Pendekatan dalam Pengkajian Islam Studi Pendekatan Filsafat Oleh: Hilmi Fauzi Abstrak Pengkajian Islam sejauh ini yang ada di dunia Islam (Timur Tengah Khususnya Arab) maupun barat telah banyak melahirkan hasil-hasil yang signifikan. Beberapa pendekatan digunakan untuk mencoba melihat Islam secara spesifik. Sedang, dari beberapa pendekatan tersebut, terdapat pengkajian Islam dengan pendekatan filsafat (philoshopical approach). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pengkajian Islam menggunakan pedekatan filsafat tersebut. selain itu, peneliti mencoba menyibak topik ini dari pendekatan yang lain, dan memfokuskan kajian ini. Peneliti juga mencoba menguatkan topik ini melalui kajian beberapa filsuf, baik dari intern (muslim) dan ekstern (non-muslim). Peneliti menggunakan metode library research. Topik ini selanjutnya disajikan secara deskriptif analitis yang mana dapat penulis ketahui bahwasannya pendekatan ini digunakan untuk menguji seluruh aspek argumen yang diajukan orang beriman. Penerapan menggunakan berfikir dikombinasikan dengan kebutuhan sosial dan spiritual maka akan menghasilkan nilai kebenaran hakiki dari Islam tersebut. tujuan utamanya adalah melihat agama secara hakiki dan selanjutnya diterapkan sesuai dengan tantangan zaman.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Topik pengkajian Islam dengan pendekatan filsafat sebenarnya berawal dari kegelisahan peneliti akan kegamangan beragama remaja ini. Penelitian bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal, dan dinamis serta abadi (eternal) untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia modern, agar mampu memberi alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami ajaran Islam adalah pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini, Jalaludin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. 1 Oleh sebab itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian sosial, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian pendekatan filosofis? 2. Bagaimana cara pendekatan filosofis dalam kajian Islam? 3. Apa saja karakteristik prinsipil pendekatan filosofis? 4. Bagaimana aplikasi pendekatan filosofis dalam memandang Agama?
1
Muhaimin, dkk, Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Ed. 1), Cet,3, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 12
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan Filosofis Istilah pendekatan menurut bahasa sering disebut dengan madkhal (bahasa Arab) atau approach (bahasa Inggris). Pendekatan / approach adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu.2 Selain kedua istilah tersebut, istilah lain yang mempunyai arti hampir sama dan menunjukkan tujuan yang sama adalah theoretical framework, conceptual framework, prespektive, point of view, dan paradigm. Ini berarti bahwa semuanya memiliki makna “cara memandang dan cara menjelaskan suatu gejala atau peristiwa”. Secara lebih spesifik pendekatan adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang untuk menemukan kebenaran ilmiah. Dengan kata lain pendekatan berarti cara pandang atau paradigma dalam suatu bidang ilmu, yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.3 Pendekatan biasanya selalu melekat atau terdapat dalam suatu bidang ilmu, selanjutnya digunakan untuk memahami agama serta seluruh aspek yang berkaitan dengan agama.4 Dengan demikian, secara sederhana pendekatan itu dapat kita maknai sebagai cara pandang seseorang untuk memahami sesuatu. Jika objeknya adalah agama Islam, pendekatan yang dimaksud adalah cara pandang seseorang dalam memahami Islam itu sendiri.5 Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada.6 Kata filsafat atau falsafah secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata “philo” dan “shopia”. Philo berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Sedangkan, shopia berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha mentautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendekatan yang dikemukakan Sidi 2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakartaaja: RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 28 Dede Ahmad Ghazali, dkk, Studi Islam: Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner, Cet I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 64 4 Hasyim Hasanah, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 77 5 Dede Ahmad Ghazali, dkk, Studi Islam, hlm.64 6 Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam: Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Perguruan Tinggi Islam, Cet. 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 86 3
3
Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat berupaya menjelaskan inti, hikmah atau hakikat mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Kegiatan berfikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, akan tetapi merenung bukanlah melamun atau berfikir secara kebetulan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik, dan universal7 –mencoba napak tilas, Rene Descartes mengatakan filsafat adalah meditasi, yang artinya ada proses merenung dan berfikir akan suatu hal. Dan ditegaskan pada adagium “cogito ergo sum”, saya berfikir maka saya ada8.- Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa sehingga dicari sampai batas bahwa akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa, sistematis maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berfikir tertentu, dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.9 Pandangan ini juga tidak luput dari sanggahan filsuf, pemikir konteporer Islam, Arkoun dia menyatakan metode ini sangat lemah, bahwa sikap filsafat mengunjung diri dalam batas-batas anggitan dan metodologi yang telah ditetapkan oleh nalar mandiri secara berdaulat. Selain itu, terkesan metode filsafat ini melakukan pemaksaan gagasan-gagasan. Gagasan-gagasan yang dipaksakan terlihat dalam penjelasan para filosof Muslim mengenai kebangkitan manusia di akhirat kelak. Kemudian, sejumlah besar gagasan asing lainnya telah disampaikan oleh para filosof ke dalam Alquran ketika membahas tentang kekekalan dunia, doktrin kenabian, dan Iain-Iain. 7
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 42 Stanley Rosen (ed.), The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to Kant, dalam Rene Descartes, Meditation, New York: Random House Reference, 2003, hlm. 428-434. 9 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 43 dan Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam: Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Perguruan Tinggi Islam, hlm. 87 8
4
Dari pendapat di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pendekatan filosofis (dalam arti sempit) dalam kajian studi Islam merupakan studi proses tentang kependidikan yang didasari nilai-nilai ajaran Islam menurut konsep cinta terhadap keberanian, ilmu, dan hikmah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan, pendekatan filosofis (dalam arti praktis) dipahami sebagai pendekatan yang penilaiannya berdasarkan akal (rasional). Ukuran benar dan salahnya ditentukan dengan penilaian akal, dapat diterima oleh akal atau tidaknya.10
B. Filosofis sebagai Pendekatan dalam Kajian Islam Sebelum lebih jauh menjabarkan pendekatan filsafat, maka penulis mencoba mengutip kembali beberapa ayat yang menjadi penegas dan/atau legitimasi umat manusia untuk berfikir, berfilsafat.
ِفَاعْتَِبرُوا يَا أُولِي األْبصَار... Q.S Al-Hasyr (59:2)11, maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
ٍأَوَلَمْ يَْن ُظرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ َومَا خََلقَ اللَّهُ ِمنْ شَيْء Q.S Al A’raf (7:185)12, dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan...
جرِي فِيي ْ إِنََّ فِي خَ ْلقِ السََّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللََّْيلِ وَالنََّهَارِ وَاْلفُلْكِ الََّتِي َت حرِ بِمَا يَْنفَعُ النََّاسَ َومَا أَْن َزلَ اللََّهُ ِمنَ السََّمَاءِ ِمنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ َبعْدَ مَوْتِهَا ْ الَْب ِخَرِ بَْينَ السََّمَاءِ وَالْأَرْض َّ س َ ُسَحَابِ الْم َّ صرِيفِ الرَِّيَاحِ وَال ْ وََبثََّ فِيهَا ِمنْ ُكلَِّ دَابََّةٍ وََت َلَآيَاتٍ ِلقَ ْومٍ َي ْعقِلُون Q.S Albaqarah (2:164)13 Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut 10
Koko Abdul Kodir, Metodologi studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2014, hlm.116 Al-Quran dan Terjemahan, Bandung : PT Sygma Examedia Arkanleema, 2012. 12 Ibid, 11
5
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Berdasarkan definisi uraian pada bagian sebelumnya, diperkuat dengan beberapa ayat di atas, pendekatan filosofis dalam studi Islam dapat diartikan, memandang dan memahami ajaran agama dengan cara memikirkannya secara mendalam, sistematis, radikal, dan universal dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Agama yang dapat didekati secara filosofis dapat berupa ajaran-ajarannya yang terdapat dalam Kitab Suci maupun realitasnya.14 Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan shalat berjama’ah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmah hidup secara berdampingan dengan orang lain, atau dengan mengerjakan puasa misalnya, agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula kita telah membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu. Maksudnya bukan hanya sekedar tontonan atau sekedar mengenangnya akan tetapi bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung di belakang peristiwa tersebut. Misalnya kisah Nabi Yusuf yang “digoda” seorang wanita bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi atau kecabulan. Kesimpulan demikian itu bisa terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Tetapi melalui kisah itu Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan batiniah secara utuh. Nabi Yusuf telah menunjukkan kesanggupannya mengendalikan farjinya dari berbuat maksiat. Sementara dari sisi lahiriahnya ia tampan dan menyenangkan orang yang melihatnya. Pemaknaan demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini 13 14
Ibid, M. Nurhakim, Metodologi Studi Islam, (Ed, I), Cet. I, Malang: UMM Press, 2004, hlm. 18
6
seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya; dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan cara demikian, ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkatkan pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang. Penggalian makna ini tentunya menjadi kekhususan bagi manusia, sebagaimana Ibn Khaldun menyatakan15, Allah membedakan manusia dengan hewan adalah dengan berfikir, yang menjadi sumber dari segala kebenaran, kemulaan tertinggi. Al-Maraghi16 juga menegaskan bahwasannya Allah memberikan hidayah yang dianugrahkan kepada manusia dalam lima tingkatan, yang mana hidayah ketiga adalah akal-budi. Akal budilah yang menjadi pembeda manusia dengan hewan. Demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, seringkali kita jumpai, filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita misalnya membaca filsafat hukum Islam, filsafat sejarah, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tetapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistic, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima, dan berhenti sampai disitu. Mereka tidak merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.17 C. Karakteristik Prinsipil Pendekatan filosofis John Hick menyatakan bahwa pemikiran filosofis mengenai agama bukan merupakan cabang teologi atau studi-studi keagamaan, melainkan sebagai cabang filsafat. Dengan demikian, filsafat merupakan suatu “aktivitas keteraturan kedua”
15
Endang Saifudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1974, hlm. 6 Ibid, hlm. 7 17 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 44-45 16
7
(second order activity) yang menggunakan perangkat-perangkat filsafat bagi agama dan pemikiran keagamaan. Pernyataan Hick memberikan suatu cara menarik kepada kita dalam membahas, “Apa gambaran karakteristik pendekatan filosofis” Pada umumnya kita dapat menyatakan pendekatan filosofis memiliki empat cabang. 1. Logika Berasal dari bahasa yunani logos, secara literal logika berarti “pemikiran” atau “akal”, logika adalah seni argument rasional dan koheren. Seperti telah kita lihat, kita semua memiliki argument-argumen, kita semua marah ketika seseorang menentang suatu yang kita yakini atau kita kemukakan secara bentuk alas an untuk membenarkan posisi kita. Logika merasuk ke seluruh proses berargumentasi dengan seseorang menjadikannya lebih cermat dan meningkatkan proses tersebut. Semua argumen
mempunyai
titik pangkal,
argumen-argumen ini
memerlukan pernyataan pembuka untuk memulai. Dalam logika pernyataan pembuka ini disebut premis. Premis adalah apa yang mengawali argument\. Salah satu premis yang paling terkenal dalam filsafat agama adalah apa yang dikemukakan oleh Anselm “Tuhan adalah sesuatu yang tidak ada hal lebih besar yang dapat dipikirkan selain Dia”. Ketika berkaitan dengan argumen itu benar atau salah, dan apakah ia koheren (berhubungan), karena jika premisnya keliru, tidak ada argumen yang dapat dibangun darinya.18 Tidak ada keraguan bahwa sesuatu yang lebih kecil daripada sesuatu yang lebih besar yang tidak dapat dipikirkan, ada dalam pemahaman dan realitas. Maka seorang logikawan, ketika berargumentasi dengan seseorang, mencoba menententukan premis apa yang dijadikan titik pijak, bagaimana mereka membangun argumennya dan bagaimana mereka sampai pada kesimpulan. Ini diterapkan dalam banyak argumen, dan dalam kaitan dengan agama, suatu pendekatan filosofis, secara teliti menguji seluruh aspek argumen yang diajukan orang beriman. Proses ini memiliki dua keuntungan di satu sisi, 18
Peter Connolly (ed,). Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS Group, 2012. Hlm. 170-171
8
poses ini dapat memperlebar friksi yang mungkin terjadi antara orang-orang yang terlibat dalam satu argument, juga memperlihatkan bahwa anda tidak tertarik membuat komentar personal tetapi hanya concern dengan kekuatan apa yang telah dikatakan. Di sisi lain, semua argumen harus bertahan atau jatuh karena di belakangnya memiliki penalaran yang baik. Proses ini memungkinkan kita melihat secara pasti bentuk panalaran apa yang digunakan dalam argument tertentu. Kemampuan berargumen dengan cara begini merupakan keahlian yang dicapai secara berangsur-angsur melalui praktik, dan merupakan perbutan yang bermanfaat mempersingkat apa yang dikatakan seseorang ke dalam bagianbagian rinci.19 2. Metafisika Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 60 SM oleh filsuf Yunani Andronicus. Metafisika terkait dengan hal yang paling dasar, pertanyaanpertanyaan fundamental tentang kehidupan, eksistensi, dan watak ada (being) itu sendiri, secara literal metafisika berarti kehidupan, alam, dan segala hal. Metafisika mengemukakan pertanyaan tentang apakah sesungguhnya aku (what I am), sebagai seorang pribadi, apakah aku tubuh materiil, otak yang akan berhenti dari keberadaanya ketika mati? Atau apakah benar terletak antara keduanya? Metafisika mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentan “siapakah” aku sebagai seorang pribadi: apakah yang menjadikan aku sebagai aku? Apakah aku pribadi yang sama 5,10, dan 15 tahun yang lalu? Apakah aku akan menjadi pribadi yang berbeda ketika aku berusia 40, 50, dan 60 tahun? Apa yang menjadikan sebagai pribadi yang sama? Apakah ini persoalan memori? Atau apakah ini persoalan hiasan fisik? Metafisika mempertanyakan eksistensi; apakah yang dimaksud dengan ada? Apakah Daffy Duck ada dalam pengertian yang sama dengan keberadaanku? Apakah Tuhan ada? Dalam pengertian bagaimana Tuhan ada? Aspek aktivitas filosofis ini menunjukkan concern pada komprehensifitas. Tidak ada sesuatu pun yang berada di luar wilayah perhatian filsafat, bagi filsuf segala sesuatu adalah penting. Ini melindungi dari digunakannya pandangan 19
Ibid., hlm. 172
9
“menutup mata” atau berat sebelah (bias) dalam hal-hal tertentu, filsuf harus menyadari segala sesuatu yang memang atau mungkin penting bagi persoalan yang sedang dihadapi.20 Dan hal ini diterapkan dalam pendekatan filosofis terhadap agama, yang dengan sendirinys berkaitan misalnya dengan pertanyaanpertanyaan ontologism (studi tentang ada atau eksistensi, termasuk eksistensi Tuhan), pertanyaan-pertanyaan kosmologis (argument-argumen yang terkait asalusul dan tujuan dunia, termasuk pengaruh yang ditimbulkan oleh ilmu) dan pertanyaan-pertanyaan tentang humanitas (watak dan status manusia dan komunitas manusia termasuk watak subjektivitas. 3. Epistemologi Epistemology menitikberatkan pada apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita mengetahui. Epistemology memberi perhatian pada pengetahuan dan bagaimana kita memperolehnya. Plato misalnya, berpendapat tidak mungkin memperoleh pengetahuan, dan dia menggunakan apa yang disebut dengan “Paradok Meno” guna menunjukkan mengapa “seseorang tidak dapat menyelidiki apa yang dia tahu karena dengan mengasumsikan bahwa ia tahu berarti ia tidak perlu menyelidiki, demikian juga ia tidak dapat menyelidiki apa yang tidak dia ketahui karena dia tidak tahu apa yang harus diselidiki”. Inti dari pertanyaan Plato adalah bahwa ketika kita sampai pada pengetahuan, kita tidak pernah memulainya dari permulaan. Seluruh pertanyaan yang kita ajukan , segala sesuatu yang kita ketahui terletakdalam suatu konteks peranggapan dan keyakinan yang luas dan sering tidak dipertanyakan.tidak suatupun dimulai dari daftar yang bersih. Segala sesuatu dibangun berdasar sesuatu lainnya. Plato juga menunjukkan bahwa penelitian dan pencarian pengetahuan tidak pernah berhenti, jawaban terhadap pertanyaan kita menjadi dasar bagi seluruh pertanyaan selanjutnya dan begitu seterusnya. 21 Bagi Plato, pengetahuan adalah persoalan mengumpulkan kembali atau mengingat segala sesuatu yang telah dipelajari dalam kehidupan sebelumnya, bagi kita sekarang 20 21
Ibid., hlm. 173 Ibid., hlm. 174
10
pengetahuan adalah persoalan proses penelitian dan penemuan. Proses ini hanya akan berhenti jika kita secara sewenang-wenang dan artificial menjadikannya berhenti. Itulah mengapa kesimpulan yang kita capai hanya dapat bersifat tentative dan sementara. Bicara soal Plato maka penulis tertarik melihat kembali pada Filsafat Islam tentunya terdapat Ibn ‘Arabi. James Morris seorang yang mendalami karya Ibn ‘Arabi menyatakan bahwasannya, paraphrasing whitehead’s famous remark about plato-one could say taht the history of Islamic tought subsequent to Ibn ‘Arabi might largely be construed as a series of footnotes to his work. 22 James Morris cenderung terlihat berlebihan dalam menggambarkan Ibn ‘Arabi terlepas dari karyanya yang mencapai 700 judul berdasar dari pengalaman kasyf, dan ketersingkapan tabir rohani terhadap fenomena gaib.23 Tugas epistemologi adalah menemukan bagaimana pengetahuan berbeda dari keyakinan dan pendapat, apakah pengetahuan dan keyakinan berbeda secara esensial? Jika saya berkata “saya meyakini” dia berbohong kepadaku, itu pertanyaan yang lebih lemah disbandingkan jika saya mengatakan “saya tahu” dia berbohong kepadaku. Sekarang lihatlah pernyataan ini dalam konteks berbeda. Orang beriman berkata “saya meyakini Tuhan itu ada”, apakah ini sama dengan pernyataan “saya tahu Tuhan ada”. Menyatakan “saya meyakini Tuhan ada” dan “saya tahu Tuhan ada” tampak merupakan dua pernyataan yang berbeda dari apa yang menjadikan sesuatu sebagai sebuah pengetahuan. Beberapa umat beragama menyatakan “mengetahui” bahwa Tuhan ada, namun apa yang mereka ketahui? Dengan kata lain, kapan kita dapat menyatakan kita mengetahui sesuatu? Dan dimana persoalan kebenaran mengenai apa yang kita ketahui muncul? Apakah keyakinan-keyakinan yang kita pegang dapat menjadi benar atau salah? Atau apakah ini secara tepat yang menjadikannya keyakinan, yakni
22
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy Part I, London: Routledge, 1996, hlm. 497 23 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016, hlm.157.
11
bahwa kita tidak dapat menunjukkannya benar atau salah, hanya mungkin dan tidak mungkin, lebih berpeluang atau kurang berpeluang. Berkenaan dengan benar salah tentunya ini mempunyai relasi dengan Tuhan, suatu dzat gaib yang kita percaya mempunyai kekuatan terkuat. Kita akan susah menghubungkan epistemologi untuk menggali hakekat
Tuhan. Pada
bagian sebelumnya telah dijabarkan bagaimana Ibn ‘Arabi mempunyai pengalaman luar biasa dengan hal
gaib.
Sehingga Ibn ‘Arabi bisa
mengilustrasikan bagaimana Tuhan itu dengan sisi imajinasi yang kental yang keluar dari jalur utama. Kita meyakini bahwasannya Tuhan mengetahui segalanya, baik yang nampak dan tidak/ rahasia. Pada sisi ini ada kecocokan aantara Ibn ‘Arabi dan Ibn Sina berkaitan keilmuan tuhan yang umum, bukan keilmuan yang khusus/ tertentu. Ibn Sina memberikan contoh yaitu gerhana. Bagaimana gerhana bisa terjadi pada waktu dan tempat tertentu berlandaskan hukum tatasurya, dan sejak Tuhan mengetahui hukum-hukum tersebut, dan Tuhan membuatnya dengan dirinya sendiri, tetapi tidak mengidahkan bagaimana itu terjadi. Berbeda halnya dengan Al-Ghazali yang mana mengungkapkan ketidak tahuan tentang apa yang terjadi setelah kematian. Disini mengisyaratkan bahwasannya Allah yang tahu, dan mengingatkan kita untuk selalu waspada apa yang kita lakukan dimanapun dan kapanpun. Pada bagian akhir dengan bukunya Tahafut at-Tahafut Ibn Rusyd menyarankan, kita bisa memecahkan masalah tentang pengetahuan Tuhan / penggalian tentang Tuhan, jika kita bisa mempelajari ilmu Tuhan dengan sudut pandang ilmu yang sempurna, dan perlu diketahui bahwasannya ilmu kita adalah kurang mencerminkan suatu kesempurnaan.24 4. Etika Secara harfiah etika berarti studi tentang “perilaku” atau studi dan penyelidikan tentang nilai-nilai yang dengannya kita hidup, yang mengatur cara kita hidup dengan lainnya, dalam satu komunitas local,nasional, maupun internasional. Etika menitikberatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan 24
Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z, Edinburgh Unniversity Press, 2007, hlm. 60.
12
tentang kewajiban, keadilan, cinta, dan kebaikan25 dan dalam etika sebagai concern general, muncul perhatian pada praktik-praktik particular dalam masyarakat, maka kita memiliki perhatian khusus pada etika bisnis, etika medis, etika kerja, dan etika politik. Semua itu kadang disebut sebagai persoalan yang termasuk dalam etika penerapan dengan kata lain ia menerapkan ide-ide, teoriteori, dan prinsip-prinsip etika general pada wilayahwilayah particular, dan spesifik dalam kehidupan dan kerja manusia. Dalam kaitannya dengan studi agama, etika terlihat jelas dalam “kehidupan keagamaan” aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang menerangkan tentang cara kehidupan religious. Apa yang menjadi sumber dan darimana asal-usul aturan itu? Apa sumber dan asal-usul moralitas? Beberapa orang beriman mengatakan bahwa Tuhan adalah sumber moralitas, dan prinsip-prinsip yang mereka ikuti dalam kehidupan mereka adalah baik karena Tuhan menyatakannya sebagai baik. Akan tetapi apakah yang seandainya terjadi jika Tuhan menyatakan bahwa pembunuh itu baik? Apa yang terjadi jika Tuhan memerintahkan orang untuk membunuh orang lain? Haruskah itu disebut baik? Dalam menanggapi hal ini, umat beragama sering mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memerintahkan membunuh orang lain, tetapi dalam pernyataan ini, mereka menunjukkan bahwa Tuhan juga tunduk pada satu kode moral dan karenanya Tuhan bukan sumber moralitas. Akan tetapi jika Tuhan bukan sumber moralitas, lalu siapa? Apakah anda menjadi agamis jika anda hidup dalam kehidupan moral? Apakah ateis itu moral? Apa kaitan antara moralitas dan agama? Pada umumnya, di sini terdapat empat wilayah yang menghiasi aktivitas filsafat sebagai suatu disiplin akademik, dan bagaimana aktivitas filosofis mendekati studi agama. Ini adalah bentuk aktivitas filosofis yang paling banyak dilakukan oleh orang di Barat.26
25 26
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 175 Ibid., hlm. 176
13
D. Aplikasi Pendekatan Filosofis dalam Kajian Islam Untuk membawa pendekatan filosofis dalam tataran aplikasi seseorang tidak bisa lepas dari pengertian pendekatan filosofis yang bersifat mendalam, radikal, sistematik dan universal. Karena sumber pengetahuan pendekatan filosofis adalah rasio, maka untuk melakukan kajian dengan pendekatan ini akal mempunyai peranan yang sangat signifikan. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah, sebagai contoh “kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang berbeda, tetapi semua rumah intinya adalah sebagai tempat tinggal”. Kegiatan berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam, berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Menurut Musa Asy’ari, filsafat Islam dapat diartikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak Islami, Islam di sini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran, filsafat disebut Islam bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keIslaman.27 Menurut Muhamad Al-Jurjawi, pendekatan filosofis dalam kajian Islam berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat dibalik ajaran-ajaran agama Islam. Agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan shalat berjama’ah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan yang lain. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam kelima, dan berhenti pada disitu. Mereka tidak 27
Musa Asy’ari, dkk, Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hlm. 13
14
merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama secara formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik. Sedangkan bentuk (formal) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.28 Beberapa hasil dari beberapa aktifitas berfikir dalam pengkajian Islam menghasilkan segmentasi sekaligus polarisasi dalam aktifitas pengkajiannya yang selanjutnya membawa dampak yang bebeda-beda. Penulis merujuk pada pandangan Harjoni dalam klasifikasi ini29, berikut adalah pandangannya, Kebutuhan biologis + kebutuhuan egoistik = perilaku binatang Kebutuhan biologis + kebutuhan sosial = pahlawan Kebutuhan biologis + berfikir = rasional ekonomis Kebutuhan biologis/ sosiologis + spiritual = halal haram Berfikir + spiritual = tawakal Berfikir + kebutuhan sosial + spiritual = nilai kebenaran hakiki Berfikir + kebutuhan sosial + kebutuhan egoistik = penghianat. Uraian yang disampaikan Harjoni sudah ideal, akan tetapi penulis mengkritik pada bagian berfikir. Karena berfikir tentunya masih ada beberapa alirannya/ manhaj. Penulis merujuk pada alternatif pandangan M. Amin Abdullah30 yaitu bayani, irfani dan burhani. Beberapa aliran tersebut juga memberikan dampak dari produk berfikirnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Zuhri31, pola nalar yang dibangun saat ini melulu pada pola burhani. Penulis menekankan harus adanya keserasian, integrasi, dan sesuai dengan struktur dan fungsinya. Sehingga produk yang dihasilkan bisa seimbang dan komprehensif serta tidak mengesampingkan ketiga pola nalar. 28
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 44-45 Harjoni, Agama Islam dalam Pandangan Filosofis, Bandung: Alfa Beta, 2012, hlm. 74. 30 M Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratifinterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 200-218. 31 Zuhri, Filsafat Islam dan Pluralisme, dalam Antologi Isu-Isu Global dalam Kajian Agama dan Filsafat, (ed. Alim Roswantoro & Abdul Mustaqim), Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2010, hlm. 71 29
15
Perkembangan pengkajian Islam ini menjadi bekal bagi pemikir Islam untuk mengembangkan ilmu. Tidak hanya itu, pengkajian ini juga akan mempengaruhi pada bidang-bidang studi lain yang masih mengakar pada isu Agama. Dampak secara lebih lanjutnya adalah perkembangan zaman juga terpengaruh pada berfikir filsafat ini. Pemikir akan bisa cenderung berfikir progresif. Ini diibaratkan menjadi dua mata pisau. Pada satu sisi Islam akan bisa berkembang secara signifikan. Namun pada lain sisi, juga akan bisa menjadi peruntuh ajaran Islam sendiri. Karena pola pikir yang menekankan pada pikiran akan ada kecenderungan produk yang dihasilkan bisa saja kontras dengan makna tekstual, sebagaimana selama ini menjadi sumber primordial umat secara umum. Sehingga keseimbangan pola berfikir dalam mengkaji Islam menjadi keharusan. Sehingga Islam yang dipersepsikan bisa lebih rahmatan lil ‘alamin.
BAB III KESIMPULAN Dalam memahami dan mengungkap kebenaran dari suatu realitas agama, diperlukan suatu cara pandang atau paradigm untuk menggali dasar-dasar serta pokok-pokok ajaran agamanya, termasuk Islam sendiri sebagai suatu objek kajian studi. Pendekatan biasanya selalu melekat atau terdapat dalam suatu bidang ilmu, dalam pendekatan filosofis, berarti dibutuhkan suatu cara pandang tertentu dengan cara memikirkannya secara mendalam, sistematis, radikal, dan universal dalam memahami suatu kebenaran dari inti, hakikat, atau hikmah mengenal sesuatu yang berada di balik objek formalnya, yakni agama Islam itu sendiri. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistic, mereka tidak bisa merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun
16
demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama secara formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik. Sedangkan bentuk (formal) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.
Daftar Pustaka Abdullah, M Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratifinterkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al-Quran dan Terjemahan, Bandung : PT Sygma Examedia Arkanleema, 2012. Anshari, Endang Saifudin. 1974. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. Anwar, Rosihon,
dkk. 2009. Pengantar Studi Islam: Disusun Berdasarkan
Kurikulum Terbaru Perguruan Tinggi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
17
Asy’ari, Musa dkk. 1992. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. Connolly, Peter (ed,). 2012. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS Group. Ghazali, Dede Ahmad, dkk. 2015. Studi Islam: Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Groff, Peter S. 2007. Islamic Philosophy A-Z. Edinburgh Unniversity Press. Hasanah, Hasyim. 2013. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak Harjoni. 2012. Agama Islam dalam Pandangan Filosofis. Bandung: Alfa Beta. Kodir, Koko Abdul. 2014. Metodologi studi Islam. Bandung: Pustaka Setia. Muhaimin, dkk. 2012. Studi Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta: Kencana Nata, Abuddin. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Nasr, Seyyed Hossein. Oliver Leaman. 1996. History of Islamic Philosophy Part I. London: Routledge Nurhakim, M. 2004. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press, 2004. Stanley Rosen (ed.). 2003. The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to Kant, dalam Rene Descartes, Meditation, New York: Random House Reference Roswantoro, Alim., Mustaqim, Abdul (ed.). 2010. Antologi Isu-isu Global dalam Kajian Agama dan Filsafat dalam Zuhri, Filsafat Islam dan Pluralisme. Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga. Zaprulkhan. 2016. Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
18