PRESENTASI KASUS
Penatalaksanaan Anestesi Spinal Pada Hernioraphy
BAB I LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS Nama
: Sdr. Sulaiman
No CM
: 818734
Umur
: 21 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-Laki
BB
: 52
Agama
: Islam
Alamat
: Tonjong RT 3/RW 3
Tanggal masuk
: 5 Oktober 2010
B. ANAMNESIS Riwayat penyakit 1. Keluhan utama
: Benjolan di selangkangan kanan
2. Keluhan tambahan
:-
3. Riwayat penyakit sekarang
: Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 3 OKtober 2010
dengan keluhan terdapat benjolan pada selangkangan kanan. Benjolan ini tidak balik lagi dalam 6 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan sedikit nyeri apabila melakukan posisi jongkok saat buang air besar, buang air kecil lancar. Tidak ada gangguan lain yang menyangkut keluhan pasien. 4. Riwayat penyakit dahulu − Riwayat penyakit jantung disangkal − Riwayat penyakit asma disangkal − Riwayat penyakit alergi obat disangkal − Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal − Riwayat penyakit hipertensi disangkal − Riwayat operasi dan pembiusan disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalis Keadaan umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis; GCS: E4 V5 M6
Vital sign
: TD 120/70 mmhg Nadi 92 x/menit reguler, isi dan tegangan cukup RR 28 x/menit Suhu 36, 8 °C
Primary survey : A : clear, MP I B : spontan, SD vesikuler Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -/-, RR 28 x/menit C : N : 92 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, TD : 120/70 mmHg, S1>S2 murmur (-) gallop (-) D : GCS E4M6V5 2.
Pemeriksaan kepala
: Mesochepal, simetris, tumor(-), tanda radang (-)., rambut warna hitam, tersebar merata, dan tidak mudah dicabut
Mata
: Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-. RC +/+ Pupil isokor, Ǿ 3mm
Telinga
: NCH ( - ), discharge ( - )
Hidung
: Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-).
Mulut
: Sianosis ( - ), bibir kering (-),pembesaran tonsil (-), Mallampati I
3.
Pemeriksaan leher Tiroid
: Simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran KGB (-) : Tidak Ada Kelainan
4. Pemeriksaan dada Paru
: SD.vesikuler , wheezing -/- , rhonki -/-
Jantung
: S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )
Dinding dada
: simetris , destruksi ( - )
5. Pemeriksaan abdomen Dinding perut
: Supel, datar
Hepar/lien
: Tidak teraba
Usus
: Bising usus ( + ) Normal
6. Pemeriksaan punggung Columna vertebra
: Tidak Ada Kelainan
Ginjal
: Tidak Ada Kelainan
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium tanggal : Darah lengkap Hb
: 17,0
gr/dl
Leukosit
: 10730 /µ l
Hematokrit
: 49 %
Trombosit
: 230000 / mm³
PT
: 13
dtk
APTT
: 32
dtk
GDS
: 121 uI/L
E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI - Status fisik ASA I - Acc. Anestesi F. LAPORAN ANESTESI PASIEN a) Diagnosis pra-bedah
: Hernia Inguinalis Lateralis dextra acreta
b) Diagnosis post-bedah
: Hernia Inguinalis Lateralis dextra acreta
c) Jenis pembedahan
: Hernioraphy
Persiapan Anestesi
: Informed concent Puasa ± 8 jam sebelum Operasi
Jenis anestesi
: Regional Anestesi
Premedikasi anestesi
: Ondansentron 4 mg
Medikasi
: Bupivacain Spinal 20 mg Fortanest Ketalar Dexamethason Ketorolac 30 mg
Pemeliharaan anestesi
: O2 2,0 L/mnt
Teknik anestesi
: Spinal ; SAB L3 / L4 • Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk. • Desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio L3-L4. • Blok dengan jarum spinal no.27 pada regio L3-L4. • LCS keluar (+) jernih. • Barbotage (+).
Respirasi
: Spontan
Posisi
: Supine
Infus durante operasi
: RL
Status fisik
: ASA I
Induksi mulai
: 09.20 WIB
Operasi mulai
: 09.30 WIB
Operasi Selesai
: 10.30 WIB
Berat Badan
: 52 Kg
Lama Operasi
: 1 jam
Pasien puasa
: 8 jam
Input durante operasi •
RL ( Ringer Laktat ) = III Plabot (± 1500 cc)
Tekanan darah dan frekuensi nadi : Pukul (WIB) 09.20 09.30 09.45 10.00 10.15 10.30
Tekanan Darah (mmHg) 126/70 120/74 128/78 125/72 120/68 125/78
Nadi (kali/menit) 88 85 85 90 82 83
Monitoring Post Operatif (Ruang Pemulihan) Pukul (WIB) 10.40 10.50
Tekanan Darah (mmHg) 119/82 125/85
Nadi (kali/menit) 86 85
G. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN Perawatan bangsal Masuk Tanggal
: 5 Oktober 2010
Jam
: 12.00 WIB
Airway
: Clear, MP I
Breathing
: Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-
Circulation
: S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )
Disability
: GCS ; E4 V5 M6
Instruksi post operasi → observasi : Selama 24 jam 1. Monitoring Kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan 2. Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan kiri, tak boleh duduk 3. Ukur TD dan N tiap 15 menit selama 1 jam pertama. Bila TD < 90 beri efedrin 10 mg, bila N<60 beri SA 0,5 mg 4. bila tidak ada mual muntah boleh minum sedikit-sedikit dengan sendok 5. bila nyeri kepala hebat, konsul anestesi Prognosis : Dubia ad Bonam H. PEMANTAUAN ANESTESI 1. Preoperatif
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan pada selangkangan kanan. Benjolan ini tidak balik lagi dalam 6 bulan yang lalu. Pasien diputuskan dirawat di bangsal Kenanga. Setelah keadaan umum pasien membaik, pasien dipersiapkan untuk operasi tanggal 05 Oktober 2010. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA I, serta ditentukan rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik SubArachoid Block. Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal. Anastesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi L3-L4 memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal bagi Hernioraphy. Dibanding dengan general anastesi,
regional anastesi dapat menurunkan insidens
terjadinya post-operative venous trombosis. 2. Durante operatif Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan operasi yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian tubuh inferior saja. Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah Buvanest spinal 20 mg (berisi bupivakain Hcl 20 mg), Buvanest spinal dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah konduksi rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial aksi. Durasi analgetik pada L3-L4 selama 2-3 jam, dan Bupivakain Hcl spinal menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama 2- 2,5 jam. Selain itu Bupivakain Hcl juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua jaringan yang terkena. Sebagai analgetik digunakan torasic (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Torasic 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan
50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas pada clinicaal trial pemberian ketorolac dosis pakai ketorolac untuk pasien giatri (> 65 tahun) adalah titik lebih dari 60 mg/hari dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30 mg mrp dosis yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik. Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara ketat 4 aspek yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi, monitoring lapangan operasi, dan monitoring lingkungan operasi. 3. Postoperatif Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang dengan 1 bantal, minum banyak air putih serta tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.
BAB II PENDAHULUAN A. HERNIA
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus Minoris Resistentiae (LMR). Bagian-bagian hernia meliputi pintu hernia, kantong hernia, leher hernia dan isi hernia. Sedangkan dikatakan hernia inguinalis lateral apabila hernia tersebut melalui annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan mengikuti jalannya spermatid cord di canalis inguinalis serta dapat melalui annulus inguinalis subcutan (externus) sampai scrotum. Hernia inguinalis disebut juga hernia scrotalis bila isi hernia sampai ke scrotum. Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan hernia didapat atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya seperti diafragma, inguinal, umbilikal, femoral. Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga disebut hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol ke luar melalui dinding perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lobang dalam rongga perut seperti Foramen Winslow, resesus rektosekalis atau defek dapatan pada mesentrium umpamanya setelah anastomosis usus. Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulate. Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus) dan mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui anulus inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis) adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia
inguinalis lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada wanita. Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.
Gambar. Hernia Inguinalis Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan, sering mengangkat benda berat, atau mengedan. Jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis. Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.
Gambar . Hernia scrotalis yang berasal dari hernia inguinalis indirek
B. PENYEBAB Masih menjadi kontroversi mengenai apa yang sesungguhnya menjadi penyebab timbulnya hernia inguinalis. Disepakati adanya 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya hernia inguinalis yaitu meliputi: 1. Processus vaginalis persistent Hernia mungkin sudah tampak sejak bayi tapi kebanyakan baru terdiagnosis sebelum pasien mencapai usia 50 tahun. Sebuah analisis dari statistik menunjukkan bahwa 20% laki-laki yang masih mempunyai processus vaginalis hingga saat dewasanya merupakan predisposisi hernia inguinalis 2. Naiknya tekanan intra abdominal secara berulang Naiknya tekanan intra abdominal biasa disebabkan karena batuk atau tertawa terbahak-bahak, partus, prostat hipertrofi, vesiculolitiasis, carcinoma kolon, sirosis dengan asites, splenomegali massif merupakan factor resiko terjadinya hernia inguinalis. Pada asites, keganasan hepar, kegagalan fungsi jantung, penderita yang menjalani peritoneal dialisa menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal sehingga membuka kembali processus vaginalis sehingga terjadi hernia indirect.
3. Lemahnya otot-otot dinding abdomen C. PEMERIKSAAN HERNIA Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan viskus, atau sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal, 90% dari semua hernia ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls hernia lebih jelas dilihat daripada diraba. Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan. Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat timbulnya benjolan mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan hernia. Jika terlihat benjolan mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi dan bandingkan impuls ini dengan impuls pada sisi lainnya. Jika pasien mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan periksalah kembali daerah itu. Pemeriksaan Hernia Inguinalis Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa di dalam skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam. Harus ada kulit skrotum yang cukup banyak untuk mencapai cincin inguinal eksterna. Jari harus diletakkan dengan kuku menghadap ke luar dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri pemeriksa dapat diletakkan pada pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih baik. Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di lateral masuk ke dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum inguinalis dan digerakkan ke atas ke arah cincin inguinal eksterna, yang terletak superior dan lateral dari tuberkulum pubikum. Cincin eksterna dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan. Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di dalam kanalis inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung atau bantal jari penderita. Jika ada hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan perhatikanlah apakah hernia itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terusmenerus pada massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-lahan, tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.
Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih suka memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri pasien. Cobalah kedua teknik ini dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman. Jika ada massa skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya, suatu hernia inguinal indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi massa itu dapat dipakai untuk menentukan apakah ada bunyi usus di dalam skrotum, suatu tanda yang berguna untuk menegakkan diagnosis hernia inguinal indirek. Transluminasi Massa Skrotum Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi. Di dalam suatu ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak dapat ditembus sinar. Transmisi cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti hidrokel atau spermatokel. D. PENATALAKSANAAN PADA HERNIA Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional. Tujuan dari operasi adalah reposisi isi hernia, menutup pintu hernia untuk menghilangkan LMR, dan mencegah residif dengan memperkuat dinding perut. Prinsip dasar operasi hernia terdiri dari herniotomy, hernioraphy, dan hernioplasty. Pada herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi ke cavum abdomen seperti semula. Kantong hernia dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong. Pada hernioraphy leher hernia diikat dan digantungkan pada conjoint tendon (pertemuan m. transverses internus abdominis dan m. obliqus intenus abdominis). Pada hernioplastik
dilakukan
tindakan
memperkecil anulus
inguinalis
internus
dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Pada bayi dan anak-anak dengan hernia kongenital lateral yang faktor penyebab adanya prosesus vaginalis yang tidak menutup sedangkan anulus inguinalis internus
cukup elastis dan dinding belakang kanalis cukup kuat, hanya dilakukan herniotomi tanpa hernioplastik. Pada operasi hernia inguinalis, ada 3 prinsip yang harus diperhatikan, yaitu eksisi kantong hernia, ligasi tinggi kantong hernia, dan repair dinding kanalis inguinalis. Tehnik operasi •
Insisi inguinal 2 jari medial SIAS sejajar ligamentum inguinal ke tuberculum pubicum
•
Insisi diperdalam sampai tampak aponeurosis MOE → tampak crus medial dan lateral yg merupakan annulus eksternus
•
Aponeurosis MOE dibuka kecil dengan pisau, dengan bantuan pinset anatomis dan gunting dibuka lebih lanjut ke cranial sampai annulus internus dan ke kaudal sampai membuka annulus inguinal eksternus.
•
Funiculus dibersihkan, kemudian digantung dengan kain kasa dibawa ke medial, sehingga tampak kantong peritoneum
•
Peritoneum dijepit dengan 2 pinset → dibuka → usus didorong ke cavum abdomen dengan melebarkan irisan ke proksimal sampai leher hernia. Kantong sebelah distal dibiarkan
•
Leher hernia dijahit dengan kromik → ditanamkan di bawah conjoint tendon dan digantungkan.
•
Selanjutnya dilakukan hernioplasty secara:
Ferguson Funiculus spermaticus ditaruh disebelah dorsal MOE dan MOI abdominis MOI dan transverses dijahitkan pada ligamentum inguinale dan meletakkan funiculus di dorsalnya, kemudian aponeurosis MOE dijahit kembali, sehingga tidak ada lagi kanalis inguinalis. Bassini MOI dan transverus abdominis dijahitkan pada ligamentum inguinal, funiculus diletakkan disebelah ventral → aponeurosis MOE tidak dijahit, sehingga kanalis inguinalis tetap ada. Kedua musculus berfungsi memperkuat dinding belakang canalis sehingga LMR hilang Halsted
Dilakukan penjahitan MOE, MOI dan m. transverses abdominis, untuk memperkuat / menghilangkan LMR. Funiculus spermaticus diletakkan di subkutis. Tehnik operasi terbaru pada hernia inguinalis adalah menggunakan mesh, suatu materi prostese yang digunakan untuk memperkuat otot-otot di region inguinalis sehingga mengurangi timbulnya residif. Keuntungan pemakaian mesh antara lain: •
Aman, terutama pada pasien dengan penyakit penyerta kronik
•
Efektif dan kuat
•
Penyembuhan berlangsung lebih cepat
•
Nyeri pasca operasi minimal
•
Jarang menimbulkan komplikasi
E. ANESTESI PADA HERNIORAPHY Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal / subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Hernia pada dinding perut merupakan penyakit yang sering dijumpai dan memerlukan suatu tindakan pembedahan. Hernia inguinalis lateralis sering dijumpai pada pria. Pada kasus ini seorang pria 21 tahun datang dengan keluhan timbul benjolan di selangkangan sejak 1 tahun yang lalu, sejak 6 bulan tidak bisa dimasukkan dan terasa sedikit nyeri. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis menderita hernia inguinalis lateralis dextra acreta dan akan dilakukan hernioraphy dengan anestesi spinal. Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain: 1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4 atau L45. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis. 3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol. 4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan , misalnya dengan lidokain 1-2 % 2-3 ml. 5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 900 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter. 6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6 cm. Pada tindakan anestesi diberikan premedikasi berupa ondansetron 4 mg i.v dan antrain 1000 mgr i.v, pada induksi anastesi disuntikan secara SAB pada vertebra lumbal 3-4 obat yang digunakan adalah bupivacain 20mg, kemudian untuk menjaga oksigenasi diberikan O2 3L/m. Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan mencegah mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman. Induksi anastesi pada kasus ini adalah dengan menggunakan anastesi lokal yaitu bupivacain 20 mg , bupivacain merupakan obat anastesi lokal yang mekanismenya adalah mencegah terjadinya depolarisasi pada membran sel saraf pada tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan asetil kolin sehingga
membran tetap semipermeabel dan tidak terjadi perubahan potensial. Hal ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf tersebut berhenti sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke sistem saraf pusat. Hal ini menimbulkan parestesia, sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblock. Pemberian O2 3 liter/menit adalah untuk menjaga oksigenasi pasien. Pada anestesi regional seharusnya pasien tidak perlu lagi diberikan obat-obatan induksi intra Vena seperti ketamin, propovol, dan tiopental, tetapi pada pasien ini tetap diberikan ketamin intavena dikarenakan pasien masi tampak gelisah dan kesakitan. Hal ini kemungkinan dikarenakan kegagalan dalam tindakan anestesi Sub Araknoid Blok ( SAB). Komplikasi tindakan pada analgesia spinal berupa hipotensi berat akibat blok simpatis sehingga terjadi venous pooling, bradikardia, hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas, trauma pembuluh darah F. PENGAWASAN SELAMA DAN SETELAH PEMBEDAHAN Kemajuan dalam bidang mikro-elektronik dan bio-enjinering memungkinkan pengawasan lebih efektif dan dapat mengetahui peringatan awal dari masalah potensial, sehingga dapat dengan cepat mengerjakan hal-hal yang perlu untuk mengembalikan fungsi organ vital sefisiologis mungkin. Pengawasan selama operasi merupakan hal yang bertujuan untuk meniadakan atau mengurangi efek samping dari obat atau tindakan anestesi. Selain itu, dengan melakukan pengawasan yang legeartis juga memiliki tujuan untuk memperoleh informasi mengenai fungsi organ selama anestesi berlangsung. Pengawasan yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan terhadap penderita, akan tetapi tidak menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Perlengkapan dalam pengawasan minimal yaitu meliputi stetoskop, manset tekanan darah, EKG, oksimeter, dan termometer. Sedangkan hal-hal minimal yang harus diawasi antara lain meliputi: 1.
Tekanan Darah
2.
Nadi
3.
Jantung
4.
Keadaan cairan
5.
Suhu tubuh
Pada pengawasan pasca operasi sebenarnya memiliki prinsip-prinsip: •
Mencegah kekurangan oksigen
•
Memberikan antidotum, apabila ada kemungkinan masih adanya pengaruh obat-
obat relaksasi otot •
Pipa endotrakea masih terpasang apabila dinilai pernapasan masih belum cukup
baik •
Posisi penderita harus diperhatikan misalnya penderita dimiringkan untuk
mencegah terjadinya sumbatan oleh lidah atau muntahan •
Perdarahan selama operasi haru segera diganti terutama apabila perdarahan
melebihi 10% •
Usahakan menjaga temperatur penderita
BAB III PEMBAHASAN Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA I karena penderita berusia 21 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi regional dengan blok spinal. Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine sebanyak 1 ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat konduksi saraf yang menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak memiliki efek samping maupun efek toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang akan dilakukan. Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti inflamasi non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek analgesic adalah 4-6 jam. Pada pengelolaan cairan selama 1 jam operasi, pasien diberikan cairan sebanyak 1500 cc yang terdiri dari 3 RL. Menurut perhitungan teoritis, pemberian cairan dilakukan berdasarkan perhitungan pengeluaran cairan dan maintanance cairan. Berikut perincian pada 1 jam pertama :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam
= 52 x 2 cc
= 104 cc
2. Pengganti Puasa
= 8 x 104
= 832 cc
3. Stress operasi 6 cc/kgBB/jam
= 52 x 6 cc
= 312 cc
Jadi kebutuhan cairan jam I : = ½x832 +104+312= 832 cc à2 flab RL Operasi berlangsung selama 1 jam, sehingga kebutuhan cairan pasien adalah sebanyak 832 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah perdarahan pada kasus ini yaitu sebanyak 100 cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 20 % Estimated Blood Volume (EBV) harus dilakukan tindakan pemberian transfusi darah. Pada pasien ini, perkiraan perdarahan adalah 100 cc, dimana EBV-nya adalah 3640 cc. EBV laki-laki dewasa = 70 cc/kgBB = 52 x 70 cc
= 3640 cc
Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah
2,75 %
% EBV = 100/3640 x 100 % = 6,6 % Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak diperlukan tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab) sudah cukup untuk menangani banyaknya perdarahan. Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut : 1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam
= 52 x 2 cc
= 104 cc/jam
2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~ 20 tetes adalah 104/60 x 20 tetes = 34,67 tetes/menit Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang berarti, penderita kemudian dibawa ke bangsal Kenanga untuk dirawat dengan lebih baik. Yang harus diperhatikan adalah : a. Pasien tidur terlentang dengan bantal tinggi selama minimal 12 jam pasca operasi b. Jika pasien sadar penuh dan peristaltic (+) boleh minum / makan sedikit-sedikit setelah operasi c. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 1 jam d. O2 2 liter/menit dengan menggunakan canul O2 e. Cairan infuse RL 30 tetes/menit
f. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena g. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena h. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena i. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena j. Monitor balance cairan
BAB IV KESIMPULAN 1.
Penderita usia tahun 21 tahun dengan Herni Inguinalis Lateralis Dextra dan
kondisi pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia oleh karena itu digolongkan seagai ASA I. 2.
Premedikasi yang digunakan adalah ondansentron 1 ampul untuk mencegah mual
dan muntah 3.
Induksi anestesi menggunakan buvanest dengan dosis 1 ampul diberikan secara
bolus intravena 4.
Selama perjalanan anestesi, pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai
anti nyeri 5.
Pemberian cairan saat operasi berjumlah 832 cc dan cairan di bangsal diberikan
34 tetes/menit 6.
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan
baik dan diberikan instruksi paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek anestesi yang masih tersisa.