33
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun 1965. Orde baru lahir sebagai upaya untuk : mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia,melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Proses kejatuhan Orde Baru telah tampak ketika Indonesia mengalami dampak langsung dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia. Ketika krisis ini melanda Indonesia, nilai rupiah jatuh secara drastis, dampaknya terus menggerus di segala bidang kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik dan sosial. Tidak sampai menempuh waktu yang lama, sejak pertengahan tahun 1997, ketika krisis moneter melanda dunia, bulan Mei 1998, Orde Baru akhirnya runtuh. Krisis moneter membuka jalan bagi kita menuju terwujudnya kehidupan berdemokrasi yang sehat, yang selama ini terkukung oleh sistem kekuasaan Orde Baru yang serba menguasai semua sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Proses menuju reformasi telah dimulai ketika wacana penentangan politik secara terbuka kepada Orde Baru mulai muncul. Penentangan ini terus digulirkan oleh mahasiswa, cendikiawan dan masyarakat, mereka menuntut pelaksanaan proses demokratisasi yang sehat dan terbebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang mucul dampak tidak diimbanginya pembangunan fisik dengan pembangunan mental (character building) terhadap para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat). Mereka juga menuntut terwujudnya rule of law, good governnance serta berjalannya pemerintahan yang bersih. Oleh karena itu, bagi mereka reformasi merupakan sebuah era dan suasana yang senanatiasa terus diperjuangkan dan dipelihara.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka Rumusan Masalah yang di klarifikasi pada makalah ini adalah sebagai berikut :
Bagaimana jatuhnya Pemerintahan Orde Baru ?
Krisis apa saja yang dihadapi oleh Pemerintahan Orde Baru?
Apa Pengertian dan Agenda Masa Pemerintahan Reformasi?
Apa Latar Belakang terbentuknya Pemerintahan Reformasi?
Apa faktor yang mendorong munculnya Reformasi?
Bagaimana Kronologi Gerakan Reformasi?
Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini, kami berharap dapat mencapai tujuan yang diingkan yaitu :
Mengetahui Proses Jatuhnya Pemerintahan Masa Orde Baru
Mengetahui krisis-krisis yang dihadapi oleh Pemerintahan Orde Baru
Mengetahui Pengertian dan Agenda Masa Pemerintah Reformasi
Mengetahui Latar belakang terbentuknya Reformasi
Mengetahui faktor yang mendorong munculnya Reformasi
Mengetahui secara kronologis Gerakan Reformasi
BAB 2
PEMBAHASAN
AKHIR ORDE BARU
Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selam 32 tahun ternyata tidak konsisten dan konsekuan terhadap tekad awal munculnya orde baru, yaitu akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan politik Indonesia mulai memanas sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang di rencanakan pada bulan mei 1997. Pemerintahan orde baru yang di dukung oleh Golkar (Golongan Karya) berusaha mempertahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum sebelumnya.
Setelah orde baru memegang kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan,maka muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaan (status quo). Oleh karena keinginan mempertahankan kekuasaan tersaebut, menjadikan semakin jauh dari tekad awal orde baru. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan tersebut di rekayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut di anggap selalu sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
Jatuhnya pemerintahan orde baru di sebabkan oleh beberapa faktor yang di awali oleh krisis ekonomi dan krisis politik yang berkepanjangan. Kebijakan - kebijakan orde baru yang menyimpang tersebut memunculkan krisis berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Krisis Pada Masa Orde Baru
Bentuk – bentuk krisis yang dihadapi oleh Pemerintah Orde Baru antara lain sebagai berikut :
Krisis Moneter
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden B.J. Habibie, untuk menjadi Presiden ketiga Indonesia.
Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi kekuatan penghasilan Rupiah. Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan bertubi-tubi, dijual untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia melepaskan Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah. IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000 dampai 18,000 per US Dollar.
Di tengah ketegangan politik, bangsa Indonesia menghadapi persoalan lain,yaitu adanya krisis moneter. Akibat adanya krisis moneter kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto semakin berkurang. Gelombang demonstrasi mahasiswa semakin tidak dapat dibendung. Pada tanggal 19 mei 1988, mahasiswa dari berbagai kampus yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang teru berdatangan kegedung MPR/DPR. Mereka mendesak Soeharto mundur dari kursi Presiden dan menuntut reformasi total. Salah satu penyebab mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yaitu terlihat dari pernyataan politik Kosgoro (salah satu organisasi di bawahGolkar) yang meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar , Harmoko yang pada saat itujuga menjabat sebagai ketua MPR/DPR RI meminta Soeharto untuk mundur. Keroposnya perokonomian Indonesia semakin parah karena tindakan parakonglomerat yang menyalahgunakan posisi mereka sebagai pelaku pembangunan ekonomi. Karena berkembangnya budaya KKN, menyebabkan para konglomerat bisa bertindak dengan leluasa tanpa ada kontrol terjadi pula di beberapa negara Asia Tenggara seperti di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. pelaku spekulan. Meskipun banyak faktor yang menyebabkan krisis moneter ini, namun salah satu sebab utamanya adalah para spekulan asing yang telah memborong dolar lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga mata uang negara ASEAN terpuruk. Spekulan yang terbesar pada era krisis tersebut adalah George Soros. Pada masa Orde Baru, perekonomian lebih menberikan kentungan bagikaum modal atau konglomerat. Hal tersebut adalah wujud dari prakti-praktik KKN yang mengakibatkan rakyat semakin miskin dan tidak berdaya. Berikut adalah beberapa akibat dari krisis ekonomi :
Kurs rupiah terhadap dolar Amerika melemah pada tanggal 1Agustus 1997.
Pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997.
Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi empat puluh bank bermasalah.
Kepercayaan Internasional terhadap Indonesia menurun.
Perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapatmembayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo.
Angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karenabanyak perusahaan yang melakukan efisisensi atau menghentikan kegiatansama sekali.
Persediaan barang nasional, khususnya sembilan bahanpokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997.
Untuk mengatasi kesulitan moneter tersebut, pemerintah meminta bantuan dana pembangunan dari institusi nasional, yaitu International Monetory Fund (IMF). Pada tanggal 15 Januari 1998 di jalan Cendana Jakarta, Presiden Soeharto menandatangani 50 butir Letter Of Intent ( Lol ) yang disaksikan oleh Direktur IMF Asia, Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negeri tersebut. Faktor yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah masalah utang luar negeri, penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.
Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara,tetapi sebagian merupak utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6Februari 1998 mencapai 63,462 miliar dolar Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dolar Amerika Serikat. Ketika terjadi krisis moneter tahun1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot tajam, bahkan sempa tmencapai Rp 16.000,00. akibat dari utang-utang tersebut, maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Para pedagang luar negeri tidak percaya lagi terhadap importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangan. Hampir semua negara luar tidak mau menerima Letter Of Credit ( L/C ) dari Indonesia.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawahpimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan merupakan kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuran seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan. Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi bertujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi semua orang. Oleh karena itu, cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak maka akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat.Sistem ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk.
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan merupakan kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuran seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan. Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi bertujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi semua orang. Oleh karena itu, cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak maka akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni, terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumber alam kita.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru meliputi, antara lain :
Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter.
Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden).
Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga Presiden terus menerus dipilih kembali.
Terjadi monopol penafsiran Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan – tindakannya.
Pembatasan hak hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
Pembentukan lembaga lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas .
Terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multidimensi monopoli, oligopoli, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistik
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan sistem pemerintahanbersifat sentralistis, artinya semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di atur secara sentral dari pusat pemerintah ( Jakarta ), sehingga peranan pemerintah pusat sangat menentukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.Pelaksanaan politik sentralisasi ini sangat terlihat pada bidang ekonomi,sebagian besar kekayaan daerah dibawa ke pusat dan pemerintah daerah tidak dapatberbuat banyak karena dominasi pusat terhadap daerah sangat kuat. Hal tersebutmenimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat.Krisis moneter dan ekonomi semakin meluas dan menjadi krisismultidimensional. Di tengah situasi yang semakin melemahnya nilai rupiah, aksi massa,aksi buruh, dan aksi mahasiswa terjadi dimana-mana. Mereka menuntut agar pemerintah segera mengadakan pemulihan ekonomi, sehingga harga-harga sembako turun, tidak lagi ada PHK dan lain-lain.
Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan nmenimbulkan permasalahan politik. Ada kesan bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Pada dasarnya secara de jure (secar hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR tersebut di angkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Hal tersebut mengakibatkan suksesi politik pemerintah menjadi tidak terlaksana dengan baik. Kondisi tersebut memicu munculnya kondisi Status QUO yang berakibat pada munculnya krisis politik, baik itu dalam tatanan elite politik maupun masyrakat yang mulai mempertanyakan legitimasi pemerintahan orde baru.
Begitu mengakarnya budaya KKN dalam tubuh birokrasi pemerintah, menyebabkan proses pengawasan dan pemberian mandataris kepemimpinan dari DPR dan MPR kepada presiden menjadi tidak sempurna. Unsur legislatif yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar hukum dan haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh presiden Soeharto.
Selanjutnya dengan keadaan seperti itu, mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi yang di pelopori oleh kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang didukung oleh dosen dan rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle cabinet, dan menggelar Sidang istimewa MPR serta melaksanakan pemilihan umum secepatnya.
Gerakan reformasi disamping menuntut dilakukannya reformasi total di segala bidang juga menuntut agar dilakukannya pembaruan terhadap lima paket undang-undang politik di anggap menjadi sumber ketidakadilan. Lima paket undang-undang politik tersebut,antara lain sebagai berikut :
UU No.1 Tahun 1985 tentang pemilihan umum
UU No.2 Tahun 1985 tentang susunan,kedudukan,Tugas dan wewenag MPR/DPR
UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya.
UU No.5 Tahun 1985 tentang referendum
UU No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Pemerintah orde baru memiliki cara tersendiri untuk menciptakan stabilitas yang diinginkan,seperti dengan menjadikan Golkar sebagai mesin politik. Ada tiga jalur dalam tubuh golkaryang menjadi tumpuan kekuatan, yaitu ABRI, birokrat, dan Golkar. Dengan tiga jalur tersebut maka tidak mengherankan jika Golkar selalu menjadi pemenang dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan pada masa orde baru. Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan sebagai sarana dan arena penyaluran aspirasi rakyat, ternyata dijadikan sebagai alat kekuasaan atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Kebijakan dari dwifungsi ABRI menimbulkan peran social politik tentara yang besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bidang-bidang seharusnya masyarakat berperan lebih besar,ternyata diisi oleh personel dari TNI dan Polri. Seperti jabatan lurah, walikota, dan gubernur pada masa orde baru banyak diduduki oleh militer.
Setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei 1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas. Pemerintah orde baru yang di dukung oleh Golkar berusaha memenangkan pemilu dan mempertahankan kemenangan mutlak seperti yang telah di capai dalam lima pemilu sebelumnya.
Didalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah terhadap pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Pada pemilu tahun 1997, Golkar menang mutlak, PPP berhasil menambah beberapa hasil kursinya di DPR, sedangkan PDI mengalami penurunan secara drastis. Kemenangan Golkar tersebut diikuti dengan munculnya dukungan kepada Soeharto untuk menjadi presiden dalam sidang umum MPR 1998. Percalonan kembali soeharto sebagai presiden tidak dapat dipisahkan dari komposisi anggota MPR/DPR yang lebih mengarah pada unsur-unsur Nepotisme. Disamping itu, DPR/MPR belum berfungsi sebagai lembaga legislatif seperti yang dihrapkan rakyat. Dalam sidang umum MPR bulan Maret 1998 soeharto terpilih sebagai presiden dan wakil presiden B.J. Habibie. MPR juga berhasil menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan Negara.
Pada Tanggal 19 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai kampus yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang terus berdatangan ke Gedung MPR/DPR. Mereka mendesak soeharto mundur dari kursi presiden dan menuntut reformasi total.
Salah satu penyebab mundurnya soeharto adalah melemahnya dukungan poliotik, yang terlihat dari pernyataan politik kosgoro (salah satu organisasi di bawah Golkar) yang meminta soeharto mundur. Pernyataan kosgoro pada tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan ketua umu Golkar, Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR RI meminta soeharto untuk mundur.
Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan orde baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya, kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memilki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah(esksekutif). Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu,pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, kerena hakim-hakim harus melayanikehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat atau para pejabat Negara.
Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hokum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada keduudukan atau posisi yang sebenarnya. Reformasi hukum hendaknya di percepat untuk diakukan,karena merupakan suatu tuntuta agar siap meyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kekuasaan pemerintah belum dapat direalisasikan. Bahkan dalam praktiknya, kekuasaan kehakiman menjadi pelayan kepentingan para penguasa dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila seseorang yang dianggap bersalah bebas dari hukuman dan seseorang yang dianggap tidak bersalah malah harus masuk ke penjara. Memang harus diakui bahwa sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak dapat dijadikan barometer untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, bersamaan dengan krisi moneter, ekonomi, dan politik telah terjadi krisis di bidang hokum (peradilan). Keadaan itulah yang menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto.
Untuk mengatasi krisis multidimensional tersebut, maka satu-satu jalan adalah melaksanakan reformasi total dalam berbagai bidang kehidupan. Para mahasiswa sebagai pelopor gerakan reformasi mengajukan berbagai tuntutan. Misalnya, adili Suharto dan kroni-kroninya, ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN, tegakkan supremasi hukum. Untuk memenuhi tuntutan mahasiswa, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh nasional untuk membentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan tokoh agama dan tokoh nasional. Tokoh-tokoh tersebut menolak anggilan dan ajakan Suharto sehingga Presiden Suharto mengundurkan diri.
Krisis Kepercayaan
Dalam pemerintahan orde baru berkembang korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilaksanakan secara terselubung maupun secara terang-terangan.Hal tersebut mengakibatkan munculnya ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah dan tidak percayaan luar negeri terhadap Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto berkurang setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multimedia. Kemudian muncul beberapa aksi damai yang dilakukan oleh para mahasiswa dan masyarakat. Para mahasiswa semakin gencar berdemonstrasi setelah pemerintah mengumumkan kenaikan Harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di universitas trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi kekersan setelah tertembaknya empat mahasiswa trisakti, Yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan sie, dan Hafidhin Royan.
Pada waktu terjadi peristiwa tersebut, Presiden Soeharto sedang berada di kairo (mesir) dalam rangka menghadiri KTT G-15. Masyarakat menuntut agar Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintah bertanggung jawab atas tragedy tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto kembali ke Indonesia. Tuntutan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri tidak saja dari kalangan mahasiswa atau pihak oposisi saja, tetapi juga datang dari orang-orang terdekatnya.
Krisis Sosial
Pada masa akhir pemerintahan orde baru, indonesia mengalami gejolak politik yang tinggi, baik di tatanan pemerintahan maupun di tingkat pergerakan rakyat dan mahasiswa. Suhu politik yang memanas menimbulkan berbagai potensi perpecahan sosial di masyarakat.
Pola transmigrasi yang diterapkan oleh pemerintah tidak diiringi dengan penanganan solidaritas sosial di daerah tujuan.Pada akhirnya kecemburuan sosial akibat adanya disparitas tingkat perekonomian tidak dapat di hindari. Kondisi inilah yang kemudian memicu tuntutan kepada pemerintah pusat untuk mereformasi pola pembangunan ekonomi. Tuntutan inilah yang kemudian memunculkan kesadaran masyarakat indonesia akan pentingnya reformasi bagi kehidupan bangsa.
AWAL REFORMASI
Pengertian dan Agenda Reformasi
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau perilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak efisien maupun tidak bersih dan tidak demokratis. "Reformasi atau mati". Demikian tuntutan yang torehkan oleh para aktivis mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang di kampus mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi protes melalui kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998. Tuntutan tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi protes yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak awal tahun 1998. Gerakan ini bertujuan untuk melakukan tekanan agar pemerintah mengadakan perubahan politik yang berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.
Reformasi merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru. Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat di petik dalam waktu yang singkat, namun membutuhkan proses dan waktu. Bahkan hasil reformasi itu baru dapat di nikmati oleh masyarakat Indonesia secara bertahap, sehingga perlu adanya agenda reformasi untuk menpriotaskan mana yang lebih dulu harus di laksanakan. Lebih lanjut perlu juga dilakukan kontol atas reformasi, agar pelaksanaan reformasi tepat pada tujuan dan sasarannya. Reformasi yang tidak terkendali akan kehilangan arah dan bahkan cenderung melanggar norma-norma hukum, sehingga tidak akan membawa perbaikan dalam kehidupan masa depan masyarakat Indonesia.
Masalah yang sangat mendesak adalah upaya untuk mengatsi kesulitan masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Pada waktu itu, harga kebutuhan pokok rakyat sempat melejit tinggi, bahkan warga masyarakat harus antri untuk membelinya.
Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan bahwa pemerintah orde baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan pancasila dan UUD tahun 1945. Oleh krena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbarui tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Beberapa Agenda Reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain sebagai berikut :
Penegakan Supremasi Hukum
Empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan supremasi hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan Abdurrachman Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan. Harus diakui, di era reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk "perselingkuhan" antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk "cinta segi tiga" antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara masih belum banyak berubah dari pola dan budaya yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing institusi tersebut belum memiliki visi yang sama untuk menegakkan supremasi hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka untuk menuntaskan semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat. Para penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli kasus, jual beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan, pengacara "hitam", dan praktek-praktek KKN lain yang masih jalan terus.
Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum harus dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi mind set aparat penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya pembersihan dari oknum yang selama ini menggerogoti wibawa dan citra penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and punishment belum dilaksanakan dengan baik, seharusnya oknum yang jelas terbukti menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau melakukan pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat), bukan sekedar dimutasi atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, karena proses pembusukan institusi itu juga dimulai dari atas dan merambat ke bawah.
Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan hukum tidak terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana merupakan keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1). Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap :
Pra Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban;
Pengadilan, yaitu menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan yang sesuai dengan rasa keadilan;
Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulangi kejahatan tersebut.
Pemberantasan KKN
Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN.
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam hubungan antarbangsa. Di samping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional.
Usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks reformasi birokrasi, bahkan dalam rangka reformasi sistem administrasi publik secara keseluruhan. Karena kita ketahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi tetapi juga berjangkit pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umunya. Agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN, serta mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Sehingga diharapkan, sebagai stabilisator dalam bidang hukum, administrasi publik dapat mencegah atau pun memberantas KKN yang sudah mengakar di Negara Indonesia ini melalui reformasi birokrasi.
KKN yang merupakan penyakit kronis Orde Baru, berkembang menjadi neo-KKN orde transisi sekarang ini. Pemberantasan KKN telah menjadi agenda utama gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998.
Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih adalah merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Supremasi hukum adalah keberadaan hukm yang yang dibentuk melalui proses yang demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat luas, sehingga pelaksnaan pembangunan secara keseluruhan dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas dari praktik KKN dan perbuatn tercela lainnya. Dengan demikian, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan goog governance.
Sasaran yang diharapakan dari reformasi birokrasi ini adalah sebagai stabilisator dalam bidang hukum terutama dalam pemberantasan KKN, Administrasi Negara dapat mewujudkan good governance. Sehingga, KKN yang telah mendarah daging di birokrasi Indonesia dapat sedikit demi sedikit tersisih. Bahkan dapat hilang sama sekali karena tidak ada lagi birokrasi yang dapat mempermudah kegiatan KKN di negara ini.
Birokrasi di Indonesia saat ini mempunyai keberpihakan yang banyak diarahkan pada kepentingan segelintir orang atau pun kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, bekerja dengan lamban, tidak akurat, berbelit-belit, tidak efisien, serta memberatkan masyarakat. Birokrasi yang tidak netral telah turut membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik, dan birokrasi yang tidak netral elalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi pada setiap rezim pmerintahan, dengan akibat dan dampak yang serupa berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi, politik, dan sosial.
Pengadilan Mantan Presiden Soeharto Dan Kroninya
Oleh karena banyaknya persoalan-persoalan besar dan parah yang dihadapi negara dan rakyat dewasa ini (antara lain : banjir besar dimana-mana, gempa di Sumatera, listrik yang digilir, penderitaan yang menyedihkan bagi korban lumpur panas Lapindo, penyelewengan di Bank Indonesia, tersangkutnya anggota-anggota DPR dalam soal BLBI, diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo karena korupsi dll dll dll), maka persoalan besar mengenai tindakan hukum terhadap Suharto, beserta anak-anaknya dan kroni-kroninya, akhir-akhir ini kurang menjadi pembicaraan dan perhatian banyak orang.
Padahal, dalam konteks situasi dewasa ini penyelesaian masalah Suharto beserta anak-anak dan para kroninya, adalah masalah yang tetap penting, karena ada hubungannya yang erat dengan banyak soal bangsa dan negara kita. Hal-hal inilah yang diangkat secara baik dalam tulisan wartawan Siprianus Edi Hardum yang dimuat oleh Suara Pembaruan '(25 Februari 2008). Mengingat pentingnya tulisan ini untuk diteruskannya gugatan atau desakan masyarakat untuk menuntut keluarga Suharto beserta kroni-kroninya, maka disajikan kembali tulisan ini, bagi mereka yang tidak sempat membacanya di Suara Pembaruan.
Amandemen Konstitusi
Upaya amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 jangan hanya memperjuangkan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saja, tetapi bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat. Hal yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang hasil amandemen ke empat UUD 1945 sehingga perubahan lebih komprehensif guna mewujudkan cita-cita negara yang ingin dicapai.
Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan, Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bambang Triantoro, saat Forum Dialog Konstitusi di Press Room DPD, Senayan, Jakarta, kemarin.
Ketua Bidang Humas Dewan Harian Nasional Angkatan 45, Soeprapto berpandangan tidak ada larangan untuk melakukan perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. "Tetapi perubahan harus dilandasi dengan pertimbangan pemikiran berdasarkan postulat-postulat serta tidak menghilangkan jatidiri bangsa Indonesia. Perubahan harus bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi bangsa," ujarnya.
Menurutnya, setiap negara merdeka selalu memiliki konstitusi atau grondwet/Grudgesetz atau udang-undang dasar, sebagai hukum dasar yang mengatur mengenai hak dan kewajiban segala unsur yang terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melindungi warga negara dari segala tindakan yang merugikan, serta bertujuan menciptakan kesejahteraan dan keadilan.
Penghapusan dwifungsi ABRI
Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat sebuah negara di dalam negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat. Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat. Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut. Begitu juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari struktur ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan darurat mulai dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan dalam kenyataannya sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur BUMN. Bahkan masuknya militer ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR) sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur birokrasi tadi. Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian menghambat proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi dan intimidasi.
Oleh karenanya, dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri adalah pembubaran struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi ini bertujuan untuk membebaskan rakyat dari satu represi dan intimidasi yang kemudian akan memacu partisipasi dan kesadaran demokratik rakyat. Argumentasi yang diberikan oleh militer bahwa strukturt ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil pembentukkan struktur ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan milisi-milisi bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat. Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan Dwi Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum sejarah. Akan tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya kepada sipil sepenuh-penuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata, maka pembentukan milisi bela negara adalah jalan yang terbaik
Selain itu, militer juga membuat lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA, BAKIN atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman dan peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat luar biasa. Ia dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan tindakan-tindakan lembaga tersebut sering kali berbau kriminal seperti penculikan dan pembunuhan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan penginterogasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat. Oleh karenanya, pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi kedua dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan prinsip trias politika yang tegas dan penegakkan hukum yang konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia tidak perlu untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer dibersihkan dari lapangan politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer agar tidak kemudian berpihak pada kekuatan politik lain selain kekuatan politik rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang penyangga pada masa Rejim Orde Baru yang berlumuran darah tampaknya cukup menjadi contoh tentang pentingnya militer keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi militer. Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi (dalam bahasa kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk masuk dalam kekuasaan karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Penyitaan aset-aset ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara untuk dikelola. Penyitaan dan penghentian praktek bisnis militer ini tentunya harus dengan prasyarat bahwa ada jaminan kesejahteraan minimum bagi para prajurit (yang kemudian menahan keinginan militer untuk berbisnis) dan anggaran militer yang cukup oleh negara.
Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira militer pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki aturan-aturan prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah penegakkan Hak Asasi Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur penting bagi pembangunan demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer Indonesia memiliki peran yang cukup besar atas penindasan yang diterima oleh rakyat Indonesia selama puluhan tahun. Pertanggungjawaban secara hukum, politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi militer untuk dapat diterima kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan posisi militer sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer rakyat yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokrasi kerakyatan.
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya.
Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa "pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang". Sementara, dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
"…oleh karena negara Indonesia itu suatu "eenheidsstaat", maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang".
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, "Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah" (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin "autos" yang berarti sendiri dan "nomos"aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai "peraturan sendiri" atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi "pemerintahan sendiri". Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. yang berarti
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya terbatas.
Sementara dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud prinsip otonomi seluas-luasnya adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antara daerah. Hal yang penting juga adalah bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Latar Belakang Terbentuknya Reformasi
Krisis finalsial Asia yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan ekonomi Indonesia melemah. Keadaan memburuk. Adanya sistem monopoli di bidang perdagangan, jasa, dan usaha. Pada masa orde baru, orang-orang dekat dengan pemerintah akan mudah mendapatkan fasilitas dan kesempatan bahkan mampu berbuat apa saja demi keberhasilan usahanya. Terjadi krisis moneter. Krisis tersebut membawa dampak yang luas bagi kehidupan manusia dan bidang usaha. Banyak perusahaan yang ditutup sehingga terjadi PHK dimana-mana dan menyebabkan amgka pengangguran meningkat tajam serta muncul kemiskinan dimana-mana dan krisis perbankan. KKN semakin merajarela, ketidak adilan dalam bidang hukum, pemerintahan orde baru yang otoriter (tidak demokrasi) dan tertutup, besarnya peranan militer dalam orde baru, adanya 5 paket UU serta memunculkan demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai " Pahlawan reformasi". Menanggapi aksi reformasi tersebut, presiden soeharto berjanji akan mereshuffle cabinet pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, komite reformasi belum bisa terbentuk karenan empat belas menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai dimulainya orde reformasi.
Faktor Pendorong Terbentuknya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan orde baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, eknomi, dan hukum. Pemerintah orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto selam 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekat awal munculnya orde baru. Tekat awal orde baru pada awal kemunculannya pada tahun 1996 adalah akan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara.
Setelah orde baru memegang tampuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintaha, maka muncul suatu keinginan untuk terus menerus untuk mempertahankan kekuasaan atau status quo. Hal ini menimbulkan akses - akses negative, yaitu semakin jauh dari tekat awal orde baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan dilalkukan, penyimpangan dari nilai-nilai pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemeintah orde baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukannya itu di rekayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut selalu dianggap sah dan benar, walaupun merugikan rakyat. Berikut adalah beberapa faktor yang mendorong terbentuknya reformasi :
Adanya ketidakadilan di bidang perekonomian dan hukum selama pemerintahan orde baru selama 32 tahun.
Krisis Politik
Pembaharuan yang dituntut terutama ditukukan pada terbitnya lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan yaitu :
UU No. 1 tahun 1985 tentang pemilihan umum
UU No. 2 tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPR/MPR
UU No. 3 tahun 1985 tentang Parpoil dan golongan karya
UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum
UU No. 8 tahun 1985 tentang organisasi massa
Krisis Hukum Pelaksanaan hukum pada masa orde baru terdapat banyak ketidakadilan terutama yang menyangkut hukum bagi keluarga pejabat. Bahkan hukum dijadikan sebagai pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan.
Krisis Ekonomi Faktor penyebab krisis ekonomi yang melanda Indonesia antara lain :
Utang Luar Negeri Indonesia
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pola pemerintahan sentralistis
Krisis Kepercayaan Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan rakyat kepada kepemimpinan Soeharto. Puncak dari ketidakpercayaan rakyat adalah terjadinya berbagai aksi demonstrasi menentang pemerintah karena mengeluarkan kebijakan yang melukai hati rakyat misal kenaikan BBM dan ongkos angkutan pada 4 Mei 1998. puncak aksi rakyat dan mahasiswa terjadi pada 12 Mei 1998 dimana terjadi peristiwa penembakan terhadap Mahasiswa Trisakti oleh aparat yaitu :
Elang Mulia Lesmana
Heri Hertanto
Hendriawan Lesmana
Hafidhin Royan
Yang akhirnya mendorong timbulnya aksi massa lebih besar pada 13 dan 14 Mei 1998 sehingga terjadi aksi anarkis terutama ditujukan pada etnis Cina. Tuntutan mundur kepada Soeharto semakin menguat setelah munculnya tokoh-tokoh masyarakat yang ikut menuntut Soeharto mundur diantaranya :
Gus Dur
Amien Rais
Megawati
Sri Sultan Hemengkubuwono X
(Yang dikenal dengan Tokoh Deklarasi Ciganjur) pada tanggal 21 Mei 1998 kemudian menyerahkan kekuasaan pada BJ. Habibie.
Kronologis Gerakan Reformasi
Pada awal bulan Maret 1998 melaui sidang umum MPR, Soeharto terpilih kembali menjadi Presien Republik Indonesia,serta melaksanakan pelantikan kabinet pembangunan VII.Namun kondisi bangsa dan Negara pada saat itu semakin tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami kemorosotan dan masalah social semakin enumpuk.Kondisi dan situasi seperti ini mengundang keprihatinan rakya.
Memasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya harga sembako,penghapusan korupsi-korupsi-kalusi-nepotisme (KKN) dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenannya.Semakin bertambah banyaknya aksi para mahasiswa tersebut menyebabkan para aparat keamanan tapak kewalahan dan akhirnya mereka harus bertindak tegas.Bentrokan antara mahsiswa yang menuntut reformasi dengan aparat keamanan dapat dihindarkan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahsiswa Universitas Trisakti terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembak empat mahasiswa hingga tewas, serta puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka.Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998,di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat. Dalam kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 tersebut sejumlah pertokoan menjadi sasaran amuk massa bahkan sampai kepada tingkat pembakaran toko-toko yang menelan korban jiwa. Dalam peristiwa tersebut puluhan toko hancur dibakar massa dan isinya dijarah massa serta ratusan orang mati terbakar.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung DPR/MPR.Pada tanggal itu pula di yogyakarta terjadi peristiwa sejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia berkupul di alun-alun utara kraton yogyakarta menghadiri pisowanan ageng untuk mendengarkan makluat dari Sri Sultan Hamengu Buwono X dan Sri Paku Alam VII. Inti dari isi maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998, presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan di ketuai oleh Presidan Soeharto,namun mengalami kegagalan. Pada tanggal itu pula, Gedung DPR/MPR semakin penuh sesak oleh para mahasiswa dengan tuntutan tetap yaitu reformasi dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat diistana Negara, presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden dihadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Pada tanggal itu pula, dan berdasarkan pasal 8 UUD 1945, presiden menunjuk Wakil presiden B.J.Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden,serta pelantikannya dilakukan di depan ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu.Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J.Habibie sebagai presiden yang ke-3.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Pemerintahan orde baru merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh presiden Soeharto selama 32 tahun. Dimana presiden Soeharto bertekat akan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuendalam tatanan keidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tetapi kenyataanya ini tidak terlaksana dengan baik, bahkan banyak terjadi penyelewengan pada berbagai macam-macam bidang yang mengakibatkan pemerintahan orde baru ini runtuh.
Jatuhnya pemerintahan orde baru di sebabkan oleh beberapa factor yang diawali oleh krisis ekonomi dan krisis politik yang berkepanjangan. Kebijakan-kebijakan orde baru yang menyimpang tersebut memunculkan krisis di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Seperti krisis ekonomi (krisis keuangan), krisis politik, krisis kepercayaan, krisis sosial, dan krisis hukum.
Akibat terjadinya berbagai macam krisis yang dihadapi oleh pemerintah orde baru, maka masyarakat menghendaki adanya perubahan pemerintahan yang biasa kita kenal dengan reformasi.
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan kehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum munuju kearah perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di indonesai pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.
Saran
Dalam menjalankan sebuah pemerintahan sebaiknya harus sesuai dengan fisi dan misi yang akan dijalankan, agar nanti apa yang di harapkan itu sesuai dengan apa yang diinginkan, dan juga dalam menjalankannya itu tidak boleh merugikan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Girsang,Laidin.1979.Indonesia sejak Orde Baru,Jakarta:Yayasan Lalita.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.(2013).Sejarah Indonesia Kurikulum 2013 Kelas XII SMA dan SMK/MAK.Jakarta:Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Siwi ismawati Nur,widiastut Sri.2010.Kreatif Program Ilmu Alam Sejarah Untuk SMA Kelas XII.Jawa Tenga:Viva Pakarindo.
Lelana, Sukma. Akhir Orde Baru, 2010, diunduh: http://sukmalelana.blogspot.co.id/2010/12/akhir-orde-baru.html, tanggal 4 Oktober 2015.
Kasmina, Ahmad. Tujuan dan Agenda Reformasi, 2012, diunduh: http://gmcrime.blogspot.co.id/2012/12/tujuan-dan-agenda-reformasi.html, tanggal 4 Oktober 2015.
Pahlevi, Kavi. Agenda Reformasi, 2010, diunduh: http://kavie-design.blogspot.co.id/2010/11/6-agenda-reformasi.html, tanggal 4 Oktober 2015.