Res Respir pi r ator y Di D i str ess Syndr ome et causa Prematuritas
Natalia Angreini Gunawan* NIM: 102010016 (Kelompok D3)
*Mahasiswa Semester Keenam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Terusan Arjuna No. 6 Jakarta 11510 Email:
[email protected]
Pendahuluan
Syndrome gawat nafas idiopatik (respiratory distress syndrome) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru. Gangguan ini biasanya juga di disebut penyakit membrane hyaline, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. RDS seringkali dihubungkan dengan kelahiran prematur. Insidensinya berbanding terbalik dengan usia kehamilan , semakin muda usia kehamilan ibu semakin tinggi 1
kejadian RDS pada bayi tersebut. Selain itu kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes melitus, toksemia gravidarum, hipotensi, melahirkan secara seksio sesar serta riwayat perdarahan antepartum.
Tinjauan Pustaka
ANAMNESIS Anamnesis pada neonatus dengan kasus RDS lebih ditekankan pada riwayat kehamilan dan persalinan ibu. Identitas ibu
Nama, usia, pekerjaan, status, agama, suku bangsa dan pendidikan terakhir.
Riwayat Kehamilan ibu Primigravida atau multigravida Primipara atau multipara Riwayat kehamilan kurang bulan Riwayat kehamilan lebih bulan Riwayat keguguran (abortus) Gizi ibu selama kehamilan Penyakit selama kehamilan (hipertensi, diabetes mellitus, pre-eclampsia dan
eclampsia, kelainan jantung bawaan, plasenta previa dan solutio plasenta). Pemeriksaan antenatal care secara rutin.
Riwayat Persalinan Pernah melahirkan sebelumnya baik pervaginam maupun riwayat section
sesar (SC). 1,2
Pernah melahirkan bayi kembar (gemelli).
2
PEMERIKSAAN FISIK Tujuan pemeriksaan neonatus setelah lahir ialah untuk menemukan kelainan yang segera membutuhkan pertolongan dan sebagai dasar pemeriksaan selanjutnya. Sebelum pemeriksaan neonatus, sebaiknya pemeriksa mengetahui riwayat kehamilan dan 1
persalinan.
1. Keadaan Umum APGAR score ditentukan sesaat setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik dan telah dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Apabila APGAR score rendah kemungkinan bayi mengalami 1-4
asfiksia.
Gambar 1. Kriteria APGAR score
2
3
2. Berat badan lahir menurut grafik Lubchenko Dengan grafik ini dapat ditentukan apakah bari kurang bulan, cukup bulan atau lebih bulan. Kemudian dapat ditentukan pula apakah berat badan bayi sesuai 2
dengan usia kehamilan.
Gambar 2. Grafik Lubchenko
2
3. Toraks Pernafasan bayi baru lahir biasanya diafragmatik, frekuensi pernafasan berkisar antara 30-100x permenit, bergantung pada aktivitas, sebaiknya dihitung selama satu menit penuh karena fluktuasinya. Pada bayi premature sering menunjukan pernafasan
cheyne-stokes.
Suara
pernafasan
bayi
baru
lahir
adalaha
bronkovesikuler. Frekuensi nadi bayi adalah sekitar 70-180x/menit. Normal 1
tekanan darah neonatus ialah 85/60mmHg. 4. Refleks
Refleks yang dapat dilihat ialah reflex moro, yang mana merupakan gerakan seperti memeluk bila ada rangsangan, misalnya dengan menarik kain tempat ia berbaring. Refleks isap dapat ditimbulkan dengan meletakan suatu benda di mulutnya. Refleks rooting, yaitu bayi akan mencari benda disekitar mulutnya dan 4
akan menghisapnya. Refleks plantar dan reflex grasp ditimbulkan dengan meletakan sesuatu benda pada telapak kaki atau tangan dan akan terjadi gerakan fleksi jari-jari.
1,2,4
PEMERIKSAAN PENUNJANG I.
Rontgen Thoraks Rontgen thorak pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau
gambaran ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang buruk. Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkioli yangterisi udara didepan alveoli yang kolaps .Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah 2,3
dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat.
Gambar 3. Foto rontgen toraks bayi dengan RDS II.
1
Pemeriksaan fungsi paru Frekuensi pernafasan yang meningkat pada RDS akan meningkatkan perubahan
pada fungsi paru seperti tidal volume menurun, lung compliamnce berkurang disertai 1
vital capacity yang terbatas. Fungsi ventilasi dan p erfusi paru juga akan terganggu.
5
III.
Analisis Gas Darah Gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik bersamaan dengan
hipoksia, Asidosis muncul karena atelektasis alveolus dan/atau overdistensi jalan napas terminal. Asidosis metabolik merupakan asidosis laktat primer, yangmerupakan akibat 2
dari perfusi jaringan yang jelek dan metabolism anaerob. IV.
Gambaran histopatologi Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukan adanya atelektasis dan membran
hyaline dalam alveolus. Disamping itu terdapat pula bagian paru yang terdapat emfisema. Membran hyaline yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin 1
berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.
Gambar 4. Hasil pemeriksaan histopatologi pasien dengan RDS
5
DIAGNOSIS KERJA Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, bayi berusia 33 minggu tersebut menderita Respiratory Distress Syndrome et causa prematuritas.
6
7
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, RDS diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kira-kira 50% kelahiran neonates yang lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu mengalami RDS,dan kurang 1
dari 30 % neonatus premature usia kehamilan 30-31 minggu mengalami keadaan ini.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayiyang lagir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan (matur).
2
2
Insidens pada bayi premature kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam.
RDS lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan.
Kejadia RDS saat ini didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.
2
2
ETIOLOGI Pada bayi premature, RDS terjadi karena gangguan sintesis dan sekresi surfaktan yang menyebabkan terjadinya atelektasis, ketidakseimbangannya ventilasi-perfusi paru, dan hipoventilasi yang mengakibatkan hipoksemia. Pada pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
menunjukkan
asidosis
metabolik
dan
respiratorik
yang
mengakibatkan
vasokonstriksi pulmonum, kerusakan endotel dan integritas epithelial dan terbentuknya eksudat protein dan terbentuknya formasi membrane hialin. Defisiensi relative dari surfaktan menurunkan daya kompliens paru dan kapasitas residu fungsional, sehingga meningkatkan deadspace. Hipoksia, asidosis, hipotermia dan hipotensi akan merusak produksi dan sekresi surfaktan. Evaluasi secara makroskopik, menunjukkan bahwa paru terlihat merah seperti hati dan kolaps. Sedangkan atelektasis dan distensi difus tampak di bagian distal saluran napas yang diobservasi secara
8
mikroskopik. Atelektasis progresif, barotruma dan toksisitas oksigenasi merusak sel endotel dan sel epitel mengakibatkan eksudasi matriks fibrin dari darah. Membrane hialin di alveoli terbentuk dalam waktu setengah jam setelah kelahiran. Pada bayi premature, epitel mulai menyembuh saat 36-72 jam setelah kelahiran, dan sintesis surfaktan dimulai. Fase penyembuhan ditandai dengan regenerasi 2
sel alveolar,termasuk sel tipe II, menghasilkan peningkatan aktivitas surfaktan.
PATOFISIOLOGI
Atelektasis
Hambatan pembentukan substansi surfaktan
Hipoksia
Penurunan aliran darah paru
Asidosis
Transudasi
Gambar 5. Patofisiologi RDS
1
9
Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru menyebabkan atelektasis pada neonatus. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak. Senyawa utama zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke-35. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada RDS menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga pada pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan netgatif intra toraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi kedalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama sama dengan jaringan epitel nekrotik 1-3
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hyaline.
Gambar 6. RDS pada bayi premature
6
10
GEJALA KLINIS Gejala gangguan pernafasan
Gejala lain :
Dispnoe Berat
o
Bradikardi
Takipnoe
o
Hipotensi
Pernapasan yang dangkal dan
o
Kardiomegali
cepat
o
Pitting edema terutama didaerah
Sianosis akibat hipoksia
Retraksi
suprasternal,
epigastrium dan interkostal
Napas cuping hidung
Mendengkur
dorsal tangan atau kaki o
Hipotermi
o
Tonus otot yang menurun
1
PENATALAKSANAAN Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau memburuknya keadaan klinis akibat prosespertukaran gas di paru-paru yang terganggu.
11
7
Gambar 7. Penatalaksanaan pada bayi RDS
12
Penatalaksanaan di ruang NICU Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif neonatus (NICU) saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan surfaktan, high frequency 2
ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), telah banyak d ilakukan. 1) Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagaiefek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknyakondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. Derajat distress pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan. Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg denganasidemia persisten, dan (4) bayi yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan 2
nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.
13
2) Surfaktan Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami RDS yang berat. Selanjutnya surfaktandapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetapdan bayi 2,7
memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih.
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer.
Pemberian
langsung
kedalam
selang
ETT
memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitasnya lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan cara ini kurang efektif karena volume surfaktan yang sampai kedalam 2,8
paru-paru lebih sedikit.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi, hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada saat pemberian surfaktandilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat terjadi pada bayi yang sangat premature akibat redistribusi yang mendadak dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat diatasi dengan menghentikan pemberiansurfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan 2,8
ventilasi.
3) Inhaled Nitric Oxide Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangkapendek seperti perdarahan paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada 2
bayi prematur dengan gagal napas.
14
PROGNOSIS Sulit menentukan prognosis RDS karena bergantung pada tingkat prematuritas 2
dan beratnya penyakit. Mortalitas neonatus diperkirakan antara 20-40%.
KOMPLIKASI Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi : A. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ) pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala berupa hipotensi, apnea, atau bradikardi atau asidosis yang menetap. B. Dapat timbul infeksi sekunder yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk atau tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi. C. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS yang menggunakan ventilasi mekanik. D. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi 1,2
dengan RDS dengan terapi surfaktan.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju keotak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi : 1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. 2. Retinopathy premature dan kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi. 1,2
3. Pneumothorax
15
Penutup
Hipotesis diterima. bayi berusia 33minggu yang dilahirkan secara SC menderita Respiratoty Distress Sydrome. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel danselanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi premature adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS). . Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak ditemukannya surfaktan eksogen . Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus. Prognosis RDS dubia ad bonam asalkan penanganan dilakukan segera. Daftar Pustaka
1. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid ke-3. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 1985. h 1083-8. th
2. Kliegman, Berhman, Jenson, Stanton. Nelson textbook of pediatrics. 18 ed. USA : Elsevier, 2007 3. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatric Rudolph. Edisi ke-20. Jakarta : EGC, 2007 th
4. Roberton DM, South M. Practical pediatrics. 6 ed. USA : Elsevier, 2006. 5. Diunduh dari : http://pathhsw5m54.ucsf.edu/overview/imagesover/acutelunginj/dad.jpg , tanggal 2 Juni 2013.
6. Diunduh dari : http://trialx.com/curetalk/wpcontent/blogs.dir/7/files/2011/05/diseases/Infant_Respiratory_Distress_Syndrome-1.jpg , tanggal 2 Juni 2013.
7. Diunduh dari : http://1.bp.blogspot.com/_DmGFMv8zAeg/TTIfMhI6sI/AAAAAAAAAQ8/7Sh9o-l3nUY/s1600/GAGAL%2BNAFAS.jpg, tanggal 2 Juni 2013.
8. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi ke-10. Jakarta: EGC, 2007 16