BAB I
PENDAHULUAN
Rwanda merupakan sebuah negara landlocked dan berpenduduk padat yang terletak di kawasan Afrika Tengah, letaknya bersebelahan dengan negara Uganda di sebelah utara, Tanzania di sebelah timur, Republik Demokratik Kongo di sebelah barat dan Burundi di sebelah selatan. Dalam struktur masyarakat Rwanda, terdapat tiga Etnis dominan yang berada di wilayahnya yaitu Etnis Hutu sebesar 84%, Tutsi sebesar 15%, dan Twa sebesar 1% (Encyclopedia Britannica, n.d). Di masa kolonial Belgia sampai setelah mendapat kemerdekaan dari Kolonial Belgia, dua etnis besar Rwanda, yaitu Hutu dan Tutsi, saling berselisih satu sama lain dan berujung pada konflik, bahkan sampai menimbulkan berbagai kejahatan kemanusiaan. Pada puncaknya, tahun 1994, Rwanda mengalami salah satu periode kekerasan massal atau disebut genosida yang paling mengerikan dalam sejarah. Lebih dari 800.000 orang di bunuh dalam 100 hari dengan target utamanya adalah minoritas Tutsi dan Hutu moderat di seluruh wilayah mereka. Peristiwa genosida Rwanda tidak hanya meninggalkan ratusan ribu korban jiwa, tetapi juga meninggalkan kerusakan psikis, penderitaan fisik, dan beragam bentuk kerentanan lainnya, tanpa terkecuali bagi perempuan. Perempuan-perempuan yang selamat dari genosida kehilangan suami, anak, kerabat dan komunitas yang mereka miliki. Mereka mengalami pemerkosaan, penyiksaan sistematis, terpaksa menyaksikan kekejaman yang luar biasa dan kehilangan properti serta mata pencaharian mereka (Powley, 2004). Melihat dampak dari peristiwa genosida yang dialami oleh perempuan, ternyata tidak membuat mereka merasa inferior dalam masyarakat, bahkan data menunjukkan sebaliknya. Pada tahun 2017, menurut The Global Gender Report pada tahun 2017, sebuah laporan yang dipublikasikan tiap tahun oleh World Economic Forum, menunjukkan bahwa negara Rwanda berada di peringkat 3 dari 144 negara terkait political empowerement. Political Empowerement dapat dilihat berdasarkan tiga hal; rasio perempuan dengan kursi di parlemen di atas laki-laki, rasio perempuan pada level kementerian di atas laki-laki, dan rasio perempuan sebagai kepala negara dalam jangka waktu beberapa tahun atau 50 tahun terakhir (World Economic Forum, 2017).
Transformasi menyeluruh status dan peran perempuan dari peristiwa genosida ke pasca genosida menjadi fokus dalam tulisan ini. Maka dari itu, rumusan masalah yang akan dibahas dan dijelaskan dalam tulisan ini adalah terkait bagaimana proses perempuan-perempuan Rwanda mencapai political empowerement pasca peristiwa genosida yang menimpa negara mereka dan faktor apa saja yang ikut ambil bagian dalam mendorong dan menyukseskan proses transformasi perempuan Rwanda untuk mencapai political empowerement. Tujuan penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan pembaca terkait negara Rwanda sekaligus peristiwa besar yang terjadi di negara Rwanda. Selain itu, diharapkan pembaca dapat memahami bahwa perempuan mempunyai kemampuan untuk berpolitik dan merekonstruksi negara, walaupun sempat mengalami penderitaan, pelecehan, dan penyiksaan selama peristiwa genosida terjadi maupun pasca genosida. Setelah mereka dapat memahami kedua poin di atas, diharapkan pembaca, khususnya perempuan berani untuk terlibat dalam dunia politik guna memperjuangkan kepentingannya, sementara laki-laki tidak lagi merasa superior dibandingkan perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PRA-GENOSIDA SAMPAI PERISTIWA GENOSIDA RWANDA DAN KONDISI PEREMPUAN RWANDA
Definisi genosida dalam Pasal 2 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948 adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras, atau agama, dengan membunuh anggota, menyebabkan kerusakan fisik atau kerusakan mental serius bagi anggota kelompok maupun dengan sengaja menimbulkan kondisi hidup yang dapat menyebabkan kerusakan fisik atau sebagian tubuh fisik, memaksakan tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran dalam tubuh serta secara paksa memindahkan anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lain (United Nations, n.d). Pemicu terjadinya peristiwa genosida di Rwanda ketika pada tanggal 6 April 1994, pesawat Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana ditembak menggunakan roket oleh etnis Tutsi saat dalam perjalanan. Penembakkan tersebut mempunyai motif balas dendam terhadap apa yang dilakukan oleh Habyarimana, sebagai etnis Hutu dan dipicu juga oleh konflik antar etnis Hutu dan Tutsi dari masa kolonial.
2.1.1 Masa Kolonial
Dimulai dari masa kolonial Belgia, pemerintahan kolonial berkembang menggunakan sistem monarki dan kepala etnis Tutsi sebagai proksinya. Hubungan patron-klien antara tuan tanah Tutsi dan petani Hutu mengkonsolidasikan kekuasaan Tutsi atas sumber daya negara dan menciptakan kekayaan etnis Tutsi yang berkelanjutan. Selama periode ini, hubungan ekonomi dialihkan dari garis keturunan berbasis kekerabatan ke hubungan patron-klien vertikal. Dalam hubungan ini, sebagian besar petani Hutu bekerja dalam produksi agraria dan pertanian swadaya di atas petak-petak tanah yang dimiliki oleh "patron" Tutsi mereka. Melalui sistem yang dinamakan ubuhake, para petani ini menjadi pelanggan para patron Tutsi, yang memberi mereka hak atas tanah dan ternak dengan imbalan Hutu memberikan produk pertanian yang ditanam (Berry, 2018, pp. 34). Selama sistem ini berlangsung, petani laki-laki menjual tenaga mereka ke Tutsi "patron" atau kepada negara, sementara perempuan cenderung merawat tanah suami mereka dan merawat anak-anak atau pekerjaan rumah tangga lainnya. Namun, mereka memiliki sedikit kendali atas penghasilan yang mereka peroleh, tergantung pada hubungan pribadi mereka dengan suaminya. Sementara, laki-laki dapat memperoleh uang dan bebas memilih untuk menggunakannya seperti yang mereka harapkan, biasanya mereka habiskan di bar (ibid, pp 35). Pada masa ini juga kalangan elit Tutsi melakukan pernikahan poligami dan istri harus membesarkan anak-anak keluarga mereka di tanah suami. Berbeda dengan etnis Hutu, umumnya kurang secara ekonomi sehingga cenderung tidak melakukan poligami dan profesi perempuan Hutu kerja bercocok tanam dan sebagian besar perempuan Hutu diharapkan untuk melakukan pekerjaan fisik tanpa henti dari anak usia dini. Selama masa kolonial juga mayoritas perempuan etnis Hutu tidak bersekolah dan beberapa perempuan muda etnis Hutu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga yang lebih kaya (ibid, pp.33)
Pada tahun 1933, administrasi kolonial Belgia melakukan sensus penduduk Rwanda. Sementara kategori Hutu dan Tutsi secara tradisional berakar pada sistem kelas sosial negara, pada tahap ini administrator kolonial secara resmi mengkodifikasi kelompok etnis Hutu dan Tutsi sebagai ras yang berbeda. Setelah mengamati dan melakukan pengukuran fitur fisik individu Rwanda, ilmuwan sosial Belgia menyatakan bahwa Tutsi adalah ras "Hamitic" non-pribumi yang diturunkan dari orang-orang "Kaukasoid" dari Mesir. Dengan demikian, mereka dianggap kerabat dekat orang Eropa berkulit putih, dengan kemampuan intelektual yang jauh lebih unggul daripada etnis Hutu. Hutu dinyatakan pribumi, dianggap sebagai inferior karena ras "Bantu" berkulit hitam atau negroids (ibid). Kemudian, administrasi kolonial membuat kartu identitas yang menandai etnis individu berdasarkan hirarki rasial yang baru ini sehingga membentuk dominasi politik Tutsi dan penindasan Hutu, mengubah identitas sosial yang sebelumnya "lebih cair" menjadi kategori etnik tetap dan sangat kaku. Kebijakan ini menyebabkan protes dan kerusuhan pada pertengahan tahun 1950-an, etnis Hutu mulai berusaha untuk mematahkan monopoli Tutsi dalam pemerintahan dan mencoba untuk memindahkan kekuasaan politik ke pribumi. Pada tahun 1957, sembilan anggota gerakan Hutu ini menghasilkan Manifesto Bahutu yang isinya menuntut pendidikan setara untuk anak-anak Hutu, membuka kesempatan etnis Hutu ke jabatan politik, pengakuan kepemilikan lahan pribadi, dan beragam tuntutan lainnya untuk menentang berjalannya rezim Tutsi. Tak kunjung dipenuhi, pada tahun 1959, terjadi etnis Hutu membentuk perang sipil yang berhasil menggulingkan kekuasaan Raja Tutsi, lalu membuat pemerintahan selanjutnya jatuh di tangan etnis Hutu. Dalam peristiwa tersebut, 150.000 masyarakat semua etnis Rwanda terbunuh, termasuk beberapa etnis Tutsi dibunuh, dan sekitar 130.000 etnis Tutsi lainnya, termasuk monarchy members, pergi mengasingkan diri ke beberapa negara tetangga seperti Burundi, Tanzania, dan Uganda. Kemudian, pada tahun 1962, kolonial Belgia memberikan kemerdekaan kepada Rwanda (ibid, pp. 36)
2.1.2 Pasca Kolonial
Setelah mendapatkan kemerdekaan, pemilihan umum diadakan dan mengangkat Gregoire Kayibanda sebagai Presiden Rwanda dari etnis Hutu. Selama kepemimpinannya, dibentuk sebuah konstitusi baru dimana perempuan mulai mempunyai hak untuk memilih dan mencalonkan diri untuk memperoleh jabatan politik. Namun, pada awal-awal terbentuknya rezim Hutu ini, berbagai tindak kekerasan terjadi guna mendorong etnis Tutsi keluar dari tanah mereka sehingga harta-harta peninggalan rezim mereka dapat diambil. Kepemimpinan Kayibanda tidak berlangsung lama karena partainya mulai menghadapi konflik internal dan pada tahun 1973, sebuah kudeta membuat Juvenal Habyarimana dari partai yang berbeda, yaitu partai Mouvement Révolutionnaire pour le Développement (MRND), tetapi tetap melanjutkan tradisi rezim etnis Hutu (ibid, pp. 37). Selama masa jabatannya, kekerasan pada etnis Tutsi berkurang, namun diskriminasi tetap ada, seperti membatasi jumlah Tutsi yang pergi ke sekolah atau dipekerjakan oleh pemerintah, serta memberlakukan kontrol ketat terhadap masyarakat sipil, tetapi kepemimpinannya mampu mendorong komunitas internasional untuk memberikan bantuan asing dan mendapat dukungan kuat dari Perancis dan Belgia dari sektor militer dan pembangunan. Habyarimana juga dapat melakukan perbaikan pada infrastruktur, pendidikan, sistem kesehatan, dan menerapkan program reboisasi untuk meningkatkan produksi pertanian. Perempuan pada masa Habyarimana atau pasca kolonial masih dianggap sebagai "produser", artinya masih ada stigma bahwa martabat perempuan adalah memberi hormat dan mengikuti suaminya, perempuan juga dijadikan objek representasi kebijakan pemerintah untuk pronatalitas, meskipun sepanjang era pasca kolonial, perempuan Rwanda memiliki rata-rata delapan anak. Di satu sisi, perempuan Rwanda pasca kolonial terbuka dengan dunia luar, dimana mulai menghadiri konferensi internasional, seperti UN's Third World Conference on Women di Nairobi, di sana mereka mempelajari strategi untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan. Pada kepemimpinannya juga, persentase kursi perempuan dalam parlemen meningkat dari 12,9 persen pada 1983 menjadi 15,7 persen pada 1988. Namun demikian, parlemen sebagian besar bersifat seremonial, karena yang berada di pemerintahan sebagian besar adalah istri anggota partainya atau anggota keluarga penasihat terdekat Habyarimana (ibid, pp. 38).
Perempuan Rwanda telah memperoleh hak politik, tetapi masih terbatas dalam menentukan keputusan yang sifatnya publik, seperti masih membutuhkan persetujuan suami mereka untuk membuka rekening bank, terlibat dalam kegiatan pengambilan keuntungan apa pun, mendaftarkan bisnis, membeli tanah, atau melakukan tindakan hukum di pengadilan. Laki-laki mengontrol properti dan pendapatan perempuan, serta dapat menarik uang dari akun istri mereka tanpa izin. Perempuan yang belum menikah secara resmi memiliki status hukum penuh, tetapi dalam praktiknya dianggap sebagai perwalian dari ayah atau saudara laki-laki mereka. Selain itu, perempuan yang belum menikah juga menjadi sasaran represi dari negara dengan justifikasi melakukan misi "pembersihan moral". Dalam misi ini, polisi mengumpulkan para wanita muda, lajang, dan urban yang berpakaian penuh gaya atau didampingi oleh para ekspatriat Eropa, memukuli mereka dan bahkan dilaporkan menelanjangi mereka di depan umum. Pihak berwenang menahan beberapa wanita ini di "pusat pendidikan moral". Mayoritas perempuan yang menjadi sasaran penganiayaan ini adalah etnis Tutsi. Di tingkat pendidikan tinggi juga administrator universitas dan pejabat setempat akan menahan perempuan yang dicurigai melakukan pergaulan bebas, hubungan yang tidak pantas, atau penggunaan narkoba (ibid, pp. 38-39).
2.1.3 Peristiwa Genosida
Benih-benih akan terjadinya peristiwa genosida, dimulai ketika etnis Tutsi yang berada di pengasingan Uganda mulai tidak tahan dengan tindakan diskriminasi pemerintah Uganda dan berusaha untuk mencari peluang kembali ke Rwanda. Pengungsi Rwanda memutuskan untuk bergabung dengan National Resistance Army Yoweri Museveni atau NRA Museveni, yang bertujuan untuk menggulingkan Presiden Uganda saat itu bernama Obote. Pengungsi Rwanda melihat NRA Museveni sebagai upaya untuk mendapatkan status permanen di Uganda atau kembali ke Rwanda. Hasilnya, pada tahun 1986, NRA berhasil menggulingkan Obote melalui perang dan dari adanya tindakan ini membentuk persepsi bahwa kekerasan merupakan keadaan yang normal untuk menggulingkan pemerintahan. Setelah itu, pengungsi Rwanda mencoba untuk mengatur gerakan politik bersenjata untuk mengembalikan kehadiran Tutsi di pemerintah maupun militer Rwanda, sehingga terbentuk sebuah gerakan yang bernama Rwanda Patriotic Front atau RPF. RPF mulai serius untuk menggunakan kekuatan militer untuk kembali ke Rwanda. Gerakan ini mulai mengembangkan jaringan keuangan dengan negara-negara berbahasa Inggris maupun dari keberhasilan bisnis di pengasingan. Perempuan dalam gerakan ini justru mempunyai peran yang setara dengan laki-laki, mulai di bidang perekrutan, pengumpulan dana, maupun terlibat langsung dalam militer. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai motif atau kepentingan yang sama yaitu mengembalikan kehormatan etnis Tutsi (ibid, 40-41).
Saat kekuatan RPF sampai pada puncaknya, negara Rwanda mengalami penurunan kemampuan ekonomi, dimana harga komoditas ekspor utama Rwanda yaitu kopi, turun 50 persen pada tahun 1989 dan terjadi devaluasi mata uangnya sebesar 67 persen. Keadaan ini diperparah dengan overpopulasi sehingga permintaan akan kebutuhan maupun komoditas guna kehidupan sehari-hari relatif tinggi ditengah krisis ekonomi. Memanfaatkan instabilitas tersebut, pada 1 Oktober 1990, RPF mulai melakukan serangan ke pos perbatasan Kagitumba, Rwanda utara, disana mereka bertemu dengan Forces Armées Rwandaises atau FAR yang mempunyai teknologi dan bantuan militer dari Perancis. Pertemuan keduanya menghasilkan penarika diri RPF dari wilayah Rwanda dan menuju pegunungan Virunga (ibid, pp. 42). Melihat penyerangan tersebut, etnis Hutu membuat satu propaganda dengan membuat traktat "Hutu Ten Commandments". Traktat ini secara garis besar berisi tentang sebuah perspektif negatif terhadap kaum Tutsi. Namun, ada beberapa poin yang menyinggung pandangan terhadap perempuan. Poin tersebut menjelaskan bagaimana perempuan Tutsi, dimanapun dia berada, bekerja untuk etnis Tutsi. Oleh karena itu, setiap Hutu akan dicap sebagai pengkhianat bila; mempunyai istri seorang Tutsi, mempunyai selir seorang Tutsi, dan mempunyai sekretaris atau anak didik seorang Tutsi. Traktat tersebut juga berargumen bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah perempuan Hutu. Hal ini karena mereka dianggap lebih layak dan lebih teliti sebagai perempuan.
Setelah menarik diri, RPF mengumpulkan dana dan merekrut pasukan dari diaspora etnis Tutsi yang berada di Kongo, Tanzania, dan yang sudah menyebar ke wilayah Eropa dan Amerika Utara sehingga RPF siap kembali melakukan penyerangan dengan 12.000 pasukan. FAR juga mengembangkan pasukannya menjadi 30.000 pasukan dan Perancis juga menyuplai persenjataan mereka, bahkan membantu FAR dalam operasi militer. Tidak hanya FAR, partai pendukung Habyarimana juga membentuk gerakan ekstrimis Hutu untuk membunuh etnis Tutsi, pada pertengahan bulan Oktober membunuh 348 jiwa etnis Tutsi. Elit partai berharap pembunuhan ini dapat menyebar keseluruh wilayah Rwanda dengan membuat propaganda jika etnis Hutu tidak membunuh Tutsi, maka yang terjadi akan sebaliknya. Januari 1991, RPF kembali menyerang wilayah Rwanda, yaitu Ruhengeri yang merupakan salah satu basis kekuatan rezim Habyarimana dan selama dua tahun penyerangan Rwanda, RPF berhasil membuat 860.000 masyarakat Rwanda melarikan diri dan mendirikan markas militernya di Mulindi, enam puluh kilometer jaraknya dari ibukota provinsi Kigali. RPF juga kembali melakukan pembunuhan masyarakat sipil dan mencegah mereka kembali ke rumahnya. Di tahun yang sama, reformasi liberal terjadi pada rezim Habyarimana, sistem multipartai mulai diperkenalkan dan menghasilkan partai lainnya seperti Parti Social Démocrate (PSD), the Parti Libéral (PL), and the Parti Démocrate-Chertien (PDC). serta membuka ruang politik dalam negara bagi pendukung pro-demokrasi dan Habyarimana menjanjikan untuk menghapus identitas etnis dalam kartu penduduk. Saat reformasi liberal terjadi, terbentuk beragam organisasi perempuan, seperti Haguruka dan Réseau des Femmes atau disebut ProFemmes. Mereka memberikan tekanan kepada pemerintah Habyarimana supaya memberikan perdamaian di negara Rwanda dan memperhatikan isu-isu perempuan, hasilnya pada tahun 1992 terbentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga. Di tahun yang sama, terbentuk sebuah partai yang terdiri dari ekstremis Hutu atau garis keras Hutu bernama Coalition pour la Défense de la République (CDR). Partai ini mempunyai program untuk mengeliminasi total etnis Tutsi dari pemerintah dan militer dengan cara menyebarkan narasi sejarah masa kolonial bahwa etnis Hutu sebagai penduduk asli Rwanda telah dieksploitasi oleh penjajah etnis Tutsi. Habyarimana secara eksplisit mendukung program dari CDR, karena sejalan dengan partainya, tetapi rezim mengalami tekanan domestik dan internasional supaya memulai negosiasi dengan RPF. Partai oposisi Hutu moderat, seperti PSD dan PL mengambil kesempatan ini untuk memperoleh suara, kedua partai ini memulai negoisasi dengan RPF menghasilkan Arusha Accords 1993 yang berisi kesepakatan gencatan senjata dan pembagian kekuasaan antara RPF dan Korps Petugas Rwanda yang diharapkan dapat mengakhiri perang sipil (ibid, pp. 44-45).
Sebaliknya, perjanjian tersebut ternyata menimbulkan banyak pertentangan; pertama, perjanjian tersebut tidak melibatkan partai-partai Hutu radikal selaku penguasa negara Rwanda dan adanya pembagian kekuasaan, memicu kekhawatiran terjadinya pengangguran massal masyarakat Hutu yang sebelumnya menjadi tentara dan dengan adanya perjanjian tersebut, etnis Tutsi akan kembali ke Rwanda. Situasi semakin bertambah buruk ketika pasukan pengungsi etnis Tutsi di Burundi membunuh Melchior Ndadaye dari etnis Hutu yang menjadi Presiden Burundi pertama yang terpilih secara demokratis. Akibat dari kasus pembunuhan ini, kekerasan kembali terjadi antara etnis Hutu dan Tutsi, sekaligus menimbulkan kekhawatiran akan terbunuhnya Habyarimana dan kudeta di Rwanda. Kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan saat Habyarimana kembali ke Rwanda dari forum bersama pejabat Tanzania, Kenya, Burundi, dan Uganda yang dilaksanakan di Tanzania. Dua rudal menghancurkan pesawat jet kepresidenannya dan menewaskan semua penumpang, termasuk Presiden Rwanda Habyarimana (ibid, 47-48).
Beberapa jam pesawat terjatuh dan wafatnya Habyarimana, genosida mulai terjadi. Kerabat dekat Habyarimana menduga RPF sebagai aktor pembunuhan Habyarimana dan mendeklarasikan bahwa RPF akan melakukan kudeta. Akibatnya, genosida dimulai oleh ekstremis-ekstremis Hutu dengan membunuh lawan politik atau kubu oposisi salah satu korban genosida masa itu adalah Agathe Uwiringiyimana. Agathe adalah seorang Hutu yang moderat dan kematiannya berutang banyak pada fakta bahwa ia seorang perempuan, dan merupakan seseorang yang sangat pandai bicara, vokal, serta merupakan anggota terkemuka dari oposisi demokratik (Powley, 2004). RPF selaku "tersangka" dari kasus Habyarimana juga semakin agresif, mereka berhasil menguasai timur dan utara Rwanda dengan membunuh 25.000-60.000 masyarakat sipil dari etnis Hutu dan Tutsi. Ekstremis Hutu kembali menyebarkan propaganda menggunakan radio untuk melawan Tutsi dengan penjelasan bahwa Tutsi ingin mengembalikan Rwanda ke sistem Monarki dan melakukan framing bahwa pembunuh Habyarimana adalah etnis Tutsi. Alhasil, ekstremis Hutu membunuh siapapun yang dikenal sebagai etnis Tutsi atau mirip dengan etnis Tutsi, bahkan sesama Hutu mereka bunuh, apabila diketahui mereka mendukung partai oposisi maupun ikut bagian dalam RPF. Selain pembunuhan, kekerasan seksual menjadi suatu hal yang sering menimpa perempuan di Rwanda pada masa itu. Sistem patrilineal di Rwanda, membuat pemekorsaan digunakan sebagai alat untuk mengebiri organ vital perempuan, bahkan dengan senjata tajam dan dilakukan untuk mempermalukan laki-laki Tutsi, tindakan ini dilakukan melalui beberapa bentuk, mulai dari perbudakan seksual, pernikahan paksa, dan pemerkosaan berkelompok, sekitar 200.000-350.000 perempuan diperkosa dan hanya 20.000-50.000 jiwa yang dapat bertahan sampai pasca genosida (Berry, 2018, pp. 52-53). Beberapa perempuan bahkan juga berpartisipasi dalam genosida tersebut di samping saudara laki-laki, ayah, dan putra mereka. Mereka ikut membunuh dan menyiksa, walaupun memiliki andil yang cukup besar dalam genosida yang terjadi, namun perempuan tidak berpartisipasi sebesar angka yang sama yang dilakukan oleh pria, sekitar 2,3% tersangka genosida di Rwanda dengan 3.442 orang dari 108.215 di penjara (Powley, 2004). Genosida berakhir dengan kemenangan RPF menguasai wilayah-wilayah sentral ekstremis Hutu, menurut pemerintah Rwanda 1.074 juta jiwa meninggal dalam peristiwa genosida terburuk sepanjang sejarah (Republik Rwanda, 2004).
2.2 PEREMPUAN DALAM FEMINISME
Feminisme hadir sebagai teori dan gerakan yang secara historis diinisiasi oleh perempuan dan secara garis besar bertujuan untuk mewujudkan keadilan gender di setiap wilayah dan peran di dunia. Hal ini sejalan dengan definisi yang pernah dikemukakan oleh Hooks (2002) yang menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan untuk mengakhiri sexisme, eksploitasi sexist dan penindasan. Menurut Ropers-Huilman (2002), feminis terbentuk dari tiga prinsip utama, yaitu: (1) perempuan memiliki sesuatu yang sangat penting untuk berkontribusi pada setiap aspek di dunia; (2) sebagai kelompok yang tertindas, perempuan tidak dapat mencapai potensi mereka, menerima penghargaan, atau mendapat partisipasi penuh dalam masyarakat; (3) penelitian feminis harus lebih dari sekedar kritik, yaitu dengan harus berhasil menuju transformasi sosial. Namun belum ada definisi tetap terkait feminisme itu sendiri, karena hingga saat ini, feminisme hanya didefinisikan berdasarkan karakteristik dan ide-ide umum terkait feminisme yang pada dasarnya dianggap dapat mewadahi sekian banyak bentuk dan kelompok feminisme yang ada dan berbeda-beda. Menurut Freedman (2001), setiap upaya untuk memberikan definisi dasar-dasar umum dari semua feminisme dapat dimulai dengan pernyataan bahwa feminisme memfokuskan pada diri mereka dengan posisi inferior perempuan dalam masyarakat dan dengan diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan karena jenis kelamin mereka, hal ini kemudian diikuti dengan seruan perubahan dalam tatanan sosial, ekonomi, politik atau budaya, untuk mengurangi dan akhirnya mengatasi diskriminasi terhadap perempuan. Gagasan feminisme merupakan sebuah kompleksitas yang sulit untuk didefinisikan secara pasti mengingat banyaknya elemen yang dapat mengisi makna dan konotasi dalam feminisme khususnya terkait identitas, cara berpikir, tingkat pendidikan, dan tingkatan generasi. Hal ini menjadi jelas bahwa feminisme bukanlah sebuah konsep kesatuan melainkan pengelompokkan ide yang berbeda-beda dan beraneka ragam, serta tentunya tindakan (ibid) dan menurut Grady (2018) yang dimuat dalam Vox Media, sejarah feminisme dipenuhi dengan kaum radikal, progresif, liberal dan sentris yang berisikan gerakan yang terbagi-bagi dan reaksioner.
2.3 DEFINISI DAN FUNGSI POLITICAL EMPOWEREMENT
Political empowerment atau pemberdayaan politik adalah sebuah langkah penting yang dapat kita ambil dalam rangka mencari jalan keluar atas diskriminasi terhadap kaum perempuan. Meskipun secara diksi pemberdayaan politik mengacu pada politik secara umum, political empowerment atau pemberdayaan politik mengacu pada gender tertentu, yaitu perempuan. Menurut World Bank (2011), pemberdayaan perempuan merupakan sebuah konsep multifaset dan biasanya didefinisikan dengan beberapa dimensi seperti "hak, sumber daya, dan suara". Pada langkah pemberdayaan politik ini, perempuan didorong untuk memiliki partisipasi penuh di seluruh fase pembuatan kebijakan, implementasi dan evaluasi dan semua tahap pada pengambilan kebijakan publik dan pribadi dengan menggunakan hak dan suaranya serta memanfaatkan diri secara maksimal sebagai sumber daya. Pada praktiknya, peran wanita di ranah publik, khususnya politik sangat diperlukan terutama dalam layanan publik yang esensial seperti kesehatan dan pendidikan agar menguntungkan semua pihak, baik laki-laki, wanita maupun anak-anak. Perempuan di ruang publik juga diperlukan untuk meningkatkan sistem peradilan untuk menjamin perlindungan hukum yang sama dan setara baik bagi perempuan maupun laki-laki. Selain itu, perempuan di ruang publik akan membantu menekan perilaku kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak yang merupakan kelompok rentan. Menurut UN Women, terdapat tiga alasan utama mengapa wanita perlu berpartisipasi dan memimpin dalam pengambilan keputusan kebijakan di negara atau masyarakat. Pertama, perlunya perwakilan yang adil dari semua kelompok dalam praktik demokrasi perwakilan (UN Women, 2014). Hal ini berarti demokrasi harus mewakili semua kelompok dalam masyarakat dan perempuan mengisi setengah dari populasi secara umum, sehingga perlu bagi perempuan diwakili oleh sesamanya dengan jumlah yang sama dan akses yang setara dengan laki-laki pada pengambilan keputusan politik, di semua cabang pemerintahan serta partai politik dan organisasi sosial di semua tingkatan. Kehadiran perempuan di ruang publik dan pengambilan keputusan politik diharapkan dapat menjadi langkah lebih jauh untuk mempromosikan akses yang sama ke dalam struktur kekuasaan poltik dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memiliki karir politik di semua tingkat organisasi.
Kedua, partisipasi yang setara pada ruang publik akan membawa dunia kepada prospek yang lebih besar untuk pembangunan, demokrasi yang efektif dan pemerintahan yang baik (ibid). Hal ini berdasar pada jumlah perempuan yang mengisi setengah populasi dunia, sehingga satu-satunya cara untuk memastikan bahwa kepentingan, perhatian dan prioritas mereka akan diperhitungkan ketika mengidentifikasi, merencanakan dan menerapkan kebijakan publik adalah agar perempuan sama-sama terwakili ketika datang ke keputusan pembuatan kebijakan publik. Sejarah telah mencatat bahwa kehadiran dan partisipasi perempuan akan memberi ruang untuk isu-isu yang biasanya terabaikan untuk naik ke tingkat kebijakan publik seperti pengasuhan orang tua, undang-undang menentang kekerasan gender, kesehatan seksual dan organ reproduksi, dan pemberdayaan ekonomi perempuan. Selain itu, partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan akan memberikan kontribusi yang berbeda terkait suatu ide yang berbeda dengan laki-laki sebagai gender dominan di ruang publik. Kehadiran perempuan akan memodifikasi kerangka mental dimana pengambilan keputusan selama berabad-abad erat kaitannya dengan ketidaksetaraan dan diskriminasi gender.
Ketiga, mempromosikan perempuan untuk menduduki jabatan tinggi dalam politik akan mengakibatkan efek berganda dengan berdampak pada peningkatan pemberdayaan perempuan di semua dimensi kehidupan (ibid). Pemimpin politik perempuan akan mendorong adnya prototipe dan role model perempuan yang baru untuk memberantas bias diskriminatif terhadap perempuan. Dengan banyaknya perempuan yang aktif di ruang publik politik, seperti di parlemen, kementerian dan pemerintahan, akan terbangun tempat kerja yang lebih sensitif akan isu gender, sehingga ruang-ruang publik lebih mudah diakses oleh perempuan dan akan mendorong kesetaraan tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam ruang privat, yaitu kehidupan keluarga, yang selama ini cenderung diskriminasi terhadap gender perempuan. Pemimpin perempuan juga akan memberi kebijakan dengan variasi ide baru yang menyeimbangkan peran laki-laki dan perempuan di semua aspek kehidupan.
2.4 PERAN PEREMPUAN DALAM REKONSTRUKSI NEGARA RWANDA PASCA GENOSIDA DAN PROSES MENUJU POLITICAL EMPOWEREMENT
2.4.1 Demographic Shift
Pasca peristiwa genosida yang berakhir pada Juli 1994, peran perempuan meningkat dalam rekonstruksi negara Rwanda, hal ini dimulai karena adanya faktor perubahan atau pergeseran struktur masyarakat yang signifikan dalam negara Rwanda yang mendorong perempuan untuk memulai rekonstruksi mulai dari pribadi, keluarga, komunitas, dan pemerintahan. Faktor-faktor tersebut, antara lain; pertama, demographic shifts, artinya ada pergeseran proporsi jumlah penduduk, dalam kasus ini adalah kesenjangan jumlah penduduk Rwanda antara perempuan dan laki-laki. Dua tahun pasca genosida, populasi perempuan dewasa di Rwanda 70 persen lebih banyak dibandingkan laki-laki dan laki-laki yang masih hidup cenderung hidup di balik penjara, diasingkan, atau menjadi pasukan RPF (Powley, 2004), sehingga mengharuskan perempuan mengambil peran sebagai kepala rumah tangga, pemimpin komunitas dan pencari nafkah, ditengah trauma mereka terhadap tindak kekerasan, pelecehan, dan penyiksaan yang dialami masa lalu. Dalam proses rekonstruksi, perempuan dengan latar belakang kelas dan etnis yang berbeda memikul banyak tanggung jawab baru, mereka harus memerah sapi, menanami kembali kebun, membuat batu bata, membangun rumah mereka, dan menjual apa pun yang mereka bisa untuk menghasilkan pendapatan (Newbury dan Baldman, 2000). Namun, terdapat satu permasalahan yang mereka hadapi yaitu terkait hak atas tanah. Ketiadaan laki-laki ini sangat menantang ketika datang ke tanah dan hak milik. Secara tradisional, perempuan di Rwanda hanya memiliki hak atas tanah melalui suami atau ayah mereka. Para janda hanya bisa mengakses tanah jika mereka memiliki seorang anak laki-laki dewasa, sehingga krisis tanah yang sangat besar terjadi setelah genosida, saat janda de facto dan de jure menghadapi tekanan dari tetangga dan anggota keluarga besar untuk melepaskan tanah yang mereka huni. Pada saat itu juga terdapat sebuah organisasi yang diinisiasi oleh perempuan, khususnya janda, bernama Avega-Agazoho dengan tujuan untuk memberikan dukungan emosional kepada perempuan, untuk mencegah tindakan bunuh diri perempuan-perempuan Rwanda setelah mengalami pengalaman-pengalaman buruk yang mereka alami di masa lalu (ibid, pp. 88).
2.4.2 Economic Shift
Faktor selanjutnya adalah economic shift, pasca genosida ekonomi Rwanda memburuk, PDB per kapita turun signifikan dari $330 per tahun sebelum genosida, menjadi $170 per tahun pasca genosida (World Bank, 1990-2012). Infrastruktur dan sumber pangan negara juga tidak memadai sehingga kebutuhan dasar masyarakat Rwanda hanya mengandalkan bantuan-bantuan kemanusiaan. Masalah perempuan tidak berhenti sampai disitu, mereka juga harus merawat anak-anak yatim piatu, setidaknya satu rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan mempunyai tanggungan antara enam hingga tujuh anak (Republik Rwanda, 1999). Keadaan ini membuat perempuan-perempuan Rwanda sering berinteraksi dengan pemerintah, organisasi maupun komunitas asing, bahkan karena situasi yang mereka hadapi, mereka terpaksa membentuk kelompok atau komunitas untuk mencari kebutuhan-kebutuhan dasar mereka atau kebutuhan material dan emosional lainnya untuk mereka sendiri maupun orang lain. Keadaan ini juga membuat perempuan Rwanda pertama kali dengan bebas menggunakan, menyimpan, maupun meminjam uang dari bank dan mereka mulai mempelajari membuat bisnis, maka dari itu perempuan mulai mempunyai hak untuk mengontrol pendapatan atau kekayaan mereka sendiri (Berry, 2018, pp. 74-75), hal ini biasanya dilakukan oleh perempuan Rwanda dengan membentuk sebuah kelompok yang pertemuannya reguler dan pada pertemuan tersebut, perempuan bebas menceritakan apa yang dialami di masa lalu dan perempuan lain akan memberikan dukungan maupun sekedar mendengarkan, dan memberikan dana jika perempuan dalam anggotanya mempunyai sebuah proyek bisnis. Dana diperoleh dari pengumpulan dana anggota setiap minggunya. Tidak hanya itu, mereka juga membentuk organisasi-organisasi formal guna mendapatkan dana dari aktor international non-governmental organization, non-governmental organization, maupun dari pemerintah (ibid, pp. 89). Dengan adanya dana tersebut, organisasi yang dibentuk perempuan ini lebih dapat memperoleh suara dari publik, melakukan beragam aktivitas, dan melatih kemampuan mereka dalam organisasi.
2.4.3 Cultural Shift
Faktor terakhir adalah cultural shift, pasca genosida ketika media pemerintah, pejabat, dan dokumen-dokumen pemerintah mereferensikan RPF dan menggambarkan anggotanya sebagai sososk yang kuat, keras, dan jantan. Sebaliknya, mereka menggambarkan perempuan Rwanda sebagai "ibu-ibu bangsa" dan sebagai pengasuh penting untuk masa depan bangsa. Sementara wanita memiliki tanggung jawab nasional yang penting, bukan di medan perang; melainkan, sebagai produsen biologis laki-laki yang akhirnya bisa berfungsi sebagai tentara bagi bangsa dan meneruskan garis keturunannya (ibid, pp. 76). Keadaan ini membuat perempuan Rwanda merasa tidak merasa aman, karena cenderung akan meningkatkan tindakan pelecehan seksual, maka dari itu, melalui pembentukan supporting groups dan income-generating groups, secara langsung maupun tidak langsung perempuan Rwanda melakukan framing terhadap publik bahwa mereka dapat menghadirkan "perdamaian" dibandingkan laki-laki dan mereka merupakan korban yang paling menderita dari adanya kekerasan di masa lalu (ibid, pp. 77). Hal ini dilakukan oleh perempuan Rwanda supaya mereka mendapatkan dukungan dan legitimasi dari pemerintah bahwa mereka dapat mewujudkan perdamaian dan menciptakan "good politics" dalam pemerintahan. Dalam gerakan-gerakan, komunitas, maupun organisasi yang mereka bentuk, tidak seperti masa lalu yang cenderung diatur atau dipimpin oleh laki-laki, perempuan Rwanda membentuk sebuah struktur di dalamnya, seperti ada jabatan presiden dan sekretaris organisasi (ibid, pp. 92). Pemberian jabatan atau posisi ini mempunyai dampak yang signifikan untuk melupakan sistem budaya yang dibentuk di masa lalu dan mampu mengangkat harga diri mereka dan memberikan modal kemampuan untuk memasuki politik, serta meningkatkan status mereka sebagai perempuan. Seperti penjelasan sebelumnya, perempuan Rwanda menghadapi permasalahan terkait kepemilikan tanah, sistem patrilineal yang dianut di Rwanda membuat ketergantungan terhadap laki-laki masih kuat. Perdebatan tentang kepemilikan tanah ini memaksa banyak wanita untuk bergabung bersama membentuk organisasi non pemerintah untuk mengajukan petisi kepada pejabat pemerintah lokal untuk memperoleh hak properti resmi (Berry, 2018, pp. 71), salah satunya adalah organisasi Pro Femmes. Organisasi ini seperti yang dijelaskan sebelumnya, sudah berdiri sejak tahun 1992, namun organisasi ini tidak berkembang karena mengalami tindakan represif dari pemerintah dan negara Rwanda mengalami perang sipil. Pasca genosida, organisasi ini kembali aktif dan kembali melakukan kampanye Campaign For Peace yang bertujuan untuk mempromosikan budaya damai di negara di tengah ketidakstabilan yang sedang berlangsung (Burnet 2008, pp. 374) dan untuk memasukkan suara perempuan ke dalam percakapan nasional tentang perumahan, pengungsi, dan keadilan (USAID, 2000). Melalui kampanye tersebut, Pro Femmes mulai bekerja erat dengan beberapa komunitas perempuan, serta dengan Kementerian Gender di cabang eksekutif, sehingga mereka menjadi penghubung untuk menyampaikan kebutuhan dan kekhawatiran perempuan ke pemerintah melalui Forum Parlemen Perempuan. Bersama dengan organisasi perempuan dan gerakan masyarakat sipil lainnya mereka berusaha untuk melobi pemerintah mengubah aturan hukum yang memungkinkan perempuan dapat mewarisi tanah dari anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya itu, perempuan juga mendesak untuk mengubah undang-undang terkait perceraian, hak milik, dan kekerasan berbasis gender (Berry, 2018, pp. 94), hasilnya pada tahun 1999, secara hukum, perempuan resmi dapat mewarisi tanah dan properti untuk pertama kalinya (Republik Rwanda, 1999).
2.4.4 Political Empowerment
Pemerintahan pasca genosida juga menjadi salah satu pendukung terjadinya mobilitas perempuan Rwanda, hal ini bisa terlihat dari inisiasi pemerintah membentuk National Women's Council, yaitu sebuah sistem dari pemerintah yang dibentuk supaya dapat berafiliasi dengan kelompok-kelompok perempuan mulai dari daerah pedesaan sampai perkotaan. Sistem yang diterapkan bersifat bottom-up, artinya dalam pelaksanaan ini, pihak berwajib dari pemerintah bertemu dengan perwakilan dari organisasi atau gerakan wanita di setiap wilayah dan diminta untuk berorganisasi ke dalam dewan di tingkat lokal atau neighbourhood council buatan pemerintah. Selanjutnya setiap dewan memilih perwakilannya untuk maju ke tingkat sektor dan diadakan pemilihan lebih lanjut untuk mengirim perwakilan ke tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional (Berry, 2018, pp. 96). Tidak hanya program tersebut, pemerintah, khususnya di bawah rezim Kagame dan RPF juga mulai secara vokal mendorong perempuan untuk bergabung dengan politik, menurut Kagame, politik pemberdayaan perempuan adalah bagian dari politik liberal yang lebih umum (ibid, pp. 96).
2.5 HAMBATAN-HAMBATAN PEREMPUAN RWANDA DALAM BERPOLITIK
Perempuan-perempuan Rwanda terlihat sangat berperan dalam proses rekonstruksi Rwanda, sesuai seperti yang dijelaskan pada teori feminisme sebelumnya, bahwa sejarah feminisme dipenuhi dengan kaum radikal, progresif, liberal dan sentris yang berisi gerakan yang terbagi-bagi dan reaksioner (Grady, 2018). Hal ini bisa dilihat bagaimana perempuan-perempuan Rwanda merespon situasi yang mereka alami dan keterpurukan negara. Mereka perlahan membentuk berbagai gerakan untuk mengakhiri sexisme, eksploitasi sexist dan penindasan (Hoops, 2002), serta memenuhi segala kebutuhan masyarakat dalam berbagai sektor. Namun, perempuan Rwanda melakukan segala hal tersebut dimulai dari pasca genosida, karena adanya beberapa hambatan yang membuat "ruang gerak" nya maupun kebebasannya terbatas. Hambatan-hambatan tersebut antara lain; Pertama, kekerasan terhadap perempuan dan rezim militer, dalam konflik sosial, perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban. Banyaknya kasus kekerasan pada perempuan membuat organisasi PBB memberikan konsennya terhadap masalah ini. Dalam Deklarasi Universal Majelis Umum PBB tentang perempuan, PBB menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan akan menghambat peluang mereka untuk mencapai kesetaraan hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat. Pada dasarnya, segala bentuk kekerasan mulai dari fisik hingga intimidasi, pelecehan, dan penghinaan, atau bahkan melarang mereka berpartisipasi dalam lingkungan sosial, dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan (ibid, 2002). Hal ini dialami oleh perempuan Rwanda di era kolonial sampai peristiwa genosida yang dijelaskan sebelumnya, mereka mengalami diskriminasi mulai dari etnis dan gender, pelecehan seksual dan kekerasan seksual, serta kebebasan mereka terbatasi oleh sistem patrilineal yang diterapkan di negara Rwanda. Ditambah dengan situasi perang sipil, membuat perempuan Rwanda semakin terbatas untuk menyuarakan apa yang menjadi keinginan mereka. Kedua, adanya kedudukan sosial perempuan atau model perspektif sosial. Model ini terfokus pada norma-norma sosial dan budaya yang menyebabkan praktik-praktik diskriminatif. Norma-norma, kebiasaan, adat-istiadat masyarakat menyepakati bentuk-bentuk sosialisasi yang menggiring perempuan dan laki-laki ke dalam bidang kerja yang berbeda dan upah serta status yang berbeda. Masyarakat memotivasi laki-laki untuk berkarir maksimal, sebaliknya memotivasi perempuan cukup menjadi 'pembantu' suami (ibid). Hal ini dirasakan oleh perempuan Rwanda sejak era kolonial Belgia, dimana sebelumnya dijelaskan, mereka mengalami diskriminasi secara etnis melalu pembentukan kartu penduduk berdasarkan ciri-ciri fisik. Tidak hanya itu, pasca kolonial sampai peristiwa genosida, sistem patrilineal disalahgunakan oleh laki-laki Rwanda untuk dijadikan alat penekan kebebasan perempuan Rwanda.
BAB III
KESIMPULAN
Pengalaman-pengalaman buruk yang mereka lewati dari era kolonial sampai peristiwa genosida tidak membuat mereka menjadi putus asa dan enggan untuk memperjuangkan status mereka sebagai perempuan sekaligus untuk memperbaiki kondisi negara yang terpuruk dari berbagai sektor. Menjadi hal yang unik untuk dipelajari adalah bagaimana proses political empowerement yang saat ini perempuan Rwanda capai, berawal dari cara mereka untuk terlibat secara aktif berinteraksi dengan sesama perempuan guna memenuhi kebutuhan dasar, secara material maupun emosional. Dari situ mereka memperluas jaringan dan berinteraksi dengan organisasi-organisasi asing, sehingga meluas ke ranah ekonomi, dimana mereka mulai mencoba untuk secara mandiri menghasilkan, mengelola, dan menyimpan pendapatan mereka sendiri yang tidak pernah mereka alami sebelumnya dan setelah itu, baru mereka mulai masuk ke lobi-lobi politik dengan tujuan supaya sistem atau hukum yang sifatnya membuat status perempuan menjadi inferior segera direvisi atau dihapuskan. Selain itu, mereka menyadari bahwa untuk memenuhi hal tersebut, tidak mungkin dapat dilakukan dengan seorang diri saja, maka dari itu, perempuan Rwanda aktif dalam membentuk komunitas-komunitas dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan satu sama lain, tanpa adanya rasa untuk memenuhi kepentingan pribadi saja. Pasca genosida, perempuan Rwanda juga seakan lupa dengan etnis yang melekat pada diri mereka, karena yang menjadi fokus mereka adalah bagaimana diri mereka sebagai perempuan, masyarakat Rwanda, dan negara Rwanda, bisa pulih dari keadaan dan menjadi lebih damai daripada sebelumnya. Perempuan Rwanda merupakan cerminan untuk seluruh perempuan di dunia, bahwa untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan melawan tindakan kekerasan, pelecehan, maupun penyiksaan, harus dimulai dari aktif dalam membentuk komunitas-komunitas maupun organisasi atau secara eksplisit dapat dikatakan bahwa perempuan harus berpolitik dan vokal, karena cara membentuk negara adalah melalui proses politik.
REFERENSI:
Buku
Berry, E. (2018). War, Women, and Power From Violence to Mobilization in Rwanda and Bosnia- Herzegovina. United Kingdom: Cambridge University Press
Freedman, J. 2001. Concepts in the Social Sciences Feminism. Buckingham: Open University Press.
Hooks, B. (2002). Feminism Is for Everybody: Passionate Politics. London, UK: Pluto Press.
USAID. (2000). Aftermath: Women and women's organizations in post- genocide Rwanda. Washington: USAID Center for Development Information and Evaluation.
Republik Rwanda. (1999). Country Progress Report on Implementation of Women's World Regional and National Action Platforms. Kigali: Ministry of Gender & Women Development.
Republik Rwanda. (2004). Survey of Genocide Deaths. Kigali: Ministry of Local Administration and Community
Ropers-Huilman, R. (2002). Feminism in the academy: Overview. Santa Barbara: ABC-CLIO.
World Economic Forum. (2017). The Global Gender Gap Report 2017. Geneva: World Economic Forum
Jurnal
Burnet, J. E. (2008). Gender balance and the meanings of women in governance in post- genocide Rwanda. African Affairs, 107(428), pp. 361– 386.
Powley, Elizabeth. (2004). Strengthening Governance: The Role of Women in Rwanda's Transition A Summary. Enhancing Women's Participation in Electoral Processes in Post-Conflict Countries, 1-11.
Internet
Encyclopedia Britannica. (n.d). Rwanda. Britannica. Retrieved from https://www.britannica.com/place/Rwanda
Gradiy, C. (2018). The waves of feminism, and why people keep fighting over them, explained. Vox Media. Retrieved from https://www.vox.com/2018/3/20/16955588/feminism-waves-explained-first-second-third-fourth
United Nations. (n.d). Genocide. United Nations Office on Genocide Prevention and the Responsibility to Protect. Retrieved from http://www.un.org/en/genocideprevention/genocide.html
UN Women. (2014). Strategic Guide Political Empowerment of Women: Framework for Strategic Action. UN Women Regional Office for the Americas and the Caribbean Research. Retrieved from http://lac.unwomen.org/en/digiteca/publicaciones/2014/10/guia- estrategica
World Bank. (1990–2012). World Development Indicators: Rwanda. The World Bank. http:// data.worldbank.org/ country/ rwandap.
World Bank. (2001). Engendering Development: Through Gender Equality in Rights, Resources and Voice. Washington, DC and New York: World Bank and Oxford University Press.