru
-
EEG bila perlu.
Pemeriksaan tambahan pada pasien geriatri adalah: -
Activity Daily Living (ADL) scoring.
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan derajat kemandirian seorang usila. -
Pemeriksaan mental pasien. Disini dapat
ditentukan tingkat kejernihan pikiran pasien, apakah sudah menderita demensia ataupun pra- demensia. -
Penilaian Pemeriksaan Organik
Setelah dilakukan pemeriksaan klinis dan ditambah dengan peme-riksaan penunjang tadi, diagnosis dapat ditentukan demikian pula keadaan fungsional organ-organ dan selanjutnya dapat ditentukan apakah laik operasi atau tidak. Misalnya, jantung dalam keadaan terkompensasi, tidak nyata ada kelainan koroner, fungsi paru menurut hasil spirometri masih sesuai untuk batas umurnya, pada gambaran foto dada tidak ada infiltrat ataupun emfisema yang nyata, fungsi hati dan fungsi ginjal masih baik, begitu juga tak ada kelainan pada hemostasis, maka pada pasien usila ini secara organis dapat dilakukan operasi. Namun demikian, risiko operasi pada usila tetap lebih tinggi daripada usia muda, karena secara fisiologi sudah terjadi proses menua. Menurut skoring
15
Goldman, usia lebih dari 70 tahun memiliki risiko lebih tinggi. Proses Menua Organ-organ Perubahan fisiologis ketuaan dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usila terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga mudah terjadi hipotermia. Pada kulit: terjadi reepitelisasi yang melambat dan juga vaskularisasi berkurang sehingga penyembuhan luka lebih lama. Sistem kardiovaskular: pada jantung terjadi proses degeneratif pada sistem hantaran, sehingga dapat menyebabkan gangguan irama jantung. Katup mitral menebal, compliance ventrikel berkurang, relaksasi isovolemik memanjang, sehingga menyebabkan gangguan pengisian ventrikel pada fase diastolik dini, mengakibatkan terjadinya hipotensi bila terjadi dehidrasi, takiaritmia atau vasodilatasi. Compliance arteri berkurang, se-hingga mudah terjadi hipertensi sistolik. Sensitivitas baroreseptor berkurang sehingaa menurunkan respons heart rate terhadap stres dan menurunnya kadar renin, angiotensin, aldosteron sehingga mudah terjadi hipotensi. Paru dan sistem pernafasan: elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya ketidak serasian antara ventilasi dan perfusi,
sehingga
mengganggu
mekanisme
ventilasi,
dengan
akibat
menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary berkurang, sehingga berisiko terjadi infeksi dan aspirasi. Ginjal: jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respons terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi overload cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia. Ambang rangsang glukosuria meninggi,
16
sehingga glukosa urin tidak dapat dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun. Saluran pencernaan: asam lambung sudah berkurang. Motilitas usus berkurang. Hati: aliran darah dan oksidasi mikrosomal berkurang, sehingga fungsi metabolisme obat juga menurun. Sistem imun: fungsi sel T terganggu dan terjadi involusi kelenjar timus, dengan akibat risiko infeksi. Otak: semakin tua terjadi atrofi serebri. Hipertrofi prostat menyebabkan retensi urin. Pada penilaian prabedah perlu memperhatikan keadaan organ-organ yang sudah mengalami proses menua ini. Misalnya terapi cairan harus diperhitungkan lebih teliti mengingat fungsi jantung dan fungsi ginjal yang sudah menurun dan pada usila harus diingat juga bahwa volume cairan tubuh sudah berkurang sehingga mudah terjadi dehidrasi. Penyakit-penyakit penyerta pada usila harus diperhatikan, karena pasien geriatri umumnya sudah mengidap beberapa penyakit yang berhubungan dengan usia, yaitu: penyakit jantung kronis, hipertensi, penyakit paru obstruktif kronik/menahun, diabetes melitus dan lain-lain. Pada autopsi, 75% dari subyek yang berusia 60 tahun terdapat minimal satu stenosis koroner signifikan dan hanya setengah dari kasus-kasus ini yang bermanifestasi klinis. Begitu juga dari penelitian Framingham, ternyata hampir seperempat dari infark miokard adalah silent. Sedangkan penyakit-penyakit paru merupakan komplikasi utama dan penyebab kematian pasca bedah, seperti pneumonia, aspirasi, emboli paru dan salah satu faktornya adalah rokok dan penyakit paru sebelumnya
terutama
PPOK
(Penyakit
Paru
Obstruksi
Kronik).
Semua penyakit penyerta ini hendaknya diobati atau ditenangkan lebih dahulu dan selama operasi harus juga ikut dimonitor dan diatasi. Penanganan selama operasi ataupun pascabedah, harus memperhatikan kondisi organ-organ yang sudah menua ini, misalnya pemberian Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) per
17
oral dapat mengakibatkan pendarahan lambung, walaupun operasinya berjalan sukses.
2.
Aspek Anestesi pada Pasien Usila
Anestesi dapat menyebabkan dilatasi vena, merangsang masuknya cairan ke dalam rongga ketiga (third space) dan juga menekan fungsi jan-tung. Secara umum angka kematian akibat operasi tergantung dari empat faktor risiko utama, yaitu: -
Usia
-
Penyakit penyerta
-
Prosedur bedah
-
Perawatan perioperatif termasuk tindakan
anestesi. Mengenai usia tua, terdapat hubungan antara usia tua, penurunan fisiologis karena proses menua dan penyakit, tetapi penurunan fisiologis ini tidak semua sama pada setiap usila. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada perioperative care pasien usila, adalah: -
Rehidrasi, bila terjadi dehidrasi
-
Gangguan saluran cerna diatasi
-
Mengatasi sepsis
-
Mengatasi pendarahan (blood loss) bila ada
-
Mengatasi
edem
pada
gagal
jantung
kongestif Selain itu dalam rangka manajemen anestesi ada prinsip dasar yang juga harus diperhatikan dalam penanganan pasien usila, yaitu mengenai: -
Dosis
obat,
fisiologi
setiap
pasien,
hemodinamik, hipotermia, jenis anestesi, monitoring, gejala- tanda klinik dan
outcome,
informed
18
consent.
3.
Penilaian Prabedah Kasus Geriatri
Setelah lolos dari penilaian klinis dan penilaian pemeriksaan penunjang terhadap organ-organ tadi, berikut dengan perhatian khusus terhadap kondisi proses menua dan penyakit-penyakit penyertanya, maka sekarang perlu dilakukan penelitian terhadap pemeriksaan khusus geriatri berupa skor ADL dan
tes
mental,
dan
juga
penelusuran
kehidupan
dirumah.
Di sini dipertimbangkan : -
Kejelasan indikasi operasi dan tujuannya.
-
Progresivitas penyakit dan keterbatasan
yang diakibatkannya. -
Risiko operasi
-
Kemungkinan timbul penyakit baru atau
penyulit -
Apakah perbaikan kualitas hidup akan benar
tercapai setelah operasi -
Kebutuhan pasien untuk mempertahankan
secara maksimal aktivitas dan produktivitasnya -
Dana yang juga ikut berperan bagi sebagian
besar
masyarakat
kita.
Penilaian-penilaian ini tidak saja berlaku untuk operasi elektif, tetapi juga untuk operasi darurat. Tentu saja untuk operasi darurat perlu penilaian segera, walaupun berisiko besar operasi tetap dilaksanakan demi untuk menyelamatkan jiwa. 4.
Terapi Cairan
Pencegahan dan intervensi dini adalah terapi paling efektif untuk dehidrasi. Strategi ini dapat dicapai melalui pendidikan atau penyuluhan pasien, keluarga, dan pengasuh orang usia lanjut agar dapat mengidentifikasi pasien geriatri yang berisiko tinggi mengalami dehidrasi dan memahami perlunya intervensi terapi cairan sedini mungkin pada pasien pasien tersebut. Pasien yang berisiko tinggi antara lain pasien dengan status kognitif yang
19
terganggu(demensia atau depresi), status fungsional yang terganggu (imobilitas, instabilitas,gangguan penglihatan), tak mampu minum obat, mengalami gangguan kesehatan seperti diare atau panas (demam).
Persiapan Operasi A.
ANAMNESA.
B.
PEMERIKSAAN FISIK
•
Pemeriksaan fisik rutin meliputi: keadaan umum, kesadaran, anemis / tidak, BB, TB, suhu, tekanan darah, denyut nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
•
Dilakukan penilaian kondisi jalan nafas yang dapat menimbulkan kesulitan intubasi
C. •
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah : Hb, Ht, hitung jenis lekosit, golongan darah, waktu pembekuan dan perdarahan
•
Urine : protein, reduksi, sedimen
•
Foto thorak : terutama untuk bedah mayor
20
•
EKG : rutin untuk umur > 40 tahun
•
Elekrolit ( Natrium, Kalium, Chlorida )
•
Dilakukan pemeriksaan khusus bila ada indikasi ,misal:
EKG : pada anak dan dewasa < 40tahun dengan tanda-tanda
penyakit kardiovaskuler.
Fungsi hati ( bilirubin, urobilin dsb ) bila dicurigai adanya
gangguan fungsi hati.
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin ) bila dicurigai adanya gangguan
fungsi ginjal. PERSIAPAN DI HARI OPERASI 1.
Pengosongan lambung, penting untuk mencegah
aspirasi isi lambung karena regurgitasi / muntah. Untuk dewasa dipuasakan 68 jam sebelum operasi , sedang anak / bayi 4-5 jam. 2.
Tentang pemberian cairan infus sebagai pengganti
defisit cairan selama puasa, paling lambat 1 jam sebelum operasi (dewasa) atau 3 jam sebelum operasi , untuk bayi / anak dengan rincian : * 1 jam I
: 50%
* 1 jam II
: 25%
* 1 jam II
: 25 %
3.
Gigi palsu / protese lain harus ditanggalkan sebab
dapat menyumbat jalan nafas dan mengganggu. 4.
Perhiasan dan kosmetik harus dilepas /dihapus
sebab akan mengganggu pemantauan selama operasi. 5.
Pasien masuk kamar bedah memakai pakaian
khusus, bersih dan longgar dan mudah dilepas 6.
Mintakan ijin operasi dari pasien atau keluarganya
Penatalaksanaan 1. Sudah terpasang jalur / akses intravena menggunakan iv catheter ukuran minimal 18 atau menyesuaikan keadaan pasien dimana dipilih ukuran yang paling maksimal bisa dipasang.
21
2. Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi O2 3. Dilakukan pemeriksaan fisik ulang, jika ditemukan perubahan dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan elektif maka pembedahan dapat ditunda untuk dilakukan pengelolaan lebih lanjut. 4. Jika pasien gelisah /cemas diberikan premedikasi : •
Midazolam dosis 0,07 – 0,1mg/kgBB iv
•
Pada anak SA 0,01–0,015 mg/kgBB + midazolam 0,1mg/kgBB + ketamin 3 – 5mg/kgBB im atau secara intra vena SA 0,01 mg/kgBB + midazolam 0,07 mg/kgBB
5. Sebelum dilakukan induksi diberikan oksigen 6 liter/menit dengan masker
( pre oksigenasi ) selama 5 menit.
6. Obat induksi yang digunakan secara intravena :
Ketamin ( dosis 1 – 2 mg/kgBB )
Penthotal (dosis 4 – 5 mg/kgBB )
Propofol ( dosis 1 – 2mg/kgBB )
7. Pada penderita bayi atau anak yang belum terpasang akses intravena, induksi dilakukan dengan inhalasi memakai agent inhalasi yang tidak iritasi atau merangsang jalan nafas seperti halothane atau sevoflurane. 8. Selama induksi dilakukan monitor tanda vital ( tekanan darah, nadi maupun saturasi oksigen ) 9. Pada kasus operasi yang memerlukan pemeliharan jalan nafas, dilakukan intubasi endotracheal tube. 10. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan menggunakan asas trias anestesia (balance anaesthesia ) yaitu : sedasi, analgesi, dan relaksasi 11. Pemeliharaan anestesi dapat menggunakan agent volatile ( halothane, enflurane, maupun isoflurane ) atau TIVA ( Total Intravena Anestesia ) dengan menggunakan ketamin atau propofol. 12. Pada
pembedahan
yang
memerlukan
relaksasi
pemeliharaan dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi. 13. Ekstubasi dilakukan setelah penderita sadar.
22
otot
diberikan
14. Setelah operasi penderita dirawat dan dilakukan pengawasan tanda vital secara ketat di ruang pemulihan. 15. Penderita dipindahkan dari ruang pemulihan ke bangsal setelah memenuhi kriteria ( Aldrete score > 8 untuk penderita dewasa atau Stewart Score > 5 untuk penderita bayi / anak ) 16. Apabila post-operasi diperlukan pengawasan hemodinamik secara ketat maka dilakukan di ruang intensif ( ICU ). II. OPERASI DARURAT ( EMERGENCY ) 1.
Dilakukan perbaikan keadaan umum seoptimal mungkin sepanjang tersedia waktu.
2.
Dilakukan pemeriksaan laboratorium standard atau pemeriksaan penunjang yang masih mungkin dapat dilakukan.
3.
Pada operasi darurat, dimana tidak dimungkinkan untuk menunggu sekian lama, maka pengosongan lambung dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah dengan apomorfin atau memasang pipa nasogastrik.
4.
Dilakukan induksi dengan metode rapid squence induction menggunakan suksinil kolin dengan dosis 1 – 2 mg /kgBB.
5.
Pemeliharaan anestesi dan monitoring anestesi yang lainnya sesuai dengan operasi elektif.
ANESTESI REGIONAL KONTRA INDIKASI : 1.
Penderita menolak
2.
Infeksi pada tempat penyuntikan
3.
Gangguan fungsi hepar
4.
Kerusakan syaraf
5.
Gangguan koagulasi
6.
Tekanan intra cranial tinggi
23
7.
Sepsis
8.
Pengguna obat antikoagulan
9.
Pemakai pace maker
10.
Pengguna obat tricyclic antidepresant, MAO inhibitor
11.
Allergi obat anestesi lokal
12.
Hipertensi tak terkontrol
Prosedur 1.
Dilakukan oleh dokter spesialis anestesi
2.
Dilakukan loading cairan koloid 500 cc untuk
mencegah terjadinya hipotensi 3.
Dilakukan
pengukuran
ulang
tanda
vital
( tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen] 4.
Tarik garis lurus melalui kedua crista iliaca ,
garis ini akan memotong vertebra lumbal setinggi L4 atau L4-L5 interspace 5.
Posisi penderita duduk atau tidur miring untuk
ibu hamil dianjurkan dalam posisi left lateral decubitus. 6.
Dilakukan infiltrasi dengan anestesi lokal pada
daerah puncture. 7.
Dilakukan puncture pada L2-3, L3-4 atau L4-5
interspace. 8.
Tehnik
puncture
dapat
dengan
mid
line
approach atau paramedian approach 9.
Obat anestesi lokal yang digunakan lidokain 5%
hiperbarik ( lidodexR ) atau bupivakain 0,5% hiperbarik ( bunascan 0,5%, decain 0,5% atau marcain 0,5% hiperbarik ) untuk anestesi spinal sedangkan
untuk
anestesi
epidural
menggunakan
bupivacain
isobarik ( marcain 0,5% isobarik ) atau levobupivacain isobarik ( chirocain isobarik ) 10.
Untuk memperpanjang kerja obat anestesi lokal
dapat ditambahkan adrenalin atau catapres.
24
Monitoring Dilakukan monitoring tanda-tanda vital : tekanan darah , nadi dan saturasi secara kontinyu tiap 3 menit. Komplikasi 1. Dini : hipotensi, mual-muntah, prekardial discomfort, menggigil, depresi nafas, total spinal, anafilaktik, hematom. 2. Lambat : sakit kepala, sakit punggung, retensi urine, meningitis, sequelae neurology, chronic adhesive arachnoiditis. 3. Blok tidak adekuat Pengobatan komplikasi 1. Hipotensi : efedrin 15 mg iv atau preventif pada m. deltoideus 15 – 20 mg im 2. Menggigil : pethidine 25 mg iv atau largactil 10 15 mg iv 3. Kejang : pentotal 2-3 mg/kgBB iv atau diazepam 0,2 mg/kgBB iv 4. Kesadaran menurun : bebaskan jalan nafas, infus kristaloid, beri O 2 5. Sakit kepala : tidur terlentang, cairan, analgetik, epidural blood patch ( 5 – 20 cc ), pengikat perut / stagen. ANESTESI PADA DIABETES MELLITUS ( DM ) Pengertian Diabetes melitus adalah ketidakmampuan metabolisme karbohidrat karena defisiensi aktifitas insulin ditandai dengan hiperglikemia dan glikosuria Kriteria Diagnosa 1.
Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena ) > 200 mg/dl atau
2.
Kadar glukosa darah puasa ( plasma vena ) > 126 md/dlatau
3.
Kadar glukosa plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah pembebanan glukosa
75 gram pada TTGO
25
DM terkontrol : gula darah 100 – 200 mg% DM tak terkontrol: gula darah < 100 mg% atau > 300 mg% Persiapan Operasi •
Pemeriksaan gula darah berkala sebelum MRS
•
Penilaian keadaan metabolik, jantung, ginjal ( elektrolit, gula darah,
kreatinin, BUN, protein urine, benda keton, EKG, faal hepar ) •
Diabetes melitus terkendali dengan OAD/diet, pembedahan kecil/sedang
yang diperkirakan dapat intake peroral pasca bedah, tidak perlu konversi OAD ke insulin. •
Kadar gula darah pra bedah dipertahankan antara 120 – 180 mg/dl
( sampel darah WB atau 140 mg/dl ( puasa ) dan 200 mg/dl ( 2 jam PP ) bila yang diperiksa plasma. •
Untuk pasien dengan regimen insulin
:
§ Pada hari pembedahan infus D5% dengan kecepatan 100 – 150 ml / jam § Diberikan insulin ½ sampai 2/3 dosis yang biasa digunakan subkutan § Kadar gula darah diperiksa berkala setiap 4 jam selama pembedahan dan pasca bedah § Pasca bedah dini diberikan insulin ½ sampai 1/3 dosis sehari-hari. § Tambahan insulin dapat diberikan setiap 4 – 6 jam bergantung pada hasil pemeriksaan kadar gula darah. •
Gula darah 200 – 250 mg/dl
: Insulin 2 – 3 unit subkutan ( RI )
•
Gula darah 250 – 300 mg/dl
: Insulin 3 – 4 unit subkutan ( RI )
•
Gula darah 300 – 400 mg/dl
: Insulin 5 – 8 unit, periksa gula darah
setelah 1 – 2jam •
Gula darah > 400 mg/dl
: Insulin 10 unit, periksa gula darah setiap
1 jam •
Premedikasi dengan histamin antagonis atau metokloperamide 10 mg terutama pada pasien gastroparesis, 1,5 jam sebelum induksi.
•
Tentukan urgensi operasi :
26
•
DM tidak terkontrol : 1. Elektif : tunda, terapi dulu 2. Emergensi : segera terapi : •
Hipoglikemia : Dextrosa 5%
•
Hiperglikemia
-
:
Ketonuria < +2 ® insulin loading dose 0,1 U/kgBB
iv, lanjutkan drips 0,1 U/kg/jam sampai gula darah 250 mg% -
Ketonuria > +2 ® insulin loading dose 0,3 U/kg iv,
lanjutkan drips: 0,1 U/kg/jam -
K+ 20 meq/jam
-
Atau sliding scale : tiap urine +1 ® beri reguler
insulin 4 U •
DM terkontrol
•
Rehidrasi
: dapat dilakukan operasi
Monitoring Tekanan darah, Nadi, EKG, Saturasi O2 , Gula darah,Urine Output
Tehnik Anestesi 1.
Regional Anestesi
2.
General Anestesi
·
Premedikasi
: atropine ( kecuali IHD ) dan benzodiasepin
·
Induksi
: Penthotal dan atracurium
·
Maintenance
: N2 O, O2 , atracurium dan isoflurane
Komplikasi Pasca Anestesi
27
·
Hipo /hiperglikemia
·
Iskemi / infark miokard
·
Coma persisten PENATALAKSANAAN ANESTHESI PADA PENDERITA PRE-EKLAMPSIA & EKLAMPSIA
Kriteria Diagnosa •
Preeklampsia
·
Kehamilan > 20 minggu
·
Tekanan distolik > 110 mmHg pada wanita dengan tekanan darah yang
normal sebelumnya ·
Proteinuria
·
Oedema •
Pre eklampsia berat
Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110 mmHg saat istirahat atau sistolik > 140 mmHg atau diastolik > 90 mmHg yang disertai keadaan sebagai berikut : ·
Proteinuria >5 g/24 jam atau urine dipstick 3+ / 4+
·
Oliguria : < 30 ml /jam selama 3 jam berturut-turut
·
Gejala sistemik : edema paru, nyeri kuadran kanan atas, gangguan fungsi
hepar, sakit kepala, pandangan kabur atau trombocitopenia Problem Hipovolemia, vasokontriksi ® hipertensi , edema Persiapan Operasi 1.
Atasi hipertensi : a.
Hidralazine : 2.5 – 5 mg iv lambat setiap 15 – 20 menit
dalam 3 dosis. Sampai diastolic < 110 mmHg. b.
Labetolol : 20 mg iv kemudian dititrasi setiap 10 - 15
menit 2.
Oksigen : untuk mempertahankan PaO2 > 70 torr dan saturasi > 94%
28
3.
Perbaiki sirkulasi organ vital
4.
Koreksi : hipoalbumin, elektrolit, asidosis
Tehnik Anestesi 1. Regional anestesi : terpilih epidural anestesi ® memperbaiki renal dan uteroplacental blood flow, kontrol tekanan darah ibu lebih mudah, membantu stabilitas cardiac output 2. General anestesi : Rapid induction •
Indikasi
•
Premedikasi : atropine 0,01 mg/kg
•
Induksi
: penthotal 3mg/kg iv, succinilkolin 1-1,5 mg/kgiv
•
Maitenance
: N2O, O2, enflurane, dan atracurium
: eklampsia dengan kejang tak terkontrol
Monitor CVA, DIC, gagal ginjal, gagal jantung Post operasi dilakukan observasi di ruang perawatan intensif ( ICU )
29
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PENDERITA HIPERTENSI Derajat hipertensi menurut standart WHO 1.
Ringan
: diastole 90 – 105 mmHg
2.
Sedang
: diastole 105 – 115 mmHg
3.
Berat
: diastole > 115 mmHg
4.
Hipertensi maligna
: diastole > 130 mmHg
Prosedur Sebelum operasi tentukan Urgency operasi
:
1. Elektif
: tunda, terapi dulu sampai tensi < 160/100 mmHg
2. Emergency
: segera terapi preoperasi
•
Diuretika
•
Hidralazine : 5 mg iv, total 20 mg
•
Nifedipin sublingual
•
Nitropruside : 10 – 100 mg/mnt
Persiapan operasi 1.
Terapi hipertensi diteruskan menjelang praoperasi
2.
Rehidrasi, bila terdapat dehidrasi
3.
Koreksi bila ada gangguan : elektrolit, asam basa, ureum, kreatinin
4.
Atasi komplikasi
5.
Periksa : EKG, foto thorak, Laboratorium ( elektrolit, asam basa, ureum,kreatinin, gula darah,kolesterol )
Premedikasi : Midazolam 0,07 mg/kg im setengah jam sebelum operasi atau dengan neurolep analgesia : droperidol 0,1 – 0,15 mg/kgiv + pethidin 1 mg/kg iv atau fentanil 12ug/kg iv.
30
Tehnik Anestesi 1. General anestesi
:
•
Induksi : pentotal 4 – 5mg/kg iv atau propofol 2 – 2,5 mg/kg iv
•
Pelumpuh otot : suksinilkolin 1 – 1,5 mg/kg iv, atrakurium
0,5mg/kgiv, vecuronium 0,1 mg/kg iv atau rokuronium 0,6 mg/kg iv •
Lidokain 2% 1,5 mg/kg iv atau fentanil1 – 2 ug/kg iv
•
Rumatan anestesi : N2O, O2 , isoflurane/sevoflurane, atrakurium /
vecuronium 2. Regional Anestesi : Dapat dilakukan sebelumnya di loading cairan dahulu 10 – 15 cc/kg bb. Hindari spinal anestesi ® dapat terjadi herniasi otak karena kebocoran LCS akibat peningkatan TIK Monitor Tekanan darah, Nadi, EKG,produksi urine, dan perdarahan Komplikasi Paska Anestesi 1.
Kardiovaskuler : CAD, LVH, CHF, Dysritmia
2.
Renovaskuler
: Renal insuffisiensi
3.
Neurovaskuler
: gangguan neurologis, stroke
31
PENATALAKSANAAN ANESTHESI PADA PENDERITA GANGGUAN FUNGSI HATI Persiapan preoperasi Pemeriksaan pre operasi
:
1. EKG 2. Foto thorak 3. BGA 4. Laboratorium : •
Homeostasis glukosa
: gula darah
•
Metabolisme bilirubin
: bilirubin
•
Sintesa protein
: Albumin
•
Sintesa protrombine
: jumlah protrombin dan
Liver function test
: SGOT, SGPT, LDH,
Darah
: Hb, lekosit, diff count,
•
Auto antigen
: HbSAg
•
Fungsi ginjal
protrombin time • alkaliphospatase • CT, BT
: Ureum, creatinin, dan
elektrolit Koreksi bila terdapat
:
•
Hipoglikemia
: beri dextrose 5%
•
Hiperbilirubinemia
: bila > 20 mg% berikan
manitol 20% : 0,25 - 1 g/kg per drips sampai diuresis > 50 ml/jam •
Hipoalbuminemia
: bila < 3 g% berikan
albumin 25% Drfisiensi protrombin : vit K injeksi 10 – 20 mg im tiap 6 jam •
Gangguan elektrolit
•
Gangguan asam basa
•
Ureum creatinin meninggi : dialisa
32
Persiapan Operasi Atasi : •
Ascites
•
Perdarahan GIT bagian atas : endoskopi
•
Anemia
: transfusi
•
Terapi kortikosteroid
: berikan hidrokortison
: diuretika atau parasintesis
Tehnik Anestesi 1.
Regional anestesi
: Jika tidak terdapat gangguan koagulasi
2.
General anestesi
:
•
Hindari
: obat depresi HBF ( hepatic blood flow )
hepatotoksik, obat yang di metabolisme dan ekskresi oleh hepar •
Hindari
: succinilkolin, karena defisiensi kolinesterase
•
Hindari
: Halotan ® hepatotoksik
•
Premedikasi
: atropin, benzodiasepin
•
Induksi
: Ketamine 1 mg/kg iv dan atracurium 0,5mg/kg iv
•
Maintenance
: Ketamin drips, O2 , atracurium
Monitor Tekanan darah, Nadi, EKG, dan urine out put Komplikasi Pasca Anestesi Hepatorenal syndrome, enchepalopati, hipoglikemia
33
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PENDERITA DENGAN LAMBUNG PENUH Problem 1.
Aspirasi isi lambung
2.
Dapat terjadi Mendelsons syndrome
3.
Particulate material dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
: pH< 2,5 dan volume > 0,4ml/kg
Persiapan operasi 1.
Pasang nasogastric tube
2.
Berikan H2 antagonis: simetidin 300mg iv
Tehnik Anestesi 1.
Regional anestesi
2.
General anestesi : Rapid induction atau awake intubation.
Ekstubasi harus sadar penuh Tehnik rapid induction
:
1. Pre oksigenasi : 3 – 5 menit , flow 7 liter/mnt 2. Prekurarisasi
: dengan non depolarisasi muscle relaksan
3. Induksi
: setelah tertidur lakukan cricoid pressure ( sellick’s
manuver ) 4. Suksinilkolin 1 – 1,5 mg/kg iv dan jangan diinflasi 5. Intubasi, setelah terpasang ETT cricoid pressure dihentikan.
34
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PENDERITA HYPERTHYROID Problem Thyroid krisis akibat : 1.
Pembedahan
: insisi , manipulasi
2.
Medikal
: stress psikis, agent anestesi volatil, ketoasidosis, toksemia.
Gejala krisis tiroid : 1.
Hipermetabolik : suhu > 390 C , keringat berlebihan
2.
Cardiovaskuler : takikardi, disritmia
3.
Respirasi
: hiperventilasi
4.
Neurologi
: gelisah, kejang
5.
Gastrointestinal : mual, muntah, diare
ELEKTIF .
Tunda dan terapi sampai euthyroid dengan :
·
PTU : initial dose 75 - 200 mg peros tiap 8 jam, kemudian 30 – 100 mg
tiap 6 – 8 jam ·
Lugol : 2 – 6 tetes 4 kali sehari peros
·
Propanolol : 10 – 60 mg 3 kali sehari per os
EMERGENCY Segera terapi dengan
:
·
Na iodida : 1-2 gram iv drips, hambat sekresi hormon
·
Reserpin
: 2,5 mg im, kurangi efek hormon terhadap target organ/
simpatolitik ·
Hidrokortison : 100-300 mg iv, dapat diulang sampai total 0,1 mg/kg
sampai HR < 90/mnt Persiapan operasi 1.
Koreksi hipertiroid
2.
Rehidrasi
3.
Turunkan suhu
4.
Koreksi : elektrolit, asam basa
35
Pemeriksaan pre operasi 1.
Jalan nafas
2.
Laboratorium rutin
3.
Foto ontgen leher
4.
Thyroid function test : T3 , T4 dan TSH
Operasi Thyroid : ·
Premedikasi : cegah takikardi
·
Induksi
: penthotal
Maintanance : N2O, O2, Atracurium, Isoflurane Monitor. Tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2, temperatur Komplikasi paska anestesi 1.
Nervus laringeal terputus trakeomalasia perlu trakeostomi
2.
Glandula parathyroid terangkat hipokalsemia terapi Ca glukonas 10% 1030ml
3.
Krisis tiroid
36
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA SECTIO CAESARIA Monitor 1.
Monitor tekanan darah setiap 3 menit
2.
Respirasi dan nadi
3.
Tinggi blok
Komplikasi yang sering terjadi : ANESTESI REGIONAL 1. Total blok spinal dilakukan monitoring tinggi blok secara baik 2. Blok gagal / parsial dilanjutkan atau di kombinasi dengan general anestesi 3. Nyeri kepala hebat ( PDPH ) dilakukan penyuntikan blood patch ANESTESI UMUM : 1. Prosedur sama seperti penatalaksanaan anestesi umum dengan mempertimbangkan dua kehidupan yang harus diselamatkan 2. Pemberian obat yang cenderung mempengaruhi janin diberikan setelah bayi lahir
37
KEDOKERAN PERIOPERATIF II
Dosen Pengampu : Dr. Sudjito, Sp. An.
Disusun Oleh : Dian Nur Fuadi Sholihah Yusriyani
FAKULTAS KEDOKTERAN PPDS ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
38