Pancasila di Zaman Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Setelah Jepang terhimpit akibat kekalahannya pada Perang Dunia ke-2, kita
tahu Jepang membentuk BPUPKI, atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Dalam sebuah sidang yang berlangsung sejak 29 Mei
hingga 1 Juni 1945, pertanyaan besar yang muncul ke permukaan dalam sidang
adalah, "Bila Indonesia merdeka, apa yang akan menjadi dasar negara?" Mr.
Muhammad Yamin, pada sidang tanggal 29 Mei 1945 mengemukakan lima dasar
negara, yaitu: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri
Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dua hari berikutnya, 31 Mei 1945, Dr.
Supomo mengajukan lima dasar lain yang mirip, yaitu Persatuan,
Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, dan Keadilan Sosial.
Segenap peserta sidang kemudian mendapat pencerahan setelah Ir. Soekarno
maju untuk berpidato tentang dasar negara yang digagasnya pada tanggal 1
Juni 1945. Lima dasar yang dikemukan oleh Sukarno adalah Kebangsaan,
Kemanusiaan, Kerakyatan, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan. Dasar-dasar itu
diberi istilah Pancasila. Soekarno kemudian juga meringkas lagi lima hal
itu menjadi tiga, atau disebut Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-
Demokrasi, dan Ketuhanan. Terakhir, ia memaktubkan kelima hal itu dalam
Ekasila, yaitu Gotong Royong.
Apa yang Soekarno sampaikan dalam pidatonya sebenarnya merupakan
kristalisasi pemikirannya sejak tahun 1926 ketika ia menulis buku bertajuk
Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Pidato Soekarno disambut baik, dikenang
amat bersejarah; bahkan sempat tercatat bahwa pidatonya itu disambut dengan
tepukan dan sorakan hadirin yang riuh-rendah.
Setelah Indonesia merdeka, yang menjadi tantangan berikutnya adalah
ideologi yang memang sejak awal telah disinyalir oleh Soekarno sebagai
kekuatan yang cukup besar dalam pidatonya, yaitu Islamisme. Bahkan antara
tahun 1957 hingga 1959 ada pemikiran yang berkembang di Dewan Konstituante
untuk merumuskan kembali dasar negara. Pilihannya ada tiga: Pancasila,
Islam, atau Sosio-Demokrasi. Namun Indonesia tetap menjunjung Pancasila
sebagai dasar negara. Ini mengingatkan apa yang telah disampaikan Soekarno
dalam pidatonya, "Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di
sini, mau pun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah
mufakat ... kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'."
Pancasila di Zaman Orde Baru dan Reformasi
Di zaman Orde Baru, kita semua mengetahui suatu kenyataan pahit nan
membosankan tentang kegiatan-kegiatan P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila). Alih-alih menjunjung Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara, Orde Baru lewat P4 malah menjadikan Pancasila sebagai dogma
saja dengan cara yang begitu kaku. Posisi Pancasila sebagai dasar negara
dan ideologi mulai luntur akibat datarnya dan membosakannya sesi-sesi
tentang Pancasila yang dikemas dalam P4.
Ketika Orde Baru ditumbangkan oleh mahasiswa, bangsa Indonesia mencari-cari
lagi ideologi yang pas di era Reformasi. Buku-buku "haluan kiri" -- yang
sebagian di antaranya memuat wacana filosofis dan ideologis yang liberal --
yang di masa Orde Baru dianggap mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara,
diterbitkan di mana-mana, laris-manis seperti kacang goreng. Liberalisme,
yang makin marak mewabah akibat arus globalisasi -- bahkan gaungnya terasa
hingga kini -- membuat kita mulai berpikir ulang: apakah Pancasila tetap
(dan akan terus) menjadi dasar negara?
Namun, Pancasila tetap menjadi ideologi bangsa dan dasar negara, walau kita
mungkin masih samar bagaimana kedudukannya yang amat tinggi itu bisa
mewujud-nyata dalam keseharian berbangsa dan bernegara. Presiden SBY, dalam
pidatonya tiga tahun silam menghimbau agar kita hendaknya "... meletakkan
Pancasila sebagai rujukan, sumber inspirasi dan jendela solusi untuk
menjawab tantangan nasional.... Sebab Pancasila adalah falsafah, dasar
negara dan ideologi terbuka." Hal ini amat sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Roeslan Abdulgani, bahwa Pancasila yang kita miliki bukan sekadar
berisikan nilai-nilai statis, tetapi juga jiwa dinamis.
Tantangan bagi Dunia Pendidikan
Kini, di masa pengaruh kebudayaan asing semakin kuat terasa akibat
globalisasi, perlu ada upaya untuk kembali menghadirkan Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi bangsa yang kokoh. Kedinamisan jiwa Pancasila --
seperti yang disampaikan Roeslan Abdulgani itu -- dapat diwujudkan lewat
pendidikan.
Dr. Anhar Gonggong, seorang sejarawan, menyatakan dengan gamblang
pendidikan Pancasila mengambil peran penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai Pancasila dapat ditanamkan secara memadai "... lewat
ilmu sejarah, dengan menerangkan secara benar proses kelahiran dan
perumusannya. Atau lewat ilmu kenegaraan, bagaimana kita bernegara secara
Pancasilais. Jadi, Pancasila bisa berkembang dan tidak hanya sekadar
dikunyah-kunyah sebagai alat verbalistik. Pancasila harus menjadi ide
realistik."