PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
DI AREAL PERTAMBANGAN
Oleh:
Agus Priyono Kartono
I. PENDAHULUAN
Kelangsungan pembangunan nasional Indonesia sebagian didukung oleh devisa yang berasal dari pemanfaatan berbagai sumberdaya mineral seperti minyak, gas, batubara, nikel, emas, timah, dan berbagai industri mineral lainnya. Sumbangan sektor pertambangan terhadap sumber pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) pada tahun 2012 sekitar 0,11%. Namun demikian pertambangan sering dipandang sebagai salah satu sektor yang banyak menimbulkan masalah kerusakan lingkungan hidup seperti hilangnya keanekaragaman hayati.
Kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan pertambangan dapat terjadi selama tahap konstruksi, tahap operasi maupun pasca pertambangan. Kerusakan yang ditimbulkan tersebut sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan serta jenis mineral yang ditambang. Dalam perspektif keanekaragaman hayati yang dicirikan oleh perubahan ekosistem dan komponen penyusunnya maka kegiatan penambangan dapat dikelompokkan ke dalam: (a) penambangan di atas permukaan tanah yang mengakibatkan terjadinya perubahan ekosistem dengan intensitas yang tinggi seperti penambangan batubara, emas, semen, granit dan sebagainya, (b) penambangan di atas permukaan tanah yang mengakibatkan perubahan ekosistem dalam skala intensitas yang rendah hingga sedang seperti penambangan pasir, dan (c) penambangan bawah permukaan tanah (underground) yang hampir tidak merubah bentang alam atau ekosistem tetapi memberikan dampak secara tidak langsung bagi keanekaragaman hayati seperti penambangan minyak bumi dan gas.
Modifikasi ekosistem kedalam bentuk sistem yang terkelola untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia, termasuk areal pertambangan, telah mengakibatkan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati dan peningkatan laju kepunahan spesies di muka bumi. Kondisi demikian ini selanjutnya dapat mengancam fungsi dan stabilitas ekosistem, terutama dalam penyediaan barang dan jasa bagi kesejahteraan umat manusia (Ehrlich & Ehrlich 1981). Stabilitas ekosistem adalah kecenderungan suatu ekosistem untuk pulih kembali ke dalam kondisi sebelum terjadinya gangguan atau kembali pada keseimbangan (Pimm 1984, May 1972).
Luas lahan di seluruh permukaan bumi yang ditetapkan sebagai areal dilindungi hanya sekitar 12% dan kurang dari setengah diantaranya dikelola dengan tujuan utama konservasi keanekaragaman hayati (Hoekstra et al. 2005). Areal tersebut tidak cukup mampu melindungi keanekaragaman hayati karena terlalu sempit, terisolasi, statis, tidak selalu aman dari eksploitasi yang berlebihan (Liu et al. 2001, Rodrigues et al. 2004). Oleh karena itu konservasi keanekaragaman hayati di dalam areal lindung perlu dilengkapi dengan konservasi di luar areal lindung (Daily 2001).
II. KOMPONEN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai keragaman antar organisme dari berbagai bentuk kehidupan yang mencakup antara lain di darat, laut dan ekosistem akuatik lainnya, dan kompleksitas ekologis yang menyertainya; termasuk keragaman spesies, antar spesies, dan ekosistem (CBD 1992). Definisi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa daftar spesies yang terdapat di dalam suatu wilayah tertentu cukup untuk menggambarkan keanekaragaman hayati tetapi kualitas keanekaragaman hayatinya tidak terungkap di dalam daftar tersebut. Keanekaragaman hayati memiliki tiga komponen utama, yakni: komposisi, struktur, dan fungsi. Tiga komponen tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci keanekaragaman hayati pada suatu kawasan tertentu (Worm & Duffy 2003).
Worm & Duffy (2003) menyatakan bahwa komposisi merupakan identitas dan keragaman unsur meliputi identitas spesies, kekayaan atau jumlah spesies, dan berbagai komponen inorganik lainnya. Struktur merupakan organisasi secara fisik atau pola-pola sistem dari habitat yang kompleks hingga tingkat lanskap. Struktur dapat dibedakan kedalam struktur arsitektural dan struktur sosial. Struktur arsitektural umumnya diterapkan pada pola-pola spasial dalam komunitas tumbuhan (misal jumlah lapisan tajuk, distribusi spesies, kelas umur); sedangkan struktur sosial merupakan pola-pola hubungan antar individu, spesies atau kelompok spesies serta sistem secara keseluruhan, misal predasi, simbiosis, mutualisme.
Jumlah spesies secara signifikan dapat mempengaruhi berfungsinya ekosistem, misalnya dalam hal siklus energi, unsur hara dan bahan organik yang menjaga bekerjanya ekosistem. Unsur fungsi di dalam keanekaragaman hayati mencakup proses-proses ekologis dan evolusi yang mempengaruhi proses (misal siklus hara, pertumbuhan populasi) dan struktur sistem (misal keseimbangan antar populasi). Faktor komposisi dan struktur menentukan dan menyusun kualitas keanekaragaman hayati pada suatu kawasan dan berpengaruh penting pada produktivitas dan kelestarian ekosistem. Faktor fungsional menyumbang integritas ekologis, yakni kemampuan ekosistem untuk mempertahankan fungsi dan dirinya sendiri (Worm & Duffy 2003, Feest 2006).
III. KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN JASA EKOSISTEM
Beberapa studi menyatakan bahwa keanekaragaman hayati yang tinggi pada suatu wilayah dapat memberikan jasa ekosistem pada tingkat yang tinggi (Mertz et al. 2007). Barang dan jasa ekosistem merupakan manfaat yang diperoleh manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berasal dari fungsi ekosistem (Costanza et al. 1997). Fungsi ekosistem adalah proses-proses fisik, kimiawi dan biologis yang terjadi akibat interaksi antara komponen biotik dan abiotik dalam suatu ekosistem alami yang diperlukan guna mempertahankan dirinya sendiri (Daily 1997, de Groot et al. 2002).
Barang ekosistem merupakan bagian dari jasa ekosistem yang dapat didefinisikan sebagai produk-produk barang tangible seperti kayu, bahan bakar, atau sumber pangan yang dihasilkan dari proses-proses ekosistem (de Groot et al. 2002). Jasa ekosistem meliputi: (a) jasa penyediaan seperti pangan dan air, (b) jasa pengaturan dan pengen-dalian seperti pengendalian banjir, kekeringan, dan penyakit, (c) jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara, serta (d) jasa budaya seperti rekreasi, spiritual, dan manfaat non-material lainnya (Costanza et al. 1997, Daily 1997, de Groot et al. 2002).
Pengaruh hilang atau berubahnya komposisi spesies flora dan fauna terhadap fungsi ekosistem berbeda-beda menurut sifat ekosistem, tipe ekosistem dan alur potensi perubahan komunitas. Beberapa ekosistem pada awalnya memiliki sifat yang tidak sensitif terhadap hilangnya suatu spesies. Hal ini karena di dalam ekosistem tersebut masih terdapat spesies lain yang mampu berperan untuk menjalankan fungsi spesies yang hilang, atau spesies yang hilang memiliki peran yang kecil di dalam membentuk sifat-sifat ekositem, atau sifat-sifat ekosistem terutama dikendalikan oleh kondisi lingkungan abiotik (Hooper et al. 2004). Di sisi lain, sebagian besar karakteristik dan proses ekosistem bukanlah merupakan proses aditif dari karakteristik dua atau lebih spesies, tetapi lebih banyak ditentukan oleh interaksi antar spesies sehingga kehilangan keanekaragaman hayati sangat berpengaruh terhadap kestabilan ekosistem tersebut. Chapin et al. (2000) menyatakan bahwa interaksi spesies yang mencakup mutualisme, interaksi trofik (predasi, parasitisme, herbivori), dan kompetisi dapat mempengaruhi proses-proses ekosistem secara langsung melalui modifikasi lintasan aliran energi dan materi atau secara tidak langsung melalui modifikasi kelimpahan spesies yang memiliki pengaruh kuat terhadap ekosistem.
IV. DAMPAK PERTAMBANGAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Dampak kegiatan pertambangan terhadap keanekaragaman hayati sangat bervariasi dan sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain: jenis dan skala usaha pertam-bangan, teknologi dan metode penambangan, serta situasi dan kondisi ekosistem areal penambangan. Sebagai contoh, kegiatan penambangan batubara atau semen dengan sistem terbuka (open-cast mining) akan memberikan dampak yang berbeda jika dibandingkan dengan penambangan emas dengan sistem bawah tanah (underground mining). Parameter utama keanekaragaman hayati yang dapat terkena dampak akibat kegiatan pertambangan adalah:
1). Perubahan struktur dan komposisi flora/fauna
Beberapa jenis kegiatan pertambangan yang dapat menimbulkan dampak terhadap struktur dan komposisi flora/fauna adalah pembukaan lahan untuk penyiapan tapak bangunan dan jalan, pengupasan permukaan tanah, dan penggalian tanah untuk lubang tambang. Kegiatan ini memberikan dampak langsung berupa terjadinya perubahan struktur dan komposisi atau bahkan hilangnya vegetasi pada tapak kegiatan tersebut. Dampak selanjutnya adalah timbulnya penurunan populasi berbagai spesies fauna. Namun demikian, dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut berbeda-beda bergantung pada situasi dan kondisi ekosistem atau jenis tutupan lahan asalnya.
2). Perubahan kelimpahan populasi flora/fauna
Kegiatan pertambangan yang dilakukan pada areal-areal berhutan, terutama hutan alam primer maupun sekunder, dapat mengakibatkan terjadinya fragmentasi dan kehilangan habitat. Kehilangan habitat dan fragmentasi secara langsung maupun tidak langsung memberikan ancaman terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Fragmentasi dan hilangnya habitat memberikan pengaruh yang sangat nyata pada pemencaran individu amfibi kelas umur muda di kolam-kolam perkembang-biakan (Sjögren 1991), penurunan keanekaragaman jenis burung (Robinson et al. 2000), penurunan populasi burung (Rappole 1996). Perubahan habitat pada lanskap hutan mengakibatkan terjadinya peningkatan kelimpahan predator generalis dan penurunan keberhasilan perkembang-biakan itik liar yang bersarang di hutan (Kurki et al. 1997, Kurki et al. 1998)
V. UPAYA PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
Orlove & Brush (1996) mengelompokkan kebijakan konservasi keanekaragaman hayati ke dalam tiga tingkatan, yakni: (1) spesies secara individual sebagai target konservasi dengan cara menerapkan pembatasan atau pencegahan pemanenan dan perburuan; (2) perlindungan habitat yang ditempati oleh populasi spesies terancam punah, dan (3) pengelolaan terhadap keseluruhan ekosistem. Ketiga tingkatan tersebut dapat dianalogikan sebagai berikut: pada tingkat pertama adalah melindungi jenis burung hantu, pada tingkat kedua adalah melindungi hutan dimana burung hantu tersebut tinggal, termasuk melindungi spesies lain yang menempati hutan tersebut, dan pada tingkat ketiga adalah mengelola secara terpadu hutan, padang rumput, lahan pertanian, dan zona lainnya. Dalam kaitannya dengan ilmu ekologi, tingkat pertama berkaitan dengan ekologi populasi, tingkat kedua berkaitan dengan ekologi ekosistem, dan tingkat ketiga berkaitan dengan ekologi lanskap.
Fischer et al. (2006) mengusulkan 10 strategi untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan resiliensi ekosistem pada lanskap terestrial yang dimanfaatkan untuk produksi. Strategi yang diusulkan ini sesuai untuk lanskap terestrial umum yang luas, tetapi beberapa strategi perlu disesuaikan manakala diterapkan pada lanskap produksi untuk pertambangan. Strategi 1–5 lebih ditekankan pada pengelolaan pola lanskap guna mempertahankan beberapa spesies dan proses-proses ekologis penting, sedangkan strategi 6–10 untuk melengkapi pengelolaan pada strategi 1–5 dengan penekanan pada spesies kunci dan proses-proses ekologis yang memerlukan aksi tambahan dan perhatian yang tinggi. Kesepuluh strategi yang disusun oleh Fischer et al. (2006) tersebut adalah sebagai berikut:
1). Mempertahankan dan membangun patch yang memiliki struktur vegetasi alami
Patch yang berukuran besar cenderung memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibanding dengan patch berukuran lebih kecil. Struktur vegetasi asli yang menyusun patch dengan luasan terentu memiliki peran penting dalam mempertahankan keaneka-ragaman hayati. Menurut MacArthur & MacArthur (1961), karakteristik struktural dan vegetasi yang kompleks cenderung mampu mendukung keanekaragaman hayati yang tinggi dibanding dengan struktur vegetasi yang sederhana atau bahkan terdegradasi. Tindakan mempertahankan dan membangun patch agar memiliki ukuran yang lebih luas dan struktur vegetasi alami yang kompleks sangat penting untuk melestarikan spesies-spesies yang sensitif terhadap perubahan ukuran luas habitat.
2). Mempertahankan kompleksitas struktural pada seluruh lanskap
Areal-areal yang terletak di sekitar patch vegetasi alami sering disebut sebagai matriks. Matriks yang memiliki struktur vegetasi mirip dengan patch vegetasi alami dapat memberikan manfaat terhadap berfungsinya ekosistem melalui: penyediaan habitat bagi spesies-spesies asli, peningkatan konektivitas lanskap, dan penurunan pengaruh areal-tepi (edge effect).
3). Membangun penyangga di sekitar areal sensitif
Matriks yang memiliki struktur kompleks dapat berfungsi mengurangi dampak negatif dari pengaruh areal tepi terhadap keanekaragaman hayati. Strategi membangun areal penyangga dimaksudkan guna mencegah masuknya pengaruh negatif dari areal tepi ke dalam areal sensitif. Pengaruh negatif tersebut dapat berupa invasi spesies atau bahkan pencemar kimiawi.
4). Mempertahankan atau membangun koridor
Matriks yang kompleks secara struktural dapat meningkatkan konektivitas patch habitat bagi berbagai spesies serta konektivitas proses-proses ekologis. Konektivitas antara patch habitat dengan lanskap yang lebih luas dapat ditingkatkan dengan cara membangun koridor. Koridor merupakan areal berbentuk jalur memanjang yang ditumbuhi oleh vegetasi alami yang menjandi penghubung antar patch (Forman 1995).
5). Mempertahankan heterogenitas lanskap
Berdasarkan perspektif konservasi keanekaragaman hayati maka areal berukuran luas yang ditumbuhi oleh vegetasi alami merupakan areal yang optimal. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk maka areal tersebut semakin sulit ditemukan di sekitar lanskap terkelola. Oleh karena itu, areal-areal yang dapat mewakili kondisi alamiah merupakan kunci konservasi keanekaragaman hayati sehingga perlu dilindungi. Lanskap yang heterogen memberikan manfaat yang lebih baik karena memiliki keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibanding dengan lanskap yang dikelola secara intensif melalui monokultur.
6). Mempertahankan interaksi spesies kunci dan keragaman fungsional
Modifikasi lanskap untuk tujuan-tujuan produksi komoditas mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi komunitas ekologis. Hal ini selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan interaksi spesies seperti kompetisi, predasi dan asosiasi mutualisme (Soulé et al. 2005). Perhatian terhadap interaksi spesies dalam rangka perlindungan fungsi ekosistem dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni konservasi spesies kunci (keystone species) dan mempertahankan keragaman spesies berdasarkan kelompok fungsional. Spesies kunci merupakan spesies yang keberadaannya atau kelimpahannya tidak proporsional dengan pengaruhnya pada proses-proses ekosistem (Power et al. 1996). Keberadaan spesies kunci perlu dipertahankan karena jika hilang maka dapat terjadi perubahan yang besar pada seluruh ekosistem (Soulé et al. 2005). Sebagai contoh, hilangnya kelelawar dari lanskap pertanian tropis mengakibatkan beberapa pohon buah asli setempat yang ada di kawasan ini tidak mampu menghasilkan keturunan dalam jangka panjang. Hilangnya pohon ini selanjutnya mengakibatkan terjadinya penurunan aliran genetik antar pepohonan yang tumbuh di areal hutan sisa terdekat (Cascante et al. 2000).
Keragaman fungsional merupakan spektrum fungsi ekosistem yang ditempati oleh berbagai spesies yang berbeda. Ekosistem yang memiliki keragaman spesies berdasarkan kompok fungsional mampu mempertahankan dirinya dari perubahan akibat pengaruh luar. Pengelolaan interaksi spesies dan keragaman fungsional memerlukan identifikasi proses-proses ekosistem kunci, spesies-spesies yang terkait dalam prises tersebut, dan aksi pengelolaan yang diperlukan untuk mempertahankan spesies tersebut. Interaksi spesies memerlukan perhatian pengelolaan khusus di dalam lanskap jika diduga terdapat interaksi yang terancam bahaya, seperti antara tumbuhan dan polinator.
7). Penerapan rezim gangguan yang sesuai
Perubahan lanskap seringkali menimbulkan terjadinya perubahan sejarah rezim gangguan. Perubahan tersebut secara substansial dapat mengubah struktur vegetasi dan komposisi spesies (Hobbs & Huenneke 1992) dan berpotensi sebagai pemicu terjadinya perubahan ekosistem yang tak dapat pulih kembali (Hobbs 2001). Pengelolaan terhadap rezim gangguan merupakan hal penting pada saat diduga atau diketahui bahwa beberapa spesies bergantung pada tingkatan suksesional atau gangguan tertentu (misal jarang terjadi gangguan, kebakaran dengan intensitas rendah, atau hutan berumur-tua).
8). Pengendalian spesies agresif, kelimpahan-berlebih dan invasif
Perubahan lanskap oleh adanya aktivitas manusia cenderung mengakibatkan terjadinya kehilangan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar. Beberapa spesies mampu beradaptasi dengan perubahan, tetapi juga terdapat spesies yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Kelimpahan spesies yang mampu beradaptasi dengan perubahan lanskap akibat faktor antropogenik meningkat dan selan-jutnya dapat memberikan dampak negatif bagi spesies lainnya melalui perilaku yang agresif, kompetisi, atau predasi. Sebagai contoh, hasil penelitian Grey et al. (1998) menun-jukkan bahwa burung-madu memiliki agresifitas yang tinggi dan menjadi pesaing yang kuat bagi jenis-jenis burung asli lainnya. Akibatnya terjadi penurunan populasi dan jenis-jenis burung pemakan serangga, yang akhirnya menyebabkan terjadinya ledakan populasi serangga dan penurunan kesehatan pohon di berbagai lanskap. Introduksi spesies seringkali menjadi penyebab utama terjadinya kepunahan (Clavero & Garcia-Berthou 2005) karena menjadi predator atau kompetitor yang efektif bagi spesies asli yang tidak mampu beradaptasi dengan keberadan spesies introduksi. Berdasarkan hal tersebut maka pengendalian spesies invasif memegang peranan penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di lanskap produksi (Zavaleta et al. 2001), terutama pada ekosis-tem yang mendapat pengaruh negatif kuat dari spesies invasif (Fischer et al. 2006).
9). Minimasi ancaman proses-proses ekosistem-spesifik
Ancaman terhadap ekosistem spesifik perlu dinyatakan secara tegas dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang terdapat pada lanskap produksi. Aksi-aksi spesifik yang disesuaikan dengan situasi setempat perlu dilakukan guna menurunkan dampak terhadap proses-proses ekosistem tersebut. Ancaman ini dapat berupa pencemaran bahan kimia maupun perburuan (Oaks et al. 2004, Reynolds 2003).
10). Mempertahankan spesies yang memerlukan perhatian khusus
Strategi yang telah diuraikan di atas difokuskan pada upaya pemeliharaan keaneka-ragaman hayati secara umum dan kelompok fungsional secara khusus dengan tujuan untuk mempertahankan resiliensi ekosistem. Pendekatan-pendekatan tersebut mirip dengan manfaat jumlah spesies yang berbeda-beda. Meskipun bukan merupakan spesies kunci, spesies yang memiliki resiko kepunahan tinggi seringkali sangat jarang dan memberikan kontribusi yang kecil terhadap keseluruhan fungsi ekosistem. Namun demikian, spesies tersebut tetap harus diprioritaskan karena sekali punah, penurunannya tidak dapat dipulihkan. Pengelolaan spesies terancam punah memiliki sejarah yang panjang di bidang biologi konservasi dan rencana yang difokuskan pada pemulihan kasus-spesifik seringkali diperlukan guna mengurangi penurunan spesies-spesies tersebut (Caughley & Gunn 1996). Penentuan potensi keberadaan spesies langka atau terancam punah merupakan tahap awal yang penting dalam mempertahankan spesies dengan perhatian khusus (Fischer et al. 2006).
VI. KESIMPULAN
Hilangnya habitat dan terfragmentasinya habitat satwaliar maupun tumbuhan merupakan ancaman terbesar kelestarian populasi keanekaragaman hayati. Pelestarian keanekaragaman hayati di areal-areal pertambangan dapat menjadi komplemen bagi kawasan lindung di sekitarnya. Konektivitas antar patch habitat yang menghubungkan habitat-habitat berukuran kecil dengan habitat berukuran besar merupakan kunci kelangsungan hidup populasi spesies. Selain itu, upaya mempertahankan patch habitat bertumbuhan vegetasi jenis asli setempat dengan luasan yang mencukupi dapat mencegah terjadinya kepunahan spesies lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Caughley G and A Gunn. 1996. Conservation Biology in Theory and Practice. Oxford, UK: Blackwell Science.
[CBD] Convention on Biological Diversity. 1992. Convention on Biological Diversity. Available at: www.biodiv.org/
Chapin FS III, ES Zavaleta, VT Eviner, RL Naylor, PM Vitousek, HL Reynolds, DU Hooper, S Lavorel, OE Sala, SE Hobbie, MC Mack and S Diaz. 2000. Consequences of changing biodiversity. Nature 405:234–242.
Clavero M and Garcia-Berthou E. 2005. Invasive species are a leading cause of animal extinctions. Trends in Ecology and Evolution 20:110.
Costanza R, R d'Arge, R deGroot, S Farber, M Grasso, B Hannon, K Limburg, S Naeem, R O'Neill, J Paruelo, RG Raskin, P Suttonkk and M van den Belt. 1997. The value of the world's ecosystem services and natural capital. Nature 387:253–260.
Daily GC. 1997. Introduction: what are ecosystem services?. Pp:1–10. In: GC Daily (Ed.). Nature's Services: Societal Dependence on Natural Ecosystems. Washington DC: Island Press.
Daily GC. 2001. Ecological forecasts. Nature 411:245.
de Groot R, MA Wilson and RM Boumans. 2002. A typology for the classification, description and valuation of ecosystem functions, goods and services. Ecological Economics 41(3):393–408.
Ehrlich P and A Ehrlich. 1981. Extinction. New York: Ballantine Books.
Feest A. 2006. Establishing baseline indices for the quality of biodiversity of restored habitats using a standardised sampling process. Restoration Ecology 14(1):112-122.
Fischer J, DB Lindenmayer and AD Manning. 2006. Biodiversity, ecosystem function, and resilience: ten guiding principles for commodity production landscapes. Frontiers in Ecology and Environment 4(2):80–86.
Forman RTT. 1995. Land Mosaics: The ecology of landscapes and regions. New York: Cambridge University Press.
Grey MJ, MF Clarke and RH Loyn. 1998. Influence of the noisy miner Manorina melanocephala on avian diversity and abundance in remnant Grey Box woodland. Pacific Conservation Biology 4:55–69.
Hobbs RJ. 2001. Synergisms among habitat fragmentation, livestock grazing, and biotic invasions in southwestern Australia. Conservation Biology 15:1522–28.
Hobbs RJ and Huenneke LF. 1992. Disturbance, diversity, and invasion–implications for conservation. Conservation Biology 6:324–37.
Hoekstra JM, TM Boucher, TH Ricketts and C Roberts. 2005. Confronting a biome crisis: global disparities of habitat loss and protection. Ecology Letters 8:23–29.
Hooper DU, FS Chapin, J Ewel, A Hector, P Inchausti, S Lavorel, JH Lawton, DA Wardle. 2004. Effects of biodiversity on ecosystem functioning: a consensus of current knowledge. Ecological Monographs 75:3–35
Kurki S, P Helle, H Lindén and A. Nikula. 1997. Breeding success of black grouse and capercaillie in relation to mammalian predator density on two spatial scales. Oikos 79:301–310.
Kurki S, A Nikula, P Helle and H Lindén. 1998. Abundances of red fox and pine marten in relation to composition of boreal forest landscapes. Journal of Animal Ecology 67:874–886.
Liu JG, M Linderman, ZY Ouyang, L An, J Yang and H Zhang. 2001. Ecological degradation in protected areas: the case of Wolong Nature Reserve for giant pandas. Science 292:98–101.
MacArthur RH and JW MacArthur. 1961. On bird species diversity. Ecology 42:594–98.
May RM. 1972. Stability and Complexity in Model Ecosystems. New Jersey: Princeton University Press.
Mertz O, HM Ravnborg, GL Lövei, I Nielsen and CC Konijnendijk. 2007. Ecosystem services and biodiversity in developing countries. Biodiversity Conservation 16:2729–2737.
Oaks JL, M Gilbert, MZ Virani, RT Watson, CU Meteyer, BA Rideout, HL Shivaprasad, S Ahmed, MJI Chaudhry, M Arshad, S Mahmood, A Ali and AA Khan. 2004. Diclofenac residues as the cause of vulture population decline in Pakistan. Nature 427:630–33.
Orlove BS and SB Brush. 1996. Anthropology and the conservation of biodiversity. Annual Review of Anthropology 25:329–352.
Pimm SL. 1984. The complexity and stability of ecosystems. Nature 307:321–326.
Power ME, D Tilman, JA Estes, BA Menge, WJ Bond, LS Mills, G Daily, JC Castilla, J Lubchenco and RT Paine. 1996. Challenges in the quest for keystones. BioScience 46:609–20.
Rappole JH. 1996. The importance of forest for the world's migratory bird species. Pp: 389–406. In: RM Degraaf and RI Miller (Eds.). Conservation of Faunal Diversity in Forested Landscapes. New York: Chapman and Hall.
Reynolds JD. 2003. Life histories and extinction risk. In: TM Blackburn and KJ Gaston. (Eds). Macroecology: Concepts and consequences. Oxford, UK: Blackwell Publishing.
Robinson WD, JD Brawn and SK Robinson. 2000 Forest bird community structure in central Panama: influence of spatial scale and biogeography. Ecological Monographs 70:209–235.
Rodrigues ASL, SJ Andelman, MI Bakarr, L Boitani, TM Brooks, RM Cowling, LDC Fishpool, GAB da Fonseca, KJ Gaston, M Hoffmann, JS Long, PA Marquet, JD Pilgrim, RL Pressey, J Schipper, W Sechrest, SN Stuart, LG Underhill, RW Waller, MEJ Watts and X Yan. 2004. Effectiveness of the global protected area network in representing species diversity. Nature 428:640–43.
Sjögren P. 1991. Extinction and isolation gradients in metapopu1ations:the case of the pool frog (Rana lessonae). Biological Journal of the Linnean Society 42:135-148.
Soulé ME, JA Estes, B Miller and DL Honnold. 2005. Strongly interacting species. conservation policy, management, and ethics. Bioscience 55:168–76.
Worm B and JE Duffy. 2003. Biodiversity, productivity and stability in real food webs. Trends in Ecology and Evolution 18(12):628–632.
Zavaleta ES, RJ Hobbs and HA Mooney. 2001. Viewing invasive species removal in a whole-ecosystem context. Trends in Ecology and Evolution 16:454–59.
2
Makalah disampaikan pada "Seminar dan Pelatihan Reklamasi Lahan Pasca Tambang", diselenggarakan oleh Tree Grower Community, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertaian Bogor. Ruang Sidang Sylva, 23 November 2013.
Staf Pengajar pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.