Penentuan Bilangan Penyabunan Minyak/Lemak Bilangan penyabunan adalah jumlah miligram KOH yang di perlukan untuk menyabunkan satu gram lemak atau minyak. Apabila sejumlah sampel minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH berlebih dalam alkohol, maka KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan HCL sehingga KOH yang bereaksi dapat diketahui. Dalam penetapan bilangan penyabunan, miasalnya larutan alkali yang digunakan adalah larutan KOH , yang diukur dengan hati-hati kedalam tabung dengan buret atau pipet. Besarnya jumlah ion yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tak jenuh , ikatan rangkap yang terdapat pada minyak yang tak jenuh akan bereaksi dengan iod. Gliserida dengantingkat ketidak jenuhan yang tinggi akan mengikat iod dalam jumlah yang lebih besar. Bilangan penyabunan adalah jumlah miligram KOH yang diperlukan Untuk menyabunkan satu gram lemak atau minyak. Apabila sejumlah sampel minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH berlebih dalam alkohol, maka KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi denngan satu molekul minyak atua lemak, larutan alkali yang tinggi ditentukan dengan titrasi menggunakan HCL sehingga KOH yang bereaksi dapat diketahui. Angka penyabunan menunjukkan berat molekul lemak dan minyak secara kasar. Minyak yang disusun oleh sam lemak berantai karbon yang pendek berarti mempunyai berat molekul yang relatif kecil, akan mempunyai angka penyabunan yang besar dan sebaliknya bila minyak mempunyai berat molekul yang besar, maka angka penyabunan relatif kecil. Angka penyabunan ini dinyatakan sebagai banyaknya (mg) NaOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram lemak atau minyak ( Herina, 2002)
ahukah anda apa itu angka peroksida?? Angka peroksida atau bilangan peroksida merupakan suatu metode yang
biasa
digunakan
untuk
menentukan
degradasi
minyak
atau
untuk
menentukan derajat kerusakan minyak. Berapa standar mutu minyak goreng yang baik bagi tubuh?? Di Indonesia standar mutu minyak goreng ditentukan melalui SNI 013741-1995 yaitu sebagai berikut :
Bilangan peroksida adalah indeks jumlah lemak atau minyak yang telah
mengalami
oksidasi Angka
peroksida
sangat
penting
untuk
identifikasi tingkat oksidasi minyak. Minyak yang mengandung asam- asam lemak
tidak
suatu
jenuh
senyawa
dapat
teroksidasi
peroksida.
menentukan angka
peroksida
oleh
Cara
yang
adalah
dengan
oksigen
yang menghasilkan
sering
digunakan
metoda
titrasi
untuk
iodometri.
Penentuan besarnya angka peroksida dilakukan dengan titrasi iodometri. Salah satu parameter penurunan mutu minyak goreng adalah bilangan peroksida. Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar
peroksida
dan
hidroperoksida
yang
terbentuk
pada
tahap
awal
reaksi oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara spontan jika bahan
berlemak
dibiarkan
kontak
dengan
udara,
sedangkan
kecepatan
proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Minyak curah terdistribusi tanpa kemasan, paparan oksigen dan cahaya pada minyak curah lebih besar dibanding dengan minyak kemasan. Paparan oksigen,
cahaya,
mempengaruhi
dan
oksidasi.
suhu
tinggi
Penggunaan
merupakan suhu
tinggi
beberapa selama
faktor
yang
penggorengan
memacu
terjadinya
oksidasi
minyak.
Kecepatan
oksidasi
lemak
akan
bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah. Peroksida terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi, pada tahap ini hidrogen
diambil
dari
senyawa
oleofin
menghasikan
radikal
bebas.
Keberadaan cahaya dan logam berperan dalam proses pengambilan hidrogen tersebut.
Radikal
bebas
yang terbentuk
bereaksi
dengan
oksigen
membentuk radikal peroksi, selanjutnya dapat mengambil hidrogen dari molekul tak jenuh lain menghasilkan peroksida dan radikal bebas yang baru. Peroksida dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida lebih dari
100
meq
peroksid/kg
minyak
akan
bersifat
sangat
beracun
dan
mempunyai bau yang tidak enak. Kenaikan bilangan peroksida merupakan indikator bahwa minyak akan berbau tengik. Minyak atau lemak bersifat tidak larut dalam semua pelarut berair, tetapi larut dalam pelarut organik seperti misalnya : petroleum eter, dietil eter, alkohol panas, khloroform dan bensena. Dimana asam lemak rantai
pendek
sampai
panjang
rantai
atom
karbon
sebanyak
delapan
bersifat larut dalam air. Makin panjang rantai sehingga akan terbentuk gugus
karboksil
menggunakan
yang
pelarut
tidak
bermuatan.
non-polar
seperti
Kemudian
dilakukan
petroleum.
Asam
ekstraksi
lemak
jenuh
sangat stabil terhadap oksidasi, akan tetapi asam lemak tidak jenuh sangat mudah terserang oksidasi. Dimana lemak tidak dapat meleleh pada satu
titik
suhu,
akan
tetapi
lemak
akan
menjadi
lunak
pada
suatu
interval suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lemak merupakan
campuran
gliserida
dan
masing-masing
gliserida
mempunyai
titik cair sendiri-sendiri (Tranggono & Setiaji, 1989). Lemak dan minyak hampir terdapat dalam semua bahan pangan dengan kandungan
yang
berbeda-beda.
Tetapi
lemak
dan
minyak
seringkali
ditambahkan dengan sengaja ke bahan makanan dengan berbagai tujuan. Dalam pengolahan bahan pangan, minyak dan lemak berfungsi sebagai media penghantar panas, seperti minyak goreng, shortening (mentega putih), lemak (gajih), mentega dan margarin. Di samping itu penambahan lemak dimaksudkan untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan. Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol
sedangkan
lemak
nabati
mengandung
fitosterol
dan
lenih
banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair (Winarno, 1997). Mentega
menurut
Winarno
(1997),
lemak
dari
susu
terdiri
dari
trigliserida-trigliserida butirat, dimana asam lemak butirat dan kapoat dalam keadaan bebas akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal mempercepat
bebas
reaksi
yang
disebabkan
seperti
cahaya,
oleh
panas,
faktor
yang
peroksida
dapat
lemak
atau
hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn. Bau tengik yang
tidak
pemecahan
sedap
disebabkan
hidroperoksida.
oleh
pembentukan
Kemudian
dengan
senyawa-senyawa
adanya
radikal
hasil
bebas
ini
dengan 02 membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadai senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Titik asap (smoke point) adalah temperatur dimana sampel mulai berasap ketika berada di bawah kondisi spesifik. Cup di isi dengan minyak
atau
menyala.
lemak
Titik
yang
asap
mendidih
(smoke
dan
point)
dipanaskan pada
di
kontainer
temperatur
yang
yang
rendah,
diteruskan secara tajam oleh bluish smoke dan menjadi menurun. Tes ini memberikan reflek material organik yang volatil pada minyak dan lemak, terutama
asam
amino
bebas
dan
sisa
ekstraksi
pelarut.
Minyak
penggorengan dan minyak olahan harus memiliki titik asap sekitar 200 0C dan
3000C
tertentuk asap (smoke
(Nielsen, timbul
1998).
asap
point).
Bila
tipis
Bila
suatu
lemak
kebiruan.
pemanasan
dipanaskan,
Titik
ini
diteruskan
akan
pada
disebut
suhu titik
tercapai flash
point, yaitu minyak mulai terbakar (terlihat nyala). Jika minyak sudah terbakar secara tetap disebut fire point. Suhu terjadinya smoke point ini bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah asam lemak bebas. Jika asam lemak bebas banyak, ketiga suhu tersebut akan turun. Demikian juga bila berat molekul rendah, ketiga suhu itu lebih rendah (Winarno, 1997). Karena
tiap
jenis
lemak
berbeda smoke
point-nya,
lemak
yang
digunakan untuk menggoreng sebaiknya dipilih lemak yang tahan untuk membentuk asap pada temperatur yang digunakan untuk menggoreng. Lemak yang mengandung tambahan mono- dan di-gliserida cocok digunakan untuk membuat cake dan kurang sesuai jika digunakan untuk menggoreng karena
pada lemak tersebut ditambahkan emulsifier pada titik asapnya. Faktor lain, selama penggorengan juga menghasilkan suatu perubahan pada titik asap. Perkembangan dari asam lemak bebas pada beberapa hidrolisis dari lemak selama penggorengan menyebabkan menururnnya titik asap (Bennion & Hughes, 1975). Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan pembentukkan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.
Menurut
teori
yang
sampai
kini
masih
dianut
orang
sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah
atom
disingkirkan
karbon
oleh
lain
suatu
yang
kuantum
mempunyai
energi
ikatan
sehingga
rangkap
membentuk
dapat radikal
bebas. Kemudian radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa
dengan
rantai
C
lebih
pendek
ini
adalah
asam-asam
lemak,
aldehid-aldehid, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak (Winarno, 1997) Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh
titik
asapnya,
yaitu
suhu
pemanasan
minyak
sampai
terbentuk
akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein
tersebut.
Makin
tinggi
titik
asap
makin
baik
mutu
minyak
goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol
bebas.
Lemak
yang
telah
digunakan
untuk
menggoreng
titik
asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis lemak (Winarno, 1997). Reaksi oksidasi bergantung pada banyak frekuensi reaksi dari lemak dalam
bahan
makanan.
Ini
biasanya
terdiri
oleh
atmosfer
oksigen,
frekuensi yang sedikit oleh ozon, peroksida, logam dan agen oksidasi yang lain. Dalam penambahan untuk oksigen dan ozon, lemak dapat dirusak oleh pembentukan reaksi lain, seperti anion superoksida (O2) dan radikal (O2),
radikal
perhidrosilik
(HO2),
hidrogen
peroksida
dan
hidrosil
radikal (HO). Asam peroksida diproduksi oleh autoxidasi dari aldehid, dan
mungkin
reaksi
dengan
molekul
lain
dari
produk
aldehid
asam
karboksilat. Oksidasi langsung dari lemak oleh reaksi dengan ion logam
sangat lambat dibawah kondisi normal tetapi mungkin menjadi penting seperti Fe
3+
inisiator
atau Ca
2-
dari
rantai
radikal
bebas
autoxidasi
karena
ion
dapat di produksi raddikal bebas oleh reakssi dengan asam
lemak tidak jenuh, dimana tahap oksidasi dari ion metal ditingkatkan dengan : R – H + Cu2+ R + Cu + H Ion
mengandung
logam
yang
diubah
tahap
oksidasinya
oleh
dua
elektron (Pb4+, MnO42-, CrO42-) bereaksi dengan rantai ganda dari lemak tidak jenuh untuk membentuk asam hidroksi tetapi beberapa reaksi tidak disukai didalam produk makanan (Nielsen, 1998). Bilangan
peroksida
adalah
nilai
terpenting
untuk
menentukan
derajat kerusakan pada lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida dapat ditentukan dengan metode iodometri. Cara yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida, berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang
dibebaskan
apda
reaksi
ini
kemudian
dititrasi
dengan
natrium
tiosilfat. Penentuan peroksida ini kurang baik dengan cara iodometri biasa meskipun bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat
terjadi
kesalahan
yang
disebabkan
oleh
reaksi
antara
alkali
iodida dengan oksigen dari udara (Ketoren, 1986). Jenis minyak yang mudah teroksidasi adalah jenis minyak yang tidak jenuh.
Semakin
tidak
jenuh
asam
lemaknya
akan
semakin
cepat
teroksidasi. Selain itu, faktor – faktor seperti suhu, adanya logam berat dan cahaya, tekanan udara, enzim dan adanya senyawa peroksida juga semakin mempercepat berlangsungnya oksidasi dan dengan demikian akan semakin cepat terjadi ketengikan. Berlangsungnya proses oksidasi tersebut
dapat
diamati
dengan
beberapa
cara,
salah
satunya
dengan
mengamati jumlah senyawaan hasil penguraian senyawaan peroksida (asam – asam, alkohol, ester, aldehid, keton, dan sebagainya). Uji peroksida ini pada dasarnya mengukur kadar senyawaan peroksida yang terbentuk selama proses oksidasi. Cara ini biasa diterapkan untuk menilai mutu minyak tetapi cara ini sangat sulit diterapkan untuk jenis makanan yang berkadar lemak rendah (Syarief & Hariyadi, 1991). Pada proses oksidasi ini akan dihasilkan sejumlah aldehid, asam bebas dan peroksida organik. Untuk mengetahui tingkat ketengikan dari
minyak atau lemak, dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah peroksida yang telah terbentuk pada minyak atau lemak tersebut. Lemak tidak jenuh khususnya oleat ternyata lebih cepat tengik dibandingkan lemak jenuh. Lemak yang tengik menimbulkan rasa tidak enak, bahkan pada beberapa individu dapat menimbulkan keracunan ringan, dan dapat merusak zat-zat lain yang ada dalam makanan seperti karoten, vitamin A dan vitamin E. Kerusakan minyak dan lemak selain disebabkan oleh proses oksidasi dapat juga disebabkan oleh proses hidrolisa. Pada proses hidrolisa dihasilkan gliserida dari asam-asam lemak berantai pendek (C 4-C12) sehingga akan terjadi perubahan rasa dan bau menjadi tengik (Winarno, 1997). Menurut Buckle et al. (1997) ada dua tipe kerusakan yang utama pada minyak dan lemak, yaitu :
Ketengikan
Ketengikan
terjadi
bila
komponen
cita-rasa
dan
bau
yang
mudah
menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang
tak
diinginkan
dalam
lemak
dan
minyak
produk-produk
yang
mengandung lemak dan minyak itu.
Hidrolisa
Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat
mempengaruhi
cita-rasa
dan
bau
daripada
bahan
itu.
Hidrolisa
dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan enzim. Hidrogenasi
terjadi
karena
enzim
lipase
menghidrolisis
lemak,
memecahnya menjadi gliserol dan asam lemak. Lipase dapat terkandung secara alami pada lemak dan minyak, tetapi enzim itu dapat diaktivasi dengan
pemanasan.
meningkatkan
titik
Hidrogenasi lebur
dan
minyak untuk
tumbuhan
dilakukan
untuk
oksidasi
serta
memperlambat
kerusakan rasa selama hidrogenasi. Beberapa asam lemak mengubah susunan alami
bentuk cis menjadi trans,
ketika
minyak
kelapa
dihidrogenasi.
Sehingga jumlah isomer trans asam lemak yang dibentuk, relatif sedikit daripada
minyak
tumbuhan
lainnya.
Lemak
yang
telah
terhidrogenasi,
titik asapnya akan meningkat karena lebih stabil terhadap pemanasan.
Contoh produk hasil hidrogenasi lemak tumbuhan adalah margarin (deMan, 1997). Menurut Soedarmo et al (1988), kerusakan karena proses hidrolisa terutama banyak terjadi pada minyak atau lemak yang mengandung asam lemak jenuh dalam jumlah cukup banyak seperti pada minyak kelapa yang mengandung asam laurat, sedangkan bau yang tengik ditimbulkan oleh asam lemak bebas yang terbentuk selama proses hidrolisa. Proses hidrolisa pada minyak atau lemak umumnya disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroba. Proses hidrolisa dapat dipercepat dengan kondisi kelembaban yang tinggi, kadar air tinggi serta temperatur tinggi. Proses hidrolisa pada minyak dan lemak akan menghasilkan ketengikan hidrolitik, dimana terjadi pembebasan asam-asam lemak yang mempengaruhi rasa dari minyak tersebut. Enzim yang dapat menimbulkan ketengikan hidrolitik adalah enzim lipase. Ketengikan pada minyak dan lemak nabati terjadi karena berkurangnya
kandungan
vitamin
E
(tocopherol)
yang
dapat
berfungsi
sebagai anti oksidan. Angka
peroksida
merupakan
cara
pengujian
yang
paling
sering
digunakan untuk uji oksidasi lemak atau minyak. Metode iodometri yang paling
banyak
digunakan
untuk
menentukan
angka
peroksida
umumnya
ditentukan dengan pengukuran banyaknya iod bebas dari larutan kalium iodida jenuh pada suhu ruang dari lemak atau minyak yang dipisahkan dalam pencampuran asam asetat dan kloroform. Iod bebas ditritasi dengna natrium thiosulfat standar. Angka peroksida sebagai indikator produk dasar
oksidasi.
Angka
ini
menyatakan
milimol
oksigen
peroksida
per
kilogram lemak (Pomeranz & Meloan, 1987). Peroksida merupakan produk utama
otooksidasi
kemampuannya
untuk
yang
dapat
diukur
melepaskan
iodin
dengan dari
teknik
kalium
berdasarkan
iodida
atau
pada untuk
mengoksidasi ion fero menjadi feri. Kandungannya biasanya diistilahkan dengan miliekuivalen oksigen per kg lemak, yaitu sejumlah oksigen yang diserap atau peroksida yang dibentuk untuk menghasilkan ketengikan dari berbagi macam komposisi minyak (Fennema, 1985). Lemak netral murni tidak berbau, tidak ada rasa, dan umumnya tidak berwarna.
Warna
dari
lemak
dan
minyak
alami
adalah
karena
adanya
pigmen-pigmen yang bercampur atau larut dalam lemak. Lemak tidak larut dalam semua pelarut berair tetapi langsung larut dalam benzena, eter, kloroform,
alkohol
panas,
dan
pelarut
organik
lainnya.
Asam
lemak
rantai pendek dapat larut dalam air dan semakin panjang rantai asamasam lemaknya semakin berkurang daya kelarutannya dalam air. Bila lemak
dibiarkan
dalam
waktu
yang
lama
kontak
langsung
dengan
udara
dan
lembab, khususnya ada cahaya dan panas, akan terjadi perubahan menjadi tengik. Perubahan ini terjadi karena proses oksidasi dan proses ini akan dipercepat dengan adanya logam-logam yang bersifat katalisator seperti Zn, Cu (Soedarno & Girindra, 1988). Kerusakan lemak pada daging ikan dapat terjadi karena oksidasi, baik
secara
oto-oksidasi
(enzimatis)
maupun
secara
non
enzimatik.
Pemeriksaan kerusakan lemak dapat dikerjakan dengan memeriksa kandungan peroksidanya atau jumlah monaldehida yang bisanya dinyatakan sebagai angka TBA (thiobarbituric acid) (Hadiwiyoto, 1993). Selama penggorengan dengan
suhu
tinggi,
minyak
mengalami
hidrolisis
menjadi
asam
lemak
bebas dan gliserol dan selanjutnya gliserol akan terdehidrasi menjadi senyawa
akrolein
terhidrogenasi, terhadap
(Bennion
titik
pemanasan.
&
asapnya
Contoh
Hughes, akan
produk
1975). Lemak
meningkat
hasil
karena
hidrogenasi
yang
telah
lebih
stabil
lemak
tumbuhan
adalah margarin (deMan, 1997). Lemak yang mengalami ketengikan akan mengandung senyawa aldehid dan
kebanyakan
ditentukan
berbentuk
melalui
malonaldehid.
proses
Banyaknya
destilasi.
malonaldehid
Malonaldehid
yang
dapat
terbentuk
kemudian direaksikan dengan Thiobarbiturat, sehingga terbentuk senyawa komplek yang berwarna merah. Intensitas warna merah sebanding dengan jumlah malonaldehid dalam suspensi. Pengukuran intensitas warna merah ini dapat dilakukan dengan menghitung abosbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm. Semakin besar angka TBA maka semakin tengik larutan yang diuji (Sudarmadji et al., 1989). Penambahan
antifoam
bertujuan
untuk
mencegah
terjadinya
pembentukan buih. Pemanasan pada suhu tinggi akan mempercepat proses autooksidasi tersebut
sehingga
akan
akan
mengakibatkan
terbentuk
polimer.
kekentalan
minyak
Pembentukan menjadi
polimer
naik
yang
nantinya dapat meningkatkan pembentukan buih pada minyak (deMan, 1999).
TUJUAN PRAKTIKUM
II.
Menjelaskan proses farmakokinetika obat di dalam tubuh setelah pemberian secara bolus intravena dengan simulasi model in vitro farmakokinetika obat
Memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritma
Menentukan berbagai parameter farmakokinetika
TEORI DASAR Suatu model dalam farmakokinetik adalah struktur hipotesis yang dapat digunakan untuk karakteristik suatu obat dengan meniru suatu perilaku dan nasib obat dalam sistem biologik jika diberikan dengan suatu pemberin rute utama dan bentuk dosis tertentu. Kompartemen adalah suatu kesatuan yang dapat digambakan dengan suatu volume tertentu dan suatu konsentrasi. Perilaku obat dalam sistem biologi dapat digambarkan dengan kompartemen satu atau kompartemen dua. Kadang-kadang perlu untuk menggunakan multi kompartemen, dimulai dengan determinasi apakah data eksperimen cocok atau pas untuk model kompartemen satu dan jika tidak pas coba dapat mencoba model yang memuaskan. Sebenarnya tubuh manusia adalah model kompartemen multimilion, mengingat konsentrasi obat dalam organel yang berbeda, sel atau jaringan. Dalam tubuh kita memiliki jalan masuk untuk dua jenis cairan tubuh, darah dan urin.
Persamaan kinetika obat dalam darah pada pemberian bolus intravena dengan satu dosis D yang mengikuti model satu kompartemen diberikan dengan persamaan : C1 = C0 e-k.t Dimana C1 adalah kadar obat dalam waktu t, C0 adalah kadar obat pada waktu 0,k atau ke adalah konstanta kecepatan eliminasi obat. Dengan menggunakan kadar obat pada
berbagai waktu, harga C0 dan k dapat dihitung dengan cara regresi linier setelah persamaan ditransformasikan ke dalam nilai logaritmik : InC1 = InC0 – k.t
Gambar : Model Farmakokinetika untuk obat yang diberikan dengan injeksi IV cepat. DB : obat dalam tubuh ; Vd : Volume distribusi ; K : tetapan laju eliminasi. Setelah ditentukan nilai C0 dan k, berbagai parameter farmakokinetik obat yang berkaitan dengan cara pemberian obat secara bolus intravena dapat dihitung, seperti volume distribusi (Vd): volume dalam tubuh di mana obat terlarut, klirens (Cl), waktu paruh eliminasi (t ½) Luas di bawah kurva dalam plasma (AUC) Bioavalaibilitas (ketersediaan hayati) Vd = D C0 CI = Vd.k t ½ = 0,693 k Farmakokinetika Parasetamol Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma, dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
III.
ALAT DAN BAHAN Alat : Gelas ukur Beker gelas Pipet Spatula Tabung 500 ml Spektrofotometri Wadah kompartemen
Bahan : Aquadest NaOH Parasetamol
IV. CARA KERJA 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Buat larutan baku NaCl fisiologis 0,9 % 4,5 gr NaOH dilarutkan dalam 500 ml air Larutan NaCl fisiologis yang telah dibuat, ditambahkan etanol 10 % Kemudian diambil sebanyak 330 ml. Lalu ditambahkan 100 mg parasetamol, larutan distirer agar tercampur homogen. Diletakkan didalam wadah kompartemen dengan suhu waterbath 37⁰C. Cairan didalam wadah kompartemen akan dialirkan oleh pompa peristaltik. Diambil cuplikan sebanyak 5 ml didalam wadah kompartemen setiap 10 menit dan digantikan dengan cairan NaCl fisiologis sebanyak 5 ml. Kadar obat parasetamol ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri Data kadar obat diplotkan terhadap waktu pada kertas semilogaritmik. Dihitung harga Co dan K. Dihitung harga Vd, C1, dan T1/2. V.
HASIL PENGAMATAN Data kalibrasi Konsentrasi(ppm) 4 6 8 10 12
Absorbansi(256,5) 0.212 0.365 0.549 0.698 0.799
a =-0.0782 b =0.07535 r =0.99552 Waktu (menit)
Absorbansi
10
3.593
30
3.501
40
3.481
t =10 y = a±bx 3.593 =-0.0782+0.07535x x =48.721
Waktu (menit) 10 30 40
t=30 y = a±bx 3.501=-0.0782+0.07535x x=47.500
konsentrasi 48.721 47.500 47.235
t =40 y = a±bx 3.481=-0.0782+0.07535x x= 47.235
Log konsentrasi 1.6877 1.6766 1.6742
Kemudian cari K,Vd dan t1/2 Ke=
Ke=
VI.
Ke=3.860-3.855/10 Ke=0.0005 /jam t1/2=0.693/k t1/2=0.693/0.0005 t1/2=1386 menit=23.1 jam Vd=dosis/Cp0 Vd=100mg/48.721 Vd=2.052 Klirens Cl = Vd.K Cl = 2.052 x 0,0005 Cl = 0,001 PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatanperubahan konsentrasi obat parasetamol terhadap waktu yang dilakukan secara invitro. Percobaan di simulasikan dengan keadaan yang ada didalam tubuh dimana obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena ( IV Bolus ). Parasetamol dimasukkan kedalam suatu wadah (dianggap sistem tubuh) yang terdiri dari cairan NaCl fisiologis 0,9 % dan cairan akan dipompa dengan menggunakan pompa
peristaltik dengan kecepatan konstan, kemudian diamati/di ukur nilai konsentrasi obat pada menit ke 60, 80 dan 90. Dengan cara mengambil cuplikan sebanyak 5 ml dan ditentukan kadar parasetamol dengan melihat absorbansinya pada spektrofotometri. Cairan yang hilang akan diganti sesuai dengan volume yang diambil. Diharapkan konsentrasi obat didalam tubuh semakin berkurang seiring berjalannya waktu. Karena berdasarkan model farmakokinetika yang paling sederhana pelarutan obat dalam suatu volume tubuh digambarkan sebagai model kompartemen satu terbuka dimana konsentrasi obat dari waktu nol ( awal ) akan semakin berkurang secara konstan hingga waktu tertentu sampai konsentrasi obat didalam tubuh habis. Dalam kompartemen ini tidak ada proses distribusi dan absorbsi obat tapi langsung pada fase eliminasi jadi obat dapat terabsorbsi 100 % didalam tubuh. Untuk suatu percobaan normal, data absorbansi di tiap perubahan waktu mengalami penurunan secara konstan. Artinya, konsentrasi obat di dalam tubuh semakin berkurang secara konstan karena obat dieliminasi oleh tubuh dengan kecepatan konstan 5 ml/10 menit, dan cairan diganti 5 ml hingga volumecairan tetap. Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan data absorbansi di tiap perubahan waktu mengalami penurunan namun tidak konstan. Banyak faktor yang menyebabkan kesalahan-kesalahan dalam percobaan meliputi ketidakcampuran obat didalam cairan NaCl fisiologis, pengambilan cuplikan yang tidak benar, atau kesalahan metode pada saat penentuan kadar obat dengan menggunakan spektofotometri. Untuk data kelas pada percobaan ini dilakukan dimulai pada menit ke- 60 sehingga data absorbansi yang diperoleh sudah menunjukkan konsentrasi yang semakin kecil dari konsentrasi awal obat, dimana dosis mula-mula parasetamol yang dimasukkan kedalam cairan adalah 100 mg. Konsentrasi obat pada menit ke-60 adalah 48,721 mg/ml, pada menit ke-80 adalah 47,5 mg/ml sedangkan pada menit ke-90 adalah 47,235 mg/ml. Dari penurunan konsentrasi obat terhadap penambahan waktu ini dapat membuktikan bahwa sistem simulasi yang menggambarkan seperti sistem didalam tubuh kita dapat mengabsorbsi obat dan mendistribusikannya sehingga kadar obat mengalami penurunan pada berbagai waktu. Setelah ditentukan masing-masing konsentrasi dalam berbagai waktu kemudian kita dapat menentukan parameter-parameter lainnya. Parameter lainnya yang digunakan untuk mengukur kadar obat dalam tubuh adalah Vd ( volume distribusi ) yaitu volume dalam tubuh dimana obat terlarut. Vd merupakan suatu factor yang harus diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dari konsentrasi obat yang ditemukan dalam kompartemen cuplikan. Tubuh dapat dianggap sebagai suatu system dengan volume yang konstan. Oleh karena itu, volume distribusi untuk suatu obat umumnya konstan. Jika konsentrasi obat dalam plasma dan volume distribusi diketahui, maka jumlah keseluruhan obat dalam tubuh dapat dihitung dimana berdasarkan hasil percobaan volume distribusinya adalah 2,052. Selain itu parameter yang digunakan adalah kecepatan eliminasi dimana berdasarkan hasil percobaan, kecepatan eliminasinya adalah 0,0005 / menit. Klirens juga merupakn salah satu parameter dalam farmakokinetik dimana klirens mengukur eliminasi obat dari tubuh tanpa mengeidentifikasi mekanisme atau proses. Ditunjukan untuk volume dari cairan plasma yang dibersihkan dari obat per unit waktu. Dapat juga dihubungkan sebagai fraksi obat yang dirubah per unit waktu. Nilai klirens dari hasil percobaan adalah 0,001 ml/menit. Parameter lain yang digunakan dalam farmakokinetika adalah t 1/2merupakan waktu dimana konsentrasi obat berada separuhnya didalam tubuh. Berdasarkan hasil percobaan nilai t 1/2 dari parasetamol adalah 23,1 jam. VII. KESIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan :
1. Suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat ( IV bolus ), seluruh dosis obat masuk tubuh dengan segera. 2. Konsentrasi dari parasetamol mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu. 3. Parameter yang digunakan untuk mengukur kadar obat dalam tubuh antara lain adalah Vd, Kel, klirens, dan t1/2. 4. Kel parasetamol adalah 0,0005 /menit. 5. Vd parasetamol adalah 2,052. 6. Klirens parasetamol adalah 0,001 ml/menit. 7. T1/2 parasetamol adalah 23,1 jam. VIII. DAFTAR PUSTAKA Shargel, Leon. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi II. Surabaya: Airlangga University Press. http://mishttp://ilmu-kedokteran.blogspot.com/2007/11/penetapan-kadar-parasetamol.htmlspurplepharmacy.blogspot.com/2010/01/v-behaviorurldefaultvml-o.html Martin, Alfred dkk. 1990. Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press.
Tanpa terasa besok UAS! Karena besok pertama Farkin yuk bahas dulu ^^b Dari judulnya udah keliatan yang dibahas itu model 2 kompartemen. Trus bedanya apa ama yang dulu (1 kompartemen)? Pada model 1 kompartemen, obat menganggap tubuh seperti 1 ruang yang sama dimana obat secara cepat terdistribusi ke semua jaringan Pada model 2 kompartemen, obat menganggap tubuh seperti 2 bagian:
Kompartemen sentral: organ2 dimana perfusi darahnya cepat (misalnya hati, ginjal) Kompartemen perifer: organ2 dimana perfusi darahnya lambat (misalnya otot, lemak)
Nah dari ringkasan di atas kita tahu bahwa pada model 2 kompartemen karena dia ada 2 kompartemen dia butuh suatu proses “distribusi”. Proses yang tidak terlalu nampak pada model 1 kompartemen.
Gambar a merupakan model 1 kompartemen sedangkan gambar b adalah model 2 kompartemen. (Jambhekar dan Breen, 2009)
Perbedaan model 1 dan 2 kompartemen
Asumsi untuk model dua kompartemen pemberian IV:
Proses distribusi dan eliminasi mengikuti orde pertama Obat tereliminasi dari kompartemen sentral
Data Darah Pada pemberian obat secara IV, kurva yang diplotkan pada kertas semilog akan memiliki 2 fase. (liat gambar sebelumnya).
Fase alfa = Fase distribusi Fase beta = Fase post distribusi = Fase Eliminasi
Perhitungan Data Pada perhitungannya metode yang umum (dan gampang) digunakan adalah metode residual. Langkah-langkahnya hampir sama kaya metode residual pada 1 kompartemen EV. Hanya saja kadar residual kali ini adalah kadar residual dari fase distribusi bukan absorpsi.
Diketahui Dosis : 100 mg
Ditanya Parameter Farmakokinetiknya
Langkah-langkah perhitungan 1. Plot waktu (x) vs log Kadar (y)
Kenapa harus digambar dulu? Dengan tau bentuk kurvanya kita bisa menentukan mana yang termasuk fase distribusi dan mana yang termasuk fase eliminasi. 2. Regresi titik-titik yang termasuk fase eliminasi Dari grafik, kita tau fase eliminasi dimulai dari waktu 4 jam. Jadi regresi t 4 jam – 16 jam Regresi : t vs ln Cp a = 2,7135 b = -0,2106 r = -0,999
y = bx + a ln Cp = βt + B ln Cp = -0,2106t + 2,7135
Sehingga B = antiln a = 15,083 β = b = 0,2106 /jam 3. Cari Kadar ekstrapolasi pada fase distribusi (Cp’) Caranya masukkan waktu (t) pada fase distribusi ke persamaan regresi yang didapat pada fase eliminasi Fase distribusi dari grafik didapat pada t tapi inget yang didapat masih berupa lnCp! jadi harus di antiln t0,25 = -0,261(0,25) + 2,7135 = 2,64825 Jadi Cp’ 0,25 = antiln 2,64825 = 14,129 μg/ml t0,5 = -0,261 (0,5) + 2,7135 = 2,583 Jadi Cp’ 0,5 = antiln 2.583 = 13,2368 μg/ml t1 = -0,261 (1) + 2,7135 = 2,4525 Jadi Cp’ 1 = antiln 2,4525 = 11,6174 μg/ml t1,5 = -0,261 (1,5) + 2,7135 = 2,322 Jadi Cp’ 1,5 = antiln 2,322 = 10,196 μg/ml t2 = -0,261 (2) + 2,7135 = 2,1915 Jadi Cp’ 2 = antiln 2,71915 = 8,9486 μg/ml 4. Cari Kadar Residual (Cr = Cp – Cp’) yang ini beda sama yang di 1 kompartemen Ekstra vaskular. Pada kasus di Ekstra vaskuler, kadar residual yang berada di antara kedua garis tersebut Cr = Cp’ – Cp. Kenapa? Karena ekstrapolasi fase eliminasi ada di atas garis fase absorpsi. Berbeda dengan kali ini. Kalo liat di grafik, kan yang di ekstrapolasi fase eliminasi. Tapi hasil ekstrapolasinya ada di bawah fase distribusi. Karenanya kadar residual yang berada di antaranya menjadi Cr = Cp = Cp’ Jadi biar g bingung liat kurva aja. Yang di ekstrapolasi ada di atas / di bawah :) Kadar Residual :
t 0,25 = 43 – 14.129 = 28.871 μg/ml t 0,5 = 32 – 13.2368 = 18.7632 μg/ml t 1 = 20 – 11,6174 = 8.3826 μg/ml t 1,5 = 14 – 10,196 = 3.806 μg/ml t 2 = 11 – 8,9486 = 2.0514 μg/ml 5. Regresi linier t vs ln Cr a = 3.6958 b = -1.5244 r = -0.99845 A = antiln a = 40.2795 α = b = 1.5244 /jam NB: hasil perhitungan saya agak berbeda dengan di shargel terutama di fase distribusi karena beda pembulatan aja.
Parameter Farmakokinetika
t 1/2 α = 0.693 / α = 0.693/1.5244 = 0.4546/jam t 1/2 β = 0.693 / β = 0.693/0.2106 = 3.2905/jam AUC = (A/α) + (B/β) = (40.2795/1.5244) + (15.083/0.2106) = 98.0424 jam μg/ml Co = A + B = 40.2795 + 15.083 = 55.3625 μg/ml V1 = Div/Co = 100/55.3625 = 1.8063 L K12 = ((A.B(β-α)2) / ((A+B)(Aβ+Bα) = 0.6018/jam K21 = (Aβ+Bα)/A+B = 0.2771/jam Vβ = Varea = F.Div/β.AUC = 4.8431 L V2 = V1 x (K12/K21) = 3.9229 L Vss = ((K12 + K21)/K21) x V1) = 5.7292 L Cl = Div/AUC = 1.01997 jam/L
Kalo ada yg itungannya beda jauh bilang ya. mata sakit liat angka sebanyak ini ==”
Amount in the body Misal: berapa jumlah obat yang tersisa 18 jam kemudian? 1. Masukkan t ke persamaan regresi linier fase eliminasi Ln Cp (18) = -0.2106(18) + 2.7135 = -1.0773
Cp (18) = antiln -1.0773 = 0.3405 μg/ml 2. Cari Ab Ab = Vβ x CP(18) Ab = 4.8341 x 0.3405 = 1.646 mg Ditulis dalam Farmakokinetika 2 Komentar
Farmakokinetika Obat-Model 1 Kompartemen Terbuka Ekstravaskuler APR 3 Posted by denikrisna
Kalo sebelumnya kita bahas kinetika dalam model satu kompartemen terbuka pemberian intravaskuler, kali ini kita ngomongin hal yg judulnya cuma berbeda di bagian ekstravaskuler. Nah walau cuma beda antara kata ekstra- dan intra, tapi memberikan perbedaan yang besar dalam kinetika obat. Dalam hal ini terutama yg kita bahas yang per oral. Emang beda seberapa jauh sih?
Absorpsi Dalam pemberian intra vena yang dibahas sebelumnya, proses ini ndak ada atau dianggap obat terabsorpsi sangat cepat ke pembuluh darah. Pada pemberian per oral obat g langsung masuk ke pembuluh darah, tp dia harus masuk ke lambung dulu dan diabsropsi entah di lambung/usus tergantung pHnya (lebih lengkapnya liat disini)
tuh seperti gambar di atas setelah obat dari saluran Gastrointestinal (GI) diabsorpsi, baru dia bisa masuk ke tubuh (kotak putih) di sinilah baru obat bisa berefek. Trus setelah selese ia diusir dengan eliminasi. Lah terus maksud tulisan di bawahnya?
Nah Dosis yang kita berikan itu g semuanya masuk ke pembuluh darah. Inget kalo diintravaskuler DB0 = dosis yg kita berikan. Pada ekstravaskuler jumlah obat yang diterima oleh obat g sama ama dosis yg kita berikan. Pertama saat dia diabsorpsi ada sejumlah obat yang ilang. Ilang maksudnya ada obat yang g keabsorpsi semua, terus selain itu setelah nembus lambung mereka masuk ke vena hepatic dan dimetabolisme oleh hati di metabolisme lintas pertama (first pass effect). Inilah yang dimaksud DGI atau jumlah obat yang ada di saluran gastrointestinal yang menyangkut juga tentang laju absorbsi obat. Selain itu ada juga DE atau jumlah obat yang dieliminasi Sehingga jumlah obat yang diterima tubuh/dalam saluran darah sistemik (DB) itu tergantung pada DGI dan DE seperti rumus di atas :)
Kurva kadar plasma-waktu
Kurva pada ekstravaskuler dan intravaskuler sudah terlihat kan bedanya? kalo di ekstravaskuler ada fase absorpsinya. Pada masing2 fase, perbedaan laju absorpsi dan eliminasi berbeda: Pada fase absorpsi : laju absorpsi obat lebih besar dari laju eliminasi (dDGI/dt > dDE/dt) Pada waktu konsentrasi puncak (Cmax) : laju eliminasi obat = laju absoprsi (dDGI/dt = dDE/dt) Setelah obat mencapai puncak (fase pasca absorpsi) , obat2 tsb g langsung ilang semua. tp ada beberapa obat yang masih berada di saluran cerna. Namun laju eliminasinya lebih cepat dari laju absorpsinya (dDGI/dt < dDE/dt) Pada fase eliminasi dimana obat jumlahnya jauh berkurang, yang terjadi hanyalah eliminasi. Fase absorpsi tidak terjadi dan dianggap nol. Fase eliminasi ini biasanya mengikuti orde ke satu(dDB/dt = -KDB)
Model Absorpsi orde ke satu kebanyakan obat mengikuti orde ke satu.Model ini menganggap laju absorpsi dan laju eliminasi juga termasuk orde ke satu. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa pada saat diabsorpsi obat tidak sepenuhnya sampai di saluran sistemik. Parameter yang dipakai untuk menunjukkan fraksi obat yang
sampai di saluran sistemik yaitu F (bioavailabilitas). Selain itu ada pula Ka atau tetapan laju absorpsi obat di saluran gastro intestinal. dDGI / dt = – Ka x DGI x F (Tanda minus hanya menunjukkan kadar obat di saluran GI berkurang) atau jika diubah menjadi bentuk eksponensial
Do merupakan dosis awal yg diberikan Sedangkan untuk eliminasi faktor yang berpengaruh adalah tetapan laju eliminasi K dDE/dt = -K x DB Sehingga jika kita memasukkan persamaan2 tersebut pada dDB/dt = dDGI/dt – dDE/dt menjadi: dDB/dt = (Ka x DGI x F) – (K x DB) atau bisa juga ditulis
Persamaan itu jika diutek2 bisa jadi persamaan untuk menghitung konsentrasi obat (Cp) dalam plasma pada waktu t
Selain itu kita juga dapat mencari kadar puncak (Cmax) dengan rumus:
(adapted from Shargel, 2004) harga A kita dapet dari antiln intersep ekstrapolasi kurva absorpsi. harga B kita dapet dari antiln intersep ekstrapolasi kurva eliminasi
Metode2 Penetapan Ka 1. Metode Residual Pada metode residual nilai Ka dianggap sangat besar dibanding K (Ka >>> K) Sehingga laju absorpsi cepat dan absorspsinya dianggap sempurna Persamaan Cp menjadi:
atau diperoleh juga
dimana A adalah suatu tetapan sehingga persamaan Cp menjadi
Trus untuk mencari Ka langkah2nya: 1. Gambar konsentrasi obat vs waktu pada kertas semilog 2. Tentukan minimal 3 titik di bagian eliminasi yg lurus lalu buat regresi linier, kemudian diekstrapolasi. Dapet y = bx +a b = slope = K (tetapan laju eliminasi) a = intersep, anti ln a = B 3.) Tentukan 4 titik pertama di fase absorpsi 4. Cari kadar ekstrapolasi (C’) dengan cara memasukkan variabel waktu dari 4 titik di fase absorpsi yg kita pilih (3) ke persamaan regresi linier (2) 5. Cari kadar Residu (Cr) dengan cara: Kadar residu = kadar ekstrapolasi (C’) – Cp 6. Ubah Cr jadi bentuk ln 7. Regresi ln Cr vs t. 8. Ketemu y = bx + a b = slope = Ka (Tetapan laju absorpsi) a = intersep, anti ln a = A 9. Bisa nyari harga Cp max deh
(adapted from Shargel, 2004) dan juga bisa nyari t max ( waktu dimana Cp max tercapai) ^^ tmax = ln (Ka/K) / Ka-K Setelah dapet variabel A,B,K, dan Ka bisa nyari semuanya sih hhe AUC 0-inf = (B/K) – (A/Ka) Vd = (F x Ka x Do) / (Ka x AUC 0-inf) Clearance total = K x Vd t 1/2 absorpsi = 0,693 / Ka t 1/2 eliminasi – 0,693 / K
2. Metode Wagner – Nelson pada metode ini nantinya kita cari prosen obat yang tidak diabsorpsi (1-Ab/Abinf) vs T
Total dosis obat (Do) dihitung semuanya baik yg di dinding usus (DGI), urin (DU) maupun yg ditubuh (DB). Do = DGI + DB + DU jika obat semua sudah diabsropsi (DGI = 0) persamaannya jadi : Do = DB + DU Du sendiri dapat didapatkan dari: Du = k x Vd x (AUC)o-inf parameternya: Ab t = jumlah obat yang diabsorpsi pada waktu t Ab = Cp x Vd + k x Vd (AUC)o-inf fraksi obat yang masih harus diabsorpsi
sisa obat di GI tiap waktu
Langkah2 penentuan Ka 1. Gambar log konsentrasi obat vs waktu pada kertas semilog 2. Cari K dengan regresi linier t vs Cp 3. Cari (AUC)t-o dengan metode trapesium untuk AUC yang terakhir gunakan rumus (Cp pada waktu terakhir / K) 4. Jumlahkan semua AUC hingga didapat (AUC)0-inf 5. Hitung K x (AUC)t-o untuk mendapatkan K (AUC)t-o 6. Untuk mencari Ab/Ab inf dapat digunakan rumus langsung
Cp kadar sesuai soal (data) K didapat dari langkah nomor 2
(AUC)t-o didapat dengan metode trapesium (AUC)inf merupakan jumlah semua AUC 7. Cari harga 1-Ab/Abinf 8. Regresi t vs 1-Ab/Abinf dapet y = bx + a b = Ka Sekian dulu ya rangkuman ttg model 1 kompartemen terbuka ekstravaskuler maaf g pake contoh soal karena sudah capek hhe ^^v Ditulis dalam Farmakokinetika 2 Komentar
Farmakokinetika Obat-Model 1 Kompartemen Terbuka Intravaskuler APR 3 Posted by denikrisna
Pada model satu kompartemen tubuh dianggap sebagai satu kesatuan. Jadi obat masuk dan secara cepat terdistribusi ke semua bagian lalu obat juga dapat keluar dari tubuh karena merupakan kompartemen terbuka. Selain itu model kompartemen satu terbuka tidak menghitung kadar obat yang sebenarnya dalam jaringan, tapi menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan.
Jadi saat kita analisis kadar obat dalam darah, maka nilai yg kita dapat dianggap sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tapi konsentrasi obat dalam berbagai jaringan tidak sama pada berbagai waktu.
Model satu kompartemen terbuka intravena
Pada pemberian intravena, semua obat langsung masuk ke pembuluh darah dan didistribusikan. Dalam hal ini volume dimana obat terlarut disebut Volume distribusi (Vd) rumus:
untuk orde 1
Vd = DB0 / Cp0 atau Vd = Dosis / Cp0 dimana, DB0 merupakan kadar obat dalam tubuh mula2 atau sama dengan dosis yg diberikan Cp0 merupakan kadar obat dalam plasma mula2. didapat dari anti ln K pada persamaan regresi linier t vs Cp (n.b. kalo soal uts dapet yg model kompartemen 1 terbuka i.v nyari Vdnya pake ini aja. baru kalo ditanya yg ekstravakular ini g bisa dipake)
untuk yg mana aja (tidak tergantung orde)
Vd = Dosis yang diberikan secara i.v / (K x AUC) K = tetapan laju eliminasi, didapat dari regresi linier t vs Cp AUC = area under curve, pada model kompartemen satu terbuka i.v dapat rumus: Cp0/K
digunakan
Selain itu Vd dapat juga dinyatakan sebagai % (Vd/berat badan) x 100% = %BB Ada juga Tetapan Laju Eliminasi (K) yang terdiri dari: Tetapan Laju eliminasi (K) = Tetapan Laju metabolisme (Km) + Tetapan Laju Eksresi (Ke)
Pada model ini reaksi mengikuti REAKSI ORDE 1 Masih inget kan pada reaksi orde 1 persamaannnya pake log atau ln (mending pake ln sih soalnya pake kalkulator jg hhe) lnDBt = lnDB0 – kt dimana, DBt = jumlah obat dalam tubuh pada waktu t DB0= jumlah obat dalam tubuh mula2 = dosis atau jika yang diketahui adalah kadar obat dalam plasma= lnCpt=lnCp0 – kt Cpt = kadar obat dalam plasma pada waktu t Cp0= kadar obat dalam plasma mula2 ntar kalo mau ngrubah jadi DB pake rumus ini: DB = Vd x Cp
Perhitungan dari data eksresi urin Selain pake data darah, kita jg bisa pake data eksresi urin. Sampel urin sering dipakai dalam studi farkin untuk mempelajari disposisi obat dan untuk menentukan: Tetapan laju eliminasi (K), Waktu paruh (t1/2), Clearance total (Clt) namun sayangnya kalo lewat urin kita g bisa ngitung Vd, Vd cm bisa diitung pake data darah :) Syarat metode urin valid: 1. minimal 10% obat dieksresikan dalam bentuk utuh di urin 2. digunakan / dilakukan water loading supaya kondisi tidak dehidrasi 3. penetapan kadar obatnya harus spesifik (selektif) 4. diperlukan pengosongan kandung kemih secara sempurna. Biasanya digunakan kateter sehingga air secara difusi pasif akan mengalir keluar sendiri 5. Bila urin tidak segera dianalisis: jika sampel 20-50ml distabilkan dengan toluen sebanyak 0.5 – 1 ml dibekukan (toluen mencegah oksidasi urin) 6. Semua sampel urin harus dapat dikumpulkan. Dalam sampel urin yang penting jumlah obatnyabukan kadar obatnya 7. lamanya pengambilan cuplikan urin 7-10x t1/2 (kalo sampel darah cuma 3-5x t1/2)
Clearance (Cl)
Clearance merupakan suatu parameter yang menyatakan kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat tanpa mempersalahkan gimana mekanismenya. dinyatakan dalam satuan volume / waktu (ml/jam atau ml/menit dll) Clearance total (Clt) = Clearance renal (Clr) + Clearance hepatic (Clh) Clearance total (Clt) = k x Vd atau Clearance total (Clt) = Dosis iv / AUC
Perhitungan K dari data urin selain lewat darah, K juga dapat diitung dari data eksresi urin. Laju eksresi urin jg dianggap sebagai orde 1 Du/dt = ke.DB masukin aja data yg didapat ke persamaan berikut: lnDu/dt = lnKe.DB0 – k x t mid dimana, Du = jumlah obat utuh yang dieksresikan lewat urin Ke = tetapan laju eksresi ginjal DB0 = jumlah obat dalam tubuh mula2 = dosis yang diberikan t* = tmid atau waktu di antara pengambilan. misalnya di antara 0 – 5 berarti tmidnya 2,5 oia persamaan tersebut didapat dengan memplotkan data t vs logDu/dt slope = -K/2,303
Metode untuk ngitung parameter2 pada pengambilan urin 1. Metode kecepatan eksresi obat metode ini kayak (emang sama sih) ama perhitungan untuk nyari K lnDu/dt = lnKe.DB0 – k x t mid persamaan di atas dibuat dari regresi linier antara Du/t vs t mid
2. Metode sigma minus atau ARE (Amount of Drug Remaining to be Excreted) metode ini agak lebih ribet daripada metode satunya. Kelemahannya pun lebih banyak. Namun kadang2 lebih disukai karena fluktuasi data laju eliminasi lebih kecil. rumusnya: ln(Du inf – Du kum) = lnDuinf – kt Du inf = jumlah total obat yang dieksresikan dalam urin Du kum = jumlah kumulatif obat yang sudah dieksresikan Du inf – Du kum = ARE = jumlah obat yang belum dieksresi Comparison of those methods 1. Pengambilan data
metode kecepatan eksresi tidak memerlukan pengambilan data sampai Du inf (tak terhingga) ARE harus sampai D inf dan g boleh ilang satu sampel pun
2. Pengosongan kandung kemih
metode kecepatan eksresi pengosongan kandung kencingnya harus sempurna biar valid ARE g masalah. yg diitung juga yg belum dikeluarin
3. Orde
metode kecepatan eksresi bisa untuk orde satu dan nol ARE cm bisa untuk orde 1
4. Penentuan tetapan laju eksresi (Ke)
metode kecepatan eksresi bisa ARE g bisa
Contoh Perhitungan jeng jeng jeng jeng backsound detective conan (niru bio twit seseorang :P) kalo g ada perhitungan bukan farkin namanya. yuk mari kita belajar perhitungan biar g cenatcenut besok,ahay! Soal (diambil dari Shargel edisi 5 tp di kuliah jg ada hhe)
dari data tersebut diketahui: berat badan = 50 kg dosis obat = 20mg/kg jadi dosis pemberiannya = 50 kg x 20 mg/kg = 1000 mg kita coba ukur pake dua metode di atas yuk ^^ Metode kecepatan eksresi obat nah untuk pake metode ini kan nantinya yg dibuat persamannya itu Du/t vs t mid makanya kita perlu cari dua angka2 itu. :) caranya? Du/t = Du(mg) dibagi ama waktu (jam) jadinya Du/t dalam satuan (mg/jam) t mid = waktu tengah2 antara kedua waktu. contoh data ke 1 kan 0,25 dan data kedua 0,5 tmidnya jd 0,375. Lah yg untuk data pertama 0,25 gimana? tetep tmidnya dia setengah dari 0,25 saja yaitu 0,125 hasilnya
trus buat regresi linier t mid vs lnDu/t kenapa? karena orde 1 jadinya persamaan kurva bakunya y = bx + a y = -0.6797x + 6.5479 atau y = 6.5479 - 0.6797x mirip ama persamaan ini kan? lnDu/dt = lnKe.DB0 – kt* sehingga parameter lainnya k = b = 0,6797/jam t1/2 = 0,693/k = 0.693/0.6797 = 1,01 jam ke = ln2/(t1/2) = ln 2 / 1,01 = 0.6798/jam dari data di atas didapat bahwa harga k dan ke hampir sama, ini berarti hampir semua obat tidak dimetabolisme dan didapat utuh di urin Metode ARE kan nanti dipake ARE vs tmid ARE sendiri = D inf – D kum D inf adalah harga D kumulatif terbesar / jumlah semua D D kum adalah penjumlahan D jadi nanti tabelnya seperti berikut:
trus buat regresi linier t mid vs lnARE sisanya sama ama yg kaya di metode kecepatan eksresi sekian dulu tentang model 1 kompartemen intravaskular. yg ekstravaskular entah nututi atau g hhe kalau ada kesalahan mohon koreksinya ^^b Ditulis dalam Farmakokinetika 6 Komentar
Kenalan dengan Farmakokinetika! APR 2 Posted by denikrisna
Senin sudah uts! cenat cenut karena matkul pertama Farmakokinetika!
Farmakologi, farmakodinamik, farmakokinetik, bedane opo cak?
Farmakologi sendiri sebenernya bisa dibagi 2: Farmakokinetika & Farmakodinamik
Farmakodinamik: Mempelajari efek obat terhadap tubuh
misalnya parasetamol nanti cara kerjanya gimana? mekanisme analgetiknya gimana?
Farmakokinetik : Mempelajari kinetika obat (absorbsi, distribusi, metabolisme, eksresi) atau ada referensi yg menyebut pengaruh tubuh terhadap obat
misalnya berapa waktu paruh parasetamol di dalam tubuh? berapa konstanta absorbsi dan eliminasinya?
Emang Penting ya? Penting banget. Tau kan antibiotik amoxicillin? sehari biasanya diminum 3x sehari Ada juga obat yang namanya digoksin (obat jantung), sehari minumnya 1x sehari Loh kok keduanya beda waktu pemakaiannya? ada yg 3x sehari ada yg 1x sehari? Jawabannya: Karena perjalanan di dalam tubuh tidak sama (kinetika berbeda)
Rute tur jalan-jalan obat di dalam tubuh kita (kinetika) Saat kita minum obat, si obat ikut tur di dalam tubuh kita.
Rute turnya: Absorbsi – Distribusi – Metabolisme – Eksresi (disingkat ADME untuk mempermudah) Absorpsi per oral intra vena
Setelah obat diminum, obat ini akan mengalami disolusi di lambung. Setelah itu zat aktif akan melewati dinding lambung / usus dan masuk ke pembuluh darah, proses inilah yang dinamakan absorpsi. Faktor yang mempengaruhi absorpsi diantaranya pH obat. Obat yang bersifat asam lemah akan diabsorpsi di lambung karena di pH lambung adalah asam sehingga obat tersebut akan banyak dalam bentuk molekul yang mudah untuk di absorpsi oleh dinding lambung. Untuk obat basa lemah diabsorpsinya di usus. Distribusi
Setelah obat ngelewati dinding usus/lambung, ia akan masuk ke aliran darah. Di aliran darah ia akan dibawa jalan-jalan ke organ2. Untuk obat yang dikonsumsi secara per oral obat itu dibawanya lewat vena hepatic ke hati Metabolisme
Seperti yang dijelaskan di atas, untuk obat-obat ekstravaskular yang digunakan per oral ia akan dibawa oleh vena hepatic ke hati. Jadi sebelum dibawa ke saluran sistemik obat2 per oral akan masuk ke hati dulu untuk dimetabolisme oleh enzim Cytochrome P450 atau disebut mengalami metabolisme lintas pertama, disebut jg first pass effect atau presystemic metabolism. Setelah itu baru obat2 masuk ke saluran sistemik menuju jaringan2 targetnya. Metabolisme obat bisa:
1. Merubah obat yang semula aktif menjadi bentuk tidak aktif 2. Merubah obat tidak aktif (prodrug) menjadi bentuk aktifnya 3. Tidak merubah sifat obat (aktif tetep aktif) Selain itu metabolisme juga mengubah senyawa menjadi lebih polar. Supaya mudah larut dalam urin untuk dikeluarkan Eksresi
Pengeluaran zat yg sudah dimetabolisme. Bisa berupa urin maupun feces
Kurva Kadar Obat dalam Plasma vs Waktu Kurva ini didapat kalo kita ngukur konsentras obat dalam cuplikan plasma pada berbagai waktu. trus diplotin jd kurva. Waktu sebagai variabel bebas (karena kita yang nentuin ngambil kapan) ada di sumbu x Konsentrasi obat sebagai variabel tergantung ada di sumbu y
Beberapa parameter yang harus kita perhatikan dalam grafik ini: 1. MEC atau Minimum Effect Concentration merupakan kadar minimal yang harus dicapai obat agar berefek. Jika konsentrasi obat masih dibawa MEC maka obat belum berefek 2.MTC atau Minimum Toxic Concentration merupakan kadar dimana obat mulai bersifat toksis bagi tubuh. 3. Therapeutic Range merupakan konsentrasi dimana obat berefek dalam batas yang aman dan tidak toksik. beberapa obat seperti digoksin memiliki therapeutic range yang sempit sehingga dalam pengobatan harus berhati-hati karena jika berlebihan dapat menyebabkan toksisitas 4. Onset merupakan waktu dimana obat mulai berefek atau memasuki MEC
5. t max merupakan waktu dimana kadar obat dalam plasma sampai pada puncaknya 6. Cmax merupakan kadar maksimum yang dapat dicapai obat pada plasma 7. AUC atau Area Under Curve menunjukkan jumlah obat di dalam plasma 8. Duration of Action menunjukkan rentang waktu dimana obat berefek (memasuki MEC) sampai tidak berefek (turun dari MEC) Selain itu ada pula yang disebut Frekuensi Pemberian. Frekuensi Pemberian merupakan jarak (interval) antar pemberian obat. Dari grafik di atas dapat kita lihat: 1. Jika frekuensi pemberian kecil berarti eliminasi obat lebih lambat 2. Jika tan alfa dari grafik (kadar/waktu) lebih besar, berarti eliminasi lebih cepat 3. Jika t1/2 (waktu dimana obat tereliminasi 1/2nya) lebih kecil (cepat). berati eliminasinya lebih cepat obat yg t1/2nya kecil lebih cepet dieksresiin daripada obat dengan t1/2 lebih gede (lama)
Parameter Farmakokinetik merupakan besaran yang diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran obat atau metabolit aktif dalam darah atau urin. Parameter farmakokinetik dibagi menjadi: 1. Parameter primer Merupakan parameter yang harganya dipengaruhi secara langsung oleh variabel fisiologis, yaitu: a.) Clearance (Cl) menunjukkan berapa banyak urin yang dikeluarkan per waktu / kemampuan mengeliminasi (satuannya: volume/waktu) parameter ini dipengaruhi oleh ginjal. Rumus : Cl = Konstanta eliminasi (Ke) x Vd (Volume distribusi) b.) Volume distribusi (Vd) menggambarkan volume teoritis dimana obat terdistribusi pada plasma darah Rumus: Vd = Dosis (Do) dibagi Cpo (kadar) <- hanya untuk 1 kompartemen terbuka
c.) Tetapan Kecepatan absorbsi (Ka) dipengaruhi oleh enzim, luas permukaan, fili dan fisiologi usus 2. Parameter sekunder dipengaruhi oleh parameter primer a.) waktu paruh (t1/2) Jika terjadi gangguan pada ginjal yang menyebabkan clearance terganggu maka waktu paruh juga terpengaruh Jika Clearance naik maka t1/2 turun -> karena obat cepet dieksresi Jika Clearance turun maka t1/2 naik -> karena obat lama dieksresi 3. Parameter turunan parameter ini dipengaruhi oleh parameter primer, sekuinder maupun besaran lain misalnya Area Under Curve (AUC) yang dipengaruhi oleh Clearance. Jika fungsi eliminasi turun maka AUC akan naik dan sebaliknya.
Model Farmakokinetik Model farmakokinetik diperlukan sebagai model yang menggambarkan distribusi obat 1. Model Mammillary merupakan model yang paling umum digunakan. terdiri dari satu / lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke kompartemen sentral Kompartemen sentral mewakili jaringan2 yang kesetimbangan obatnya cepat terjadi
Ka menunjukkan tetapan laju absorpsi 2. Model Caternary Model ini terdiri atas kompartemen2 yang berderet bedanya dengan moel Mammilliary: Model Mammiliary terdiri atas kompartemen2 perifer yang mengelilingi kompartemen sentral. Sementara model Caternary tidak menunjukkan hal tersebut
Sehingga model caternary tidak banyak digunakan 3. Model Fisiologik Dikenal juga sebagai model aliran darah atau model perfusi merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik dan fisiologik Metode ini lebih akurat tapi ribet
Hukum Michaelis Menten intinya sih hukum ini menunujukkan model kinetika enzim
S menunjukkan jumlah substrat V menunjukkan kecepatan reaksi Pada saat kita ngasih obat, kecepatan reaksi akan naik perlahan2 karena obat itu gandeng substrat. Jika kita ngasih substrat terus2an maka grafik akan lurus. mengapa? karena jumlah enzim itu terbatas! g bisa gandeng setiap substrat yang kita kasih. pada saat substrat belum jenuh, maka akan ada sebuah garis lurus (linier) itulah dimana reaksi orde 1 digambarkan terjadi
sementara saat enzim sudah tidak bisa gandeng lagi dan mencapai vmax (saturasi) itulah reaksi orde nol Perbedaan antara orde 1 dan nol Zero order 1. t1/2 tergantung dosis 2. eliminasi jenuh (saturasi) 3. Non linier farmakokinetik First order 1. t1/2 tidak tergantung dosis 2. Eliminasi non jenuh 3. Linier farmakokinetik
Persamaan orde 1 dan nol langsung ditulis secara ringkasnya ya. kalo integral2nya bisa dibaca sendiri hehe Persamaan2 mengikuti persamaan garis y = bx + a dimana x merupakan t b dan a tergantung dari ordenya Persamaan reaksi orde 1 Ln At = Ln Ao – Kt At = obat yang siap beraksi pada waktu ke t Ao= obat yang siap beraksi mula2 K= tetapan kecepatan reaksi orde 1 t= waktu sehingga a=Ln Ao b=K *harga negatif menunjukkan arah kemiringan grafiknya
dari persamaan itu kita bisa ubah2: K= (LnAo – LnAt) / t seperti yang sudah kita ketahui bahwa reaksi orde satu waktu eliminasinya tidak tergantung dosis, sehingga persamaan t1/2 nya: t1/2 = 0,693 / K Persamaan reaksi orde nol At = Ao – kt At = obat yang siap beraksi pada waktu ke t Ao= obat yang siap beraksi mula2 K= tetapan kecepatan reaksi orde 1 t= waktu dari persamaan itu kita bisa ubah2: K= (Ao – At) / t seperti yang sudah kita ketahui bahwa reaksi orde nol waktu eliminasinya tergantung dosis, sehingga persamaan t1/2 nya: t1/2 = Ao / 2Ko Persamaan antara kedua orde itu sebenernya sama. Jd ngapalinnya kalo yg orde 1 cuma ditambah ln kalo orde nol g usah. sehingga a=Ao b=K