BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh
peningkatan tekanan intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK)
dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral
(CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) ( berakibat kerusakan otak
iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang
signifikan.
Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang
lebih akurat dan non invasif. Semoga dengan adanya makalah ini, dapat
membantu perawat dalam melakukan pengamatan penting karena otak letaknya
terkurung dalam kerangka yang kaku, penekanan tekanan dalam rongga
tengkorak dapat menghambat aliran darah otak yang bisa berakibat gangguan
fungsi otak yang permanen. Tengkorak bayi, yang belum kaku, merupakan
pengecualian dan penekanan tekanan intrakranial dapat diamati dari adanya
penonjolan fontanel. Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa
menunjukkan indikasi yang tepat untuk memulai terapi dan mengefektifkan
terapi, serta menentukan prognosis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang akan
dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan peningkatan tekanan intrakranial?
2. Apakah etiologi dari peningkatan tekanan intrakranial?
3. Bagaimanakah patofisiologinya?
4. Jelaskan manifestasi klinis yang terjadi pada peningkatan tekanan
intrakranial?
5. Jelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk peningkatan
tekanan intrakranial?
6. Apakah komplikasi yang terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan pada peningkatan tekanan intrakranial?
8. Asuhan Keperawatan pada peningkatan tekanan intrakranial.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui definisi peningkatan TIK
2. Untuk mengetahui etiologi dari peningkatan TIK
3. Untuk menjelaskan patofisiologi dari peningkatan TIK
4. Unuk menjelaskan manifestasi klinis dari peningkatan TIK
5. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan
untuk peningkatan TIK
6. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada peningkatan TIK
7. Untuk menjelaskan penatalaksanaan dari peningkatan TIK
8. Untuk menjelaskan askep pada peningkatan TIK
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Munroe dan
Kellie pada tahun 1820. Mereka menyatakan bahwa pada orang dewasa,
otak berada dalam tengkorak yang volumenya selalu konstan. Ruang
intrakranial terdiri atas parenkim otak sekitar 83%, darah 6%, dan cairan
serebrospinal (LCS) 11% .
TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis.
TIK normal adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada
anak-anak, dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur. Definisi
hipertensi intracranial tergantung pada patologi spesifik dan
usia, walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15
mmHg umumnya abnormal, akan tetapi penanganan diberikan pada
tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15 mmHg memerlukan
penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala,
penanganan diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada
anak-anak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai
selama penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi,
18 mmHg pada anak<8 tahun, dan 20 mmHg pada anak yang lebih tua dan
remaja.
Peningkatan volume salah satu komponen akan dikompensasi oleh
penurunan volume komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan yang
konstan Jaringan otak pada dasarnya tidak dapat dimampatkan, jadi
peningkatan TIK karena pembengkakan otak akan mengakibatkan
ekstrusi LCS dan darah (terutama vena) dari ruang intrakranial,
fenomena ini disebut kompensasi spasial. LCS memegang peranan pada
kompensasi ini karena LCS dapat dibuang dari ruang intrakranial ke
rongga spinalis . Hubungan antara TIK dan volume intrakranial
digambarkan dalam bentuk kurva yang terbagi dalam tiga bagian
yaitu bagian pertama kurva adalah datar sebab cadangan kompensasi
adekuat dan TIK tetap rendah walaupun volume intraserebral meningkat (A-
B). Bila mekanisme kompensasi ini lemah, kurva akan naik secara
cepat. Compliance intrakranial sangat menurun dan sedikit
peningkatan volume akan menyebabkan peningkatan TIK (B-C). Pada TIK
yang tinggi, kurva kembali datar akibat hilangnya kapasitas arteriol
otak untuk melebar sebagai respons terhadap penurunan CPP. Tekanan
jaringan otak yang tinggi menyebabkan gagalnya fungsi pembuluh
darah sebagairespon serebrovaskular (C-D).
Peningkatan TIK pada cedera kepala dapat berkaitan dengan lesi massa
intrakranial, cedera kontusio, pembengkakan pembuluh darah, dan
edema otak. Baru-baru ini studi klinis telah menunjukkan bahwa
edema otak adalah penyebab utama yang bertanggung jawab atas
pembengkakan otak setelah cedera kepala. Edema otak vasogenik
dianggap sebagai edema yang lazim setelah cedera kepala, tetapi
studi MRI (Magnetic Resonance Imaging) terbaru menunjukkan bahwa,
pada pasien dengan pembengkakan otak yang signifikan, edema
seluler atau sitotoksik terjadi karena akumulasi air intraseluler.
Bila autoregulasi serebral tidak ada, peningkatan tekanan darah arteri
menyebabkan peningkatan volume darah otak (Cerebral Blood Volume/
CBV) dan TIK. Peningkatan CBV dan TIK juga bisa terjadi sebagai
respon terhadap perubahan kondisi sistemik seperti tekanan CO2
arterial, temperatur dan tekanan intrathorakal dan intraabdominal,
atau karena peristiwa intrakranial seperti kejang. Hipertensi
intrakranial juga bisa terjadi karena gangguan aliran LCS baik akut
maupun kronik (hidrosefalus), seringkali difus, atau proses patologi
seperti edema serebri akibat gagal hati.
TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis.
TIK normal adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada
anak-anak, dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur. Definisi
hipertensi intracranial tergantung pada patologi spesifik dan usia,
walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg
umumnya abnormal, akan tetapi penanganan diberikan pada tingkat
berbeda tergantung patologinya. TIK>15 mmHg memerlukan penanganan pada
pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala, penanganan
diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi pada anak-anak dan
telah direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama
penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18 mmHg
pada anak<8 tahun, dan 20 mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.
B. Etiologi
Penyebab yang paling sering dari peningkatan tekanan intrakranial
yaitu, trauma kepala, tumor otak, perdarahan subarachnoid,
ensepalopaties, toxic, dan viral. Peningkatan TIK paling sering
berhubungan dengan lesi otak yang meluas (seperti perdarahan), obstruksi
aliran CSF (seperti dalam tumor) dan formasi CSF meningkat seperti
hidrosefalus dan swelling dan edema otak. Keadaan lain yang dapat
meningkatkan TIK, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Gangguan pada CSF
1. Perubahan absorbsi CSF seperti stenosis Aquadatus, meningitis,
infeksi otak lain yang menyebar ke ruang dimana CSF berada, kompresi
atau obstruksi pada jalur CSF, edema interstisial, fistula pada
dura.
2. Perubahan pada produksi CSF seperti : gangguan fleksus koroid, hiper
atau hipo osmolal, keadaan hidrocepalik kronik.
b. Gangguan serebrovaskular
1. Kerusakan pada otak sentral seperti trombosis, emboli, arteri vena
malformasi, aneurisma, hemoragik dan formasi hematom, edema
vasogenik, hipervaskularisasi pada tumor otak.
2. Gangguan perifer yang menimbulkan ketidakseimbangan status
serebrovaskuler seperti: hipo atau hiiper kardia, oklusi atau
kompresi vena jugularis internal, sindrom vena kava superior, CHF,
dan keadaan overload cairan dan syok yang menimbulkan hipoksia otak.
c. Keadaan yang mempengaruhi parenkim otak seperti trauma kepala,
termasuk hemoregik, tumor, edema serebral, abses, toksik ensepalopati.
C. Patofisiologi
Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan
cairan serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap
meningkatnya tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance.
Perpindahan cairan serebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme
kompensasi pertama dan utama, tapi lengkung kranial dapat mengakomodasi
peningkatan volume intrakranial hanya pada satu titik. Ketika compliance
otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala klinis, dan usaha
kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai (Black & Hawks, 2005)
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika
volume darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika
60% darah otak hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini
mengubah metabolisme otak, sering mengarah pada hipoksia jaringan otak
dan iskemia (Black & Hawks, 2005). Kompensasi tahap akhir dan paling
berbahaya adalah pemindahan jaringan otak melintasi tentorium dibawah
falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam kanal spinal. Proses
ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari kompresi
batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial.
Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas
otak tengah ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang
dipisahkan oleh falx serebri. Supratentorial dan infratentorial (berisi
batang otak dan serebellum) oleh tentorium serebri. Otak dapat bergerak
dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang meningkat pada satu kompartemen
akan mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih rendah
(Black&Hawks, 2005). Autoregulasi juga bentuk kompensasi berupa
perubahan diameter pembuluh darah intrakranial dalam mepertahankan aliran
darah selama perubahan tekana perfusi serebral. Autoregulasi hilang
dengan meningkatnya TIK. Peningkatan volume otak sedikit saja dapat
menyebabkan kenaikan TIK yang drastis dan memerlukan waktu yang lebih
lama untuk kembali ke batas normal (Black & Hawks, 2005).
Manifestasi klinik dari peningkatan TIK disebabkan oleh tarikan
pembuluh darah dari jaringan yang merenggang dan karena tekanan pada
duramater yang sensitif dan berbagai struktur dalam otak. Indikasi
peningkatan TIK berhubungan dengan lokasi dan penyebab naiknya tekanan
dan kecepatan serta perluasannya. Manifestasi klinis dari peningkatan TIK
meliputi beberapa perubahan dalam kesadaran seperti kelelahan, iritabel,
confusion, penurunan GCS, perubahan dalam berbicara, reaktifias pupil,
kemampuan sensorik/ motorik dan ritme/ denyut jantung. Sakit kepala,
mual, muntah, penglihatan kabur sering terjadi. Papiledema juga tanda
terjadinya peningkatan TIK. Cushing triad yaitu peningkatan tekanan
sistolik, baradikardi dan melebarnya tekanan pulsasi adalah respon
lanjutan dan menunjukkan peningkatan TIK yang berat dengan hilangnya
aoturegulasi (Black & Hawks, 2005).
Perubahan pola nafas dari cheyne-stokes ke hiperventilasi neurogenik
pusat ke pernafasan apnuestik dan pernafasan ataksik menunjukkan kenaikan
TIK. Pembuktian adanya kenaikan TIK dibuktikan dengan pemeriksaan
diagnostik seperti radiografi tengkorak, CT scan, MRI. Lumbal pungsi
tidak direkomendasikan karena berisiko terjadinya herniasi batang otak
ketika tekanan cairan serebrsopinal di spinal lebih rendah daripada di
kranial. Lagipula tekanan cairan serebrospinal di lumbal tidak selalu
menggambarkan keakuratan tekanan cairan serebrospinal intracranial (Black
& Hawks, 2005).
D. Pathway
E. Manifestasi
1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepeala
terjadi karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan durameter akan
memberikan gejala yang berat pada pagi hari dan diperberat oleh
aktivitas, batuk, mengangkat beban, dan bersin.
2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala dan peningktan TIK.
3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus
optikus yang berhubungan dengan rongga subarachnoid di otak. Hal ini
merupakan indikator klinis yang baik untuk hipertensi intrakranial.
4. Defisit neurologis seperti gejala perubahan tingkat kesadaran,
gelisah, iritabilitas, letargi, dan penurunan fungsi motorik.
5. Bila peningktan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan
pergeseran jaringan otak, maka akan terjadi sindroma herniasi dan
tanda-tanda umum Cushing's triad (hipertensi bradikardi dan respirasi
ireguler). Pola napas akan dapat membantu melokalisasi level cedera.
Onset terjadinya juga harus diperhatikan seperti onset yang cepat biasanya
karena perdarahan, hidrosefalus akut, atau trauma; onset yang bertahap
karena tumor, hidrosefalus yang sudah lama, atau abses. Riwayat kanker
sebelumnya, berkurangnya berat badan, merokok, penggunaan obat-obatan,
koagulopati, trauma atau penyakit iskemik dapat berguna dalam mencari
etiologi peningkatan TIK ini.
F. Komplikasi
Komplikasi dari peningkatan Tekanan Intrakranial, yaitu:
1. Herniasi batang otak
2. Ireversible anoxia otak.
3. Diabetes Insipidus akibat penurunan sekresi ADH kelebihan urine,
penurunan osmolaritas urine, serum hiperosmolaritas dengan terapi:
cairan, elektrolit, vasopresin.
4. Sindrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) peningkatan
sekresi ADH kebalikan Diabetes insipidus , terapi: batasi cairan, 3
% hipertonic saline solution hati-hati central pontine
myelolysis tetraplegia dengan defisit nerves cranial. Terapi lain
SIADH lithium carbonate/ demeclocycline blok aksi ADH.
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum berdasarkan teori, yaitu:
a. Kaji kepatenan jalan napas, pernapasan (frekuensi, irama,
kedalaman), dan sirkulasi.
b. Berikan obat diuretik osmosis seperti manitol atau urea, sesuai
intruksi untuk mengeluarkan cairan dari daerah otak dan darah yang
berada pada otak.
c. Berikan steroid seperti deksametason, sesuai intruksi untuk
mengurangi edema sekitar otak, jika ada.
d. Bantu hiperventilasi dengan menggunakan ventilator volume untuk
alkalosis respiratorik, yang menyebabkan vasokontriksi serebral dan
penurunan volume yang menyebabkan pengurangan TIK.
e. Monitor efek obat paralis neuromuskular seperti pancurmonium, yang
mungkin diberikan selama penggunaan ventilasi mekanik untuk
mencegah perubahan tekanan intrakranial secara mendadak berhubungan
dengan bentuk, tegang, atau akibat pemakaian ventilator.
f. Obati demam sesuai permintaan, sebab peningkatan volume cairan CSS
dan kejadian peningkatan TIK yang mendadak terjadi bersama dengan
serangan demam.
g. Berikan barbiturat dosis tinggi dan obat anestesi lainnya sesuai
intruksi untuk mengurangi status koma dan tekanan metabolisme otak
yang dapat mengurangi aliran darah serebral dan TIK.
h. Hindari posisi atau aktivitas yang mungkin meningkatkan TIK seperti
memutar kepala klien, posisi, dan fleksi leher.
i. Meminimalkan pengisapan (suction) atau rangsangan lainnya yang
dapat meningkatkan TIK.
j. Jaga posisi kepala, tinggikan sekitar 30 derajat untuk mengurangi
tekanan vena jugularis dan penurunan TIK.
k. Gunakan monitoring/ Pemantuan TIK untuk mengetaui peningkatan TIK
(di atas 20 mmHG persisten 15 menit atau lebih jika sesuai
peningkatan TIK).
2. Penatalaksaan Kegawatdaruratan peningkatan TIK, yaitu :
Berdasarkan jurnal Kayana, dkk (2013) penatalaksanaan kegawatdaruratan
pada pasien peningkatan TIK yaitu :
1) Pemantauan TIK
Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase
kompensasi ke fase dekompensasi. Secara obyektif, pemantauan
TIK adalah untuk mengikuti kecenderungan TIK tersebut, karena
nilai tekanan menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar
terhindar dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat
ireversibel dan letal. Dengan pemantauan TIK juga kita dapat
mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana menunjukkan
tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi
otak.
2) Indikasi Pemantauan TIK
Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa
TIK harus dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma
Scale/GCS 3-8 setelah resusitasi) dan hasil CT scan kepala
abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio, pembengkakan,
herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis) (Level II), TIK juga
sebaiknya dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan
CT scan kepala normal jika diikuti dua atau lebih kriteria
antara lain usia>40 tahun, sikap motorik, dan tekanan darah
sistolik <90 mmHg (level III).
3) Kontraindikasi Pemantauan TIK
Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya
ada beberapa kontraindikasi relatif yaitu:
a. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada
pemasangan pemantauan TIK. Bila memungkinkan pemantauan TIK
ditunda sampai International Normalized Ratio (INR),
Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT)
terkoreksi ( INR <1,4 dan PT <13,5 detik). Pada kasus
emergensi dapat diberikan Fresh Frozen Plasma (FFP) dan vitamin
K.
b. Trombosit < 100.000/mm³
c. Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya
berikan sekantong platelet dan fungsi platelet dengan
menghitung waktu perdarahan.
d. Imunosupresan baik iatrogenik maupun patologis juga
merupaka kontraindikasi relatif pemasangan pemantauan TIK
4) Metode pemantauan TIK
Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara
langsung) dan non invasive (tidak langsung). Metode non
invasif (secara tidak langsung) dilakukan pemantauan status
klinis, neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/ TCD). Sedangkan metode invasif (secara langsung)
dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu
intraventrikular, intraparenkimal, subarakhnoid/ subdural, dan
epidural. Metode yang umum dipakai yaitu intraventrikular dan
intraparenkimal (microtransducer sensor). Metode subarakhnoid
dan epidural sekarang jarang digunakan karena akurasinya
rendah. Pengukuran tekanan LCS lumbal tidak memberikan
estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila dilakukan pada TIK
meningkat. Beberapa metode lain seperti Tympanic Membrane
Displacement/ TMD, Optic nerve sheath diameter/ ONSD namun
akurasinya sangat rendah.
a) Pemantauan TIK secara tidak langsung
Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus
dinilai pada peningkatan TIK yaitu:
- Tingkat kesadaran (GCS)
- Pemeriksaan pupil
- Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III
dan VI)
- Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis)
- Adanya mual atau muntah
- Keluhan nyeri kepala
- Tanda-tanda vital saat itu
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna
pada peningkatan TIK. Papil edema ditemukan bila peningkatan
TIK telah terjadi lebih dari sehari. Tapi sebaiknya tetap
dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil
edema dapat memberikan informasi mengenai proses perjalanan
penyakit.Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya
dilakukan pemeriksaan CT scan kepala. Beberapa temuan pada
neuroimaging yang dicurigai kondisi patologis yang
menyebabkan peningkatan Adanya lebih dari satu kelainan ini
sangat mungkin suatu peningkatan TIK, sedangkan adanya
salah satu temuan diatas menunjukkan potensi peningkatan
TIK. Bila diperlukan dapat diteruskan dengan pemeriksaan
MRI atau CT scan kontras untuk menggambarkan patologi
intrakranial dengan lebih baik, untuk pengambilan
keputusan awal, meskipun CT scan tanpa kontras pun seringkali
cukup. Keputusan penting yang harus dilakukan pada pasien
dengan TIK meningkat adalah apakahperangkat pemantauan TIK
harus dipasang. Neuroimaging digunakan untuk menetapkan
diagnosa yang mengakibatkan TIK meningkat, serta
melengkapi informasi yang diperoleh dari anamnesa dan
pemeriksaan. Pencitraan tidak dapat menggantikanpemantauan
TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan ketika
status klinis pasienhanya membutuhkan penempatan monitor
TIK dalam waktu singkat. Dalam keadaan ini, pengulangan
pencitraan setiap kali perubahan status pasien dapat
mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya, hematoma
cedera kepala) yang kemudian memerlukan penempatan monitor.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk menunda atau
menghindari penempatan monitor TIK dalam kasus di mana
kebutuhan untuk itu awalnya kurang jelas.
Neurosonology
TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang
berguna untuk penilaian aliran darah arteri basal otak.
Semua cabang utama arteri intrakranial biasanya dapat
diinsonasi baik arteri kranial anterior, media dan
posterior melalui tulang temporal (kecuali pada 10%
pasien, dimana insonasi transtemporal tidak memungkinkan),
arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan
arteri vertebral dan arteri basilar melalui foramen
magnum. TCD mengukur kecepatan aliran darah, dalam
sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70.
Variabel pemantauan esensial kedua berasal dari rekaman
gelombang yang menggunakan indikator pulsatility index
(PI), rasio perbedaan antara kecepatan aliran sistolik dan
diastolik dibagi rata-rata kecepatan aliran, biasanya
kurang lebih sama dengan 1. Penggunaan klinis yang paling
umum dari TCD adalah pemantauan untuk vasospasme, terutama
setelah SAH. Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran
sistolik dan penurunan diastolik (aliran sistolik 120
sangat sugestif dan 200 konfirmasi dari penurunan diameter
lumen), mengakibatkan peningkatan PI (nilai di atas 3:1 sangat
sugestif terjadi penyempitan lumen). Penilaian TCD serial
dapat mendeteksi perubahan progresif dalam kecepatan aliran
dan PI akibat vasospasme pada SAH. Penyempitan lumen
dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik sendiri
seperti dalam autoregulasi dan vasospasme yang benar, atau
dengan hiperplasia intimal seperti dalam "vasospasme" pada
SAH. Vasospasme juga bisa terjadi karena kompresi
ekstrinsik dari arteri terutama peningkatan difus TIK
mengakibatkan penekanan yang menyebabkan penyempitan arteri
basal. Seluruh peningkatan dalam kecepatan aliran dan PI
dapat menunjukkan kompresi ekstrinsik difus arteri karena TIK
meningkat. Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik untuk
memberikan alternatif pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak
dapat menggantikan pemantauan TIK langsung. Para dokter
yang menggunakan TCD untuk monitor pasien SAH harus
selalu ingat bahwa perubahan penyempitan lumen yang difus
mungkin menunjukkan peningkatan TIK. Beberapa upaya telah
dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi
dan menilai adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.
b) Pemeriksaan TIK secara langsung
Pemantauan TIK secara langsung dapat dilakukan dibeberapa lokasi
sesuai dengan anatomi kepala.
Subarachnoid Screw. Subarachnoid screw dihubungkan ke
tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini ditempatkan
ke dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah
sekrup berongga yang memungkinkan CSF untuk mengisi
baut, memungkinkan tekanan untuk menjadi sama.
Keuntungan metode ini adalah infeksi dan risiko
perdarahan rendah. Aspek negatif termasuk kemungkinan
kesalahan permantauan TIK, salah penempatan sekrup, dan
oklusioleh debris.
Kateter subdural/ epidural adalah metode lain untuk
memantau TIK. Metode ini kurang invasif tetapi juga
kurang akurat. Hal ini tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang
lebih rendah dari infeksi atau perdarahan.
Pemantauan TIK intraparenkim menggunakan microtransducer
yang diletakkan di parenkim otak melalui lubang kecil
dan baut tengkorak yang memungkinkan pemantauan TIK
simultan, mikrodialisis serebral dan oksigenasi jaringan
otak. Posisi pilihan perangkat tersebut adalah pada
subtansia alba regio frontal nondominan pada cedera otak
difus, atau parenkim perikontusional pada cedera otak
fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada
hemisfer kontralateral dari hematoma intraserebral.
Perangkat yang berbeda juga tersedia, termasuk
fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK pneumatic
Spiegelberg juga memungkinkan kalibrasi in vivo dan
pemantauan intrakranial. Monitor TIK Neurovent-P adalah
kateter serbaguna yang menggabungkan TIK, oksigenasi
jaringan otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai
TIK harus diinterpretasikan dengan hati-hati dan
berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis pasien.
Ketika ada perbedaan yang signifikan antara nilai
pemantauan dan gejala klinis, penggantian atau penempatan
kembali probe harus dipertimbangkan.
5) Interpretasi pemantauan TIK
Rekaman TIK memberikan dua macam informasi yaitu level
baseline dan variasi tekanan (gelombang), dengan kata lain
peningkatan TIK bisa tetap atau periodik.
a) Tekanan baseline
TIK normal adalah pulsatil akibat pulsasi arteri
intracranial yang mencerminkan siklus kardiak dan
respirasi. TIK normal rata-rata 0-10 mmHg dan abnormal
bila >15 mmHg. Lunberg mengusulkan bahwa TIK >20 mmHg
adalah meningkat sedang, dan TIK>40 mmHg adalah meningkat
berat. Pada cedera kepala lebih umum melihat peningkatan
pada tekanan baseline daripada gelombang peningkatan TIK.
b) Gelombang tekanan
Lundberg mengidentifikasi 3 jenis gelombang yang berbeda yaitu
gelombang A,B dan C. Gelombang A (gelombang plateau)
secara klinis sangat penting karena mengindikasikan
penurunan compliance intracranial yang berbahaya. Gelombang
A meningakat tajam pada TIK dari baseline sampai
puncaknya 50-80 mmHg dan bertahan selama 5-20 menit.
Gelombang ini selalu patologis dan mungkin berkaitan
dengan tanda awal terjadinya herniasi otak, seperti bradikardi
dan hipertensi. Hal ini terjadi pada pasien yang
autoregulasinya masih baik dan compliance intrakranial
berkurang, vasodilatasi sebagai respon terhadap menurunnya
perfusi serebral. Gelombang B biasanya ritmik, terjadi
setiap 1-2 menit, dengan puncak sekitar 20-30 mmHg diatas
baseline. Gelombang ini berhubungan dengan perubahan tonus
vaskuler, kemungkinan disebabkan oleh ketidakstabilan
vasomotor saat CPP berada pada batas terendah
autoregulasi. Sedangkan gelombang C terjadi dengan frekuensi4-
8/menit dan amplitudonya sangat kecil, puncaknya pada 20
mmHg. Gelombang ini perubahan pada sinkron dengan tekanan
darah arteri, mencerminkan tonus vasomotor dan tidak bermakna
patologis.
c) Amplitudo
Bila TIK meningkat di atas level istirahat, amplitudo
komponen denyut jantungmeningkat sementara komponen
pernapasan menurun. Jadi denyut amplitudo TIKmeningkat
linear dengan peningkatan TIK, sebuah observasi yang
dibuat oleh Cushing lebih dari 90 tahun yang lalu. Tekanan
nadi juga dapat meningkat sebelum TIK meningkat. Hal ini
memiliki kepentingan klinis karena dapat memprediksi
kerusakan sebelum kenaikan TIK. Dengan kata lain, suatu
pelebaran amplitudo tanpa adanya suatu peningkatan TIK
menunjukkan adanya perburukan compliance dan cadangan
intrakranial
d) Bentuk gelombang TIK
Gelombang TIK mempunyai dua frekuensi berbeda, satu gelombang
sinkron dengan denyut arteri sementara gelombang lainnya
lebih lambat bersamaan waktu bernafas Gelombang vaskuler
disebabkan oleh pulsasi arteri pada pembuluh darah besar di
dalam otak, menghasilkan osilasi volume system ventrikel.
Bentuk gelombang tekanan TIK mirip dengan tekanan darah
sistemik dan mempunyai tiga komponen yaitu percussion wave
(P1), tidal wave (P2), dan dicrotic wave (P3) .Gelombang
pernapasan sinkron dengan perubahan dalam tekanan vena
sentral, mencerminkan tekanan intrathorakal. Gelombang ini
terlihat menonjol pada pasien dengan ventilator. Biasanya,
amplitudo denyut jantung adalah sekitar 1,1 mmHg, dan
gabungan jantung dan pernapasan bervariasi sekitar 3,3 mmHg.
3. Penatalaksanaan berdasarkan jurnal Measurement and Management of
Increased Intracranial Pressure tahun 2013.
a. Langkah Awal
- Optimalisasi oksigenasi (O2 saturasi> 94% atau PaO2> 80 mmHg) dan
aliran darah otak (tekanan darah sistolik lebih besar dari 90 mm
Hg) sangat penting. BP harus cukup untuk mempertahankan CPP> 60
mmHg dan penekanan dapat digunakan secara aman, terutama ketika
hipotensi iatrogenik terjadi karena sedasi. Normalisasi tekanan
darah pada pasien dengan hipertensi kronis pada kurva
autoregulatori yang bergeser ke kanan harus dihindari, kecuali ada
pertimbangan lain, yaitu perdarahan intrakranial akut di mana BP
menurunkan penurunan ekspansi hematoma.
- Mengatasi obstruksi aliran vena dengan posisi kepala tegak garis
tengah adalah langkah awal yang kritis. Kepala tempat tidur harus
dipertahankan pada 30 °, dan kepala pasien harus tetap di posisi
garis tengah, tanpa kompresi jugularis, untuk mendorong aliran
balik vena. Elevasi kepala lebih dari 45 derajat umumnya harus
dihindari karena kenaikan paradoks pada ICP dapat terjadi sebagai
respon terhadap penurunan CPP yang berlebihan. Manuver penting
termasuk mengurangi fleksi berlebihan atau rotasi leher,
menghindari pembatasan leher, dan meminimalkan rangsangan yang bisa
menyebabkan batuk dan respon valsava, seperti penyedotan
endotrakeal.
- Pemeliharaan pemantauan eufolemik dan pemantauan ketat keseimbangan
cairan sangat diperlukan. Hanya cairan isotonik harus digunakan dan
cairan hipotonik seperti dextrose 5% dan 0,45% (setengah normal)
saline harus benar-benar dihindari. Hipoosmolalitas sistemik (<280
mOsm/ L) harus terbalik. Terapi dehidrasi tidak dianjurkan, dan
pada kenyataannya, hipovolemia dapat menyebabkan CPP tidak memadai
dan menyebabkan peningkatan ICP. Pilihan cairan yang optimal untuk
resusitasi masih belum jelas, studi perbandingan koloid dengan
kristaloid tidak meyakinkan. Namun, satu studi besar menunjukkan
bahwa pada pasien dengan trauma cedera otak, albumin dapat
membahayakan dan harus dihindari, karena dikaitkan dengan kematian
lebih tinggi dibandingkan dengan salin normal.
- Membius pasien dengan tepat, mengobati agitasi dan mengendalikan
rasa sakit dengan analgesia dapat menurunkan ICP dengan mengurangi
kebutuhan metabolik, ventilator asynchrony, kemacetan vena, dan
tanggapan simpatik dari hipertensi dan takikardia.
- Demam meningkatkan metabolisme otak dan harus diperlakukan agresif.
Hal ini meningkatkan ICP dengan meningkatkan metabolisme otak dan
aliran darah, dan telah terbukti memperburuk cedera neuronal
hipoksia-iskemik pada hewan. Sebuah studi Perancis menunjukkan
bahwa pengontrolan demam menggunakan pendinginan eksternal aman dan
menurunkan persyaratan vasopressor dan kematian dini pada syok
septik. Oleh karena itu, pengobatan agresif demam, termasuk
acetaminophen dan pendinginan mekanik, tampaknya aman dan
dianjurkan pada pasien dengan peningkatan ICP dengan demam
berkelanjutan lebih dari 38,3 ° C.
- Status epileptikus kejang dan bahkan non-kejang yang mencolok
umumnya pada cedera otak. Hal ini meningkatkan kebutuhan metabolik
otak dan menyebabkan hiperemia, yang dapat secara signifikan
berkontribusi pada peningkatan ICP. Oleh karena itu, obat-obat
antiepilepsi profilaksis harus dipertimbangkan, terutama pada
pasien dengan lesi kortikal fokal besar dengan efek massa yang
signifikan dan pergeseran garis tengah, dan harus ada ambang rendah
untuk memesan video pemantauan EEG pada pasien koma.
- Deksametason dan steroid lainnya tidak boleh digunakan untuk
pengobatan ICP, kecuali pada pasien tumor, karena tidak efektif
melawan edema sitotoksik. Umumnya steroid tidak berperan dalam
pengobatan efek massa terkait infark serebral, perdarahan
intraserebral, atau TBI. Pada percobaan MRC CRASH efek
kortikosteroid pada kematian dan kecacatan setelah cedera kepala
dalam waktu 8 jam dari cedera telah diperiksa. Risiko kematian
lebih tinggi pada kelompok kortikosteroid dibandingkan pada
kelompok plasebo. Mereka menyimpulkan bahwa kortikosteroid tidak
boleh digunakan secara rutin dalam pengobatan cedera kepala.
Penggunaan kortikosteroid untuk abses otak kontroversial dan
digunakan ketika efek massa yang signifikan terlihat pada
pencitraan dan status mental pasien tertekan. Ketika digunakan
untuk mengurangi edema serebral, terapi harus berlangsung singkat.
b. Terapi Hiperosmolar
Agen osmotik mengurangi volume jaringan otak dengan menarik air
bebas dari jaringan otak dan ke sirkulasi sistemik, di mana ia
kemudian diekskresikan oleh ginjal. Efek menguntungkan dari terapi
hiperosmolar mengharuskan pembatas darah-otak utuh. Di daerah
kerusakan jaringan otak, seperti pada luka memar traumatis,
pembatasnya terganggu dan memungkinkan keseimbangan molekul antara
darah dan cairan interstitial otak. Demikian, agen hiperosmolar
mengerahkan efeknya terutama dengan memindahkan air dari jaringan
otak normal yang tersisa. Sebagian besar pengurangan volume otak
terjadi selama dan segera setelah periode osmolaritas maksimal
disebabkan oleh masuknya agen hiperosmolar. Otak perlahan
mengakomodasi hiperosmolaritas serum dengan meningkatkan
konsentrasi zat terlarut intraseluler melalui sejumlah cara, yang
sebagian besar tidak dipahami dengan jelas.
Bukti klinis menunjukkan kemanjuran manitol dan salin hipertonik
untuk hipertensi intrakranial akut dalam pengaturan TBI, edema
sekunder untuk tumor, ICH, SAH, dan stroke. Manitol dan salin
hipertonik telah dibandingkan di setidaknya lima percobaan acak
dari pasien dengan peningkatan ICP dari berbagai penyebab (cedera
otak traumatis, stroke, tumor.. Sebuah meta-analisis dari uji coba
ini menemukan bahwa salin hipertonik ternyata memiliki khasiat yang
lebih besar dalam mengelola peningkatan ICP, tetapi efek pada hasil
klinis tidak dinilai.
Dosis manitol yang telah disarankan antara 0,18 dan 2,5 g/ kg,
meskipun dosis <0,5 g/ kg kurang efektif dan kurang tahan lama, dan
korelasi positif telah menunjukkan antara dosis dan besarnya
penurunan ICP. Dosis bolus saline hipertonik (konsentrasi mulai 1,5-
23,4%) dapat digeneralisasi mulai dari 240 mOsm/ dosis (misalnya 30
ml 23,4%) untuk 640 mOsm/ dosis (misalnya, 250 ml 7,5%). Jumlah
saline hipertonik yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi
sasaran natrium serum dapat diperkirakan dari rumus berikut:
kebutuhan natrium dalam milimol = (berat badan dalam kilogram ×
proporsi berat badan yaitu air, yang mana 0,5 untuk wanita dan 0,6
untuk pria) × (sodium yang diinginkan – sodium sesaat dalam milimol
per liter mmol/ L). Volume yang dibutuhkan dalam mililiter kemudian
dihitung sebagai kebutuhan sodium, dibagi dengan konsentrasi
natrium dari solusi yang dipilih. Dosis terapi infus saline
hipertonik telah efektif menggunakan 3% NaCl pada 0,1-2,0 ml/ kg/
jam pada pergeseran skala titrasi ke konsentrasi sodium serum dari
145-155mmol/ L. Pedoman yang jelas dan target spesifik untuk
konsentrasi sodium serum yang optimal tidak berkedudukan kuat. Di
ICU biasanya menggunakan saline hipertonik 3%, dimulai pada 30 ml /
jam melalui vena perifer dengan tujuan konsentrasi natrium serum
145-155 mmol / L didapatkan dalam waktu 6 jam. Tujuannya dapat
dicapai lebih cepat dengan pemberian simultan lain 3% infuse saline
hipertonik melalui IV perifer kedua, atau alternatif konsentrasi
garam yang lebih tinggi melalui jalur sentral. Tujuan sodium serum
biasanya dipertahankan setidaknya 72 jam.
Tingkat pemberian beban osmolar dapat mempengaruhi keberhasilan
dalam menurunkan ICP. Pemberian berkelanjutan dan dosis manitol
rendah berdasarkan berat badan manitol telah terbukti memiliki
dampak yang kurang jelas pada peningkatan ICP. Dosis bolus dapat
membuat gradien osmolar BBB yang lebih tinggi, akhirnya mendorong
penurunan lebih besar pada cairan parenkim. Dalam kasus refrakter,
manitol dan sodium hipertonik dapat diberikan berganti-ganti atau
serentak.
Infus saline hipertonik mampu mencapai penurunan ICP untuk
jangka waktu <72 jam tetapi efek ini mungkin tidak tahan lama
dengan terapi berkepanjangan. Penggunaan jangka panjang dari
hipertonik saline memungkinkan mekanisme homeostatis otak untuk
menyeimbangkan gradien osmotik dan hasil dalam hipotesis
peningkatan edema dan hipertensi intrakranial jika saline
hipertonik dihentikan tiba-tiba. Melambungnya peningkatan ICP
dilaporkan dengan terapi hiperosmolar (terutama dengan manitol),
tetapi tidak jelas apakah peningkatan ini sekunder untuk pembalikan
iatrogenik dari gradien hiperosmolar, atau apakah pembalikan
spontan benar terjadi.
c. Hiperventilasi
Hiperventilasi harus digunakan hanya untuk mencapai PaCO2 26-30
mmHg; hiperventilasi dengan cepat menurunkan ICP melalui
vasokonstriksi dan menurunkan volume darah intrakranial. Efek
vasokonstriksi pada arteriol serebral sementara berlangsung kurang
dari 24 jam. pH CSF seimbang dengan kadar PaCO2 baru, arteriol
serebral redilatasi, memungkinkan untuk kaliber lebih besar
daripada di awal, dan penurunan awal volume darah otak datang pada
biaya dari fase kemungkinan melambungnya peningkatan ICP. Jika
digunakan, hiperventilasi harus meruncing perlahan-lahan selama 4-6
jam untuk menghindari vasodilatasi dan melambungnya peningkatan
ICP.
Hasil hiperventilasi pada vasokonstriksi dan sementara ini bisa
menurunkan ICP, bersamaan, penurunan kritis dalam perfusi serebral
lokal mungkin terjadi yang dapat berpotensi memperburuk cedera
neurologis, khususnya pada 24 sampai 48 jam pertama. Meskipun
iskemi hiperventilasi-induksi belum jelas ditampilkan,
hiperventilasi kronis rutin (untuk PaCO2 20-25 mm Hg) telah
ditunjukkan memiliki efek yang merugikan pada hasil dalam satu
percobaan klinis acak. Oleh karena itu, hiperventilasi digunakan
paling efektif sebagai pengukur yang meragukan sampai pengobatan
yang lebih definitif untuk peningkatan tekanan intrakranial yang
dimulai.
d. Barbiturat
Terapi barbiturat untuk menginduksi elektroensefalografik
penekanan meledak telah menjadi andalan penekanan farmakologis
metabolik untuk peningkatanan ICP, meskipun tidak diindikasikan
untuk pemberian profilaksis. Penggunaan barbiturat didasarkan pada
kemampuannya untuk mengurangi metabolisme dan aliran darah otak,
sehingga menurunkan ICP dan mengerahkan efek neuroprotektif.
Pentobarbital umumnya digunakan, dengan dosis muatan 5 sampai 20
mg/ kg sebagai bolus, diikuti dengan 1-4 mg/ kg per jam. Morbiditas
yang signifikan, yaitu hipotensi yang biasanya memerlukan
penggunaan vasopressor, mungkin berhubungan dengan terapi ini, oleh
karena itu itu harus disediakan untuk kasus ICP refrakter terhadap
standar perawatan medis lini pertama. Pemantauan ketat ICP dan CPP
adalah wajib. Pemantauan EEG terus menerus umumnya digunakan karena
barbiturat digunakan terkait dengan hilangnya pemeriksaan
neurologis; rentetan penekanan EEG adalah indikasi dari dosis
maksimal. Sebuah uji coba secara acak dari 73 pasien dengan
peningkatan ICP refrakter terhadap terapi standar menunjukkan bahwa
pasien yang diobati dengan pentobarbital ada 50 persen lebih
mungkin untuk mendapatkan pengontrolan ICP mereka, tetapi tidak ada
perbedaan dalam hasil klinis antara kelompok, meninggalkan nilai
terapi pengobatan ini tidak jelas.
e. Hipotermia Terapeutik
Hipotermia mengurangi metabolisme otak dan mungkin mengurangi
CBF dan ICP. Pertama kali dilaporkan sebagai pengobatan untuk
cedera otak pada tahun 1950-an, sebagian besar bukti menunjukkan
bahwa pendinginan dapat efektif pada pasien dengan TBI berat dan
hipertensi intrakranial asalkan pengobatan dimulai lebih awal,
dilanjutkan untuk durasi waktu yang tepat (2-5 hari), dan diikuti
oleh pemanasan kembali bertahap. Hipotermia jelas efektif dalam
mengontrol hipertensi intrakranial. Namun, efek positif pada
kelangsungan hidup dan hasil neurologis memiliki telah dicapai
hanya pada pusat-pusat rujukan besar dengan pengalaman hipotermia
digunakan dan ketika pengobatan diterapkan dalam beberapa jam
setelah cedera. Dalam stroke iskemik, studi terhadap hewan dan
beberapa data klinis menunjukkan bahwa hipotermia bisa membatasi
cedera neurologis, tapi tidak ada cukup bukti yang merekomendasikan
penggunaannya di luar konteks uji coba klinis. Beberapa studi
kelayakan kecil non-kontrol menggunakan hipotermia ringan pada
pasien dengan stroke iskemik dan semua peneliti melaporkan
penurunan yang signifikan pada edema otak dan peningkatan hasil
dibandingkan dengan kontrol terdahulu. Di lembaga kami, sebuah
studi percontohan sedang dilakukan untuk menyelidiki keamanan dan
kelayakan dalam merangsang dan mempertahankan hipotermia ringan
pada pasien stroke berat (Percobaan Induksi Hipotermia Stroke Cepat
Akut). Percobaan POLAR yang merupakan uji coba multicenter secara
acak saat ini sedang merekrut pasien juga telah dikembangkan untuk
menyelidiki apakah pendinginan awal pasien dengan cedera otak berat
traumatis dikaitkan dengan hasil yang lebih baik. Uji coba
eurotherm3235 adalah uji internasional lain, uji coba control
multicenter secara acak yang akan memeriksa efek dari hipertermi
titrasi hipotermia terapeutik (32-35 ° C) sebagai pengobatan untuk
peningkatan tekanan intrakranial setelah kerusakan otak traumatis.
f. Penyisihan CSF
Jika kompartemen CSF berkontribusi terhadap peningkatan ICP,
seperti dalam kasus obstruktif atau komunikasi hidrosefalus dari
SAH atau perdarahan intraventrikular; strategi pengobatan pilihan
adalah pengalihan CSF. Hal ini dapat dicapai dengan perangkat
ventrikel drainase eksternal (EVD), saluran lumbal, atau LP serial.
Aspirasi yang cepat dari CSF harus dihindari karena dapat
menyebabkan terhalangnya kateter pembukaan oleh jaringan otak.
Juga, pada pasien dengan perdarahan aneurisma subarachnoid,
penurunan perbedaan tekanan pada kubah aneurisma secara tiba-tiba
bisa menimbulkan perdarahan berulang. Saluran lumbal umumnya
kontraindikasi pada pengaturan ICP tinggi karena risiko herniasi
transtentorial.
g. Kraniektomi Dekompresi
Ketika mengelola pasien dengan peningkatan ICP, kraniectomi
kompresif emergensi dapat dipertimbangkan jika pasien memburuk
dengan cepat atau jika ICP terus meningkat meskipun manajemen medis
sedang berlangsung. Keputusan untuk melakukan operasi dekompresi
harus, bagaimanapun, dibuat secara individual pada setiap pasien.
Studi menunjukkan bahwa beberapa pasien dengan perluasan lesi massa
fokal dan percepatan sindrom herniasi progresif bisa menguntungkan
dari craniectomy dekompresif emergensi dan reseksi massa. Lesi
massa yang jelas terkait dengan peningkatan ICP harus dihapus, jika
mungkin. Studi yang berbeda menunjukkan bahwa kontrol ICP yang
cepat dan berkelanjutan, termasuk penggunaan craniectomy
decompressive, meningkatkan hasil pada trauma, stroke, dan
perdarahan subarachnoid pada kasus yang dipilih dengan hati-hati.
Berdasarkan meta-analisis dari pasien dari tiga percobaan Eropa
terkontrol secara acak; DESIMAL (DEcompressive Craniectomy In
MALignant middle cerebral artery infarction), DESTINY
(DEcompressive Surgery for the Treatment of malignant Infarction of
the middle cerebral artery), dan HAMLET (the Hemicraniotomy After
Middle Cerebral Artery infarction with Life-threatening Edema
Trial) dekompresi bedah mengurangi kasus kematian dan hasil yang
buruk pada pasien dengan space-occupying infart. Data individu
untuk pasien berusia antara 18 dan 60 tahun, dengan MCA infark
space-occupying, termasuk dalam salah satu dari tiga percobaan, dan
diperlakukan dalam waktu 48 jam setelah onset stroke dikumpulkan
untuk dianalisis. Pasien termasuk yang memiliki defisit klinis yang
menunjukkan infark di wilayah MCA dengan skor pada National
Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS)> 15, penurunan tingkat
kesadaran untuk skor 1 atau lebih besar pada item 1a dari NIHSS,
tanda-tanda infark pada CT dari setidaknya 50% dari wilayah MCA,
dengan atau tanpa tambahan infark di wilayah anterior atau
posterior serebral arteri di sisi yang sama, atau volume infark >
145 cm3 seperti ditampilkan pada difusi-tertimbang MRI. 93 pasien
termasuk dalam analisis yang dikumpulkan. Efek operasi sangat
konsisten di tiga uji coba. Pada pasien dengan infark MCA ganas,
operasi dekompresi dilakukan dalam waktu 48 jam dari onset stroke
mengurangi mortalitas dan meningkatkan jumlah pasien dengan hasil
fungsional yang menguntungkan. Dalam uji coba DECRA, uji coba
secara acak dari orang dewasa dengan penyebaran cedera otak
traumatis yang parah dan hipertensi intrakranial refrakter,
craniectomy decompressive bifrontotemporoparietal awal menurunkan
tekanan intrakranial dan lama tinggal di ICU tetapi dikaitkan
dengan hasil yang lebih tidak baik. Kesimpulan ini tidak benar-
benar didukung oleh pemeriksaan lebih dekat dari data dasar.
Beberapa pihak telah mengklaim bahwa hasil uji coba DECRA
seharusnya tidak memiliki pengaruh pada praktek klinis. Studi
RESCUEicp berkelanjutan (Randomised Evaluation of Surgery with
Craniectomy for Uncontrollable Elevation of Intra-Cranial Pressure)
diharapkan untuk mengatasi masalah ini.
4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan pada semua pasien.
Pada pemeriksaan neurologis yang diperhatikan adalah :
1) Perubahan mental status penderita dapat mulai dari kurang perhatian
(inattention) hingga koma.
2) Pemeriksaan nervi kraniales : gambaran pupil menetukan lokasi.
Kelumpuhan nervus tiga (menunjukkan herniasi unkal, ruptur
aneurisma arteri komunikan anterior), kelumpuhan nervus enam, dan
papil edema.
3) Pemeriksaan motorik : posturing – dekortikasi atau flexor posturing
disebabkan gangguan pada traktus motorik. Deserebrasi atau extensor
posturing disebabkan kerusakan berat pada mesensefalon dan batang
otak. Namun, posturing ini tidak selalu berlaku.
4) Fenomena Kernohan's notch (kelemahan pada sisi ipsilateral lesi
karena adanya herniasi dan kompresi pedunkulus serebri
kontralateral).
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat terkait dengan penyebab peningkatan tekanan intrakranial,
seperti trauma kepala, tumor otak, abses, hipoksia, peradangan
selaput otak, mendapat terapi cairan hipertonik, dan kelebihan
cairan serebrospinal.
b. Pengkajian fisik yang meliputi: tingkat kesadaran, pupil, perubahan
motorik dan sensorik, tanda-tanda vital, keluhan sakit kepala, mual
muntah.
c. Psikososial yang meliputi: usia, jenis kelamin, strategi koping dan
penerimaan terhadap kondisi.
d. Pengkajian pengetahuan :etiologi, pengobatan, tanda dan gejala
peningkatan tekanan intrakranial, tingkat pengetahuan dan kemampuan
membaca.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
jaringan otak, volume darah intrakranial, volume cairan
serebrospinal.
b. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neurologis.
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya
refleks pelindung
(batuk, muntah).
3. Intervensi
1) Diagnosa I
a. Perubahan perfusi jaringan : serebral berhubungan dengan
peningkatan jaringan otak, volume darah intrakranial, volume cairan
serebrospinal
b. Tujuan : Klien akan memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat
c. Intervensi
Observasi tingkat klien, tingkah laku, fungsi motorik/ sensorik,
pupil setiap 1-2 jam sekali dan sebagaimana kebutuhan.
Monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit sampai dengan 1 jam
dan sebagaimana kebutuhan: perubahan pernafasan merupakan tanda
awal dari peningkatan tekana n intakranial dan hipoksia/
hiperkapnia.
Monitor nilai analisa gas darah arteri untuk ketidaknormalan
asam basa dan penurunan saturasi oksigen.
Hiperventilasi sebelum penghisapan sekret; batasi penghisapan
sekret 10-15 detik untuk mengurangi kadar CO2, untuk
meningkatkan kadra oksigenasi dan mencegas hipoksia.
Monitor peningkatan takanan intrakranial setiap 15 menit sampai
dengan 1 jam dan sebagaimana kebutuhan.
Pertahankan aliran vena yang keluar dari otak dengan meninggikan
bagian kepala tempat tidur.
Monitor pemasukan dan pengeluaran, elektrolit dan berat jenis
untuk menetapkan kemungkinan ketidakseimbangan cairan yang
mendukung terjadinya edema serebral.
Berikan cairan dengan jumlah terbatas (1400cc/ 24jam) untuk
mencegah edema serebral.
Intruksi untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat meningkatan
intratoraks dan intra abdomen (misalnya mengedan, latihan
isometric, fleksi panggul, batuk).
Observasi tingkat kenyamanan klien (sakit kepala, mual, muntah)
dimana merupakan indikasi adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
Berikan obat-obatan sesuai dengan intruksi
Berikan steroid untuk mencegah edema serebri sebagaimana
intruksi.
Kelola asuahan keperawatan yang diberikan untuk memberikan waktu
istirahat yang optimal bagi klien.
Gunakan teknik aseptik dan antiseptik secara optimal pada setiap
memgganti selang atau balutan.
Laporkan segera pada dokter bila ada perubahan neorologi
(misalnya tanda-tanda vital).
Lakukan tindakan sesuai kebijakan institusi untuk mengatasi
peningkatan tekanan intrakranial sebagaimana intruksi: pemberian
diuretik, mengatasi keadaan hiportemia, mempersiapkan klien
untuk pembedahan.
Kriteria evaluasi klien :
Memiliki tekanan intrakranial 0-15 mmHg
Memperlihatkan perbaikan status neurologi
2) Diagnosa II
a. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neurologis (kompresi batang otak, perpindahan struktural.)
b. Tujuan : Mencapai pola nafas adekuat
c. Intervensi :
Monitor irama napas Cheyene-Stokes (tekanan pada struktur
nidline), Hyperventilasi (tekanan pada otak tengah),
ireguler/ henti (tekanan batang otak)
Monitor PaCO2 pertahankan level 35-45 mmHg
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah
suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15
mmHg atau > 250 mmH2O. Peningkatan tekanan intracranial merupakan
komplikasi yang serius yang biasanya terjadi pada trauma kepala,
perdarahan subarahnoid, hidrosefalue, SOL, infeksi intracranial, hipoksia
dan iskemi pada otak yang dapat menyebabkan herniasi sehingga bisa
terjadi henti nafas dan jantung.
Konsep tekanan intrakranial ada 4 yaitu hipotesis moro-kellie,
lengkung volume-tekanan, aliran darah sereberal dan autoregulasi, dan
tekanan perfusi serebral. Sedangkan etiologi atau penyebabnya yaitu space
occupying yang meningkatkan volume jaringan, masalah serebral, edema
serebral.
Adapun tanda dan gejala dari peningkatan TIK yaitu penurunan tingkat
kesadaran, perubahan pupil, perubahan tanda-tanda vital, disfungsi
motorik dan sensorik, kelainan pengelihatan, sakit kepala, muntah tanpa
nausea dan proyektil, perubahan tekanan darah dan denyut nadi, perubahan
pola pernafasan, perubahn suhu badan, hilangnya refleks-refleks batang
otak, papiledema.
Bila peningkatan TIK ini tidak segera di atasi maka dapat menimbulkan
beberapa komplikasi diantaranya herniasi batang otak, diabetes Insipidus,
sindrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
B. Saran
Penulis berharap semoga penyusunan makalah tentang peningkatan Tekanan
intrakranial ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan dalam bidang
pendidikan dan praktik keperawatan. Dan juga dengan makalah ini dapat
menjadi acuan untuk tindakan proses keperawatan.
CRITICAL REVIEW ARTIKEL PENELITIAN
A. Judul jurnal
1. Teknik Pemantauan Tekanan Intrakranial
Ida Bagus Adi Kayana, Sria Maliawan, I Ketut Siki Kawiyana (2013)
2. Measurement and Management of Increased Intracranial Pressure
Ali Sadoughi, Igor Rybinnik, Rubin Cohen (2013)
B. Latar Belakang
Pemilihan jurnal ini didasarkan pada kelengkapan dalam penatalaksanaan
kegawatdaruratan neurologis pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), dimana ini sesuai dengan kasus yang diambil oleh
kelompok. Setelah dianalisa, jurnal ini membahas secara lengkap dan
detail langkah-langkah penatalaksanaan pasien dengan peningkatan TIK.
C. Kritisi Jurnal
Kedua jurnal saling melengkapi terutama dalam pembahasan penatalaksanaan.
Jurnal pertama membahas tentang jenis monitoring pada pasien dengan
peningkatan TIK secara lengkap. Sedangkan jurnal kedua membahas berbagai
macam terapi medikasi tambahan yang bisa dilakukan untuk menangani pasien
dengan peningkatan TIK.
D. Analisa Kemungkinan Penerapan Hasil Penelitian
Menurut kelompok, untuk kemungkinan penerapan hasil penelitian diruang
rawat masih minimal, terutama dilihat dari aspek ketersediaan alat/
fasilitas. Hal ini dikarenakan ketersediaan alat/ fasilitas di ruangan
terbatas. Jadi, penatalaksanaan yang mungkin bisa dilakukan oleh perawat
adalah monitoring secara tidak langsung, yaitu pemantauan status klinis
seperti: tingkat kesadaran (GCS), pemeriksaan pupil, pemeriksaan motorik
okular, adanya mual atau muntah, keluhan nyeri kepala, dan tanda-tanda
vital pasien saat itu. Setelah dilakukan monitoring secara tidak
langsung, barulah pasien diberikan medikasi yang sesuai dengan etiologi
dari peningkatan TIK nya.
E. Kesimpulan dan Saran
Penatalaksanaan kegawatdaruratan untuk pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) terdiri atas monitoring secara langsung (menggunakan
alat-alat) dan monitoring secara tidak langsung (didapatkan dari
pemantauan klinis), serta kolaborasi dalam pemberian medikasi yang sesuai
dengan etiologi peningkatan TIK pada pasien. Dari jurnal penelitian yang
didapat, tidak semua tindakan penatalaksanaan bisa diaplikasikan
diruangan karena keterbatasan alat/ fasilitas. Oleh karena itu, kita
sebagai perawat diharapkan untuk memantapkan keahlian dalam melakukan
monitoring secara tidak langsung untuk mengetahui etiologi peningkatan
TIK sebagai dasar dalam memberikan terapi medikasi segera untuk
meminimalisir angka kematian pasien dengan peningkatan TIK akibat
penanganan yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Batticia, FB. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Black, J. M.dan Hawks, J. H. 2005. Medical Surgical Nursing. Newyork:
Elsevier.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi: Buku Saku Ed. 3. Jakarta:
EGC.
Gupta, G. 2015. Intracranial Pressure Monitoring. Diperoleh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1829950-overview pada tanggal
7 Desember 2015.
Kanaya, I. B. A., Maliawan, S., dan Kawiyana, I. K. S. 2013. Teknik
pemantauan tekanan intrakranial. Diperoleh dari
http://download.portalgaruda.org>article pada tanggal 7 Desember
2015.
Ropper, A. H. 2014. Management of raised intracranial pressure and
hyperosmolar therapy. Diperoleh dari
http://www.medscape.com/viewarticle/825178 pada tanggal 7 Desember
2015.
Sadoughi, A., Rybinnik, I., and Cohen, R. 2013. Measurement and
management of increased intracranial pressure. Diperoleh dari
http://bentamophen.com/contents/pdf/TOCCMJ-6-56.pdf pada tanggal 7
Desember 2015.
Widagdo, Wahyu dkk. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Trans Info Media
-----------------------
Pertumbuhan sel otak yg abnormal
Girus medialis lobus temporalis tergeser
PENINGKATAN TIK
Gangguan Kesadaran
Mesenfalon tertekan
Herniasi unkus
Massa otak bertambah
3
Y
m
"
ïÛǵ¤–¤ ¤m¤–¤–¤–¤–¤–¤Çµ¤–¤–¤–¤–¤–¤–¤–(h>I£hòOÅCJOJPJQJaJmHsH&
jàh>I£hòOÅCJOJPenekanan jaringan otak terhadap sirkulas darah dan O2
Peningkatan volume Intrakranial
Perpindahan cairan intravaskuler kejaringan serebrospinal
Hipoksia serebral
Penurunan suplai O2 ke jaringan otak akibat obstruksi sirkulasi otak
Pola nafas tidak efektif
Takipnue
Gg. Perfusi jaringan serebral
Manifetasi :
Mual, muntah, pupil edema, pandangan kabur, nyeri kepala
Terputusnya kontinuitas jar. Kulit, otot, dan vaskuler
Perdarahan
hematoma
Perubahan sirkulasi CSS
Tumor otak
Trauma Kepala