BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyakit yang ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit endemis yang dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian atas penyebaran vektor. Upaya pengendalian vektor lebih dititikberatkan pada kebijakan pengendalian vektor terpadu melalui suatu pendekatan pengendalian vektor dengan menggunakan satu atau kombinasi beberapa metode pengendalian vektor. Upaya penyelenggaraan pengendalian vektor dapat dilakukan oleh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pihak swasta dengan menggunakan metode pendekatan pengendalian vektor terpadu (PVT). Upaya pengendalian vektor secara terpadu (PVT) merupakan pendekatan pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya serta berkesinambungan. Upaya pengendalian vektor dilaksanakan berdasarkan data hasil kajian surveilans epidemiologi antara lain informasi tentang vektor dan dinamika penularan penyakit tular vektor. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat perkembangbiakannya
dan/atau
perubahan
perilaku
masyarakat
serta
dapat
mempertahankan dan mengembangkan kearifan local sebagai alternatif. Tujuan upaya pengendalian vektor adalah untuk mencegah atau membatasi terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah, sehingga penyakit tersebut dapat dicegah dan dikendalikan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan vektor, pengendalian vektor dan pengendalian vektor terpadu? 2. Bagaimana syarat dalam pengendalian vektor? 3. Penyakit apa yang ditularkan oleh vektor? 4. Metode yang dapat mengendalikan vektor? 5. Bagaimana pengaplikasian dari metode pengendalian vektor?
1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui maksud dari vektor, pengendalian vektor dan pengendalian vektor terpadu 2. Mengetahui syarat dari pengendalian vektor 3. Mengetahui macam penyakit yang dapat ditularkan oleh vektor 4. Mengetahui berbagai metode yang dapat digunakan dalam pengendalian vektor 5. Mengetahui cara pengaplikasian dari metode pengendalian vektor terhadap vektor penular penyakit
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Beberapa pengertian yang dijelaskan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 374 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Vektor bahwa: a. Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan,memindahkah dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. b.
Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dicegah.
c. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan yang menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan azas keamanan,
rasionalitas
dan
efektifitas
pelaksanaannya
serta
dengan
mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.
2.2 Syarat Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu
Syarat pendendalian vektor dan binatang pengganggu biasa disi ngkat dengan R E E S A A yang memiliki kepanjangan dari : R = RASIONAL (berdasarkan data ilmiah) E = EFFEKTIF (berdaya guna) S = SUSTAINABLE (berkesinambungan) A = ACCEPTABLE (dapat diterima) A = AFFORDABLE (mudah dilakukan dan terjangkau secara tehnis dan finansial)
2.3 Penyakit Tular Vektor
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui vektor yaitu: 1. Penyakit malaria, merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles 2. Penyakit DBD, yaitu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti 3. Chikungunya, penyakit dari virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus
3
4. Japanese B Encephalitis (radang otak), penyakit yang disebabkan oleh enterovirus yang ditularkan oleh vektor arthropoda yaitu nyamuk dank utu 5. Plaque (pes/samar), penyakit yang ditularkan oleh tikus melalui perantara pi njal 6. Filariasis Limfatik (kaki gajah), penyakit yang ditularkan melalui berbagai nyamuk yang terinfeksi cacing fillaria setelah menggigit penderita kemudian nyamuk tersebut menyebarkan kembali ke manusia lain yang sehat melalui gigitannya. 7. Yellow Fever (demam kuning),
2.4 Metodologi Pengendalian Vektor dan Tikus
Dewasa ini ada beberapa metode yang lazim diterapkan untuk mengendalikan vektor dan tikus, diantaranya : 2.4.1
Metode Kimia
Cara kimia ini lebih lazim disebut sebagai pegendalian menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan vektor dan binatang pengganggu memang sangat efektif, namun sebenarnya dapat juga menimbulkan masalah yang serius bagi manusia dan lingkungannya.
2.4.2
Metode Fisika-Mekanika
Pengedalian
vektor
dan
binatang
pengganggu
secara
fisika-mekanika
ini
menitikberatkan usahanya pada penggunaan dan pemanfaatan factor-faktor iklim, kelembaban, suhu, dan cara-cara mekanis. Termasuk dalam cara pengendalian ini adalah : a. Pemasangan perangkap (tikus, burung, dan lain-lain) b. Pemasangan jarring untuk mencegah masuknya tikus, serangga, dan lain-lain c. Pemanfaatan sinar/cahaya untuk menarik dan atau menolak vektor dan binatang penggganggu (to attract and to repel) d. Pemanfaatan kondisi panas atau dingin untuk membunuh vektor dan binatang pengganggu e. Pemanfaatan suara untuk menolak atau menarik vektor dan binatang pengganggu f. Melakukan pembunuhan vektor dan binatang pengganggu dengan cara memukul, memijit, atau menginjaknya g. Pembalikan tanah sebelum penanaman dimulai
4
h. Pemanfaatan arus listrik
untuk membunuh vektor dan binatang pengganggu
dikawasan perumahan
2.4.3
Metode fisiologi
Yang dimaksud dengan pengendalian cara fisiologi adalah suatu cara pengendalian vektor dan binatang penggangu dengan memanipulasi bahan-bahan penarik atau penolak vektor dan binatang pengganggu. Disampping itu juga dipergunakan hormon dengan tujuan yang sama dalam pengedalian secara fisiologi ini.
2.4.4
Metode pengaturan tata tanaman
Cara ini lazim digunakan dalam bidang pertanian. Penanaman padi, dan palawija lainnya harus dikerjakan secara teratur. Dalam hal ini fakor-faktor yang mempengaruhi tata tanaman anatara lain adalah waktu penanaman, perputaran penanaman, cara-cara menanam dan tata dahan. Oleh karena itu petani yang mengerjakan lahan untuk pertanan harus dapat mempergunakan cara-cara bertani yang memenuhi persyaratan tata tanam tersebut.
2.4.5
Metode biologi
Pengebdalian vektor dan binatang penganggu secara biologi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan tumbuh-tumbuhan atau hewan, parasite, predator maupun kuman pathogen terhadap vektor dan binatang pengganggu yang menjadi sasaran. Cara ini akan berlangsung secara alamiah, karena kita hanya mengusahakan musuh-musuh alamiahnya. Yang termasuk dalam cara ini adalah pemeliharaan ikan pada bak-bak mandi untuk memberantas jentik-jentik nyamuk , ular yang memakan tikus , kecoak yang memangsa serangga dan lain-lain.
2.4.6
Metode menganggu keseimbangan Genetik
Cara pengendalian vektor dan binatang penganggu dengan metode ini dimaksidkan untuk menguarangi populasi vektor dan binatang penganggu melalui teknik-teknik pemandulan pada yang jantan (Sterila male techniques), menggunakan bahan kimia penghambat pembiakan (Chemosterilsnt) dan penghilangan (hybridization)
5
2.5 Pengaplikasian Metode Pengendalian Vektor dan Penyakit 2.5.1 Pengendalian Nyamuk a. Pengendalian vektor Malaria
Apabila kita jabarkan maka pengendalian vektor malaria dapat kita tujukan untuk pemutusan rantai penularan yaitu : -
Menghindari/mengurangi kontak/gigitan nyamuk Anopheles:
1. Dengan memasang kawat kassa pada setiap lubang-lubang pada rumah. Jumlah lubang kawat kassa yang optimal: 14-16 per inchi (2,5 cm). Bahan: Tembaga, alumunium, plastic. 2. Menggunakan kelambu sewaktu tidur, jumlah lubang per cm kelambu sebaiknya 6-8 dengan diameter 1,2 -1,5 mm. 3. Memasang
obat
nyamuk.
Hanya
kelemahannya
adalah
timbulnya
iritasi/rangsangan pada orang yang sensitive. 4. Menggunakan zat penolak/repellent minyak sereh, kayu putih dapat bertahan 1520 menit. Zat sintetik: 15 dolar, dimetil plat, dibutil plat dapat bertahan 2-4 jam.
-
Membunuh nyamuk dewasa
Secara genetic belum mendapatlan hasil sebagai yang banyak digunakan insektisida dikenal beberapa istilah : 1. Penggunaan didalam rumah atau di luar rumah (indoor atau outdoor) 2. Aplikasi pada dinding rumah atau langsung ditujukan pada nyamuknya (residual spraying atau knock down effect) 3. Penyemprotan atau pengabutan (spraying atau fogging/space spraying) Residual spraying biasanya biasanya digunakan untuk residual sedangkan malathion dan genitrotion untuk knock down efek (knock down effect) Membunuh jentik nyamuk/kegiatan anti larva Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan larva nyamuk Anopheles, yaitu :
1. Metode Kimiawi Menggunakan larvasida (zat kimia yang dapat membunuh larva nyamuk). Solar, minyak tanah, parisgreen, temephos, fention, altosid/development inhibitor, dll. Kedalam larvasida dimasukkkan juga Bacillus thurigiensis H-14 suatu toksin 6
bakteri yang dapat membunuh larva oleh karena ia tidak berkembang biak lagi pada setiap kali aplikasinya. Dapat juga dilakukan herbisida yakni zat kimia yang mematikan tumbuh – tumbuhan air yag digunakan sebagai tempat berlindung larva nyamuk.
Adapun keuntungan dan kerugian dari penggunaan larvasida yaitu:
Keuntungan: - Semua larva dari semua stadium dapat terbunuh - Daerah yang disemprot larvasida terbatas pada tempat perindukan (breeding places) Penggunaan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa pada umumnya dilakukan di daerah yang lebih luas.
Kerugian: -
Pengaruh larvasida bersifat sementara sehingga membutuhhkan aplikasi ulangan.
-
Beberapa larvasida mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan terutama terhadap predator complex. Berkurangnya populasi pemangsa larva menyebabkan tidak tercapainya pemberantasan larva nyamuk secara biologic.
2. Metode Biologik a. Menggunakan ikan pemakan larva nyamuk (larvivorous fish) seperti gambusia, guppy, panchax-panchax/ikan kepala timah dan ikan mujair. b. Protozoa (nozema), jamur coelomomyces dan berbagai jenis nematode lain
Pemberantasan secara biologic adalah pengaturan populasi vektor oleh musuhmusuhnya di alam. Adapun beberapa musuh vektor malaria yang telah diselidiki, 1. Protozoa yaitu : Nosema algerae dan Vavcaica culicis 2. Vitus yaitu : Cytopasmic polyhedrosis, Nuclear polyhedrosis dan iridescent viruses. 3. Fungi/jamur
yaitu
:
Beauveria,
Entromopthora,
Metarhizium,
Coelomomyces, Culicinomyces dan Lagedinium spp.
7
4. Nematoda yaitu: Romanomermis culicivorax, Romanonermis iyengari 5. Bakteri: Bacillus sphaericus dan Bacillus thuringiensisserotipe H-14 6. Ikan misal: Poecilia retiulata, Gambusia affinis, Panchax-pan (kepala timah), Cyrpinus carpio, Tillapia mossambica dan mojair. 7. Pemangsa larva: toxorynchites spp, Water beetles, hemipterans, dragonflies, dan damselflies.
3. Metode Pengelolaan Lingkungan Hidup (Environmental management) 1. Pengubahan linkungan hidup ( environmental modification) sehingga larva anopheles tidak mungkin hidup 2. “Manipulasi” lingkungan hidup (environmental manipulaton) se hingga tidak mungkin larva anopheles berkembang dengan baik. Kegiatan ini mencakup pengubahan kadar garam, pembersihan tanaman air atau lumut, dan penanaman pohon bakau (mangroves) pada tempat perindukan nyamuk sehingga tempat itu tidak mendapatkan sinar matahari. Cara yang banya dilakukan di Indonesia adalah metode kimiawi dengan speading agent yaitu zat kimia yang dapat mempercepat penyebaran bahan aktif yang digunakan.
b. Pengendalian vektor DBD
Upaya pengelolaan lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengendalikan populasi Ae. aegypti adalah : 1. Metode modifikasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi
lingkungan adalah suatu transformasi fisik permanen (jangka panjang) terhadap tanah, air dan tumbuhtumbuhan untuk mencegah/menurunkan habitat jentik tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk modifikasi lingkungan antara lain : perbaikan persediaan air bersih, tanki air atau reservoar di atas atau di bawah tanah dibuat anti nyamuk dan pengubahan fisik habitat jentik yang tahan lama (WHO, 2001). 2. Metode manipulasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), manipulasi
lingkungan adalah suatu pengkondisian sementara yang tidak menguntungkan atau tidak cocok sebagai tempat berkembangbiak vektor penular penyakit. Beberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan antara lain antara lain pemusnahan tempat perkembangbiakan vector, misalnya dengan 3 M plus. 8
3. Metode perubahan habitat atau perilaku manusia : Upaya untuk mengurangi kontak
antara manusia dengan vektor, misalnya pemakaian obat nyamuk bakar, penolak serangga dan penggunaan kelambu (WHO, 2001). 4. Metode Biologi : Antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan
cupang)
dan
penggunaan
bakteri endotoxinseperti Bacillus
thuringiensis dan Bacillus sphaericus. 5. Metode Kimia : Antara lain dengan cara pengasapan ( fogging)menggunakan
malathion sebagai
upaya
pemberantasan
terhadap
nyamuk
dewasa
dan
pemberantasan terhadap jentik dengan memberikan bubuk abate (abatisasi) yang biasa digunakan yakni temephos (Depkes, 2004).
2.5.2 Metode Pengendalian Lalat
1. Kontrol manajemen Penanganan feses dengan baik sehingga feses tetap kering merupakan teknik pengendalian lalat yang paling efektif. Kita tahu, feses yang lembab menjadi tempat perkembangbiakan lalat yang sangat baik (termasuk tempat perkembangbiakan bibit penyakit). Dalam 0,45 kg feses yang lembab dapat dijadikan tempat berkembang biak (melangsungkan siklus hidup) 1.000 ekor lalat. Feses yang baru dikeluarkan oleh ayam yang memiliki kadar air sebesar 75-80% merupakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan lalat. Feses ini harus segera diturunkan kadar airnya menjadi 30% atau kurang untuk mencegah perkembangbiakan lalat. Lakukan pembersihan feses minimal 1 x seminggu sehingga dapat memutus siklus perkembangbiakan lalat. Hal ini berdasarkan periode waktu lalat bertelur, yaitu setiap minggu (4-7 hari) Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghambat perkembangbiakan lalat ialah : 1. Membersihkan feses minimal setiap minggu sekali. Hal ini berdasarkan lama siklus hidup lalat, dimana lalat bertelur setiap seminggu sekali 2. Berikan ransum dengan kandungan zat nutrisi yang sesuai, terutama kandungan protein kasar dan garam. Ransum dengan kandungan protein kasar dan garam yang tinggi dapat memicu ayam minum banyak sehingga feses menjadi encer (basah)
9
3. Jika perlu tambahkan batu kapur maupun abu pada litter sehingga dapat membantu mengembalikan kemampuan tanah menyerap air 4. Hati-hati saat penggantian atau pengisian tempat minum. Jangan sampai air minum tumpah. Selain itu perhatikan kondisi tempat minum atau paralon dan segera perbaiki kondisi genting yang bocor 5. Jika feses akan disimpan, keringkan feses terlebih dahulu (kadar air < 30%) dengan cara dijemur diterik matahari (jika memungkinkan). Feses yang disimpan dalam kondisi lembab bisa mempercepat perkembangbiakan larva lalat 6. Perhatikan sistem sirkulasi udara (ventilasi). Kondisi ventilasi kandang yang baik dapat mempercepat proses pengeringan feses 7. Lakukan perbaikan pada atap yang bocor 8. Pastikan intalasi saluran pembuangan air berfungsi baik, jangan biarkan air mengendap
2. Metode biologi Terdengar asing ditelinga kita dengan istilah ini. Memang, karena teknik ini relatif jarang diaplikasikan peternak. Meskipun demikian, teknik ini terbukti ampuh dalam mengendalikan populasi lalat. Terbukti, dari sepasang lalat dal am waktu 3-4 hari tidak bisa menghasilkan lalat sebanyak 191,01 x 10 18 ekor karena secara alami larva lalat telah dibasmi oleh “lawan” lalat. Selain itu, penggunaan teknik ini akan menjaga keseimbangan ekosistem kandang. Parasit lalat biasanya membunuh lalat pada saat fase larva dan pupa. Spalangia nigroaenea merupakan sejenis tawon (lebah penyengat) yang menjadi parasit bagi pupa lalat. Mekanismenya ialah tawon dewasa bertelur pada pupa lalat, yaitu dibagian puparium (selubung pupa) dan perkembangan dari telur tawon memangsa pupa lalat (pupa lalat mati). Selain tawon, tungau ( Macrochelis muscaedomesticae dan Fuscuropoda vegetans) dan kumbang (Carnicops pumilio, Gnathoncus nanus) juga merupakan “lawan” lalat. Aplikasi dari teknik pengendalian lalat ini memerlukan suatu menajemen yang relatif sulit. Siklus hidup hewan pemangsa lalat tersebut juga relatif lebih
10
lama. Selain itu, hewan pemangsa lalat ini dapat juga menjadi agen penularan penyakit. Meskipun demikian, keseimbangan ekosistem akan tetap terjaga, terlebih lagi keberadaan lalat di kandang juga membantu dalam proses dekomposisi (penguraian) feses atau sampah organik lainnya sehingga baik jika digunakan sebagai pupuk kompos.
3. Metode mekanik Teknik pengendalian lalat ini relatif banyak diaplikasikan oleh masyarakat pada umumnya. Di pasaran, juga telah banyak dijual perangkat alat untuk membasmi lalat, biasanya disebut sebagai perangkap lalat. Perangkap tersebut bekerja secara elektrikal (aliran arus listrik) dan dilengkapi dengan bahan yang dapat menarik perhatian lalat untuk mendekat. Perangkap lalat serin gkali diletakkan di tengah kandang. Di tempat penyimpanan telur sebaiknya juga diletakkan perangkap lalat ini. Lalat tidak akan bergerak atau terbang melawan arus atau arah angin. Oleh karenanya tempatkan fan atau kipas angin dengan arah aliran angin keluar kandang atau ke arah pintu kandang. Penggunaan plastik yang berisi air (biasanya di warung makan) juga bisa digunakan untuk mengusir lalat meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui. Teknik pengendalian lalat ini (kontrol mekanik) relatif kurang efektif untuk diaplikasikan ji-ka populasi lalat banyak.
4. Metode kimiawi Teknik pengendalian lalat ini, seringkali menjadi andalan bagi peternak. Sedikit terlihat adanya peningkatan populasi lalat, peternak segera memberikan obat lalat. Namun, saat populasi lalat tidak menurun meski telah diberikan obat lalat, maka peternak akan langsung memberikan klaim maupun komplain ke produsen obat lalat tersebut. Kasus ini relatif sering terjadi. Lalu bagian manakah yang kurang tepat?
11
Point dasar yang perlu kita pahami bersama, bahwa pemberian obat lalat (kontrol kimiawi) bukan merupakan inti dari teknik pengendalian lalat, melainkan menjadi penyempurna dari teknik pengendalian lalat melalui teknik sanitasi dan desinfeksi kandang (teknik manajemen). Oleh karenanya, kita tidak bisa menggantungkan pembasmian lalat hanya dari pemberian obat lalat dan teknik pemberian obat lalat juga harus dilakukan dengan tepat. Dari data yang kami peroleh, obat pembasmi lalat yang beredar di lapangan (Indonesia) dapat diklasifikasikan (berdasarkan kerja obat lalat pada tahapan siklus hidup lalat) menjadi 2 kelompok, yaitu obat lalat yang bekerja membunuh larva lalat dan membasmi lalat dewasa. Agar daya kerja obat lalat bisa optimal, maka pemilihan jenis obat harus disesuaikan dengan tahapan siklus hidup lalatnya. Jika tidak maka daya kerja obat tidak akan optimal. Cyromazine merupakan zat aktif yang
digunakan
untuk
membunuh
sedangkan azamethiposdan cypermethrin merupakan
zat
larva aktif
yang
lalat bekerja
membunuh lalat dewasa. Penggunaan cyromazine untuk membasmi lalat dewasa tidak akan memberikan hasil yang optimal (lalat dewasa tidak bisa mati) dan begitu juga sebaliknya (pemberian cypermethrin tidak akan bisa membunuh larva lalat).
2.5.3
Metode Pengendalian Pinjal
Menurut Soviana dkk (2003) Pengendalian pinjal terbagi menjadi 2 cara yaitu : 1.
Metode Mekanika-Fisika Pengendalian pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva dan pupa pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan menjaga sanitasi kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan, member nutrisi yang bergizi tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga perlindungan dari kontak hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat lain di sekitarnya.
2.
Metode Kimia Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida. Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau benzilbenzoat bisa melindungi orang dari gigitan pinjal. Sejauh ini resistensi terhadap insektisida dari 12
golongan organoklor, organofosfor, karbamat, piretrin, piretroid pada pinjal telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Namun demikian insektisida masih tetap menjadi alat utama dalam pengendalian pinjal, bahkan saat ini terdapat kecenderungan meningkatnya penggunaan Insect Growth Regulator (IGR).
2.5.4 Metode Pengendalian Kutu Manusia
Penanganan
kutu
sangat
tergantung
dari
kebersihan
pribadi
dan
menghindaripemakaian alat-alat yang memungkinkan terjadi penularan kutu secara bersama, seperti sisir, topi, pakaian, dll. Perawatan yang bisa dilakukan agar menjaga kepala atau tubuh dari kutu antara lain :
1. Metode perawan secara kimia (Chemical treatments) Dalam perawatan kutu secara kimia harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
-
Pastikan agar kepala yang dirawat benar-benar mempunyai kutu dan jangan dirawat jika tidak. Tidak ada perawatan pencegahan, jadi merawat anggota keluarga yang tidak mempunyai kutu tidak bermanfaat tetapi dapat menyumbang pada masalah bertambahnya kekebalan kutu terhadap perawatan kimia.
-
Bayi di bawah usia dua belas bulan, wanita yang hamil atau menyusui, atau orang yang mempunyai kulit kepala yang terganggu atau mengalami peradangan tidak harus dirawat. Konsultasikanlah dengan ahli kesehatan untuk meminta nasihat.
-
Jangan biarkan bahan kimia masuk ke dalam mata.
-
Banyak produk berbau kuat. Bahan berbau kuat yang dibiarkan pada rambut untuk waktu yang lama mungkin mengganggu anak.
-
Sewaktu melakukan perawatan kutu, pastikan agar membaca label terlebih dahulu dan menggunakannya sebagaimana yang diarahkan saja.
-
Jangan gunakan insektisida, alkohol atau minyak tanah pada kepala anak.
13
-
Jangan keringkan rambut dengan alat pengering setelah perawatan.
-
Jangan cuci rambut lagi selama 1-2 hari setelah perawatan.
-
Bubuh produk pada setiap helai rambut dan urut, biarkan selama 20 menit, dan sisir dengan sisir kutu yang berkualitas tinggi, dan bersihkan produk pada serbet kertas.
-
Jika ada kutu mati yang ditemui, maka produk telah berhasil. Namun, penting diingat bahwa karena tidak ada produk yang terbukti dapat membunuh telur, segala perawatan kimia harus dibubuh kembali tujuh hari kemudian untuk membunuh segala kutu yang mungkin menetas sejak perawatan pertama.
-
Jika Anda menemui kutu hidup, mungkin sekali perawatan tidak berhasil. Gunakan produk lain dengan bahan aktif yang berlainan (baca label) atau cobalah metode sisir dan kondisioner.
2. Metode sisir dan kondisioner (Comb and conditioner method) Kutu bernapas melalui lubang kecil sepanjang perutnya. Dengan menyaluti rambut dan makanya menyaluti kutu dengan bahan yang pekat dan berminyak, ubang ini tutup,dan kutu tidak dapat bernapas selama kira-kira 20 menit. Walaupun sayangnya kutu tidak mati dengan metode ini, akibatnya kutu lebih lamban dan lebihmudah ditangkap. Nitbusting merupakan metode yang menggunakan sisi r dan kondisioner (atau bahan lain yang berminyak) untuk merawat kutu. Penggunaan metode ini tidak akan membunuh kutu atau telur tetapi siri kutu yang berkualitas tinggi akan mengangkat kutu.
2.5.5
Metode Pengendalian Kutu Busuk
Cara pengendalian
yang
paling
penting
adalah menjaga
kebersihan
lingkungandengan memelihara kebersihan tempat tinggal. Kutu busuk dapat berpindah dengan mudah tanpa diketahui dari satu tempat ke tempat lainnya, terutama melalui telur yang menempel di pakaian, sprei, koper, barang-barang bekas, dan lain sebagainya. 1.
Secara teknis : Bila ditemukan masalah kutu busuk sebelum dilakukan pemeriksaan oleh ahli dan belum dilakukan upaya pengendalian, maka yang harus dilakukan adalah : -
Bila terjadi di kamar hotel, rumah, asrama, jangan memindahkan barang apapun dari kamar, bila hal ini dilakukan. kutu busuk akan mudah menyebar 14
ke tempat lain. Setelah pemeriksaan oleh ahli dilakukan, semua seprei, gorden dan pakaian yang ada harus dikeluarkan (termasuk tempat tidur, jangan memindahkan tempat tidur ke gudang, apalagi memindahkan ke kamar lain, karena akan menyebarkan kutu busuk ke tempat lain). Barang barang tersebut harus diperiksa dengan teliti sebelum dipindahkan ke tempat lain, terlebih dahulu dimasukkan ke kantong plastik dan ditutup erat-erat.
1.
-
Dengan cara penjemuran, misalnya menjemur kursi, sofa, kasur dan lain-lain.
-
Menyedot serangga, pengobatan panas atau membungkus kasur.
Metode kimiawi : Menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, insektisida, pestisida, jaring nyamuk yang digunakan bersama dangan insektisida pyrethroid sangat efektif dalam menangkis, dan membunuh kutu busuk dan generator asap yang mengandung pyrethroid insektisida. Pengendalian dengan kimiawi ini perlu diulang (biasanya hanya membunuh nimfa dan dewasa) sampai semua telur kutu busuk yang ada menetas dan terkena insektisida dan mati. Tetapi pilihan penggunaan pestisida untuk pengendalian amat terbatas, karena dari beberapa penelitian yang dilaporkan menunjukkan banyak kutu busuk yang sudah resisten (misalnya terhadap DDT, organofosfat dan karbamat). Insektisida Para propoxur karbamat sangat beracun untuk kutu busuk, namun di Amerika Serikat Environtmental Protection Agency (EPA) telah enggan menyetujui seperti penggunaan indoor karena potensi toksisitas untuk anak – anak setelah paparan kronis.
2.
Merode Biologi Dengan ditemukannya musuh-musuh alam kutu busuk, misalnya kecoak, semut, laba – laba (terutama Thanatus flavidus), tungau dan kelabang ataupun binatang yang dikenal dengan nama Reduvius personatus dapat mengurangi populasi kutu busuk, namun pengendalian biologis sangat tidak praktis untuk menghilangkan kutu busuk di lingkungan tempat tinggal manusia.
3.
Metode Fisika atau Mekanik termasuk kebersihan Dengan menjaga kebersihan lingkungan, misalnya dengan memelihara kebersihan tempat tinggal. 15
Pengendalian kutu busuk sering memerlukan kombinasi pendekatan pestisida dan non – pestisida. Hal ini karena perlawanan terhadap pestisida telah meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu sehingga ada kekhawatiran efek negatif terhadap kesehata dari penggunaan pestisida. (Intan Ahmad, Ph. D. (Entomologis) SITH-IPB)
2.5.6 Metode Pengendalian Kecoa
Cara pengendalian kecoa menurut Depkes RI (2002), ditujukan terhadap kapsul telur dan kecoa : a. Pembersihan kapsul telur yang dilakukan dengan cara : Mekanis yaitu mengambil kapsul telur yang terdapat pada celah-cela h dinding, celah-celah
almari,
celah-celah
peralatan,
dan
dimusnahkan
dengan
membakar/dihancurkan. b. Pengendalian kecoa Pengendalian kecoa dapat dilakukan secara fisik dan kimia. 1. Metode fisik atau mekanis dengan : - Membunuh langsung kecoa dengan alat pemukul atau tangan. - Menyiram tempat perindukkan dengan air panas. - Menutup celah-celah dinding. 2. Metode Kimiawi : Menggunakan
bahan
kimia
(insektisida)
dengan
formulasi spray(pengasapan), dust (bubuk), aerosol (semprotan) atau bait (umpan). Selanjutnya kebersihan merupakan kunci utama dalam pemberantasan kecoa yang dapat dilakukan dengan cara-cara seperti sanitasi lingkungan, menyimpan makanan dengan baik dan intervensi kimiawi (insektisida, repellent, attractan).
16
2.5.7 Metode Pengendalian Tikus
Tikus dapat menyerang padi pada berbagai stadia pertumbuhan, tetapi tikus paling senang menyerang padi pada stadia generatif. Pad stadia generatif tikus biasanya memakan bulir dan malai padi. Pada stadia persemaian tikus mencabut tanaman padi yang baru tumbuh untuk memakan bagian biji yang masih tersisa. Pada stadia vegetatif tikus memakan batangnya dengan cara memotong pangkal batang. Secara umum metode pengendalian tikus sama dengan pengendalian hama-hama yang lain. Pengendalian tikus hendaknya menggunakan konsep PHT dimana penggunaan pestisida atau rodentisida hanya digunakan pada kondisi terpaksa atau jika metode yang lain sudah tidak mampu menanggulangi populasi hama tikus. Berukut beberapa metode dalam pengendalian tikus : a. Metode pengedalian secara kultur teknis Pengendalian secara kultur teknis merupakan cara pengendalian dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus. Beberapa cara pengendalian secara kultur teknis adalah sebagai berikut : 1. Pengaturan pola tanam Pengaturan pola tanam hanya berlaku pada tanaman semusim. Dengan melakukan pengaturan pola tanam maka keberadan pakan bagi tikus tidak kontinyu sehingga populasinya dapat menurun. Pergiliran pola tanam antara lain dapat padi – padi – palawija / padi – palawija – palawija / padi – palawija – padi. Dengan demikian maka kebutuhan pakan tikus ajan semain berkurang, karena serealia merupakan pakan yang berkualitas baik bagi tikus jika pakan tersebut berkurang atau tidak ada maka populasinya akan menurun. Palawija yang dapat digunakan sebagai tanaman berikutnya adalah jagung, kacang tanah, kedelai, sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu. Atau dapat juga di rotasi dengan sayuran jika kondisi di tempat tersebut cocok untuk ditanami sayuran. 2. Pengaturan waktu tanam Pengaturan waktu tanam serempak dapat mengurangi kerugian persatuan luas yang diakibatkan oleh tikus karena kerusakannya menyebar. Selain itu dengan adanya waktu panen yang bersamaan membuat sumber pangan bagi tikus 17
tidak kontinyu, sehingga tikus kehilangan kesempatan untuk berkembang biak secara kontinyu. Karena keadaan pakan yang ada pada waktu tertentu saja maka pertumbuhan populasi tikus dapat diperkirakan. Waktu tanam serempak harus dilakukan oleh petani-petani minimum dalah areal lahan seluas 100Ha, mengingat tikus memiliki mobilisasi mencapai lebih dari 700m dari sarang. 3. Pengaturan jarak tanam Tikus sangat menyukai tempat tempat yang berantakan, semprawut, kotor, sehingga melalui pengaturan jarak tanam populasi tikus dapat ditekan karena lingkungannya tidak disenagi. Tikus paling tidak suka bergerak di tempat yang terbuka, tikus lebih sengang bersembunyi, sehingga kalau di lihat pada lahan pertanaman yang terserang oleh tikus, lahan pada bagian tengah lah yang diserang, sedangkan pada bagian tepi dekat dengan pematang tidak diserang. Ada dua hal yang menyebabkan tikus lebih senang menyerang pada bagian tengah lahan. Yang pertama adalah untuk melindungi sara ng yang berada pada pematang agar tidak terlihat, sehingga tanaman yang berada di dekat pematang tidak diserang. Yang kedua adalah dengan menyerang pada vagian tengah lahan maka tikus terhindar dari gangguan manusia. Pengaturan jarak tanam ini dapat disesuaikan dengan pola tanam, misalnya pada musim pertanaman pertama jarak tanamnya diperlebar, tetapi pada musim pertanaman ke dua jarak tanamnya di kembalikan seperti jarak tanam yang sebenarnya. Pengaturan jarak tanam juga dapat dilakukan dengan cara tanam Legowo, dimana nantinya jarak antar baris pertanaman menjadi lebar sehingga tikus takut untuk menyerang pada bagian tengah lahan dan bagian tepi lahan. 4. Penggunaan tanaman perangkap (trap crop) Penggunaan tanaman perangkap adalah cara pengendalian tikus dengan menanami terlebih dahulu lahan yang berada di tengah-tengah areal persawahan, kemudian baru menanami daerah disekitar lahan tersebut. Cara tersebut dimaksudkan agar tanaman pada lahan yang berada di tengah mengalami fase generatif lebih awal sehingga serangan tikus akan terpusat pad lahan tersebut, untuk selanjutnya dapat dilakukan gropyokan. Atau dapat juga menanam varietas padi yang berumur pendek pada bagian tengah areal pertanaman. Penggunaan
18
tanaman perangkap dapat dikombinasikan dengan Trap Barrier
System
(TBS) agar lebih efektif. b. Metode pengendalian secara sanitasi Sesuai dengan ciri khas tikus yang tidak suka dengan tempat terbuka maka pengendaliannya dapat dengan cara melakukan pembersihan gulma di sekitar tanaman. Dengan demikian tikus juga akan kehilangan sumber pakan alternatif pada saat bera. c. Metode pengendalian secara fisik-mekanis Pengendalian sercara fisik merupakan usaha manusia untuk merubah faktor lingkungan fisik agar dapat menyebabkan kematian pada tikus. Faktor fisik tersebut dapat dirubah diatas atau dibawah toleran tikus. Pada prinsipnya pengendalian secara fisik dan mekanis adalah sebagai berikut : 1. Membunuh tikus secara langsung dengan bantuan alat-alat 2. Mengusir tikus dengan bermacam-macam alat yang tidak bersifat kimia( menggunakan sinar ultraviolet,gelombang elektro magnetik, dan suara ultrasonik) 3. Melingdungi tanaman dari serangan tikus Salah satu pengendalian secara fisik dan mekanis adalah penggunaan pagar plastik, penggunaan pagar plastik dimaksudkan untuk menghalau tikus memasuki areal pertanaman. Biasanya diterapkan pada lahan persemaian dan dikombinasikan dengan perangkap yang ditaruh atau diletakkan pada pintu masuk persemaian. Jika populasi tikus banyak dan modal usahatani besar maka teknik ini dapat dipergunakan, pada intinya penggunaan pagar plastik akan membuat tikus tidak dapat memasuki lahan persemaian sehingga tikus akan berusaha mencari jalan masuk, pada jalan masuk tersebut dapat dipasangi perangkap. Gropyokan juga merupakan pengendalian fisik mekanis, biasanya kegiatan ini yang sering dilakukan oleh banyak petani yang pernah Saya temui. Selain adanya rasa puas karena melihat secara langsung tikus yang mati, pengendalian secara gropyokan juga memupuk rasa kegotongroyongan karena dilakukan secara bersama-sama. Gropyokan pada lahan sawah biasanya ditujukan pada sarang tikus masih aktif yang berada di pematng sawah atau lahan tidak ditanami yang berada disekitar sawah. 19
Tindakan untuk mengeluarkan tikus dari liangnya dapat dengan cara menggenangi liang dan membongkar liang, agar tidak merusak tanaman kegiatan ini dapat dilakukan pada saat pasca panen. Gropyokan yang dilakukan di malam hari dengan bantuan lampu petromak juga efektif karena pergerakan tikus akan lambat karena lampu petromaks (mata tikus menjadi tidak jelas pandangannya saat terkena cahaya terang). Dalam gropyokan digunakan pula barang-barang dari logam dan bambu yang dipukul pukul untuk mengusir tikus dari sarangnya dan digiring menuju perangkap bisanya berupa jaring yang pasang di dekat pematang s awah atau tempat terbuka, selanjutnya tikus dapat dibunus secara beramai-ramai di tempat tersebut. d. Metode pengendalian secara biologis atau hayati Pengendalian secara hayati dilakukan dengan penggunaan parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi bahkan menghilangkan populasi tikus pada suatu habitat.predator tikus dapat dibagi berdasarkan klasifikasinya yaitu kelas reptilia (hewan melata), kelas aves (burung), dan kelas mamalia (hewan menyusui). Secara ekologis kelas aves merupakan predator terbaik dalam mencari dan mengkonsumsi mangsanya, diikuti kelas mamalia dan terakhir reptilia. Kelas avea memiliki laju fisiologi tertinggi sehingga mampu mengkonsumsi tikus dalam jumlah tinggi. Dari ketiga kelas predator tersebut dalam hal memangsa tikus dapat dibauat perbandingan sebagai berikut Aves (10) : Mamalia (4) : Reptilia (1). Dalam kelas aves beberapa spesies yang menjadi predator tikus adalah Tyto alba (burung
hantu
putih), Bubo
ketupu (burung
hantu
cokelat), Nyctitorac
nyctitorac (burung alap alap tikus). Dalam kelas Mamalia beberapa spesies yang menjadi predator tikus adalah Paradoxurus
hermaphroditus (musang
atau
luwak), Viverricula
malaccensis (musang bulan), Herpetes javanicus (garangan), Felis catus (kucing), dan Canis familiaris (anjing) Dalam kelas Reptilia yang menjadi predator tikus adalah Ptyas koros (ular tikus), Naja naja (ular kobra), Ophiphagus hannah (ular kobra raksasa), Trimeresurus hagleri (ular hijau), dan Phyton reticulatus (ular sanca). e. Metode pengendalian secara kimiawi
20
Pengendalian kimiawi didefinisikan sebagai penggunaan bahan-bahan yang dapat membunuh tikus atau dapat mengganggu aktivitas tikus, baik aktivitas untuk makan, minum, mencari pasangan, maupun reproduksinya. Secar a umum pengendalian kimiawi terhadap tikus dapat dibagi menjadi empat yaitu : 1. Penggunaan umpan beracun (racun perut) Berdasarkan cara kerjanya racun tikus dapat dibagi kedalam 2 macam : a. Racun akut, bekerja cepat dengan cara merusak sistem syaraf tikus (Arsenik trioksida, Bromethalin, crimidine, alpha chloralose, ANTU, Norbornmide, red squill, dsb). Cocok diterapkan pada saat populasi tikus tinggi. b. Racun kronis (antikoagulan), bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (antikoagulan 1 : Warfarin, Fumarin, Courmachlor, dsb. Antikoagulan 2 : Diphenacoum, brodifacoum, Flocumafen, Bromadiolone). Cocok diterapkan pada populasi tikus yang tersisa setelah penerapan racun akut. Secara umum perbedaan dua macam racun ini terdapat pada penerapan di lapang dan efek pada tikus. Pada penerapan di lapang racun akut membutuhkan umpan pendahuluan dan kebutuhan umpan yang beracun sedikit sedangkan racun kronis tidak membutuhkan umpan pendahuluan, karena rekasinya yang lambat maka dibutuhkan banyak umpan yang mengandung racun. Efek pada tikus untuk racun akut adalah langsung membunuh tikus, dan jika tidak diberi umpan pendahuluan dapat menyebabkan jera umpan. Pada racun kronis adalah membunuh secara perlahan sehingga kadang tikus malah menjadi resisten terhadap racun tersebut. Menurut Surachman dan Widodo (2007) pengendalian tikus dapat menggunakan umpan anti koagulan Brodifakum 0,005 RMB. Penerapan yang tepat adalah pada saaat padi memasuki fase vegetatif karena tikus habis beranak dan menyusui anaknya. Setelah memakan umpan tersebut dalam 3-4 hari tikus akan mati. 2. Penggunaan bahan fumigan (racun nafas) Fumigasi adalah proses peracunan tikus beserta ektoparasitnya dengan menggunakan gas beracun (fumigan). Fumigan ini berbahaya bukan hanya bagi tikus tetapi juga bagi manusia dan hewan lain yang berada di sekitar tempat 21
fumigasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fumigasi yaitu : a. Fumigan yang akan digunakan harus mempunyai berat molekul lebih dari 28 (berat molekul N2 di udara) b. Kelembapan relatif udara di dalam sarang tikus harus tinggi dan ukuran partikel tanah yang kecil sehingga gas beracun tidak keluar melalui celahcelah tanah. Fumigan ini dapat berupa Hidrogen sianida (HCN), Karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO 2), metil bromida (CH 3Br), Kloropikrin (CCl3NO2), Hidogen fosfosida (PH3). Racun nafas juga dapat bibuat melalui pembakaran merang, serabut k elapa, atau klaras daun pisang yang kadang-kadang ditambahkan belerang sehingga menghasilkan gas CO, CO2, dan SO2. perbandingan merang dengan belerang biasanya 13 : 1. Penggunaan racun nafas lebih baik pada saat tanaman memasuki fase generatif karena induk tikus baru melahirkan dan menyusui anak-anaknya. 3. Penggunaan bahan kimia penolak (repellent) atau bahan kimia penarik (attr actant), Attractant merupkan bahan kimia penarik tikus agar tikus mendekati umpan atau masuk perangkap. Attractant menarik tikus melalui bau yang ditimbulkannya. Salah satu attractant yang memberikan hasil efektif adalah penggunaan urine tikus betina yang memasuki fase estrus untuk menarik tikus jantan.
4. Penggunaan bahan kimia pemandul (chemosterilant) Bahan kimia pemandul merupakan bahan kimia yang menyebabkan kemunduran reproduksi, baik secara permanen maupun sementara. Contoh : mestranol, hexastrol, oestrogenic streroid, diosgenin. Dalam pener apannya bahan bahan kimia tersebut perlu menggunakan umpan pendahuluan.
22
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Pengendalian vektor penyakit diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 374 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Vektor Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat perkembangbiakannya
dan/atau
perubahan
perilaku
masyarakat
serta
dapat
mempertahankan dan mengembangkan kearifan local sebagai alternatif. Dalam pengaplikasian dari metode pengendalian terhadap vektor dan tikus setiap metode yang dilakukan berbeda-beda tergantung sifat dan kebiasaan dari jenis vektor dan tikus yang akan kita kendalikan, dengan tujuan untuk mencegah atau membatasi terjadin ya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah, sehingga penyakit tersebut dapat dicegah dan dikendalikan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam pengendalian vektor yang memiliki singkatan R E E S A A yaitu, RASIONAL (berdasarkan data ilmiah), EFFEKTIF (berdaya guna),
SUSTAINABLE
(berkesinambungan),
ACCEPTABLE
(dapat
diterima),
AFFORDABLE (mudah dilakukan dan terjangkau secara tehnis dan finansial).
3.2 Saran
Dalam melakukan pengendalian vektor dan tikus sebaiknya kita memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak ikut terkena dampak negatif. Metode pengendalian vektor dan tikus yang dilakukan harus memenuhi syarat dengan berdasarkan data ilmiah, berdaya guna, berkesinambungan, dapat diterima, mudah dilakukan dan terjangkau secara teknis dan finansial.
23
24
Daftar isi
Kata pengantar ………………………………………………………………………………. i Daftar isi ……………………………………………………………………………………...ii BAB I PENDAHULUAN......................................................... Error! Bookmark not defined. 1
1.1
Latar Belakang ............................................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3
Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3 2.1
Pengertian .................................................................................................................. 3
2.2
Syarat Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu....................................... 3
2.3
Penyakit Tular Vektor .............................................................................................. 4
2.4
Metodologi Pengendalian Vektor dan Tikus .......................................................... 4
2.4.1
Metode Kimia ...................................................................................................... 4
2.4.2
Metode Fisika-Mekanika ..................................................................................... 4
2.4.3
Metode fisiologi ................................................................................................... 5
2.4.4
Metode pengaturan tata tanaman ......................................................................... 5
2.4.5
Metode biologi ..................................................................................................... 5
2.4.6
Metode menganggu keseimbangan Genetik ........................................................ 5
2.5
Pengaplikasian Metode Pengendalian Vektor dan Penyakit ................................ 6
2.5.1 Pengendalian Nyamuk ............................................................................................... 6 2.5.2
Metode Pengendalian Lalat.................................................................................. 9
2.5.3
Metode Pengendalian Pinjal .............................................................................. 12
2.5.4
Metode Pengendalian Kutu Manusia .................................................................13
2.5.5
Metode Pengendalian Kutu Busuk..................................................................... 14
2.5.6
Metode Pengendalian Kecoa ............................................................................. 16
2.5.7
Metode Pengendalian Tikus ............................................................................... 16
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 17 3.1
Kesimpulan ..............................................................................................................23
3.2
Saran......................................................................................................................... 23
25
26