PEMBAHASAN Praktikum Teknologi dan Formulasi Sediaan Steril kali ini yaitu pembuatan sediaan injeksi kering. Injeksi kering ini dibuat dengan beberapa pertimbangan. Injeksi jika dibuat dalam keadaan larutan, kestabilan atau khasiat obat injeksi dikhawatirkan akan berkurang apabila digunakan. Oleh karena itu, sediaan injeksi kering dibuat yang mana akan dilarutkan terlebih dahulu apabila akan digunakan. Sediaan injeksi yang dibuat adalah sediaan injeksi kering Streptomisin sulfat. Penggunaan sediaan injeksi streptomisin sulfat ditujukan untuk pasien yang menderita penyakit tuberculosis, dimana penggunaan obat peroral sudah tidak efektif lagi, sehingga harus ditolong dengan pemberian injeksi. Dalam pasarannya injeksi streptomisin yang beredar mengandung aminophyllin 5 ml yang disimpan dalam botol vial yang berukuran 5 ml juga. Pemerian dari streptomisin sulfat itu sendiri yaitu serbuk putih atau hampir putih, tidak berbau atau berbau lemah, higroskopis, dan rasa agak pahit (Depkes RI, 1979). Sebelum memulai praktikum, terlebih dahulu dilakukan perhitungan tonisitas. Perhitungan ini dilakukan agar mengetahui apakah sediaan yang dibuat isotonis, hipertonis, atau hipotonis. Berdasarkan perhitungan dengan rumus W =
diperoleh hasil sebesar sebesar 0,243%. Hasil Hasil ini menunjukkan nilai nilai yang positif
sehingga sediaan yang dibuat bersifat hipotonis. Maksud dari hipotonis adalah tekanan osmosisnya lebih rendah dari serum darah, sehingga menyebabkan menyebabkan air akan melintasi membran sel darah merah yang semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel, tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah, peristiwa tersebut disebut hemolisa. Keadaan Keadaan hipotonis sangat sangat dihindari dihindari karena bisa menyebabkan menyebabkan selnya mengkerut dan cairan dalam tubuh akan keluar dan mengakibatkan sel pecah menjadikan efek yang sangat dihindari. Cairan tubuh merupakan faktor penting dalam berbagai proses fisiologis didalam tubuh. Untuk menjaga agar cairan tubuh
relatif konstan dan komposisinya stabil merupakan hal penting. Dalam sistem pengaturan yang mempertahankan kekonstanan cairan tubuh diperlukan adanya pengaturan volume cairan tubuh, cairan ekstraseluler, pengaturan keseimbangan asam basa dan kontrol pertukaran antara kompartemen cairan ekstraseluler dan intraseluler. Di dalam darah biasa terjadi hemolisa dan krenasi yang mana hemolisa terjadi disebabkan karena cairan yang bersifat hipotonis sedangkan krenasi terjadi karena cairan yang bersifat hipertonis. Oleh karena itu sebisa mungkin harus dibuat isotonis agar tidak terasa sakit bila disuntikkan. Arti isotonis adalah mempunyai tekanan osmosis yang sama dengan darah dan cairan tubuh yang lain. Akibatnya, sel darah merah tidak menggembung atau mengkerut. Untuk itu pada pembuatan sediaan injeksi kering streptomisin sulfat ini digunakan zat tambahan untuk membuat sediaan menjadi isotonis, zat tambahannya itu adalah NaCl. Penambahan NaCl ini bertujuan untuk membuat larutan sediaan injeksi menjadi isotonis serta sesuai dengan cairan tubuh dan tubuh dapat menerima dengan baik sehingga obat memiliki khasiat yang baik pula terutama saat digunakan. Selain itu NaCl pun merupakan elektrolit yang banyak terdapat dalam cairan tubuh manusia. Pembuatan sediaan injeksi kering ini dimulai dengan menimbang sejumlah serbuk streptomisin sulfat. Volume sediaan yang akan diproduksi adalah 10 mL dan streptomisin sulfat yang digunakan sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan, sehingga jumlah streptomisin yang ditimbang sebanyak 1 g. Sedangkan NaCl yang ditimbang sebanyak 0,03 g berdasarkan perhitungan : volume produksi (10mL) x nilai tonisitas (0,243%), hasilnya 0,0243 gram tetapi dibulatkan menjadi 0,03 gram. Pada praktikum ini dibuat dua sediaan injeksi kering, sediaan yang pertama untuk dikemas dan dikumpulkan dan sediaan yang satu lagi untuk diuji sterilitasnya. Streptomisin sulfat sebanyak 1 gram dan NaCl 0,03 gram ditimbang dan dimasukka di masukkan n ke dalam masing-masing botol vial. Sehingga satu botol vial berisi 1,03 gram. Penimbangan ini dilakukan secara aseptis. Aseptis adalah suatu bentuk pengerjaan
yang dilakukan didekat api dengan maksud untuk mengurangi adanya kontaminan dari luar yang dapat mempengaruhi sediaan steril. Setelah itu, botol vial pertama ditutup dan dikemas dan untuk sediaan kedua dilakukan uji sterilitas. Uji sterilitas merupakan cara pengujian untuk mengetahui mengetahui suatu sediaan atau bahan farmasi atau alat-alat kesehatan yang dipersyaratkan harus dalam keadaan steril. Dengan demikian sediaan dan peralatan tersebut harus bebas dari mikroorganisme. Dalam pengujian sterilitas ini, yang pertama dilakukan adalah pembuatan dan penanganan media untuk pemantauan lingkungan. Digunakan dua jenis media yaitu FTM ( Fluid Thioglycolate Medium) dan TSB (Tryptone Soya Broth). Media FTM digunakan untuk menguji sterilitas sediaan dari mikroorganisme khususnya bakteri. Sementara itu, media TSB digunakan untuk menguji keberadaan jamur atau fungi di di dalam sediaan yang yang telah dibuat. Pembuatan media dilakukan dengan cara menimbang 2,9 gram FTM dan 3 gram TSB dalam keadaan yang aseptis yaitu melakukan penimbangan di dekat nyala api pembakar spirtus dan menggunakan alat-alat yang telah dicuci bersih serta steril. Kemudian masing-masing dilarutkan dalam aquadest sebanyak 100mL di dalam labu Erlenmeyer yang berbeda dan pada Erlenmeyer diberi sumbat kapas yang dibungkus kain kassa agar mencegah kontaminan masuk ke dalam media. Lalu dipanaskan hingga mendidih dan seluruh serbuk larut sempurna. Ketika media FTM dilarutkan dengan aquadest warna larutannya abu-abu tetapi pada saat dipanaskan warna larutannya berubah jadi pink (kenapa? (kenapa?), ), sedangkan untuk media TSB warna larutannya tetap kuning. Sebelum media digunakan untuk uji sterilitas, media o
disterilisasi terlebih dahulu dalam autoklaf dengan suhu 121 C dan tekanan 15 psi selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121⁰C karena air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan 15 psi, dan semua bentuk kehidupan akan mati jika dididihkan pada suhu dan waktu tersebut. Prinsip kerja autoklaf adalah pendestruksian mikroorganisme oleh uap jenuh yang dihasilkan. Pensterilan media
dengan autoklaf dapat dilakukan karena salah satu komponen dari media adalah air serta media memiliki ketahanan terhadap panas yang baik.
Setelah semua tahapan di atas selesai, barulah mulai mempersiapkan untuk pengujian sterilitas. Prosedur pengujian sterilitas ini harus dilakukan di ruang keias A dalam LAF untuk meminimalisir kemungkinan masuknya kontaminan kedalam media uji sehinga hasil pengujian yang beroleh dapat divalidasi keakuratan dan kebenaran. Selanjutnya, vial yang telah berisi Streptomisin sulfat dan garam NaCl dilarutkan dengan menggunakan aquabidest sebanyak 10mL. Penggunaan aquabidest bertujuan untuk memastikan sterilitas sediaan yang dibuat menggantikan aqua pro injeksi steril yang seharusnya digunakan. Streptomisin sulfat bersifat mudah larut air dikarenakan bentuknya yang berupa garam sehingga kelarutannya meningkat dalam air. Aquabidest dimasukkan ke dalam vial dengan menggunakan syringe, agar tutup vial tidak harus dibuka sehingga kontaminan pun diharapkan tidak ada yang masuk. Kemudian lakukan pengocokan hingga larut sempurna. Selanjutnya dilakukan pengujian sediaan terhadap Streptomisin sulfat yang telah dilarutkan. Prosedur pengujiannya yang pertama adalah menyiapkan 2 tabung reaksi, 1 tabung diisi dengan media FTM hingga setengah tabung reaksi lalu 1 tabung lagi diisi dengan media TSB hingga setengah tabung reaksi. Media FTM dan TSB ini merupakan media yang tadi telah disterilkan dengan autoklaf. Ke dalam masingmasing tabung yang berisi media, diinjeksikan 1 mL sediaan yang akan diuji dengan menggunakan syringe. Selain itu disiapkan pula tabung reaksi yang beriisi media dan 1 mL aquabidest sebagai kontrol positif dan tabung reaksi yang hanya berisi media sebagai kontrol negatif. Tutup semua tabung secara rapat dengan sumbat tabung, segera setelah penambahan sediaan. Kemudian
semua
tabung
diinkubasi
dalam
inkubator.
lakukan
penginkubasian. Untuk tabung yang berisi media FTM, inkubasi dilakukan pada suhu 32⁰C selama kurang lebih 24 jam. jam. Sementara itu, untuk tabung yang berisi media TSB dilakukan penginkubasian tabung pada suhu ruang dengan temperatur 24⁰C.
Tujuan dari dilakukannya inkubasi ini adalah untuk mengembangbiakan bakteri dan atau jamur yang terdapat didalam sediaan sehingga dapat terlihat secara jelas keberadaannya. Oleh karena itu, diperlukan media yang baik dan sesuai untuk memenuhi
nutrisi
atau
kebutuhan
bakteri
dan
atau
jamur
selama
perkembangbiakanya. Penyesuaian terhadap kondisi lingkungan sekitar bakteri dan atau jamur pun tentu sangatlah diperlukan. Oleh karena itu, untuk media TSB yang digunakan dalam uji sterilitas sediaan terhadap jamur dilakukan perlakuan penyesuaian untuk menunjang pertumbuhan jamur yaitu penyimpanan pada suhu ruang agar jamur dapat tumbuh dengan baik. Dan untuk media FTM diinkubasi o
o
dalam inkubator yang memilki suhu berkisar 30 C-35 C karena pada suhu ini bakteri dapat berkembangbiak dan tumbuh secara sempurna. Selain itu, mengingat masa hidup bakteri (dari karakteristik fase hidupnya), bakteri mampu bertahan hanya sekitar 24 jam dalam satu fase hidupnya terutama saat kondisi lingkungan tidak mendukung dan bakteri mengalami kekurangan nutrisi. Oleh karena itu, inkubasi media agar FTM selama 24 jam karena dalam kurun waktu ini diharapkan bakteri masih berada di fase log-mid dimana fase ini menunjukkan fase dengan jumlah bakteri terbanyak karena pertumbuhan sedang terjadi secara baik dan nutrisi bagi bakteri masih terpenuhi. HASIL BELUM