IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE KRIMINAL
POLRES DEMAK GUNA MEWUJUDKAN KEADILAN YANG SUBSTANSIF DALAM RANGKA
PENEGAKAN HUKUM YANG PROFESIONAL
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum, s e s u a i p a s
a l 1 3 U n d a n g - und a n g No.02 Ta h u n 2 0 0 2 t e n t a n g K
e p o l i s i a n N e g a r a R e p u b l i k In d o n e s i a , t u
ga s p o k o k K epolisian N e g a r a R e p u b l i k In d o n e s i
a s a l a h s a t u n ya a d a l a h m e n e g a k k a n h u k u m ,
akhir-akhir ini banyak muncul peristiwa hukum yang menjadi polemik dan
mendapatkan perhatian besar dari masyarakat khususnya penegakan hukum
yang dilakukan oleh Polri. Beberapa perkara yang mendapat perhatian
publik atau pemberitaan secara meluas, telah menimbulkan kritik dan
protes terhadap Polri, misalnya perkara Rasjo seorang kakek berusia 77
tahun yang mencuri sabun mandi, pencurian tiga biji kakao oleh Mbok
Minah, pencurian dua kilogram kapuk, pencurian dua buah semangka,
pencurian sepasang sandal, dan juga terjadi di wilayah Kabupaten X
dimana beberapa kasus yang seharusnya dapat di selesaikan di tingkat
penyidikan harus di bawa ke ranah sidang pengadilan,diantaranya adalah
kasus yang dilakukan oleh Toni Baryono,22 tahun dia diproses sampai
sidang pengadilan karena telah mencuri uang sebesar Rp.
50.000,00 milik korban Juni Purniantoro, Pekerjaan Guru, 45 Tahun,
Suhadi bin Mustakim telah mencuri uang RP 8.000,00 beserta dompet
milik korban Rohadi usia 45 Tahun di depan RM Sahara (Jl. Raya Demak-
Semarang) dan masih banyak kasus lain yang nilai nominal kerugian yang
sangat kecil yang sebenarnya dapat di selesaikan secara informal,
namun demikian di mana kasus tersebut oleh penyidik Satuan Reskrim
Polres X di lanjutkan sampai proses sidang pengadilan.
Agenda reformasi penegakan hukum khususnya dalam Reformasi
Birokrasi Polri yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana
pelayanan prima kepada masyarakat dengan melakukan penegakan hokum
yang professional dengan terpenuhinya rasa keadilan ditengah
masyarakat, tentunya rasa keadilan yang substansif yang tidak hanya
keadilan yang bersifat prosedural saja. Keadilan adalah inti atau
hakikat hukum. keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol
angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya pidana
penjara 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya.
Polri dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam melakukan
penegakan hukum sebaiknya memperhatikan berbagai aspek k e h i du p a
n d al a m m a sya r a k a t d a n ti d a k h a n ya b e r d a s
a r k a n az as legalitas semata akan tetapi juga
mempertimbangkan azas legitimasi dalam bentuk kearifan lokal dan
situasional. Hal ini didasarkan kepada f e n o m e n a p e rk e mb an
ga n s i t u as i m a s ya r a k a t s a at i n i, kh u su s n ya b
e r k a i t a n d e n g a n k e g i a t a n p e n e g a k a n h u
k u m d i m a n a s e b a g i a n masyarakat tidak puas terhadap
mekanisme penegakan hukum maupun proses peradilan pidana yang
dilakukan oleh para penegak hukum dan menghendaki agar
tindakan pelanggaran hukum terutama yang bersifat ringan dapat
diselesaikan diluar proses peradilan pidana yang melibatkan
korban, pelaku, keluarga baik korban maupun pelaku serta melibatkan
tokoh masyarakat setempat dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
rasa keadilan masyarakat dan kepentingan umum.
Proses melalui musyawarah untuk mufakat dengan mengedepankan
semangat kekeluargaan sering dikenal dengan istilah Restorative
Justice. Pendekatan Restorative Justice merupakan suatu paradigma yang
dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana
yang bertujuan menjawab ketidakpuasan masyarakat khususnya kepada
polri atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Dengan Restorative justice oleh penyidik satuan reserse kriminal
Polres Demak di harapkan dapat mewujudkan penegakan hukum yang
profesional yang mampu menjawab tantangan masa depan, sesuai dengan
tuntutan dan harapan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat kepada
polri akan meningkat.
Menyimak dari uraian tersebut diatas maka Naskah ini disusun
dengan judul "IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN
RESERSE KRIMINAL POLRES X GUNA MEWUJUDKAN KEADILAN YANG SUBSTANSIF
DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM YANG PROFESIONAL".
2. Permasalahan dan Persoalan
a. Permasalahan
Dari latar belakang tersebut diatas maka timbul suatu
permasalahan yaitu "Bagaimana Implementasi Restorative Justice
oleh penyidik satuan reskrim polres X guna mewujudkan keadilan
yang substansif dalam rangka penegakan hukum yang professional?".
b. Persoalan
1) Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik
satuan reserse kriminal polres X dalam penanganan tindak
pidana di tingkat Polres saat ini ?
2) Apa faktor-faktor yang mempengaruhi ?
3) Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik
satuan reserse polres X dalam penanganan tindak pidana yang
diharapkan ?
4) Bagaimana upaya peningkatan Implementasi Restorative
Justice oleh penyidik satuan reserse polres X dalam penanganan
tindak pidana di tingkat Polres ?
3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penulisan Naskah Karya Perorangan ini dibatasi pada
hal-hal yang berkaitan dengan Implementasi Restorative Justice baik
dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan di satuan reserse kriminal
polres X kecuali penyelidikan maupun penyidikan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum yang diantaranya membahas hal-hal yang
menyangkut tentang latar b e l a k a n g, , implementasi dan
mekanisme penyelesaian perkara dengan Restorative Justice. s ya
r a t - s ya r a t f o r m i l d a n m a t e r i i l , Kendala-
kendala apa saja yang dihadapi oleh penyidik Satuan Reskrim Polres
X, serta upaya peningkatan penerapan implementasi keadilan restorativ
e (Restorative Justice ) dalam penanganan tindak pidana yan g
berlandaskan keadilan substansif.
4. Maksud dan Tujuan
a. Maksud
Penulisan Naskah Karya Perorangan ini dimaksudkan sebagai
bahan ujian persyaratan pendidikan Sespimmen dan sebagai
pertimbangan serta masukan bagi pimpinan di tingkat polres dan
polda mengenai Penyelesaian Perkara P i d a n a melal u ii R e s t
o r a t i v e J u s t i c e ya n g d i m a k s u d k a n s e b a g
a i aktualisasi dari legitimasi hukum yang berkembang ditengah
masyarakat dalam menyelesaikan perkara tindak pidana yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat di luar proses pengadilan, dengan tetap
memperhatikan rasa keadilan masyarakat dalam rangka rasa keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.
b. Tujuan
Penulisan Naskah Karya Perorangan ini bertujuan :
1. Untuk memperdalam pemahaman mengenai Restorative Justice
system, sehingga kita bisa membandingkan mana yang lebih efektif
antara mekanisme yang sekarang dianut pada umumnya (retributive
justice) dengan Restorative Justice system.
2. Mencari kelemahan mekanisme peradilan yang sekarang
dianut oleh Penyidik pada umumnya, sehingga bisa dilakukan
koreksi.
3. Menambah kepustakaan mengenai permasalan dalam bidang hukum dan
penyelesaiannya.
4. Untuk mencoba memecahkan permasalahan hukum yang berkembang di
masyarakat.
5. Memberikan pemahaman mengenai Penerapan Restorative Justice
kepada para pembaca.
5. Metode dan Pendekatan
a. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
deskriptif analysis, yaitu suatu proses penulisan dengan
menggambarkan kondisi riil di lapangan kemudian dikaji dengan
menggunakan teori yang relevan guna menemukan solusinya.
b. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
pendekatan kualitatif, yaitu mengumpulkan fakta, data dan
informasi untuk penulisan melalui studi kepustakaan seperti,
makalah, majalah, pendapat pakar maupun dari sumber-sumber
kepustakaan lain yang dianggap relevan dengan kajian permasalahan.
6. Tata Urut
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LANDASAN TEORI
BAB III KONDISI FAKTUAL
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BAB V KONDISI YANG DIHARAPKAN
BAB VI LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH
BAB VII PENUTUP
7. Azas – Azas
a. Azas Legalitas
b. Azas Opportunitas
c. Azas Subsidaritas
d. Azas Necesitas
e. Azas Ultimum Remidium
f. Azas Manfaat
g. Azas Keseimbangan
h. Azas Kepatutan
i. Azas Keadilan
8. Pengertian-pengertian
Untuk menghindari kesalahan penafsiran akan arti dari pada judul,
maka penulis akan memberikan definisi dari pada judul yaitu :
a. Implementasi
Adalah model penerapan teori, ajaran, petunjuk atau tehnik
dalam pelaksanaan atau praktek. (Kamus Populer Kepolisian: 2005
halaman 95).
b. Restorative Justice
Adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan
dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan
secara bersama- sama bagaimana menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.(Tonny F.
Marshall)
c. Penyidik
Adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yan g diberi wewenang khusus oleh
undang undang untuk melakukan penyidikan. (uu no 2 th 2002 ttg
POLRI).
d. Satuan reserse kriminal
Adalah bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatan -
kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi
identifikasi dalam rangka penegakan hukum ,koordinasi dan op
erasional dan administrasi penyidikan PPNS sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Polres
Adalah satuan operasional dasar dibawah Polda dan berwujud
satuan kerja dengan dilengkapi fungsi-fungsi operasional dan
bertanggung jawab kepada Kapolda. (Skep Kapolri No. Pol. :
Skep/588 /VII/2005).
f. Keadilan substansif
Adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan
substansif, dengan tidak melihat kesalahan-kesalahan dalam proses
prosedural yang tidak terpengaruh pada hak-hak substansif
penggugat.(Black's law dictionary)
g. Penegakan hukum
Proses diberlakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Prof.Dr. Jimmly
Assiddiqie)
h. Profesional
Berasal dari kata profesi yang artinya sebagai suatu pekerjaan
yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi
yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan
dalam berbagai kegiatan.(syafrudin nurdin)
II LANDASAN TEORI
1) Sociological Jurisprudence, salah satu tokoh dari aliran ini adalah
Ehrlich, menurutnya pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak
terletak pada perundang-undangan, tetapi dalam masyarakat sendiri.
Dalam aliran ini, yang mempunyai peranan adalah "Living law", yaitu
hukum yang hidup dalam masyarakat.
2) Hukum Progressif oleh prof Satjipto Raharjo mengatakan
bahwa Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya
sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the
letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very
meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum
tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan
spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan
penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan
lain daripada yang biasa dilakukan.
3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 :
a) Pasal 18 ayat 2 (amandemen kedua) :
Dalam pasal ini mengatakan bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-undang.
b) Pasal 24 (1) (Amandemen Ketiga) :
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
c) Pasal 28D (Amandemen Kedua) :
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
4) Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi organisasi. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weeknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan
strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,
strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana
strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan
(kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada
saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling
populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT.
III KONDISI FAKTUAL
1. Kondisi wilayah Polres Sanggau
a. Letak geografi daerah.
Wilayah Kab. Sanggau merupakan daerah Hukum Polres Sanggau
terletak diantara 6° 43´ 26¨ – 7° 09´ 43¨ lintang selatan dan
110° 48´ 47¨ bujur timur.
b. Batas Wilayah
Batas Wilayah kabupaten Demak adalah :
1) Sebelah Utara : Kab. Ketapang.
2) Sebelah Barat : Kab. Landak.
3) Sebelah Selatan : Sarawak-Malaysia
4) Sebelah Timur : Kab. Sekadau.
c. Jarak Jauh
1) Barat Ke timur : 150 Km
2) Utara ke Selatan : 390 Km
d. Luas daerah
Kabupaten Sanggau dengan luas Wilayah 89.743 Ha, yang sebagian
besar terdiri atas lahan persawahan yang mencapai luas 50.760 Ha
atau 56,56 % dan selebihnya adalah lahan kering, adapun perincian
lahan sawah adalah sebagai berikut :
1.
Lahan kering sebanyak 34,13 % digunakan untuk :
1) Lahan Tegal / Kebun
: 29,87 %
2) Bangunan, dan halaman
: 18,61 %
2. Situasi Kesatuan
a. Personel
Kekuatan personel Polres Sanggau.
1) Jumlah personil Polres Sanggau : 747 Orang
"NO "KEPANGKATAN "DSPP "RIIL "KET "
"1 "Pamen " "6 " "
"2 "Pama " "54 " "
"3 "Bintara/brigadir " "687 " "
"4 "PNS " "28 " "
2) Jumlah personil Sat Reskrim Polres Sanggau :128 Orang
"NO "KEPANGKATAN "DSPP "RIIL "KET "
"1 "Perwira "6 "2 " "
"2 "Bintara "60 "33 " "
"3 "PNS "2 "- " "
Jumlah seluruh personil Reskrim Polres Sanggau dan Polsek
Jajaran
"NO "KEPANGKATAN "DSPP "RIIL "KET "
"1 "Perwira "21 "3 " "
"2 "Bintara " "95 " "
"3 "PNS "3 "- " "
3) Anggota Sat Reskrim Polres Sanggau
" "JML PERS"PENDIDIKAN " "
"NO " " "KET "
" " "S 2 "S 1 "D3 "SMA " "
"1 "35 "- "3 "- "32 " "
Anggota Unit Reskrim Polsek Jajaran Polres Sanggau
" "JML PERS" "PENDIDIKAN " "
"NO " " " "KET "
" " "S 2 "S 1 "D3 "SMA " "
"1 "63 "1 "10 "- "52 " "
4) Data Personil Sat Reskrim Polres Sanggau Berdasar Dikjur
" " "D I K J U R " "
" " " " "
" "JML " " "
"NO "PERS " "JML "
" " "ILLEGAL "ILLEGAL "ILLEGAL "CYBER "PID " " "
" " " " " "CRIME "KOR "IDENT " "
" " "LOGING "MINING "FISING " " " " "
"1 "54 "1 "1 "1 "1 "2 "2 "8 "
Data Personil Sat Reskrim Polres Sanggau Berdasar Dikjur
" " "D I K J U R " "
" " " " "
" "JML " " "
"NO "PERS " "JML "
" " "ILLEGAL "ILLEGAL "ILLEGAL "CYBER "PID " " "
" " " " " "CRIM "KOR "IDENT " "
" " "LOGING "MINING "FISING " " " " "
"1 "63 "- "- "- "- "- "- "- "
5) Data Personil Sat Reskrim Polres Sanggau Yang Mengikuti
Seminar
" " "SEMINAR " "
" " " " "
" "JML " " "
"NO "PERS " "JML "
" " " " " " " "KEJAH " "
" " "GAK KUM" "PEREMP "CYBER "GUL PID "TRAN " "
" " " "CJS "& ANAK "CRIM "KOR "NAS " "
"1 "54 "5 "2 "2 "3 "5 "5 "22 "
Data Personil Unit Reskrim Polsek Jajaran Polres Sanggau
Yang Mengikuti Seminar
" " "SEMINAR " "
" " " " "
" "JML " " "
"NO "PERS " "JML "
" " " " " " "GUL PID "KEJAH " "
" " "GAK KUM" "PEREMP "CYBER "KOR "TRAN " "
" " " "CJS "& ANAK "CRIM " "NAS " "
"1 "63 "23 "2 "4 "3 "1 "2 "35 "
b. Data Perkara Ringan Dengan Kerugian Material Dibawah Seratus
Ribu Rupiah Tahun 2012 S/D 2015 Sat Reskrim Polres Sanggau.
"NO "NO. TGL LP & "TKP "KORBAN "TSK "KERUGIAN "PROSES "KET"
" "PASAL " " " " " " "
"TAHUN 2012 "
"1 " " " " " " " "
"2 " " " " " " " "
"TAHUN 2013 "
"3 " " " " " " " "
"4 " " " " " " " "
"5 " " " " " " " "
"TAHUN 2014 "
"6 " " " " " " " "
"TAHUN 2015 "
"7 " " " " " " " "
c. Sumber Daya Anggaran
Sumber daya anggaran Sat Reskrim Polres Sanggau diserap dari
DIPA (Daftar Isian Perencanaan Anggaran) dari negara yang
diserap/digunakan disesuaikan dengan RAB (Rencana anggaran
Belanja) dalam penanganan perkara yang ditangani oleh Penyidik
selama proses Penyelidikan dan penyidikan.
" " " " " " "
"NO "PROGRAM / GIAT "VOLUME "INDEKS "ANGGARAN "KET "
" " " "(Rp) "(Rp) " "
"1 "FUNGSI DOKKES : " " " " "
" "a. Olah TKP dalam kota"12 Kss "1.000.000"12.000.000" "
" " " ". ". " "
" "b. Olah TKP luar kota "2 Kss "2.000.000"4.000.000." "
" " " ". " " "
" "c. Rik Ked Forensik / "1 Org "2.000.000"2.000.000." "
" "Saksi Ahli " ". " " "
" "d. VER luar "4 Org "300.000. "1.200.000." "
" "e. VER dalam / outopsi"1 Org "600.000. "600.000. " "
" "f Bongkar kubur "1 Keg "1.500.000"1.500.000." "
" " " ". " " "
"2 "BANTEK IDENTIFIKASI "11 Keg "1.699.000"18.689.000" "
" " " ". ". " "
"3 "CLARANCE RATE "1 Kss "16.400.00"16.400.000" "
" " " "0. ". " "
"4 "KORWAS PPNS "1 Pkt "5.000.000"5.000.000." "
" " " ". " " "
"5 "LIDIK SIDIK TP UMUM : " " " " "
" "a. Kegiatan Sedang "16 Kss "12.000.00"192.000.00" "
" " " "0. "0. " "
" "b. Kegiatan mudah "13 Kss "7.000.000"91.000.000" "
" " " ". ". " "
" "c. Pelanggaran "100 Kss "210.000. "21.000.000" "
" " " " ". " "
"6 "LIDIK SIDIK TIPIDKOR "2 Kss "24.000.00"48.000.000" "
" " " "0. ". " "
" "LIDIK SIDIK TP PEREM &" " " " "
"7 "ANAK "7 Kss "7.000.000"49.000.000" "
" " " ". ". " "
Adapun penanganan perkara dibedakan menjadi 3, yaitu;
- Perkara ringan (30 hari)
- Perkara Sedang (60 hari)
- Perkara Berat (120 hari)
3. Kondisi penyidikan tindak pidana saat Ini
Tindakan kepolisian yang di lakukan oleh penyidik/penyidik
pembantu di Satuan Reskrim Polres Demak terdiri dari tindakan:
a) Tingkat penyelidikan
1) Menerima laporan atau pengaduan dari Masyarakat.
(2) Menerbitkan surat perintah penyelidikan sebagai
dasar untuk melakukan penyelidikan.
(3) Membuat laporan hasil penyelidikan.
(4) Melakukan gelar perkara rencana penyelidikan.
(5) Membuat berita acara interogasi terlapor dan pelapor.
(6) Melakukan gelar perkara hasil penyelidikan
(7) Membuat berita acara hasil gear perkara
b) Tingkat penyidikan
(1) Menerima adanya laporan atau pengaduan dari
Masyarakat atau di temukan sendiri oleh petugas .
(2) Menerbitkan surat perintah penyidikan sebagai dasar untuk
melakukan penyidikan.
(3) Melakukan gelar perkara rencana penyidikan.
(4) Melakukan pemeriksaan saksi-saksi
(5) Mengumpulkan alat bukti
(6) Melakukan pemeriksaan kepada tersangka
(7) Melakukan gelar perkara hasil penyidikan.
(8) Menyelesaikan Berkas Perkara
(9) Mengirim Berkas Perkara kepada Jaksa Penuntut Umum
c) Penyerahan tersangka dan barang bukti
Apabila penyidikan di nyatakan lengkap oleh jaksa penuntut
umum maka penyidik meyerahkan tanggung jawab barang bukti
dan tersangka kepada penuntut umum, hal ini berlaku terhadap
setiap kasus baik kasus yang tergolong kejahatan serius maupun
kasus yang kerugian secara ekonomi tergolong kecil, setelah
tersangka dan barang bukti di serahkan kepada penuntut umum maka
di anggap tanggung jawab penyidik dalam hal proses penyidikan di
anggap telah selesai.
Praktik penyidikan yang berjalan di Polres X selama ini
menunjukkan bahwa aliran positivisme hukum menjadi arus utama
(mainstream) dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik Polres Demak, Restorative Justice sebagai
salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar
pengadilan juga masih belum diterapkan di Polres X, ini terbukti
masih banyak kasus yang di laporkan di Polres Demak yang bermotif
ekonomi yang kerugiannya sangat kecil masih di lanjutkan sampai
sidang pengadilan.
Penyidikan oleh penyidik Satuan Reskrim Polres X
berdasarkan aliran positivisme hukum tersebut secara ketat dan
kaku (vague and unresponsive) dirasakan telah menimbulkan
ketidakadilan dan bertolak belakang dengan tuntutan keadilan yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat X.
Penyidikan pada berbagai kasus pencurian dengan nilai nominal
yang kecil di Polres X tersebut menunjukkan bahwa:
1. Perbuatan para tersangka memang dipandang memenuhi unsur-
unsur tindak pidana namun penyidik Polres X telah
mengesampingkan rasa keadilan masyarakat (social justice) yang
berkembang secara meluas.
2. Penyidik Polres X hanya menafsirkan hukum secara kaku
atau ketat sesuai dengan kepastian hukum namun tidak
mempertimbangkan nilai kemanfaatan dan keadilan yang menjadi
di ciptakan hukum itu sendiri.
3. Penafsiran hukum penyidik Polres X masih berdasarkan rules and
logic, mengesampingkan realitas sosial yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat yang mengamanatkan penafsiran hukum
berdasarkan analisis non hukum ( penafsiran sosiologis )
4. Kuatnya aliran positivisme hukum sebagai arus utama
(mainstream) dilingkungan penyidik Polres Demak, telah
melupakan ketentuan hukum yang terdapat dalam pasal 16 ayat
(1) huruf l UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri yang menentukan
bahwa aparat atau petugas Kepolisian berdasarkan kewenangan
diskresi yang dimilikinya dapat mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggungjawab.
5. Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres X dalam
rangka pemberian keadilan (dispencing of justice) justru
memunculkan kesenjangan antara penegakkan hukum yang dilakukan
dengan tuntutan keadilan masyarakat, karena mengesampinkan
hukum yang hidup dimasyarakat (the living law dari Eugen
Erlich)
Didalam menerapkan atau mengimplementasikan konsep keadilan
restoratif, penyidik Polres X acapkali mengalami keragu-raguan
dalam mengambil keputusan, situasi ini menjadi hal yang dilematis
bagi penyidik Polres X dilapangan, karena di sebabkan di antaranya
karena faktor kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan
dipersalahkan oleh pimpinan atau atasan penyidik dan
dipermasalahkan pada pengawasan dan pemeriksaan oleh institusi
pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter
formal prosedural.
III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE
KRIMINAL POLRES X
1. Intern
a. Kekuatan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2. Undang - Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang menyebutkan tugas pokok Polri sebagai
pemelihara keamanan dan ketertiban, penegak hukum dan
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
3. Perkap No. 12 th 2009 tentang pengawasan dan pengendalian
penanganan perkara pidana di lingkup Polri.
4. Perkap No. 14 th 2012 tanggal 25 Juni 2012
tentang manajemen penyidikan tindak pidana.
5. DIPA Polri tentang Reskrim.
b. Kelemahan
1) Masih kurangnya kesamaan persepsi tentang
implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan
Restorative Justice di satuan reserse Polres X.
2) Masih kurangnya kualitas dan kuantitas personil
dalam implementasi penyidikan tindak pidana yang
berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse
Polres X.
3) Masih rendahnya pemahaman anggota tentang implementasi
penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative
Justice di satuan reserse Polres X.
4) Belum adanya peningkatan kemampuan dan
keterampilan personel Polri yang bertugas di bidang
penegakan hukum tentang implementasi penyidikan tindak
pidana yang berorientasikan Restorative Justice di
satuan reserse Polres X secara profesional.
5) kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh
pimpinan atau atasan penyidik dan dipermasalahkan pada
pengawasan dan pemeriksaan oleh institusi pengawas dan
pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal
prosedural.
2. Ekstern
a. Peluang
1) Adanya keinginan masyarakat untuk hidup aman dan
tenteram, dan menyelesaikan permasalahan tidak harus melalui
jalur pengadilan.
2) Atensi dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang
mendukung tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang
berorientasikan Restorative Justice di satuan Reserse
Kriminal Polres X.
3) Dukungan institusi dan kelembagaan hukum yang
terdiri dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim, Lembaga
Pemasyarakatan dan Pengacara yang saling terjalin dan saling
ketergantungan dalam proses pelaksanaan dan penegakan hukum
tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang
berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse Polres
X.
4) Adanya Anggapan masyarakat terhadap Polri bahwa Polri
bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban.
5) Kebijakan dan strategi Polri yang disusun dalam
Grand Strategi Polri 2005-2025, Reformasi Birokrasi Polri
Gelombang I dan II, serta Program Revitalisasi Polri sebagai
pedoman dalam rangka meningkatkan kinerja pada kesatuan di
lingkungan Polri dalam melaksanakan.
6) Pengawasan internal (Itwas, Propam, Wassidik)
dan eksternal (Kompolnas, Ombudsman, Komisi III DPR RI,
Media Massa, LSM) yang telah berjalan selama ini dapat
menumbuhkan motivasi seluruh anggota Polri khususnya
penyelidik, penyidik pembantu dan penyidik Polri
b Ancaman
1) Sikap masyarakat yang apatis terhadap implementasi
penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative
Justice yang dijalankan di satuan reserse Polres Demak.
2) Belum tercantumnya implementasi penyidikan tindak
pidana yang berorientasikan Restorative Justice dalam
aturan hukum yang formal.
3) Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap program-program
Polri.
4) Masyarakat merasa tujuan akhir implementasi Restorative
Justice adalah milik Polri saja.
5) Pemberitaan media massa yang tidak berimbang tentang
pelaksanaan tugas pokok Polri yang lebih dominan pada tugas
penegakan hukum terutama pemberitaan yang bersifat negatif
dibandingkan dengan yang positif.
6) Tantangan terhadap Kompleksnya kriminalitas, serta
tingginya tuntutan masyarakat akan kesigapan, kejujuran,dan
profesionalisme para penegak hukum.
IV. KONDISI YANG DIHARAPKAN
1. Internal
a. Personil
1) Standar kualitas personel.
Terwujudnya peningkatan kinerja Polres Demak dalam
rangka penegakan hukum secara profesional, proporsional,
procedural dan akuntabel guna membangun dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat melalui pembinaan SDM, dengan
menerapkan:
a) Merit system atau sistem prestasi kerja dalam
pembinaan karier anggota personel yang ditugaskan di
bidang penegakan hukum secara konsisten.
b) Assessment terhadap penyidik/penyidik pembantu untuk
melakukan uji kelayakan secara teknis dan Atasan Penyidik
dengan metode Assesment Center untuk menempatkan pada
jabatan manajerial.
c) Jaminan berupa asuransi kerja bagi penyidik dan
penyidik pembantu yang disesuaikan dengan resiko
pelaksanaan tugas.
d) Pemenuhan sarana dan prasarana terutama kelengkapan
fasilitas monitoring (CCTV dan recording) dalam ruang
pemeriksaan guna menjamin transparansi dan akuntabilitas.
e) Penyusunan penjabaran ketentuan peraturan
perundang-undangan yang belum terakomodasi untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum.
f) Reward and punishment secara konsisten
terhadap penyidik dan penyidik pembantu dalam rangka
memberikan motivasi guna meningkatkan kinerja.
g) Pendidikan yang berkualitas dan berbasis kompetensi
dalam rangka menghasilkan aparat penegak hukum khususnya
penyidik/penyidik pembantu Polres Demak yang
profesional, bermoral dan modern.
2) Standar kuantitas personil.
a) Jumalah penyidik minimal sesuai dengan DSPP yang
sudah ada dan perlu pembagian antara penyidik yang
menangani Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana khusus
b) Jumlah penyidik bisa di sesusaikan dengan
jumlah perkara yang masuk, sehingga penyidik tidak
terlalu berat dalam penanganan perkara.
c) Adanya supervisor yang berpangkat perwira dengan
kemampuan kontrol dan pengawasan proses penyidikan
khususnya memahami tentang Restorative Justice.
b. Anggaran
Untuk mendukung pelaksanaan tugas petugas Reskrim,
maka harus didukung anggaran yang memadai, di antaranya
anggaran tentang:
" " " " " " "
"NO "PROGRAM / GIAT "VOLUME "INDEKS "ANGGARAN "KET "
"1 "FUNGSI DOKKES : " " " " "
" "a. Olah TKP dalam "15 Kss "1.000.000"15.000.000" "
" "kota " ". " " "
" "b. Olah TKP luar kota"2 Kss "2.000.000"4.000.000 " "
" " " ". " " "
" "c. Rik Ked Forensik /"5 Org "2.000.000"10.000.000" "
" "Saksi Ahli " ". " " "
" "d. VER luar "100 Org "500.000. "50.000.000" "
" "e. VER dalam / "2 Org "1.000.000"2.000.000 " "
" "outopsi " ". " " "
" "f Bongkar kubur "2 Keg "2.500.000"5.000.000 " "
" " " ". " " "
"2 "BANTEK IDENTIFIKASI "11 Keg "2.000.000"22.000.000" "
" " " ". " " "
"3 "CLARANCE RATE "1 Kss "16.400.00"16.400.000" "
" " " "0. " " "
"4 "KORWAS PPNS "1 Pkt "5.000.000"5.000.000 " "
" " " ". " " "
"5 "LIDIK SIDIK TP UMUM :" " " " "
" "a. Kegiatan Sedang "20 Kss "12.000.00"240.000.00" "
" " " "0. "0 " "
" "b. Kegiatan mudah "20 Kss "10.000.00"200.000.00" "
" " " "0. "0 " "
" "c. Pelanggaran "100 Kss "300.000. "30.000.000" "
"6 "LIDIK SIDIK TIPIDKOR "5 Kss "25.000.00"125.000.00" "
" " " "0. "0 " "
" "LIDIK " " " " "
"7 "SIDIK TP "10 Kss "7.000.000"70.000.000" "
" "PEREMPUAN & ANAK " ". " " "
"8 "HONOR PNBP ( Inafis )"12 Tb "400.000. "4.800.000 " "
" " " "
"Jumlah total "799.200.00" "
" "0 " "
c. Matlog
Adapun dukungan material logistik yang harus di miliki
oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Sanggau sebagai berikut :
"NO "NAMA MATERIAL "JML "KET "
"1 "CCTV "5 "Tiap ruang pemeriksaan "
"2 "Jaringan internet "1 "Komunity Reskrim "
"3 "KBM Roda 4 "1 "Mendatangi TKP "
" " " "Transportasi jarak "
"4 "KBM Roda 2 "3 "dekat, jalan "
" " " "sempit. "
"5 "Voice Reccording "4 "Dokumen suara informan, "
" " " "saksi, tsk. "
"6 "Call Data Reccording"1 "Pencarian data seluler "
" " " "cepat. "
"7 "Spy Cam ( kamera "2 "Dokumen media "
" "pengintai ) " "penyelidikan "
"8 "Alat deteksi "1 "Mengetahui kejuruan "
" "kebohongan " "terperiksa. "
d. Metode
1) Adanya buku petunjuk tentang Manajemen Tindak Pidana
2) Adanya buku petunjuk tentang Hak-hak tersangka.
3) Adanya buku petunjuk koordinasi antara CJS
4) Adanya buku petunjuk SP2HP
5) Adanya buku petunjuk/SE MA tentang tata cara
penanganan Tindak Pidana Ringan
2. Eksternal
a. Jaksa Penuntut Umum
1) Adanya komunikasi dan pendekatan dengan Jaksa penuntut umum.
2) Adanya dialog para pejabat CJS di Polres tentang pentingnya
Restorative Justice
3) Adanya pertemuan rutin untuk membahas penerapan Restorative
Justice
b. Hakim
1) Adanya kerjasama dan memberikan masukan dalam rangka
penerapan Restorative Justice
2) Terjalin kemitraan dalam mengaplikasikan Penerapan
Restorative Justice untukmewujudkan keadilan yang substansif.
c. Pengacara
1) Adanya dukungan dari pengacara/advokat dalam penerapan
Restorative
Justice
2) Ikut serta secara aktif memberikan masukan dalam penerapan
Restorative
Justice guna mewujudkan rasa keadilan Masyarakat
d. Masyarakat
1) Adanya partisipasi aktif dari tokoh masyarakat baik tokoh
formal dan non formal dalam penerapan Restorative Justice.
2) Ikut mendukung dan membantu dalam penyelesaian perkara
antara yang berperkara dalam wadah Restorative Justice.
3. PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
a. Kriteria dan jenis tindak pidana
1) Kriteria
a) Tidak ada batasan usia tersangka dalam tindak
pidana yang di lakukan
b) Kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pidana
tersebut tidak mengakibatkan luka berat dan hilangnya
nyawa seseorang, atau hanya kerugian materi yang kecil.
c) Tindak pidana tersebut bukan perbuatan tindak pidana
narkotika.
d) Tindak Pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana
ringan dan atau tindak pidana lainnya yang menimbulkan
kerugian pada individu.
e) Tindak pidana yang dilakukan diselesaikan
dengan cara musyawarah dengan mempertemukan pihak
yang berperkara serta melibatkan pranata sosial dan atau
tokoh tokoh masyarakat dan atau tokoh agama dan atau
tokoh adat setempat.
f) Pelaku tindak pidana bukan merupakan seorang
residivis
g) Tindak pidana yang dilakukan tidak termasuk dalam
tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian
Negara, mengancam keamanan negara, dan simbol-simbol
Negara.
h) Tindak Pidana yang dilakukan telah disepakati oleh
kedua belah pihak yang berperkara untuk dilakukan
penyelesaian diluar pengadilan.
2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi
a) Formil
(1) Pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban)
membuat surat pemyataan penyelesaian perkara diluar
peradilan.
(2) Pihak pelapor/korban mencabut laporan / pengaduan.
(3) Apabila terjadi ketidak puasan para pihak yang
berperkara setelah dilakukan diluar mekanisme
pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai
prosedur hukum yang berlaku.
(4) Dibuat Berita acara tentang penyelesaian perkara di
luar Peradilan yang di tandatangani oleh pihak yang
berperkara, penyidik dan para saksi maupun tokoh
masyarakat yang hadir.(pasal 75 ayat 3 KUHAP).
(5) P e n y e l e s a i a n p e r k a r a d i l u a r p e
n g a d i l a n d i l a k u k a n dengan tujua n t i
d a k u n t u k m e n c a r i k e u n t u n g a n p r
i b a d i d a n k e l o m p o k na m u n b e r t u j
u a n d e m i ke a d i la n d a n k e ma n fa a ta n
a n t a r a k e d u a b e l a h p i h a k .
b) Materil
(1) Tindak Pidana yang dapat diselesaikan diluar
pengadilan adalah tindak pidana ringan atau tindak
pidana yang kerugian ekonominya kecil yang tidak
berdampak social.
(2) Penyelesaian perkara pidana dengan Restorative
Justice di dahului dengan rekonsiliasi dengan
mempertemukan kedua belah pihak yang berperkara yang
melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat maupun tokoh
adat setempat.
(3) Dalam menyelesaikan perkara perlu di perhatiakan
faktor kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang
ditimbulkan, serta bukan merupakan perbuatan yang
berulang (residive) atau penggabungan tindak pidana
(samenloop).
(4) Selain perkara pidana, pekara yang dapat
diselesaikan dengan Restorative Justice adalah
perkara yang berada pada area pidana dan perdata
(Twilight Area).
(5) Pelaku buakn termasuk seorang residivis,
apabila pelaku seorang residivis maka harus
dilanjutkan proses hukum sesuai peraturan / hukum
yang berlaku.
( 6 ) Tindak pidana yang menimbulkan kerugian secara
individu (bukan kerugian terhadap
keuangan/perekonomian Negara).
b. Mekanisme penanganan perkara
1) Prinsip-prinsipnya
a) Penyelesaian perkara pidana dengan Restorative
Justice didasarkan atas kehendak dari pihak-pihak yang
berperkara dan bukan paksaan dari pihak manapun.
b) Penyelesaian perkara pidana dengan cara
Restorative Justice dapat dilakukan di setiap masing-
masing unit di Satuan Reskrim.
c) Untuk perkara pidana yang tidak dapat di
selesaikan dengan Restorative Justice maka penyidik
wajib melakukan penyidikan lanjutan.
d) Penyelesaian perkara secara Restorative
Justice diselesaikan diunit dimana laporan/ pengaduan
ditangani.
2) Tahapan penanganan
a) Sebelum Laporan Polisi dibuat :
(1) Melakukan pengkajian terhadap perkara
yang akan di laporkan.
(2) Melakukan analisa guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyelesaian perkara di luar
pengadilan serta menilai dampak yang mungkin bisa
timbul.
(3) Membuat Berita Acara tentang tindakan-tindakan
yang telah dilakukan penyidik dalam rangka
Restorative Justice
(4) Membuat surat pemberitahuan kepada pihak-pihak
yang berperkara dan kepada tokoh masyarakat tentang
teiah diselesaikannya perkara tersebut melalui metode
Restorative Justice.
b) Saat proses penyelidikan:
1) Menerima adanya laporan atau pengaduan dari
masyarakat
(2) Menerbitkan surat perintah penyelidikan
yang di tanda tangani oleh pejabat yang
berwenang.
(3) Membuat laporan hasil penyelidikan sebagai
hasil telah melakukan tindakan penyelidikan
(4) Melakukan gelar tentang rencana tindak lanjut
dari hasil penyelidikan.
(5) Mengundang atau pemberitahuan kepada terlapor dan
pelapor termasuk tokoh masyarakat guna di lakukan
penyelesaian di luar pengadilan
(6) Melakukan tindakan rekonsiliasi dengan pihak
yang bertikai yang difasilitasi oleh penyidik.
(7) Melakukan gelar terhadap hasil kesepakatan
sementara yang telah dihasilkan.
(8) M e m b u a t b e r i t a a c a r a p e n y
e l e s a i a n p e r k a r a y a n g d i t a n d
a t a n g a n i o l e h p i h a k - p i h a k y a
n g berperkara, penyidik dan pihak Iainnya.
(9) M e r e g i s t r a s i k a n p e n ye l
e s a i a n p e r k a r a d i l u a r
peradilan atau Restorative Justice dalam buku
Register Penyelesaian Perkara.
(10) Menerbitkan Surat Perintah Penghentian
penyelidikan berdasarkan keseppakatan damai
antara pihak-pihak yang bersengketa.
c) Saat proses penyidikan
(1) Menerima adanya laporan atau pengaduan dari
masyarakat
(2) Menerbitkan surat perintah penyidikan yang
ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang
(3) Melakukan gelar tentang rencana penyidikan
yang akandi lakukan
(4) Membuat laporan hasil penyidikan yang telah
dilakukan
(5) Membuat gelar perkara tentang hasil penyidikan.
(6) Mengundang atau memanggil tersangka
(terlapor) dan saksi
(korban)
(7) Memfasilitasi upaya penyelesaian secara
Restorative Justice
kepada para pihak yang berperkara.
(8) Penyelesaian perkara dapat melibatkan peran
pihak ketiga (Polmas, Tomas. Toga, dan
ketua Iingkungan) guna mempertimbangkan
kepentingan masyarakat dan nilai-nilai kearifan
local yang berlaku
(9) Melakukan gelar perkara dari hasil rekonsiliasi
yang dilakukan
(10) Membuat berita acara hasil gelar perkara
(11) Membuat berita acara penyelesaian perkara
dengan Restorative Justice yang ditandatangani oleh
pihak-pihak yang berperkara, penyidik dan pihak
Iainnya.
(12) Membuat laporan kemajuan sebagai laporan kepada
pimpinan terhadap tanggung jawab terhadap penanganan
perkara
(1 5) Meregistrasikan penyelesaian perkara diluar
peradilan atau Restorative Justice dalam buku
Register Penyelesaian Perkara.
(16) Menerbiitkan Surat Perintah Penghentian
penyidikan dengan alasan :
(a) Bukan Tindak Pidana, tidak cukup bukti, demi
hukum sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.
(b) Laporan/pengaduan dicabut dan di selesaikan
dengan cara Restorative Justice, dengan dasar
kewenangan penyidik dalam hal Diskresi
Kepolisian ( Pasal 18 UU No. 2 tahun 2002).
d) Sebelum Penyerahan Tahap II (Penyerahan
barang bukti dan tersangka)
(1) Mekanisme penyelesaian perkara melalui Restorative
Justice harus di lalui dengan gelar perkara.
(2) Hasil gelar perkara dituangkan dalam sebuah
Berita Acara.
(3) Membuat kesimpulan tentang rencana
penyelesaian dengan Restorative Justice bisa
dilaksanakan atau tidak.
(4) Apabila telah terjadi kesepakatan penyelesaian
perkara pidana maka akan di buat berita acara
penyelesaian perkara yang ditandatangani oleh pihak-
pihak yang berperkara, penyidik dan pihak Iainnya.
(5) Mencatat dalam buku registrasi penyelesaian
perkara diluar peradilan atau Restorative Justice
dalam buku Register Penyelesaian Perkara.
(6) Menerbitkan Surat Perintah Penghentian
penyidikan dengan alasan :
(a) Bukan Tindak Pidana, tidak cukup bukti, demi
hukum sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.
(b) Laporan/pengaduan dicabut melalui Restorative
Justice berdasarkan Diskresi Kepolisian (Pasal 18
UU No. 2 tahun 2002).
(7) Mengirim surat kepada Jaksa Penuntut Umum
tentang penyelesaian perkara pid a na melalui Restora
t i v e J u s t i c e , dengan melampirkan a d m i n
i s t r a s i ya n g d i p e r l u k a n
3) Administrasi Restorative Justice
a) Adanya surat pernyataan penyelesaian diluar
peradilan melalui Restorative Justicen antara pihak
pihak yang berperkara ( pelaku dan korban), penyidik
serta pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian
perkara
b) Adanya surat perjajian dari pihak-pihak yang
berperkara, yang isinya dapat menyesuaikan dengan
pokok permasalahan serta kesepakatan kedua belah pihak
c) Adanya surat pencabutan laporan / pengaduan dari
Pihak korban atau Pelapor.
d) Adanya berita acara tentang penyelesaian sengketa di
luar Peradilan yang di tandatangani oleh pihak yang
berperkara dan penyidik.
e) Mencatat dalam buku registrasi penyelesaian
perkara diluar peradilan atau Restorative Justice.
f) Menerbitkan Surat Perintah Penghentian penyidikan.
g) Adanya administrasi penyilidikan/penyidikan di
setiap tingkatan penyilidikan maupun penyidikan
4) Sistem pengawasan
a) Secara struktural
1) Atasan Penyidik (Kanit, Kasat, Kasatker).
(2) Penyidik
(3) Biro Wassidik
b) Secara fungsional:
(1) itwasda (selaku quality insurance dan pengawas
internal)
(2) Pengemban fungsi Propam (Kasiewas, Kasipropam,
dan Bid Propam )
c) Metode pengawasan
(1) Standar operasional penyelidikan/penyidikan
sesuai SOP
(2) Laporan Hasil Penyelidikan
(3) Laporan hasil Penyidikan
(4) Laporan hasil Gelar Perkara
(5) Laporan Kemajuan penanganan perkara
(6) Laporan penyelesaian perkara.
(7) Supervisi dan Asistensi
d) Sistem Laporan
(1) Setiap satuan pengemban fungsi penyidikan (unit
Reskrim Polsek, dan Sat Reskrim Polres) membuat
buku register penyelesaian perkara secara
Restorative Justice
(2) Setiap satuan pengemban fungsi penyidikan (unit
Reskrim Polsek, dan Sat Reskrim Polres) melaporkan
setiap penyelesaian perkara secara Restorative
Justice.
V. LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH GUNA IMPLEMENTASI
RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESKRIM POLRES SANGGAU
1. Visi
"Postur Polri yang Profesional sebagai Pelindung, Pengayom dan
Pelayan Masyarakat"
2. Misi
Berdasarkan pernyataan visi sebagaimana tersebut
diatas, selanjutnya dijabarkan dalam bentuk misi Polri kedepan
dalam pelaksanaan tugas pokoknya, baik di bidang pembangunan
kekuatan, pembinaan kekuatan maupun kegiatan operasional yang
terdiri dari :
a. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan
peace ).
b. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui
upaya preemtif dan preventif yang dapat meningkatkan
kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (
Low Abiding Citizen Ship ).
c. Menegakan hukum secara profesional dan proporsional
dengan menjunjung supremasi hukum dan hak azasi manusia
menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
d. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan
tetap memperhatikan norma dan nilai yang berlaku dalam
bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
e. Mengelola sumberdaya manusia Polri secara
profesional untuk mewujudkan keamanan dalam negeri sehingga
dapat emndorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai
kesejahteraan masyarakat.
f. Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam ( Internal
Polri ) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri
kedepan.
g. Memelihara solidaritas institusi Polri dari berbagai
pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi.
h. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah
konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
i. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa
dari masyarakat yang bhineka tunggal ika. Pergeseran
paradigma pengabdian Polri yang sebelumnya cenderung
digunakan sebagai alat penguasa kearah mengabdi bagi
kepentingan masyarakat telah membawa berbagai implikasi
perubahan yang mendasar.
3. Tujuan
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) bertujuan untuk
memberdayakan para korban, pelaku,keluarga dan masyarakat untuk
memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan
kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki
kehidupan bermasyarakat konsep keadilan yang tidak hanya
melihatkeadilan itu hanya dari satu sisi, melainkan
menilainya dari kepentingan berbagai pihak, baik kepentingan si
korban, masyarakat maupun kepentingan si pelaku
Proses penyelesaian perkara, Restorative Justice tidak
lagi menggunakan cara-cara konvensional yang selama ini
digunakan dalam sistem peradilan pidana, yang hanya
berfokus pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah,
serta mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada
pihak yang bersalah tersebut. Sementara dalam penyelesaian
perkara melalui Restorative Justice bukan lagi kedua hal
tersebut, yang diinginkan oleh Restorative Justice adalah
sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan
kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai
pihak yang dirugikan serta hubungan antar korban, pelaku serta
masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti
semula.tujuan akhir yang tidak dapat diperoleh bila suatu
perkara diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, seperti :
a. memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik
korban, pelaku maupun masyarakat umum. Bentuk-bentuk ganti
rugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang yang
dicuri, perbaikan kendaraan hingga pemberian uang berobat
dalam hal korban luka, menjadi realita sehingga tercipta
suatu keadilan yang benar-benar menjadi harapan masyarakat.
b. Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan
pendekatan Restorative Justice memberikan peran masyarakat
yang lebih luas. Dalam mekanisme penyelesaian perkara
pidana dengan pendekatan Restorative Justice, maka
posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta pelaku atau
peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang
lebih luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu
hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara
pidana melalui pendekatan ini. Pelaksanaan kegiatan
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya memantau
upaya rehabilitasi. Memantau pelaksanaan pertanggungjawaban
pelaku, yang dapat berwujud barbagai bentuk seperti
perbaikan benda/sarana yang rusak, pengembalian barang,
pemenuhan denda adat dan lain sebagainya.
c. Proses penanganan perkara dengan pendekatan
restoratif justice dapat dilakukan secara cepat dan
tepat. Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-
belit maka proses penyelesaian perkara pidana terutama yang
diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem
peradilan pidana maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri
atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan dengan
singkat. Suatu model penyederhanaan sistem penyelesaian
suatu perkara pidana. Dalam Hukum acara pidana di Indonesia
memang dikenal beberapa model mekanisme penyelesaian perkara
pidana melalui peradilan biasa atau peradilan singkat. Namun
terlihat bahwa mekanisme itu belum menjawab kebutuhan
masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas. Berangkat
dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana dengan
menggunakan prinsip yang ada dalam Restorative Justice
sebagai ukuran dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit
banyak nilai-nilai utama yang menjadi pilar dalam
penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun dengan
sejumlah kelemahan yang timbul atas pemahaman suatu
pendekatan Restorative Justice yang belum menyeluruh
seperti pelibatan pelaku dan korban, asas pra duga tak
bersalah, persamaan dalam pencapaian proses penyelesaian dan
upaya pencapaian penyelesaian yang mengacu kepada tujuan
dari Restorative Justice yaitu mengacu kepada
kebutuhan pelaku, korban dan masyarakat dalam
memperbaiki relasi sosial antara mereka.
Dalam melihat kemungkinan penerapan keadian restoratif,
penulis melihat bahwa Basic PrincipleThe Use Of Restoratif
Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan
dalam bingkai penegakan hukum sehingga tercipta penegakan hukum
yang professional dan proporsional . Hal ini menandakan bahwa
bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian
dari mekanisme penyelesaian perkara pidana, maka sistem
peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa
menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara
pidana melalui pendekatan ini.
4. Analisis implementasi Restorative Justice dalam
penanganganan tindak pidana
Saat ini proses penegakan hukum di Polres demak khusunya
dalam tahap baik penyelidikan maupun penyidikan masih
dalam kerangka berfikir mengacu pada hukum positif
artinya bahwa penyidik Polres Demak hanya memandang bahwa
penegakan hukum hanya dilakukan dengan cara penegakan peraturan
perundang-undangan yang tertulis dalam berbagai peraturan
perundangan yang ada, jarang sekali bahkan dapat dikatakan
hampir tidak yang memahami bahwa penegakan hukum tidak hanya
menegakkan peraturan yang tertulis saja namun juga menegakkan
peraturan yang tidak tertulis juga sesuai dengan adat atau
kebiasaan serta suatu ketentuan yang tidak tertulis yang hidup
di tengah-tengah masyarakat. Hal ini hendaknya harusdi pahami
oleh penyidik Polres Demak yang mana juga tercantum dalam tugas
pokok Polri dalam pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 yang menyebutkan
tugas pokok Polri salah satunya adalah menegakkan hukum bukan
menegakkan undang-undang, oleh karena itu karena maka yang
harus di tegakkan oleh penyidik Polri khususnya Penyidik Polres
Demak tidak hanya menegakkan hukum yang tertulis atau biasa di
sebut dengan hukum positif namun juga menegakkan hukum yang
tidak tertulis salah satunya hukum adat ataukebiasaan yang
berlaku dan disepakati oleh seluruh masyarakat yang mengatur
kehidupan mereka demi terciptanya kesejahteraan dan kebaikan
masyarakat setempat. Teori yang kami gunakan untuk
menganalisis penerapan Restorative Justice adalah :
a. Teori atau aliran sociological Jurisprudence
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran
pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam
kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum
yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas
memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law)
dengan hukum yang hidup (the living law). Pound menegaskan
bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat
yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang
paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum.
Dalam kaitannya dengan penerapan hukum Pound
menjelaskan tiga langkah yang harus dilakukan :
1. menemukan hukum
2. menafsirkan hukum
3. menerakan hukum
Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan
aspek-aspek yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk
diangkat dan ditearpkan kedalam hukum. Bagi
aliranSociological Jurisprdence titik pusat perkembangan
hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau
ilmu hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri.
Dalam proses mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan
yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat
bersangkutan agenda reformasi birokrasi yang menjadi
tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa
keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya,
keadilan masyarakat itu masih jauh yang
diharapkan hal ini terbukti dengan di prosesnya kasus-
kasus yang nilai kerugian ekonominya kecil sampai
ketingkat pengadilan padahal seharusnya bisa di selesaikan
di tingkat penyidikan. Dalam menerapkan hukum yang hidup
dalam masayarakat khususnya oleh penyidik
Polres Demak, aliran sociological jurisprudence ini juga
sejalan dengan aliran atau teori yang disampaikan oleh Carl
von Savigny dan aliran atau Teori utilitarian , dimana
menurut teori Carl von Savigny menyebutkan bahwa "das
Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke"
atau terjemahannya bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Oleh karena itu
hukum selalu berkembang dan terus berkembang dari masa ke
masa seiring dengan pekembangan masyarakat itu sendiri. Hal
ini tentunya memungkinkan muncul ilmu-ilmu baru dalam
menerapkan hukum,karena ilmu hukum sifatnya bukan final yang
tidak bisa berubah tetapi sebaliknya bisa berubah-ubah
sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Sedangkan menurut aliran atau teori utilitarian, yaitu
sebuah teori yang menyatakan bahwa setiap hukum dalam arti
peraturan yang dibuat, maka harus mempunyai nilai guna bagi
masyarakat. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah jeremy
Bentham, dengan pendapatnya " The aim of law is The Greatest
happiness for the greatest number". Menurut aliran ini
sesuatu peraturan perundangan-undangan harus di bentuk untuk
membawa manfaat kepada masyarakat maka apabila peraturan
tersebut tidak membawa manfaat perlu dilakukan pengkajian
yang mendalam tentang produk peraturan tersebut, Penydik
Polres Demak dalam melakukan penyidikan tentunya harus
membawa manfaat dan nilai keadilan kepada masyarakat,
penerapan undang-undang yang di gunakan untuk sebagai dasar
membawa kepastian hukum belum tentu membawa kemanfaatan dan
keadilan, dimana idealnya adalah kepastian hukum dan rasa
keadilan.
b. Teori hukum progressif
Menurut prof Satjipto Raharjo Penegakan hukum
progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-
kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very
meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum
tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan
kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi,
komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian
untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.
Agenda reformasi birokrasi yang menjadi tuntutan
masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan
ditengah masyarakat. Keadilan adalah inti atau hakikat
hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara
matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang
mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian
pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka
sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP.
Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan bahwa
institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak,
sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum
selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a
process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh
Satjipto Rahardjo sebagai berikut :
(pemikiran. penulis) Hukum progresif tidak memahami
hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan
sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum
selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah
institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah
dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.
Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam
faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada
rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat "hukum yang selalu
dalam proses menjadi (law as a process, law in the
making).1[16]
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak
selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan
manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara
berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam
ritme "kepastian hukum", status quo dan hukum sebagai skema
yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu
mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang
maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum
sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi
tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan
manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian
hukum. Penyidikan oleh penyidik satuan reserse criminal
Polres Demak masih dalam taraf pengejaran kepastian hukum,
namun mengabaikan azas kemanfaatan serta keadilan,
seorang pelaku tindak pidana haruslah dihukum meskipun
tindak pidana tersebut hanya mengakibatkan kerugian
ekonomi yang kecil.
Satjipto Rahardjo (1993) mengatakan bahwa dalam
pertukaran (interchange-interaction) dengan masyarakat
atau lingkungannya, ternyata polisi memperlihatkansuatu
karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan yang lain
(hakim, jaksa dan pengacara). Polisi adalah hukum yang hidup
atau ujung tombak dalam penegakkan hukum pidana. Dalam
melakukan penangkapan dan penahanan misalnya,
polisimenghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri. Pada
saat memutuskan untukmelakukan penangkapan dan penahanan,
polisi sudah menjalankan pekerjaan yang multifungsi, yaitu
tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa dan hakim
sekaligus.
Penyidikan tersebut sangat rawan dan potensial untuk
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau
penyimpangan polisi (police deviance) baik dalam bentuk
police corruption maupun police brutallity. Internal
Polrisendiri telah melakukan otokritik terhadap hal tersebut
yang mengungkapkan praktik penyimpangan yang dilakukan oleh
pejabat atau petugas Polri, terutama dalampelaksanaan
kewenangan penyidikan.
Praktik penyidikan oleh penyidik satuan reserse
kriminal Polres X selama ini menunjukkan bahwa aliran
positivisme hukum atau paham legisme dan berdasarkan asas
kepastian hukum merupakan aliran filsafat hukum yang menjadi
arus utama (mainstream) dalam pelaksanaan kewenangan
penyidikian yang dilakukan oleh penyidik Polres X, dengan
dasar keilmuan hukum progressif yang diajarkan oleh prof.
Satjipto Raharjo maka penyidik Polres Demak dapat menerapkan
Restorative Justice karena dalam ajaran hukum progresif
menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih
dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut
semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-
undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan
intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan
kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh
determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan
bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain
daripada yang biasa dilakukan.
Kasus-kasus yang nilai kerugian sangat kecil serta
tidak berdampak social yang luas, perlu adanya empati
dari penyidik Polres X untuk di selesaikan di luar
jalur pengadilan,hal ini akan lebih membawa kemanfaaan serta
keadilan antara pihak-pihak yang berperkara. Sehingga mampu
mengubah penegakan hukum yang lebih profesional.
c. Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945
Ada beberapa pasal yang dapat kami gunakan untuk
menganalisis penerapan Restorative Justice oleh penyidik
Polres Demak, di mana selama ini penyidik selalu melanjutkan
kasus-kasus yang ada laporan dari masyarakat meskipun
kadang-kadang kasus tesebut tidak layak di ajukan ke siding
pengadilan karena sebenarnya dapat di selesaikan dengan
Restorative Justice, di antara pasal-pasal yang tercantum
dalam UUD 1945 adalah:
1) Pasal 18 ayat 2 (amandemen kedua)
Dalam pasal ini mengatakan bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-
undang.
2) Pasal 24 (1) (Amandemen Ketiga):
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
3) Pasal 28D (Amandemen Kedua):
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Bertolak dasar dari beberapa pasal yang tercantum dalam
UUD 1945 tersebut, maka penegakan hukum pidana di Polres
Demak sebagai bagian dari proses peradilan pidana seharusnya
tidak semata-mata di dasarkan pada asas legalitas formal
menurut pasal 1 KUHP, yang hanya mengakui UU sebagai sumber
hukum (sumber pemidanaan). Dari dasar hukum di atas pun
dapat terlihat bahwa supremasi hukum atau kepastian hukum
tidak diartikan semata- mata sebagai supremasi /kepastian
menurut undang-undang. Di dalam UUD NRI 1945 tidak di
gunakan istilah" kepastian hukum" atau " penegakan
hukum" saja, tetapi "kepastian hukum yang adil" (pasal 28 D
UUD NRI 1945) atau " menegakkan hukum dan keadilan" (pasal
24 ayat 1 UUD NRI 1945).
Jadi ada asas keseimbangan antara kepastian hukum dan
keadilan. Beberapa contoh kasus yang dilakukan
penyidikan oleh Polres Demak sejatinya dapat di lakukan
penyelesaian kekeluargaan demi terwujudnya keadilan
substansif atau keadilan yang sebenar-benarnya antara kedua
belah pihak, namun penyidik Polres Demak lebih memilih
untuk melanjutkan proses hingga ke jenjang peradilan dengan
alasan demi kepastian hukum. Di samping itu menurut UUD NRI
1945 sumber hukum tidak hanya UU, tetapi juga dapat
bersumber dari hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi
ada pula keseimbangan antara hukum yang tertulis dengan
hukum yang tidak tertulis. Kasus kecil yang diselesaiakan
dengan cara kekeluargaan sebenarnya telah mengadopsi
terhadap hukum-hukum yang tumbuh dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat yang harus diakui serta diterapkan
dalamkehidupan sehari- hari guna membuat masyarakat hidup
dengan sejahtera dengan aturan-aturan masyarakat itu
sendiri. Selain itu juga terdapat di berbagai undang-undang
nasional juga diakui hukum tidak tertulis atau hukum yang
hidup ditengah masyarakat sebagai sumber hukum di samping
undang-undang.
Dalam berbagai peretemuan ilmiah/seminar nasional,
penelitian ilmiah, dan kenyataan/realita juga menghendaki di
pelihara dan di hormatinya nilai- nilai kebiasaan/nilai-
nilai budaya luhur yang ada di masyarakat, Dengan demikian
adalah sangat wajar apabila nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat itupun termasuk kepentingan hukum yang seharusnya
di lindungi/di pelihara dan oleh karena itu juga menjadi
tujuan penegakan hukum.
Perlu kami catat bahwa secara konstitusioanl UUD NRI
1945 tidak pernah menyatakan bahwa kepastian hukum itu
identik dengan kepastian undang-undang. Dengan selalu
digunakannya kata "hukum dan keadilan" secara bersamaan
memberiakn arti bahwa makna "supremasi/penegakan hukum"
bukan semata-mata "supremasi/penegakan undang-undang"
saja, tetapi mengandung makna substansif yaitu
supremasi/penegakan nilai-nilai substansif/materiel.
Dalam salah satu seminar HukumNasioanal,pernah di
nyatakan " Perlu untuk dikembangkan gagasan mengenai
kualitas pemberian keadilan yang lebih cocok dengan
system hukum Pancasila". Dari pernyataan inipun
tersimpul pelunya di kembangkan keadilan bercirikan
Indonesia yaitu " keadilan pancasila " yang mengandung
makna " keadilan berkemanusiaan", keadilan yang demokratik,
nasionalistik, danberkeadilan social ". Ini berarti keadilan
yang ditegakkan juga bukan sekedar keadilan formal tetapi
keadilan substansial. Sehingga Restorative Justice bisa di
terapkan dalam proses penyididkan di Polres Demak, berdasar
uraian diatas maka terdapat skema pemikiran tentang landasan
keilmuan dalam penerapan Restorative Justice sehingga akan
tercipta penegakan hukumyang profesioanal :
Oleh karena itu penerapan asas legalitas dalam KUHP
warisan belanda dalamkonteks sistem hukum nasional
seharusnya jangan di artikan semata- mata sebagai
kepastian/kebenaran/keadilan formal undang-undang tetapi
harus lebih mendalam sebagai kepastian/kebenaran/keadilan
nilai-nilai substansif.
Sehubungan denga hal di atas, patut di renungi pendapat
Prof. Douglas N Husak mengenai asas legalitas dalam
tulisannya "Fidelity to law cannot be construed merely as
fidelity to statutory law, but must be understood as
fidelity to the principle of justice that underline
statutory law. (Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan
semata-mata sebagai kebenaran undang-undang,tetapi harus
dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari
undang-undang).
Dari pendapat prof. Douglas di atas pun dapat dilihat,
bahwa asas legalitas (supremasi hukum/kepastian hukum) pada
hakekatnya mengandung supremasi nilai
substansial/materiel,bukan sekedar " Rule of law" tetapi "
rule of Justice".
Sehingga Restorative Justice bisa di terapkan
dalam proses penyididkan di Polres Demak, berdasar
uraian diatas maka terdapat skema pemikiran tentang
landasan keilmuan dalam penerapan Restorative Justice
sehingga akan tercipta penegakan hukum yang professional:
Restorative Justice sebagai kritik atas penerapan
sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap
tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya,
pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak
dilibatkan.Johnstone, mencatat beberapa kebaikan dari
Restorative Justice system, yaitu:
a. Bagi korban, Restorative Justice system lebih mampu
member atau memenuhi secara lebih baik kebutuhan dan
rasa puas dibandingkan dengan proses peradilan pidana
biasa.
b. Bagi pelaku, Restorative Justice system member
kesempatan meraih kembali rasa hormat masyarakat daripada
terus-menerus dicaci.
Bagi masyarakat, pelaku menjadi kurang berbahaya, uang
yang dipergunakan untuk melaksanakan pidana dapat dipakai
untuk melakukan tindakan preventif atau konstruktif lainnya.
Dan konsep Restorative Justice system, ada dua segi tindakan
yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Segi Represif
Dengan diterapkannya konsep Restorative Justice
system, maka yang diutamakan adalah kepentingan pelaku,
korban dan masyarakat. Tindakan refresif yang dapat
dilakukan dalam hal ini untuk si pelaku di berikan
fasilitas untuk di rehabilitasi, untuk korban di beri
kompensasi dan untuk masyarakat sendiri secara otomatis
kepentingannya dalam hal keamanan akan lebih terjamin.
b. Segi Preventif
Dengan diterapkannya konsep penegakan hukum dalam
Restorative Justice system, yang dalam pelaksanaannya
atau prakteknya, mengupayakan agar si pelaku dan korban
saling bertemu di hadapan anggota masyarakat yang lain,
dan setelah itu, si pelaku disuruh untuk meminta maaf dan
berdasarkan kesepakan dari anggota masyarakat yang lain,
si pelaku baru ditentukan "balasan" dari
perbuatannya. Biasanya, balasan tersebut bisa
berupa rehabilitasi, atau balasan langsung terhadap
korban dalam arti si pelaku disuruh untuk membayar
kerugian si korban, sehingga keseimbangan masyarakat pun
tetap terjaga.
Dengan dihadapkannya si pelaku kepada masyarakat, pada
prinsipnya konsep Restorative Justice system mempunyai
tujuan agar si pelaku merasa malu untuk melakukan
perbuatan kejahatan lagi, dan untuk anggota
masyarakat pun otomatis akan merasa malu dalam melakukan
kejahatan tersebut.
5. Kebijakan
Bahwa proses reformasi nasional, telah membawa perubahan di
dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga
yang dinamis, Polri pun telah menampakan hasil aspek
struktural dan instrumental yang memantapkan kedudukan
dan susunan Polri dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia, serta semakin mengemukakan paradigma baru
sebagai Polisi yang berwatak sipil (Civilian Police).
Sementara itu pembenahan aspek kultural masih berproses,
antara lain melalui ; pembenahan kurikulum pendidikan,
sosialisasi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya, Kode Etik
Profesi untuk mewujudkan jati diri Polri sebagai pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat.
Sikap perilaku anggota Polri belum sepenuhnya mencerminkan
jati diri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Penampilan Polri masih menyisakan sikap perilaku yang arogan,
cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang
responsif dan belum profesional khususnya dalam
penegakan hukum masih merupakan masalah yang harus dibenahi
secara terus menerus. Mereformasi diri dan kembali sebagai
organisasi yang independen sesuai dengan fungsinya sebagai
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta sebagai aparat
penegak hukum yang profesional.
Keberhasilan reformasi Polri tersebut, yang di jabarkan
menjadi reformasi birokrasi polri khususnya dalam penegakan
hokum yang professional dalam menangani kasus-kasus yang
tergolong kecil tidak hanya ditentukan oleh Polri semata,
tetapi juga didukung oleh peran serta masyarakat, karena peran
serta masyarakat sangat penting dalam penerapan
restorative justice dalam mewujudkan Polri yang
profesional yang mampu menjawab tantangan masa depan,
sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Sebagai langkah awal reformasi birokrasi Polri,
telah memberikan motivasi berbagai perubahan Polri, mulai
dari aspek struktural, instrumental dan kultural yang hingga
saat ini perubahan tersebut masih bergulir menuju Polri yang
profesional, berwibawa dan dipercaya oleh masyarakat.
6. Upaya-upaya yang dilakukan
a. Langkah-langkah Strategis Internal
1) Kepemimpinan Kapolres Perlu adanya komitmen dari
Kapolres dalam rangka mengimplementasikan pendekatan atau
konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam
penanganan tindak pidana
2) Bahwa dalam rangka mempercepat implementasikan
pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative
Justice) dalam penanganganan tindak pidana, peran Kapolres
dalam menggerakan dan mengarahkan anggota serta masyarakat
sangat diperlukan. Disamping kemampuan memotivasi, perlu juga
tindakan-tindakan aplikatif seperti melakukan pengarahan,
menjalin hubungan dengan masyarakat, LSM, tokoh agama
sehingga dapat dijadikan contoh dan suri tauladan bagi
anggota.
3) Personil
a) Kuantitas
(1) Kekurangan personil perlu ditambah
dengan cara memberdayakan personil staf.
(2) Mengusulkan penambahan personil sesuai DSPP /
kebutuhan. b) Kualitas
(1) Pelatihan
(a) Formal
- Mengusulkan untuk mengikuti Pendidikan
Kejuruan tingkat SPN sampai dengan tingkat
Mabes.
(b) Informal
- Mengadakan latihan rutin.
- Mengadakan jam pimpinan.
Sosialisasi tentang implementasi pendekatan
atau konsep keadilan restorative (Restorative
Justice) dalam penanganganan tindak pidana
secara kontinyu.
- Mengikutsertakan anggota untuk
mengikuti seminar/work shop tentang
Restorative Justice
sehingga tercapai keadilan yang substansif.
(c) Wasdal
Agar dalam pelaksanaan tidak terjadi kerancuan
4) Anggaran
dan perbedaan persepsi dalam pelaksanaan perlu dilaksanakan pengawasan
dan pengendalian mulai dari rencana kegiatan sampai dengan laporan hasil
kegiatan, dengan membagi perwira yang ada untuk mengawasi.
Menambah anggaran dengan membuat usulan dalam
Renja / RKA-KL.
5) Matlog
a) Memberdayakan sarana dan prasarana yang sudah ada.
b) Usulkan pengajuan kebutuhan ke Kesatuan Atas / Polda.
6) Methode
a) Pelatihan secara berjenjang di Polres sampai
dengan tingkat
Polsek / Pospol. b) Sosialisasi
c) Wasdal
d) Reward and punishment a. Langkah-langkah Strategis
eksternal
1) Kejaksaan
a) Peran kejaksaan dalam penegakan hukum pidana
(1) Kejaksaan R.I. adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Mengacu pada
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas,
dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Kejaksaan adalah sebagai pengendali proses
perkara (dominus litis), karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu
kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau
tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum
Acara Pidana.
(2) Adapun dalam rangka persiapan tindakan
penuntutan atau kerap dikenal dengan tahap Pra
Penuntutan, dapat diperinci mengenai tugas dan
wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut
antara lain :
(a) Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa
menerima pemberitahuan dari penyidik atau
penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal
telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut
dengan SPDP (Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan).
(b) Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik
dalam hal telah selesai melakukan penyidikan,
penyidik wajib segera menyerahkan berkas
perkara pada penuntut umum. Selanjutnya
apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138
ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari
dan meneliti berkas perkara tersebut yakni :
Mempelajari adalah apakah tindak
pidana yang disangkakan kepada
tersangka telah memenuhi
unsur-unsur dan telah memenuhi syarat
pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah
materi perkaranya.
Meneliti adalah apakah semua
persyaratan formal telah dipenuhi oleh
penyidik dalam membuat berkas perkara, yang
antara lain perihal identitas tersangka,
locus dan tempus tindak pidana serta
kelengkapan administrasi semua tindakan yang
dilakukan oleh penyidik pada saat
penyidikan.
(c) Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf
b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal
110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138
ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang
lengkap (P-18), penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara itu kepada
penyidik disertai petunjuk untuk
dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan
sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut
sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP.
(d) Bila berkas perkara telah dilengkapi
sebagaimana petunjuk, maka menurut ketentuan
Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan
sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah
memenuhi persyaratan atau tidak untuk
dilimpahkan ke pengadilan (P-21).
(e) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai
Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal
tersebut yang dimaksud dengan "tindakan lain"
adalah antara lain meneliti identitas tersangka,
barang bukti dengan melihat secara tegas batas
wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut
umum dan pengadilan.
(f) Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut
umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan
dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan
umum secepatnya membuat surat dakwaan untuk
segera melimpahkan perkara tersebut ke
pengadilan untuk diadili.
(g) Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP,
penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab
atas berkas perkara, tersangka serta barang
bukti. Bahwa proses serah terima tanggung
jawab tersangka disini sering disebut Tahap 2,
dimana di dalamnya penuntut umum melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka baik identitas
maupun tindak pidana yang dilakukan oleh
tersangka, dapat melakukan penahanan/penahanan
lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20
ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan
penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya
kembali.[19]
b) Bila melihat tugas dan wewenag jaksa penuntut umum yang
telah disampaikan di atas, tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh jaksa penuntut umum baik dalam
proses pra penuntutan maupun penuntutan
sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan kebenaran
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Penegakan hukum demi
keadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi terdakwa,
adil bagi masyarakat yang terkena dampak
akibat perbuatan terdakwa dan adil di mata hukum, dengan
begitu dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh jaksa
penuntut umum dalam rangka penegakan hukum adalah
untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum,
menjembatani rasa keadilan dan kemanfaatan hukum
bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu peran
Penuntun umum dalam penerapan Restorative Justice
juga
sangat penting, karena penuntut umum akan
mempelajari dan menilai apakah berkas perkara layak
untuk di sidangkan atau tidak demi terwujudnya tujuan
dari hukum itu sendiri yaitu selain untuk mencapai
kepastian hukum juga untuk mencari kemanfaatan dan
keadilan. Peran penuntut umum dalam mendukung penerapan
Restorative Justice dapat di lakukan dengan cara:
(1) Memberikan sosialisasi Restorative Justice
yang telah dilakukan oleh penyidik Polres Demak
kepada seluruh jaksa penuntut umum sehingga ada
kesamaan pemahaman tentang restorative justice.
(2) Mengadakan pertemuan secara rutin antara
penyidik dan penuntut umum dalam diskusi dan dialog
di Polres sehingga menyadari dan memahami tentang
Restorative Justice.
2) Tokoh masyarakat / Tokoh Agama
Tokoh masyarakat/agama merupakan tokoh yang perannya
sangat penting dalam implementasi Restorative Justice,
masyarakat harus memainkan perannya dengan baik sebagai
pemimpin, pembimbing, komunikator dan partisipasi dalam
pembinaan kamtibmas terhadap warga masyarakatnya, khususnya
dalam mencegah dan meyelesaikan permasalahan dilingkungan
tempat tinggalnya, sehingga berbagai permasalahan dalam
masyarakat dapat di fasilitasi dalam rangka penyelesaian
masalah dengan Restorative Justice. Adapun peran tokoh
masyarakat/agama dalam mengimplementasikan Restorative
Justice bersama Polri adalah sbb :
a) Meningkatkan rasa kesadaran masyarakat untuk
melaksanakan ajaran agama dengan benar sehingga
permasalahan criminal yang kecil dapat terselesaikan
secara kekeluargaan.
b) Ikut serta secara aktif dalam memfasilitasi upaya
penyelesaian permasalahan criminal bersama penyidik
Polres Demak untuk mewujudkan keadilan antara kedua belah
pihakyang bertikai.
c) Meningkatkan perhatian dan pengertian masyarakat
terhadap pelaksanaan tugas Polri khususnya dalam
menyelesaikan permaslahan criminal dengan Restorative
Justice.
d) Mengarahkan masyarakat untuk membangun kultur/budaya
kearah yang positif dalam setiap penyelesaian perkara
criminal.
b. STRATEGI
Sedangkan strategi untuk mewujudkan implementasikan
pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative
Justice) dalam penanganganan tindak pidana , dapat dilaksanakan
melalui :
1) Strategi Internal (Polri)
a) Mengembangkan sistem pembinaan sumber daya manusia khusus
bagi Anggota reserse kriminal Polres X yang meliputi :
Rekruitment, Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para
penyidik/penyidik pembantu, Pembinaan karier secara
berjenjang, Penilaian kinerja baik perorangan maupun
kesatuan, Penghargaan dan penghukuman, menyelenggarakan
program-program pendidikan dan pelatihan Restorative
Justice secara bertahap sesuai dengan kualifikasi yang
dibutuhkan.
b) Meningkatkan sarana dan prasarana yang
berkaitan dengan
Penyidikan.
c) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai
dalam melaksanakan tugas .
d) Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri
yang kondusif bagi implementasi pendekatan atau konsep
keadilan restorative (Restorative Justice) dalam
penanganan tindak pidana.
2) Strategi Eksternal (masyarakat)
a) Mengadakan kerjasama dengan JPU, Pengacara,
Hakim serta instansi terkait lainnya.
b) Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh
masyarakat maupun tokoh agama rangka memberikan
dukungan bagi penerapan Restorative Justice
c) Meningkatkan program-program sosialisasi
implementasi pendekatan atau konsep keadilan
restorative (Restorative Justice) dalam penanganganan
tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik Polres
Demak
d) Menyelenggarakan program implementasi pendekatan atau
konsep keadilan restorative (Restorative Justice)
dalam penanganan tindak pidana pada kasus
tertentu sehingga secara bertahap dapat
diimplementasikan di semua jajaran Polsek di Polres
Demak
VI. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan-pembahasan di atas
maka dalam penulisan makalah ini dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
a. Penyidik polres X dalam melakukan penyidikan masih
berfikir atau berpaham positivisme, artinya penyidik
menerapkan hukum hanya sebatas dalam penerapan pasal-pasal
yang tercantum dalam hukum materiel, namun mengabaikan rasa
keadilan masyarakat, banyak kasus yang dilanjutkan sampai
proses pengadilan meskipun kasus tersebut tergolong
kasus-kasus yang kerugian ekonominya sangat kecil. Hal ini
terjadi di karenakan salah satunya adalah pendidikan maupun
sumber daya penyidik/penyidk pembantu yang belum memahami
hakekat dari tujuan hukum yaitu selain kepastian hukum hukum
bertujuan untuk mancari kemanfaatan maupun untuk
mencapai keadilan, penyidik belum memahami apa itu yang di
sebut dengan Restorative Justice karena kurangnya
pendidikan/pelatihan tentang Restorative Justice.
b. Dalam penerapan Restorative Justice banyak faktor-faktor
yang mempengaruhi penerapan Restorative Justice baik itu
yang bersifat dari luar maupun dari dalam yang meliputi
kekuatan, kelemahan, kesempatan maupun ancaman.
c. Kondisi penyidikan di Polres X di harapkan dapat
mengimplementasikan Restorative Justice, hal ini sesuai dengan
tujuan adanya hukum,selain untuk menjamin kepastian hukum hukum
juga berguna untuk mencari keadilan serta kemanfaatan. Dasar
teori serta penerapan Restorative Justice bisa mengacu pada
sociological jurisprudence yang menerangkan bahwa hukum yang
baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di
antara masyarakat, hukum progressif oleh prof Satjipto Raharjo
yang menerangkan bahwa menjalankan hukum tidak hanya sekedar
kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very
meaning) dari undang-undang atau hukum,serta pasal-pasal yang
tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun
1945. Penerapan Restorative Justice diharapkan mampu membawa
keadilan yang substansif sehingga penegakan hukum yang dilakukan
oleh penyidik Polres X diharapkan semakin profesional.
d. Guna menerapkan Restorative Justice maka diperlukan langkah-
langkah baik itu langkah-langkah yang bersifat internal maupun
ekternal, langkah internal di antaranya meliputi kebijakan
kapolres, peningkatan personil baik kuantitas maupun kualitas,
pemenuhan material logistic, pemenuhan anggaran, serta metode
sedangkan langkah eksternal dengan cara peningkatan
kerjasama dengan kejaksaan maupun tokoh masyarakat. Selain
itu juga di terapkan strategi dalam implementasi restorative
justice yang meliputi strategi internal maupun strategi
eksternal.
2. Rekomendasi
a. Untuk menghindari rasa ketidakadilan masyarakat dimana kasus
kriminal yang selalu dibawa ke ranah peradilan maka penyidik
Polres Demak perlu menerapkan Restorative Justice di tingkat
penyelidikan maupun penyidikan dengan mempedomani syarat-syarat
implementasi restorative justice, dengan diterapkan restorative
justice maka di harapakan terwujudnya penegakan hukum yang
professional serta pelayanan prima kepada masyarakat sesuai
program Reformasi Birokrasi Polri.
b. Untuk mendukung penerapan restorative justice maka perlu di
dukung sumber
daya manusia penyidik maupun penyidik pembantu yang memadai baik
kuanti tas maupun kualitas, oleh karena itu perlu penambahan
penyidik maupun penyidik pembantu sesuai dengan DSPP serta
peningkatan kualitas penyidik
/penyidik pembantu dengan cara mengikutsertakan mengikuti
seminar, lokakarya, diskusi yang berkaitan dengan restorative
justice serta perekrutan penyidik melalui accessment center yang
diantaranya meliputi standart pendidikan penyidik maupun
penyidik pembantu. Selain peningkatan sumber daya penyidik maka
perlu ditingkatkan juga sarana prasarana serta anggaran guna
menunjang implementasi restorative justice. Serta peningkatan
kerjasama antara sesama penegak hukum termasuk dengan tokoh
masyarakat tentang persamaan pandangan dalam penerapan
restorative justice.
c. Untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasi
Restorative Justice di lingkungan Polda Jateng khususnya di
Polres Demak, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk
menjamin kesamaan tindakan penyidik dalam penerapan konsep
Restorative Justice pada penegakan hukum pidana,dan juga untuk
memberikan legitimasi kepada penyidik Polri agar segala tindakan
yang dilakukan dalam implementasi restorative untuk kepentingan
penyidikan tidak dicap ilegal dan menyimpang dari hukum acara
yang berlaku. Hal ini diantaranya di keluarkannya SOP (standart
operasional prosedur) dalam penerapan restorative justice serta
perumusan kelengkapan administrasi penyidikan dalam penerapan
implementasi restorative justice.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan
Masyarakat
(Hukum Pidana Formal), Jakarta: Penerbit Restu Agung, buku 2,
2006. Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Esmi Warassih, Prana Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang : PT
Suryandaru Utama,
2005.
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta : 2010.
Friedman, W, Teori dan Filsafat Hukum. Telaah Krisis Atas Teori-teori
Hukum, Terjemahan M.
Arifin, Jakarta : Rajawali, 1990.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Ed. Kesatu,
Jakarta: Sarana Bakti Semesta, 1985.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta : The
Habibie Center, 2002.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1982. Remmelink, Jan, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal – Pasal
Terpenting dari Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Gramedia, 2003.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang
Pergulatan Manusia dan
Hukum), Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku
Kompas, 2006.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta :
Genta Publishing,
2009.
Wignjosoebroto Soetandyo, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan
Masalah, Bayu
Media, April, 2008.
PERATURAN/ UNDANG-UNDANG
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Sinar Grafika, 2004.
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia,Sinar
Grafika, 2004.
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Direktorat
Penyuluhan
Hukum Dep. Kehakiman RI, Jakarta, 1986.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang - Undang Hukum Acara Pidana, Direktorat Penyuluhan Hukum
Departemen Kehakiman, Jakarta, 1986.
Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Sinar Grafika, 2006.
LAIN-LAIN/ INTERNET
http://hukumonline.com.2010. http://depkumham.go.id.2010.
http://www.jateng.polri.go.id http://www.legalitas.org.2010.
http://www.polri.go.id
MAKALAH
Garuda Wiko, "Penegakan Hukum, Pembaharuan Hukum dan Rancang Bangun Hukum
Progresif", Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Univeristas Tanjungpura, Pontianak, 29
Oktober 2009.
Satjipto Rahardjo "Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah",
Makalah.
Satjipto Rahardjo. "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses -
Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi", Makalah
Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi
Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat
Fakultas Hukum Undip, 1998.
Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia,
Program
S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
-----------------------
10
26
40