BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
LAPORAN KASUS OKTOBER 2018
KEJADIAN MUAL DAN MUNTAH PADA PASIEN POST ANESTESI SPINAL OPERASI SECTIO CAESAREA (SC)
Oleh : Andi Muh. Gunawan, S.Ked 10542 0362 12
Pembimbing : dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An
(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Anestesiologi)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2018
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa: Nama
: Andi Muh. Gunawan
NIM
: 10542 0362 12
Judul Lapsus
: Kejadian Mual dan Muntah Pada Pasien Post Anestesi Spinal Operasi Sectio Caesarea (SC)
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, Oktober 2018 Pembimbing,
(dr. Zulfikar Tahir, M.Kes. Sp.An)
BAB I PENDAHULUAN
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.1
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade
dengan
konsentrasi
anestesi
lokal
yang
tidak
memadai
untuk
mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.1
Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab mual muntah pada anestesi spinal antara lain adalah :2
3
1.
Penurunan tekanan darah/hipotensi, merupakan penyebab terbesar yang bila segera diatasi akan segera berhenti.
2.
Hipoksia, merupakan penyebab terbesar kedua setelah hipotensi yang dapat diatasi secara efektif dengan deng an terapi oksigen
3.
Kecemasan atau faktor psikologis yang dapat diatasi dengan penjelasan prosedur yang baik atau pemberian sedatif.
4.
Pemberian narkotik sebagai premedikasi.
5.
Peningkatan aktivitas parasimpatis, dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol simpatetik gastrointestinal.
6.
Refleks traksi dan manipulasi usus oleh operator. 2
4
BAB II LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
:E
Jeniskelamin
: Perempuan
TanggalLahir/Usia
: 10-06-1992/26tahun
Agama
: Islam
Suku
: Makassar
Pekerjaan
: IRT
Tanggal MRS
: 13 Oktober 2018
No. RM
: 51.08.62
Jenis operasi/alasan op
: Sectio Caesarea/G1P0A0, Gestasi 41 minggu 1 hari, hari, impartu kala II lama.
Jenis anestesi
: Anestesi Spinal (SAB)
B. ANAMNESIS KeluhanUtama
: Nyeri perut tembus kebelakang.
Anamnesis Terpimpin : Pasien perempuan usia 26 tahun masuk RSUD Syekh
Yusuf Gowa dengan pengantar dari Poli KIA dengan G1P0A0 Gravid Aterm dan impartu kala 1 fase laten, dengan keluhan nyeri perut tembus kebelakang disertai pelepasan lendir dan darah. Riwayat TT (-) Riwayat asma (-), alergi (-), penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-). (-).
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata : Sakit sedang / Gizi baik / Composmentis GCS 15 (E4M6V5) 2. Tanda Vital :
5
Tekanandarah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 80x/menit, reguler
Suhu
: 36,70C
Pernapasan
: 20x/menit, spontan
3. VAS
:2
4. Kepala
: mata ; konjungtiva anemis (+), pupil isokor
5. Dada
: simetris, retraksi (-)
6. Paru
: Vesikuler , Rh -/-, wh -/-
7. Jantung
: BJI/BJII kesan normal, murni, reguler, ictus cordis
tidak tampak, tidak ada bising jantung. 8. Abdomen
: Ikut gerak napas, peristaltik (+) kesan normal
9. Ektremitas
: Tidak ada kelainan
10. Terpasang kateter
: Terpasang
11. Berat Badan
: 49 kg
12. Pemeriksaan Luar
: TFU 33 cm, LP LP 85 cm, situs memanjang, Puka,
Kepala, TBJ 2805 gram, DJJ 133x/I, HIS : 1x10. 13. Pemeriksaan Dalam Vagina : V/V Tak/Tak. portio tebal Ø1cm, ket (sdn). Palpasi ada lendir dan darah
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada tanggal 13/10/2018
1. WBC : +13,0 x 103/µL 2. RBC : -3.44 x 106/µL 3. HGB : -10,3 g/dL 4. HCT : -31,2% 5. PLT : 321 x 103/µL 6. GDS : 72 mg/dL mg/dL 7. SGOT/SGPT : -/- U/L
6
8. Ureum/Kreatinin : -/- mg/dL 9.
CT : 7’5”
10. BT : 2’50” 11. HbsAg : Non Reaktif
E. KESAN ANESTESI
Pasien perempuan berusia 26 tahun dengan diagnosis G1P0A0, Gestasi 41 minggu 1 hari, impartu kala II lama, klasifikasi k lasifikasi ASA I, PS II.
F. PENATALAKSANAAN PRE OPERATIF
1. Informed consent mengenai tindakan operasi. 2. Informed consent mengenai pembiusan dengan anestesi lokal. 3. Informed consent mengenai persiapan pasien dalam hal ini yaitu puasa.
G. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan: 1. Diagnosa Peri Operative
: G1P0A0, Gestasi 41 minggu 1 hari, impartu
kala II lama. 2. Status Operative
: ASA I PS II
3. Jenis Operasi
: Sectio Caesarea
4. Jenis Anastesi
: Anestesi spinal (SAB)
7
BAB III LAPORAN ANESTESI
A. PRE OPERATIF
1. Informed consent (+) 2. Pasien puasa selama ± 8 jam sebelum operasi dimulai 3. Tidak ada gigi goyang dan tidak memakai gigi palsu 4. Kandung kemih terpasang kateter 5. Sudah terpasang cairan infus RL/NaCl/Asering 6. Keadaan umum: compos mentis 7. Tanda vital: - Tekanan darah
: 120/80 mmHg
- Nadi
: 80x/menit
- Frekuensi napas
: 16x/menit
- Suhu
: 36,6oC
B. TINDAKAN ANESTESI
Anestesi spinal (SAB)
C. PENATALAKSANAAN ANESTESI
Memastikan alat-alat dan medikasi yang dibutuhkan selama proses anestesi sudah lengkap seperti: 1. Oxytocin 2amp dalam IVFD NaCl 0,9% 2. Kassa steril 3. Alkohol 4. Povidon Iodine (Betadine)
8
5. Plester 6. Bupivacain HCL 7. Spuit 5 cc 8. Jarum spinal 9. Sarung tangan steril 10. Lampu 11. Monitor tanda vital 12. Alat-alat resusitasi 13. Medikasi tambahan yang dibutuhkan seperti ephedrin, pethidin, fentanil, ketamin, atropin, midazolam, ondansentron, ranitidine, dexamethason, asam traneksamat, ketorolac.
D. TEKNIK ANESTESI
1. Pasien posisi supine, terpasang IV line pada tangan kiri, terpasang monitor standar. 2. Premedikasi : 3. Prosedur SAB: Pasien diminta membungkuk. Menetukan tempat yang akan dilakukan penusukan. Tempat tusukan disterilkan dengan den gan betadine dengan arah memutar dari tengah ke pinggir. Setelah itu menyuntikkan spinocan no.25, pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Kemudian mandrin jarum spinal dicabut dan setelah cairan liquor serebrospinalis sudah menetes keluar, bupivakain HCL dimasukkan menggunakan semprit. Pasien siap dioperasi bila telah merasa kakinya berat dan tidak bisa digerakkan. 4. Maintenance : O2 2 liter/menit dan Oxycoticin 2amp dalan NaCl 0,9%
9
E. INTRAOPERATIF
Setelah di anestesi spinal, diamati tanda – tanda vital pasien, selang 15-30 menit, tiba-tiba tekanan darah pasien turun menjadi 104/73, lama kelamaan tekanan darah pasien turun kembali sampai 75/ 46 mmHg, dan nadi 69x/menit. Pasien mual dan merasa ingin muntah. Kemudian diberikan efedrin 3cc, 5 menit kemudian tekanan darah diukur dan nadi dilihat di monitor dan hasilnya naik menjadi 93/58 dan nadi 87. Lalu 10 menit selanjutnya di tekanan darah dan nadi di ukur dan dilihat kembali di monitor menjadi 120/72 mmHg dan nadi 102x/m. selang sekitar 10 menit pasien menggigil, kemudian diberikan Phetidine 3cc. Lama kelamaan pasien mulai tidak menggigil. Selang 20-30 menit post SC pasien kembali mual dan muntah, kemudian diberikan ondacentron 2cc.
10
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi Spinal
Berbagai teknik anestesi telah dikembangkan untuk memfasilitasi tindakan operasi. Akhir-akhir ini pemakaian anestesi regional menjadi semakin berkembang dan meluas. Anestesi spinal termasuk teknik yang mudah dilakukan untuk mendapatkan kedalaman dan kecepatan blokade saraf dengan cara memasukkan dosis kecil larutan anestesi lokal ke dalam ruangan subaraknoid. Keuntungan teknik ini antara lain adalah biaya yang relatif lebih murah, efek sistemik relatif kecil, analgesia adekuat, dan kemampuan mencegah respons stres lebih sempurna. Teknik anestesi regional dan lokal yang ideal sangat penting untuk mendapatkan hasil memuaskan dan aman.3 Anestesi spinal adalah suatu cara memasukan obat anestesi lokal ke ruang intratekal untuk menghasilkan atau menimbulkan hilangnya sensasi dan blok fungsi motorik. Anestesi ini dilakukan pada sub- arachnoid di antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. 4 Anestesi yang diberikan untuk seksio sesarea dapat berupa anestesi umum maupun regional, namun saat ini anestesi spinal sering dijadikan pilihan utama untuk seksio sesarea dengan kelebihan dan kekurangannya. Anestesi spinal adalah analgesia regional dengan menghambat sel-sel saraf di dalam ruang subaraknoid oleh anestetik lokal yang dilakukan dengan cara memasukkan dosis kecil obat anestesi lokal ke dalam ruangan subaraknoid. Anestesi spinal menjadi pilihan utama karena dinilai aman, memberikan analgesi kuat, relaksasi otot yang cukup, mudah dilakukan, onset cepat, durasi kerja pendek, biaya murah, serta efek samping dan komplikasi lebih sedikit jika dibanding dengan anestesi umum. 5
11
B. Anatomi Kolumna Vertebralis
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis adalah salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang penyebaran analgetika lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan/keselamatan tindakan anestesi spinal. Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi, karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini.1
Gambar 1 Anatomi Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5.1
12
Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid. Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.1
C. Anestesi Lokal
Bahan anestesi lokal pertama yang ditemukan adalah kokain. Kokain yang ditemukan secara tidak sengaja pada akhir abad ke-19 ternyata memiliki kemampuan sebagai anestesi yang baik. Kokain diperoleh dari ekstrak daun coca ( Erythroxylon Erythroxylon coca). coca). Selama berabad-abad bangsa bangsa Andean mengunyah ekstrak daun ini untuk
13
mendapatkan efek stimulasi dan euforia. Kokain pertama kali diisolasi pada tahun 1860 oleh Albert Niemann. Bahan anestesi lokal adalah substansi atau bahan yang dapat menimbulkan matirasa setempat atau terbatas dengan cara memblokir konduksi impuls. Anestesi lokal bekerja dengan menghalangi masuknya ion natrium ke dalam saluran saraf, sehingga mencegah peningkatan sementara permeabilitas membran saraf untuk natrium yang diperlukan untuk potensial aksi terjadi . Bahan
anestesi
lokal
mencegah
pembentukan
dan
konduksi
impuls
saraf.Tempat kerjanya terutama di selaput lendir.Disamping itu, bahan anestesi lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi atau transmisi dari beberapa impuls.Artinya, bahan anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan semua jaringan otot.6
D. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat dari +
permeabelitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh bahan anestetik lokal; hal ini terjadi akibat adanya +
interaksi langsung antara bahan anestetik lokal dengan kanal Na yang peka terhadap adanya perubahan voltase muatan listrik. Dengan semakin bertambahnya efek bahan anestesi lokal didalam saraf, maka ambang rangsang membrane akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan potensial aksi dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.6
14
E. Golongan Bahan Anestesi lokal
Bahan anestesi lokal merupakan gabungan dari garam laut dalam air dan alkaloid larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor yang terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik. Bahan anestesi lokal dibagi menjadi dua golongan:6 1) Golongan aster
Bahan-bahan dimetabolisme melalui proses hidrolisis. Yang termasuk kedalam golongan ester, yakni : Kokain, Benzokain, ametocaine, prokain, piperoain, tetrakain, kloroprokain. 2) Golongan amida
Bahan-bahan ini termetabolisme melalui oksidasi di dalam hati. Yang termasuk kedalam golongan amida, yakni : lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain. Kecuali kokain, maka semua bahan anestesi lokal bersifat vasodilator (melebarkan pembuluh darah).Sifat ini membuat bahan anestesi lokal cepat diserap, sehingga toksisitasnya meningkat dan lama kerjanya jadi singkat karena bahan ini cepat masuk ke dalam sirkulasi.Untuk memperpanjang kerja serta memperkecil toksisitas
sering
ditambahkan
vasokonstriktor.
Vasokonstriktor
merupakan
kontraindikasi pada kondisi sebagai berikut: 1. Anestesi pada telinga dan jari. 2. Infiltrasi, blok saraf pada persalinan spontan. 3. Penderita usia lanjut. 4. Penderita hipertensi. 5. Penderita dengan penyakit-penyakit kardiovaskuler. 6. Penderita diabetes mellitus. 7. Penderita tirotoksikosis.
15
F. Teknik Aestesia
10
Teknik anestesi spinal telah dilakukan mulai dari abad 18. Tujuan dari
anestesi
spinal
memasukkan
obat
lokal
anestesia
keruang
subarachnoid. Sebelum jarum masuk keruang subarachnoid jarum anestesi spinal harus melewati supraspinosum, epidural
,
baru
kutis, subkutis,
ligamentum
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang
sampai
keruang
subarachnoid.
Dalam
melakukan
dibutuhkan cara dan keahlian. Posisi pasien sebelum dilakukan spinal bisa left lateral decubitus,atau right lateral dekubitus, atau sitting position. Posisi pasien menekuk kedua kaki keperut dan mengekstensikan kepala kedepan. Hal ini dilakukan agar tulang belakang L3-L4 posisinya terekspos sehingga jarum spinal dapat masuk kerongga subarachnoid tanpa terkena oleh tulang belakang. Posisi ini juga memungkingkan ekstensi dari tulang belakang sehingga jarum spinocan dapat masuk ke ruang subarachnoid. Teknik disinfeksi janganlah dilupakan karena dapat menimbulkan infeksi post operasi bila tidak dilakuakn dengan benar. Dalam melakukan anestersi spinal ada 3 cara. Cara duduk, miring atau pun telungkup. Cara penyuntikan ada 2 amcam pendekatan. Cara midline dan paramedian. Midline adalah penyuntikan jarum spinal diantara 2 prosesus spinosum pada L3-4. Sedangkan cara paramedian dilakukan
16
bila ada kesulitan spinal seperti kiposisi,arthritis. Penyuntikan dilakukan 2 cm arah lateral inferior dari prosesus spinosum.
10
G. Bupivakain
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal golongan amida dengan masa kerja yang panjang. Struktur kimia mirip dengan mepivakain. Disintesa pertama kali pada tahun 1957 oleh Ekenstam dkk. Pemanjangan pada gugus methil dari cincin piperidin mepivakain dengan menambahkan rantai butyl 4 atom karbon menyebabkan pemanjangan durasi kerja dan peningkatan potensi, yang disertai dengan peningkatan toksisitas. Efek analgesia bupivakain lebih panjang dua sampai tiga kali lebih panjang dari lidokain dan mepivakain. Dengan segala kelebihannya tersebut, bupivakain telah digunakan secara luas sebagai obat anestesi lokal sampai suatu ketika dilaporkan berhubungan dengan kejadian henti jantung pada regional anestesia. Lebih buruk lagi, kebanyakan kejadian efek samping ini terjadi pada wanita dengan kehamilan aterm. Karena itu, bupivakain 0,75% tidak digunakan lagi pada kasus kasus obstetri (bedah sesar). Sediaan bupivakain 0,75% masih disediakan untuk penggunaan non-obstetri; merupakan obat anestesi lokal yang disukai pada blok oftalmik karena selain khasiat analgesia yang kuat juga memberikan relaksasi otot-otot periorbita. 7 Bupivakain larutan 0,25% dan 0,5% adalah yang paling sering digunakan pada anestesia regional. Kadar 0,5% digunakan bila diperlukan relaksasi otot selain dari dan analgesia (misal pada kasus blok pleksus brakialis untuk operasi repair fraktur bahu); larutan bupivakain 0,25% digunakan untuk analgesia rutin lainnya dan pada pasien lanjut usia. Namun konsentrasi bupivakain berapapun yang digunakan, total massa (mg) bupivakain yang digunakan yang menentukan batas dosis: perusahaan pembuatnya menganjurkan dosis 2-3 mg/kg BB. 7 Walaupun bupivakain diserap dengan baik dari tempat injeksinya, ikatan bupivakain yang kuat dengan jaringan menyebabkan tidak segera tercapainya kadar
17
puncak dalam d alam darah dan durasi du rasi kerja yang panjang. Durasi kerja pada ruang rua ng epidural kira-kira 2 sampai 3 jam.7
H. Beberapa Anestetik Lokal Yang Sering Digunakan. 8
1. Kokain Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas dengan lama kerja 20-30 menit. 2. Prokain Digunakan untuk infiltrasi dengan konsentrasi 0,25-0,5%, penggunaan untuk blok saraf degan konsentrasi 1-2%. Dosis 15 mg/kgBB dan lama kerja 30-60 menit. 3. Lidokain Konsentrasi efektif minimal 0,25%, penggunaan infiltrasi mula kerja 10 menit dan relaksasi otot cukup baik. Lama kerja sekkitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan. Larutan standar 1 atau 1,5% untuk blok perifer. 0,25%-0,5% ditambah adrenalin 200.000 untuk infiltrasi, 0,5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik, 1,0% untuk blok motorik dan sensorik, 2,0% untuk blok motorik pasien berotot, 4,0% atau 10% untuk topikal semprot faring-laring ( pump pump spray), spray), 5,0% unutk jeli yang dioleskan pada pipa trakea, 5,0% lidokain dicampur 5,0% prilokain untuk topikal kulit, 5,0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subarakhnoid). 8
18
Gambar 2. Anestesi Spinal
I. Dampak Fisiologis SAB 1 1. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler : Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan penghantaran ( supply) supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk menghindarkan t erjadinya erjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaC1 fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal yang mencapai T 4 dapat terjadi penurunan frekwensi nadi dan penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung. jantung. 19
2. Terhadap sistem pernafasan : Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnea.
3. Terhadap sistem pencernaan : Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat aktifitas saluran pencernaan (T 4-5), maka aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi menjadi lebih dominan, dominan, tetapi walapun walapun demikian demikian pada umumnya umumnya peristaltik usus dan relaksasi spingter spingter masih normal. normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus.
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan peningk atan sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi. 4. Sistem saraf pusat Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf
20
pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan, tidak sadar, koma. 5. Imunology Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen. 6. Sistem musculoskeletal Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. 7. Ginjal dan hepar Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal serta urin output masih dalam batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi 8. Endokrin dan metabolisme Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stres metabolik yang berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin serta renin angiotensin aldosteron.9
J. Blokade9 1. Blokade Somatik
Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral, sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot
21
rangka. Pengaruh anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran serabut saraf, apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama kontak. Akar saraf tulang belakang terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen lebih tinggi dari blokade motorik 2. Blokade otonom Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.
Serabut
saraf
praganglion
simpatis
(kecil,
serabut
termielinisasi tipe B) keluar dari spinal cord dari T1 sampai L2 L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke atas maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi dari anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis. 9 K. Mekanisme Mual dan Muntah
Sinyal sensoris yang mencetuskan muntah terutama berasal dari faring, esophagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian ditransmisikan oleh serabut saraf aferen vagal maupun oleh saraf simpatis ke berbagai nucleus yang tersebar di batang otak yang semuanya disebut "pusat muntah". Dari sini, impuls-impuls motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus
22
gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen.12
L. Penatalaksaan PONV
Penatalaksanaan farmakologikal PONV Morgan Jr. dan Wallenborn J. et al.13 1. Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek dan
keamanannya diantara golongan
golongan – golongan
Antagonist reseptor
Serotonin tersebut, seperti Ondansetron , Dolasetron, Granisetron, dan Tropisetron untuk profilaksis PONV. Obat ini efektif bila diberikan pada saat akhir pembedahan. Banyak penelitian dari golongan obat ini seperti Ondansetron dimana mempunyai efek anti muntah yang lebih besar dari pada anti mual. 2. Antagonist dopamin: reseptor dopamin ini mempunyai reseptor di
CTZ, bila reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah, antagonist Dopamin
tersebut
seperti:Benzamida
(Metoklopramide
dan
Domperidon),Phenotiazine (Clorpromazine dan Proclorpromazine), dan Butirophenon (Haloperidol dan Droperidol). 3. Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1 dan
Reseptor muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai efek dalam penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktivasi sistem vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil untuk muntah yang dirangsang langsung di CTZ . 4. Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine hydrobromide atau
Scopolamin) mencegah rangsangan di pusat muntah dengan memblok kerja dari acetylcolin di pada reseptor muskarinik di sistem vestibular. 5. Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah
deksametason. Deksametason berguna sebagai profilaksis PONV dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin. Efek samping
23
pemakaian berulang deksametason adalah
peningkatan
infeksi,
supressi adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping timbul pada pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek samping yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi urine, mulut kering, drowsiness.
24
BAB IV KESIMPULAN
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal. Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40151/Chapter%20II.p df;jsessionid=CC4CDB9B7ECA0A9D686C98505A624D86?sequence=4 (Di akses 19 oktober 2018.) 2. Putra ADM. Perbandingan Kejadian Mual Muntah Pada Anestesi Spinal Antara Infus Kontinyu Efedrin Dan Preload Haes Steril 6 %. Semarang : Fakultas kedokteran Universitas Dipanegoro. 2010 3. Longdong, JF. Dkk, Perbandingan Efektivitas Anestesi Spinal Menggunakan Bupivakain Isobarik Dengan Bupivakain Hiperbarik Pada Pasien Yang Menjalani
Operasi
Abdomen
Bagian
Bawah.
Bandung: Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. 2013.
4. http://repository.unimus.ac.id/1423/3/Bab%202.pdf http://repository.unimus.ac.id/1423/3/Bab%202.pdf (( diakses 18 Otober 2018 ) 5. Oktaria A, Oktaliansah E, Perbandingan Kombinasi Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Fentanil dengan Bupivakain 0,5% Isobarik dan Fentanil terhadap Kejadian Hipotensi dan Tinggi Blokade Sensorik pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal. Bandung: Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. 2016.
6. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56449/Chapter%20II.p df?sequence=4&isAllowed=y ( diakses 20 oktober 2018) 7. Naiborhu, FTM., Perbandingan Penambahan Midazolam 1 Mg Dan Midazolam 2 Mg Pada Bupivakain 15 Mg Hiperbarik Terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesi Spinal. Medan:Fakultas Kedokteran Sumatera Utara:Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, 2009. 8. Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal dan anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
26
9. Snell RS. Clinical Anatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010. 10. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/46148/Chapter%20II.p df?sequence=4&isAllowed=y ( diakses pada 19 oktober 2018) 11. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/32712/Chapter%20II.p df?sequence=4 (diakses 19 Oktober 2018) 12. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Yanuar L, Hartanto H, Novriati A, Wulandari N, editor. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. P865-6. 13. Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D., 2006. Prevention 2006. Prevention of postoperative nausea and vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone: randomized double blind multicenter trial . BMJ.;1 – 6. 6.
27